Di bawah sinar bulan yang redup, Arya Kertajaya berdiri di tengah halaman istana, diapit oleh barisan prajurit loyalis. Udara malam terasa dingin dan berat, dipenuhi aroma tanah basah dari hutan lebat yang mengelilingi kerajaan. Api unggun menyala terang di sekitar mereka, menciptakan bayangan dramatis di wajah para prajurit yang tegang. Angin dingin berdesir pelan, membawa aroma belerang yang samar namun menusuk.
Arya Kertajaya memandang pasukannya dengan ekspresi tegas, namun matanya menyiratkan kekhawatiran yang mendalam. Ia tahu bahwa pertempuran besar akan segera datang, dan tanggung jawab untuk melindungi Dyah Sulastri serta kerajaan Gilingwesi ada di pundaknya.
"Kita tidak punya banyak waktu lagi," katanya lantang, suaranya menggema di udara malam. "Ki Jagabaya dan pasukan bayangannya sudah dekat. Mereka juga bekerja sama dengan makhluk gaib jahat dan pasukan asing. Tapi kita tidak boleh takut.
Malam itu, langit di atas Kerajaan Gilingwesi tampak lebih kelam daripada biasanya. Awan tebal menutupi bulan, hanya menyisakan sedikit cahaya yang menerangi halaman istana. Udara dingin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Di sudut istana, kolam suci tampak tenang, namun permukaannya memantulkan bayangan-bayangan gelap yang tak terlihat oleh mata biasa.Dyah Sulastri duduk di tepi kolam, matanya tertuju pada air yang diam namun penuh rahasia. Ia merasakan beban besar di pundaknya, seolah-olah seluruh nasib kerajaan ini bergantung pada keputusan-keputusannya. Tangannya gemetar saat ia menyentuh air, mencoba mencari jawaban dari kedalaman kolam yang mistis."Apakah aku benar-benar penyebab kehancuran ini?" gumam Dyah pelan, suaranya ny
Malam itu, udara di istana terasa lebih berat daripada biasanya. Angin dingin berdesir lembut, membawa aroma bunga kenanga dan tanah basah yang menguar dari hutan sekitar. Raka sedang duduk sendirian di halaman belakang istana, memandangi api unggun kecil yang menyala di depannya. Pikiran-pikirannya dipenuhi oleh ketegangan yang semakin mendekat—pertempuran besar melawan pasukan bayangan Ki Jagabaya dan penyihir gelap hanya tinggal beberapa hari lagi. Tiba-tiba, langkah kaki pelan terdengar di balik bayang-bayang pohon kenanga. Raka menoleh, dan ia melihat sosok tua yang akrab muncul dari kegelapan. Resi Agung Darmaja, pendeta kerajaan yang selama ini misterius, berjalan perlahan menuju api unggun. Matanya yang tajam seperti menyimpan ribuan rahasia, dan senyum tipisnya terlihat bijaksana namun sulit dibaca. "Resi Agung," kata Raka dengan nada hormat, meskipun ada rasa waspada di dalam hatinya. "Aku ti
Malam itu, Raka tertidur di kamarnya setelah seharian mempersiapkan strategi pertahanan kerajaan. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya masih dipenuhi oleh kekhawatiran tentang pertempuran yang akan datang. Namun, tidurnya tidak tenang. Sebuah mimpi mengerikan menghampirinya—mimpi yang lebih nyata daripada yang pernah ia alami sebelumnya. Dalam mimpi itu, Raka berdiri di tengah hutan mistis yang gelap dan dingin. Udara terasa berat, membawa aroma belerang yang menusuk hidungnya. Di depannya, sosok penyihir gelap muncul dari bayangan. Wajahnya tertutup topeng hitam, dan matanya bersinar merah seperti bara api. Suaranya dalam dan penuh ancaman, menggema di udara malam. "Kau pikir kau bisa melindungi kerajaan ini?" kata penyihir gelap dengan nada sinis. "Kau hanya seorang manusia biasa yang tersesat dalam waktu. Kehadiranmu di sini adalah kesalahan besar." Raka mencoba
Malam semakin larut, dan angin dingin berdesir lembut di sekitar istana. Udara dipenuhi oleh aroma dupa yang menyengat, bunga kenanga yang harum, dan belerang dari api ritual yang menyala-nyala. Di halaman dalam istana, Dyah Sulastri memimpin persiapan untuk ritual gaib yang akan dilakukan untuk memperkuat pertahanan kerajaan. Para pendeta kerajaan berkumpul di sekitarnya, membawa berbagai artefak kuno dan simbol spiritual. Raka berdiri di tepi halaman, mengamati segala sesuatunya dengan perasaan campur aduk. Ia merasakan getaran magis yang kuat di udara—energi yang membuat bulu kuduknya berdiri. Meskipun ia bukan orang yang mudah percaya pada hal-hal mistis, ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang besar sedang terjadi malam ini. "Dyah," panggil Raka pelan saat ia mendekati sang putri. "Apa yang akan kau lakukan? Ini terlihat... sangat berbahaya." Dyah S
Malam itu, istana Gilingwesi tampak tenang di bawah sinar bulan sabit yang redup. Udara dingin menyelimuti halaman istana, dan hanya suara angin yang berdesir lembut di antara pepohonan yang memecah keheningan. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang tidak beres—sebuah firasat buruk merayap di benak Raka. Ia berdiri di teras istana, menatap kegelapan malam dengan perasaan waspada. "Aku merasakan sesuatu," gumam Raka pelan kepada Arya Kertajaya, yang berdiri di sampingnya. "Ada yang tidak beres." Arya Kertajaya mengangguk, tangannya erat mencengkeram pedangnya. "Aku juga merasakannya. Tapi kita harus tetap waspada. Jika Ki Jagabaya benar-benar akan menyerang, ia akan melakukannya saat kita lengah." Tiba-tiba, suara gemerisik muncul dari arah hutan. Daun-daun bergoyang tanpa angin, dan bayangan hitam mulai bergerak di tepi cahaya obor. Para prajurit penja
Setelah pasukan bayangan Ki Jagabaya mundur sementara, suasana istana dipenuhi oleh keheningan yang mencekam. Darah dan reruntuhan mengotori halaman istana, saksi bisu dari pertempuran brutal yang baru saja terjadi. Raka berdiri di tengah puing-puing, menatap medan pertempuran dengan rasa marah dan putus asa. Ia merasakan beban tanggung jawab semakin berat, terutama setelah menyadari bahwa pengorbanan mereka belum berakhir. Namun, fokus utama saat ini adalah Arya Kertajaya. Panglima perang yang gagah itu terluka parah saat melindungi Dyah Sulastri dari serangan mendadak pasukan bayangan. Tubuhnya dilarikan ke ruang medis oleh para prajurit, kondisinya kritis. Raka merasakan getaran aneh dari artefak perunggu yang ia simpan di sakunya. Getaran itu begitu kuat hingga ia tidak bisa mengabaikannya. Ia mengeluarkan artefak tersebut, dan saat ia menyentuhnya, pandangannya mulai kabur. Sebuah visi singkat mun
Pagi mulai menyingsing, dan cahaya matahari yang lembut menembus kabut tipis di sekitar istana Gilingwesi. Di luar dinding istana, pasukan loyalis berkumpul dalam formasi yang rapi, bersiap untuk menghadapi ancaman besar yang akan datang. Para prajurit memeriksa senjata mereka, sementara para tabib dan dukun spiritual mempersiapkan ramuan serta mantra untuk mendukung pasukan. Namun, bukan hanya manusia yang hadir di medan perang ini. Makhluk-makhluk gaib juga turut berkumpul, masing-masing dengan kekuatan unik mereka. Banaspati, roh api yang melindungi kerajaan, berdiri di barisan depan dengan tubuhnya yang bercahaya merah menyala. Buto Ijo, penjaga candi yang perkasa, berdiri tegak di sisi lain, siap untuk melindungi tanah kerajaan dari musuh-musuh yang mencoba menyerang. Genderuwo, makhluk bayangan yang biasanya menghindari manusia, kini bergerak di antara pasukan, menggunakan kemampuannya untuk menyusup ke barisan musuh.
Fajar baru saja menyingsing, namun langit di atas istana Gilingwesi sudah dipenuhi oleh awan kelabu yang bergulung-gulung bak ombak lautan. Udara terasa berat, seolah-olah seluruh alam sedang menahan napas. Di luar dinding istana, pasukan loyalis dan makhluk gaib telah berkumpul dalam formasi rapi, siap untuk menghadapi ancaman besar yang kini bergerak mendekat. Dari kejauhan, gema langkah kaki pasukan bayangan Ki Jagabaya dan pasukan asing mulai terdengar. Mereka bergerak cepat seperti badai yang tak terbendung, membawa aura gelap yang mencekam. Mata mereka berkilau merah dalam cahaya pagi yang temaram, sementara senjata mereka berkilau tajam, memantulkan sinar matahari yang lemah. Raka berdiri di garis depan bersama Dyah Sulastri dan Arya Kertajaya, meskipun kondisi Arya masih lemah setelah luka parah yang ia alami. Wajah Raka penuh tekad, matanya bersinar biru kehijauan, mencerminkan kekuatan spirit
Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan
Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh
Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l
Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang
Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka
Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu
Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe
Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek
Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti