/ Fantasi / Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir / BAB 155: Darah dan Belerang: Awal dari Akhir

공유

BAB 155: Darah dan Belerang: Awal dari Akhir

last update 최신 업데이트: 2025-03-13 17:00:14
Fajar mulai menyingsing di cakrawala, sinar matahari yang lembut menembus kabut tebal yang menyelimuti lembah kerajaan Gilingwesi. Udara pagi terasa dingin dan berat, dipenuhi aroma tanah basah dan asap dari api unggun yang masih menyala di perkemahan pasukan loyalis. Di luar istana, ribuan prajurit berkumpul dalam formasi rapi, bersiap untuk pertempuran besar yang akan segera dimulai. Makhluk gaib seperti Buto Ijo, Banaspati, Genderuwo, dan Naga Niskala juga hadir, wujud mereka yang mengerikan namun megah menciptakan atmosfer mistis yang mendominasi medan perang.

Di garis depan, Raka berdiri dengan tegap, artefak perunggu di tangannya memancarkan cahaya redup yang berdenyut pelan, seolah-olah benda itu merespons ketegangan di udara. Matanya tertuju ke arah hutan lebat di kejauhan, tempat pasukan bayangan Ki Jagabaya dan pasukan asing bersembunyi. Ia tahu bahwa ini adalah saat yang menentukan—pertaruhan hidup dan mati bagi seluruh kerajaan.

"Kita tidak punya pilihan lain," kata Arya Ke
이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요
잠긴 챕터

관련 챕터

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 156: PERTEMPURAN DIMULAI

    Langit pagi yang tadinya cerah kini berubah kelabu, dipenuhi awan hitam yang bergulung-gulung seperti ombak lautan. Udara terasa semakin tebal, dipenuhi aroma belerang dan energi spiritual yang menggelegak. Di luar istana, ribuan prajurit loyalis berdiri tegak dalam formasi rapi, bersiap untuk menghadapi pasukan bayangan Ki Jagabaya dan pasukan asing yang mulai menyerbu dari hutan lebat. Makhluk gaib seperti Banaspati, Buto Ijo, dan Genderuwo juga hadir, wujud mereka yang mengerikan namun megah menciptakan atmosfer mistis yang mendominasi medan perang.Tiba-tiba, sebuah ledakan keras memecah keheningan. Pasukan bayangan meluncurkan serangan pertama dengan panah api dan mantra sihir hitam yang menyala-nyala di udara. Prajurit loyalis segera merespons dengan melepaskan anak panah dan tombak, sementara makhluk gaib mulai bergerak maju untuk melindungi garis depan.Di garis depan, Raka berdiri tegap, artefak perunggu di tangannya memancarkan cahaya terang yang berdenyut pelan, seolah-olah

    최신 업데이트 : 2025-03-13
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 157: RAKA MENGGUNAKAN KEKUATANNYA

    Pertempuran semakin sengit. Di bawah langit yang kini dipenuhi awan kelabu dan asap tebal, suara benturan senjata, jeritan prajurit, dan gemuruh mantra magis memenuhi udara. Prajurit loyalis bertarung dengan gigih, namun pasukan bayangan Ki Jagabaya dan pasukan asing terus menyerang tanpa ampun. Makhluk gaib seperti Banaspati, Buto Ijo, dan Genderuwo juga ikut berjuang mati-matian, tetapi kekuatan musuh terlalu besar untuk ditahan lama.Di garis depan, Raka berdiri dengan napas tersengal-sengal. Tubuhnya terasa lemah setelah menggunakan artefak perunggu untuk pertama kalinya, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa berhenti sekarang. Matanya tertuju pada barisan musuh yang semakin mendekat, dan ia menyadari bahwa ini adalah saatnya untuk mengambil risiko lebih besar lagi."Aku harus melakukannya," gumam Raka pelan, suaranya penuh tekad meskipun tubuhnya terasa semakin berat. "Ini satu-satunya cara."Ia menggenggam artefak perunggu erat-erat, merasakan energi spiritual yang masih tersisa di

    최신 업데이트 : 2025-03-14
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 158: ARYA KERTAJAYA MENYELAMATKAN MEREKA

    Di tengah kekacauan pertempuran besar, pasukan bayangan Ki Jagabaya meluncurkan serangan mendadak yang mengejutkan semua orang. Dengan gerakan cepat dan licik, mereka berhasil menembus garis pertahanan loyalis, langsung menuju posisi Dyah Sulastri, yang berada di belakang barisan utama.Dyah, meskipun tidak ikut bertarung di garis depan, tetap menjadi target utama musuh. Keberadaannya sebagai calon ratu suci membuatnya menjadi kunci penting dalam rencana penyihir gelap untuk menghancurkan kerajaan. Jika Dyah jatuh, maka ritual pengorbanan gaib yang direncanakan oleh musuh akan gagal, tetapi juga bisa memicu kehancuran total bagi dunia manusia dan dunia gaib.Raka, yang sedang berusaha pulih dari penggunaan kekuatan artefak, menyadari ancaman ini terlambat. Matanya melebar saat ia melihat sekelompok prajurit bayangan meluncur ke arah Dyah dengan senjata sihir hitam yang menyala-nyala. Ia mencoba bergerak maju, tetapi tubuhnya yang lemah setelah menggunakan kekuatan spiritual membuatnya

    최신 업데이트 : 2025-03-14
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 159: PENYIHIR GELAP MENGAMUK

    Pertempuran besar di luar istana semakin memanas. Suara benturan senjata, jeritan prajurit, dan mantra magis menggema di udara. Namun, tiba-tiba suasana berubah menjadi lebih mencekam ketika langit yang sudah kelabu kini berubah sepenuhnya hitam, seolah-olah malam datang lebih awal. Awan gelap bergulung-gulung, membawa angin dingin yang menusuk tulang. Di tengah kegelapan itu, sosok penyihir gelap muncul dengan aura yang menakutkan.Penyihir gelap itu mengenakan jubah hitam panjang yang berkibar diterpa angin. Wajahnya tertutup topeng perak dengan ukiran simbol-simbol gaib yang menyala merah. Matanya bersinar seperti bara api, penuh kebencian dan kekuatan supranatural. Ia melangkah maju dengan gerakan lambat namun penuh wibawa, sementara pasukan bayangan Ki Jagabaya dan pasukan asing membuka jalan untuknya."Kehancuran sudah dekat," kata penyihir gelap dengan suara rendah dan berat, menggema di seluruh medan perang. "Tidak ada yang bisa menghentikan takdir ini."Raka, Dyah Sulastri, da

    최신 업데이트 : 2025-03-14
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 160: DYAH SULASTRI MENGORBANKAN DIRI LAGI

    Pertempuran besar di luar istana semakin mencekam. Penyihir gelap terus mengamuk, menggunakan sihir hitamnya untuk menghancurkan segala yang ada di jalurnya. Prajurit loyalis, makhluk gaib, bahkan Banaspati dan Buto Ijo mulai kehilangan harapan. Raka, yang sudah terluka parah saat melindungi Dyah Sulastri, kini berbaring lemah di tanah dengan darah mengalir deras dari lukanya.Dyah Sulastri berlutut di samping Raka, mencoba memberinya dukungan meskipun ia sendiri merasa putus asa. Matanya dipenuhi air mata, dan tangannya gemetar ketika ia menyentuh wajah Raka yang pucat."Kau tidak boleh mati," bisik Dyah pelan, suaranya penuh rasa bersalah. "Ini semua salahku."Raka mencoba tersenyum meskipun tubuhnya terasa semakin lemah. "Aku... baik-baik saja," katanya dengan suara tersengal-sengal. "Kau harus... tetap aman."Namun, sebelum Dyah bisa menjawab, penyihir gelap melangkah maju dengan aura yang semakin menakutkan. Matanya bersinar seperti bara api, dan tawa sinisnya menggema di seluruh

    최신 업데이트 : 2025-03-14
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 161: KEKUATAN BARU RAKA

    Pertempuran besar di luar istana telah mencapai titik kritis. Tubuh Dyah Sulastri terbaring lemah di tanah, napasnya hampir tak terlihat. Raka berlutut di sampingnya, hatinya hancur oleh rasa bersalah dan kehilangan. Matanya dipenuhi air mata, dan suaranya penuh kemarahan."Dyah... bangunlah," bisik Raka dengan suara bergetar, tangannya gemetar saat menyentuh wajah Dyah yang dingin. "Kau tidak bisa meninggalkanku sekarang."Namun, Dyah tidak memberikan respons apa pun. Napasnya semakin lemah, dan cahaya di tubuhnya mulai memudar. Penyihir gelap tertawa sinis dari kejauhan, menikmati keputusasaan Raka."Kau pikir pengorbanannya cukup untuk menghentikanku?" ejek penyihir gelap. "Ini baru permulaan!"Raka merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Sebuah energi panas mulai mengalir dari artefak perunggu di tangannya, merambat ke seluruh tubuhnya. Ia merasakan denyut kuat di dadanya, seolah-olah ada kekuatan kuno yang terbangkitkan.Saat itu, Raka merasakan kehadiran Dyah Sulastri di dalam

    최신 업데이트 : 2025-03-14
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 162: KI JAGABAYA DITANGKAP

    Pertempuran besar di luar istana mulai mereda setelah penyihir gelap dikalahkan oleh Raka. Namun, suasana masih tegang karena kerajaan hancur akibat pertarungan sengit yang terjadi. Di tengah kekacauan itu, Arya Kertajaya memimpin sekelompok prajurit loyalis untuk melacak dan menangkap Ki Jagabaya, pemimpin pasukan bayangan yang telah menjadi dalang utama di balik serangan ini.Ki Jagabaya berusaha melarikan diri melalui jalan rahasia di bawah reruntuhan istana. Ia mengenakan jubah hitamnya, bergerak cepat seperti bayangan dalam malam. Namun, Arya Kertajaya tidak mudah ditipu. Ia telah mencurigai gerak-gerik Ki Jagabaya selama ini, dan kini saatnya untuk membuktikan dugaannya."Berhenti di situ, pengkhianat!" teriak Arya Kertajaya dengan suara lantang, pedangnya bersinar di bawah cahaya bulan purnama yang menyelimuti medan perang. Angin dingin berdesir, membawa aroma belerang yang semakin kuat.Ki Jagabaya berbalik perlahan, senyum dingin tersungging di wajahnya. "Kau pikir bisa menghe

    최신 업데이트 : 2025-03-15
  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 163: KEMENANGAN SEMENTARA

    Pertempuran besar di luar istana telah berakhir. Pasukan asing yang sebelumnya mengamuk kini mundur, meninggalkan medan perang yang porak-poranda. Kerajaan Gilingwesi berhasil bertahan, tetapi kemenangan ini tidak terasa seperti sebuah kemenangan. Bangunan-bangunan istana hancur, pepohonan hangus oleh api sihir, dan tubuh para prajurit loyalis berserakan di tanah. Udara dipenuhi oleh aroma belerang dan darah, sementara angin dingin berdesir pelan, membawa kesunyian yang menyesakkan.Raka berdiri di tengah reruntuhan, matanya kosong. Ia melihat ke sekeliling, mencoba mencari makna dalam kehancuran ini. Namun, hatinya hanya dipenuhi oleh rasa hampa. Dyah Sulastri, orang yang paling ia cintai, masih terbaring lemah dalam koma. Tanpa dirinya, semua ini terasa sia-sia.Rakai Wisesa mendekati Raka dengan langkah mantap. Wajahnya penuh dengan kelelahan, tetapi juga kebanggaan. "Kau telah menyelamatkan kerajaan ini, Raka," katanya dengan suara tegas. "Tanpamu, kami tidak akan bisa bertahan."N

    최신 업데이트 : 2025-03-15

최신 챕터

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 226

    Langit di atas Gilingwesi mulai terang, namun bukan cahaya matahari yang menyelimuti bumi. Cahaya itu kelabu, seperti embun yang membeku di udara, memancarkan aura muram yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Di medan perang yang dulunya adalah padang rumput subur, kini hanya tersisa puing-puing istana yang hancur, reruntuhan altar suci, dan tanah yang hangus oleh sisa-sisa api biru Banaspati. Udara dipenuhi aroma besi berkarat, seolah darah bumi itu sendiri telah tumpah ke permukaan.Raka berdiri di garis depan, artefak perunggu di tangannya berdenyut-denyut seperti jantung hidup. Matanya tajam, namun sorotnya dipenuhi konflik—sebuah perpaduan antara ketakutan, kemarahan, dan tekad yang mendalam. Ia tidak pernah meminta ini—untuk menjadi penjaga takdir, untuk bertarung melawan kekuatan gaib yang bahkan ia sendiri sulit memahaminya. Namun, ketika pasukan gaib jahat muncul dari bayangan, membawa pedang hitam yang berkilauan seperti matahari mati, Raka tahu bahwa ia tidak punya pilihan

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 225

    Angin berhembus kencang di tepi sungai suci, membawa aroma mistis yang menguar dari air yang berkilauan seperti cahaya bintang. Di hadapan Raka dan Dyah Sulastri, portal waktu terbentang lebar, memancarkan cahaya keemasan yang berdenyut-denyut seperti jantung raksasa. Portal itu bukan sekadar pintu antara dua zaman; ia adalah cermin yang memantulkan takdir mereka—sebuah pilihan yang tidak bisa dihindari lagi.Raka menatap portal itu dengan mata berkaca-kaca. Ia masih menggenggam artefak perunggu yang menjadi kunci pembuka portal, logam tua itu dingin di tangannya meski tubuhnya dipenuhi panas emosi. Setiap denyut cahaya dari portal seolah menyuarakan pertanyaan yang sama: Apakah ini akhir? Apakah ini harga untuk menyelamatkan Gilingwesi?Dyah berdiri di sampingnya, wajahnya tenang namun matanya penuh tekad. "Kita sudah sampai di sini, Raka," katanya pelan, suaranya seperti angin yang menyentuh

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 224: Arya Kertajaya Mengucapkan Selamat Tinggal

    Angin malam berhembus pelan di tepi sungai suci, membawa aroma bunga kenanga yang kini mulai layu. Daun-daun pohon beringin raksasa bergoyang lemah, seakan enggan melepaskan bayangannya dari tanah yang telah lama menjadi saksi bisu perjalanan Arya Kertajaya. Ia berdiri di sana, mengenakan jubah perangnya yang kini ternoda oleh debu dan darah, namun tetap gagah seperti hari pertama ia memegang pedang untuk Gilingwesi. Di tangannya tergenggam keris pusaka keluarga, yang kini penuh karat—simbol dari beban yang selama ini ia pikul tanpa bisa dilepaskan.Raka dan Dyah Sulastri mendekat perlahan, langkah mereka serempak tapi penuh keberatan. Mata Raka tertuju pada keris itu, yang dulu bersinar dengan kekuatan besar, kini tampak rapuh seperti pemiliknya. Sedangkan Dyah menatap Arya dengan mata berkaca-kaca, seolah tahu bahwa ini adalah kali terakhir mereka bertemu."Kalian tidak perlu mengantarku," ujar Arya, suaranya rendah dan parau, namun tetap berwibawa. Ia tersenyum tipis, senyum yang l

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 223: Dyah Sulastri Menghadapi Takdirnya

    Senja di Istana Gilingwesi bagai napas terakhir dunia. Langit yang biasanya membara kemerahan kini terpulas ungu kelam, seolah langit menahan ratapan yang enggan tumpah. Di halaman utama, altar batu kuno berdiri megah namun muram, dikelilingi bunga kenanga layu yang menguarkan aroma anyir seperti besi berkarat. Patung naga bermata tiga di belakang altar menganga lebar, seakan siap menelan siapa pun yang mendekat. Kabut tipis menggantung di udara, menyatu dengan rambut putih Dyah Sulastri yang terurai liar seperti salju musim dingin. Kain jarik putihnya menyapu lantai, bordir naga emas di kain itu berkilauan samar seolah makhluk mitos itu hidup dan meronta dalam diam. Matanya yang biasanya tajam bagai mata elang kini redup seperti api lilin yang hampir padam, namun langkahnya tetap mantap—seolah takdir telah mengikat kakinya dengan rantai tak terlihat.Raka mengikutinya dari belakang, jantungnya berdebar tak karuan. Artefak perunggu di tang

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 222: RAKA MENGGUNAKAN ARTEFAK

    Di dalam gua yang sunyi, udara terasa dingin seperti napas makhluk gaib. Dinding-dindingnya basah oleh embun abadi, memantulkan cahaya kuning temaram dari obor-obor kecil yang tersebar di sudut-sudut ruangan. Di tengah gua, Raka berdiri tegak, dikelilingi oleh lingkaran batu besar yang penuh ukiran sulur naga bermata tiga. Mata naga itu seolah mengamati setiap gerakan Raka, menyimpan rahasia zaman purba yang tak pernah tersentuh oleh waktu.Artefak perunggu di tangannya bergetar pelan, seperti detak jantung yang tidak teratur. Cahaya keemasan mulai muncul dari artefak itu, melelehkan bayangan-bayangan di sekitarnya dan menyoroti lukisan-lukisan kuno di dinding gua. Lukisan itu awalnya tampak diam, lalu secara perlahan mulai bergerak, seperti dipengaruhi oleh denyut energi artefak. Sosok-sosok leluhur Gilingwesi terlihat bertarung melawan makhluk-makhluk gaib dengan mata merah menyala, tetapi warnanya kini semakin gelap, hingga wajah-wajah mereka

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 221: NAGA NISKALA MEMBERIKAN JAWABAN TERAKHIR

    Sungai Gilingwesi mengalir tenang di bawah cahaya bulan purnama, airnya berkilau seperti cairan perak yang dituangkan dari langit. Di tepian, pohon kelapa menjulang setinggi langit, daunnya yang panjang berdesir seperti jemari leluhur yang ingin menyentuh bumi. Raka dan Dyah Sulastri berjalan menyusuri tepi sungai, bayangan mereka terpantul di air yang jernih, seolah-olah dua jiwa yang terbelah dari dunia berbeda. Udara dipenuhi aroma bunga kenanga yang semerbak, bercampur dengan tanah basah yang menguapkan aroma mistis. Suara jangkrik bersahut-sahutan dengan burung hantu, menciptakan melodi malam yang menggigilkan tulang."Kau yakin ingin ke sini?" tanya Raka, suaranya parau, nyaris tenggelam oleh desir angin yang membawa bisikan tak terdengar.Dyah mengangguk, kain jarik biru tua yang ia kenakan menyapu permukaan air, meninggalkan riak seperti jejak takdir. "Naga Niskala memanggilmu. Aku bisa merasakannya... sejak kau menemukan cermin itu

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   BAB 220: RAKAI WISESA MENYERAHKAN TAHTA

    Ruang tahta Kerajaan Gilingwesi adalah ruang yang hidup. Dindingnya yang terbuat dari batu andesit tua diukir dengan relief naga berkepala tujuh, setiap sisiknya dilapisi emas yang redup oleh waktu. Di langit-langit, lukisan langit berbintang ditempati oleh dewa-dewi dengan mata terbuat dari batu obsidian yang seolah mengikuti gerakan setiap orang di bawahnya. Bau kemenyan menyengat, bercampur dengan aroma kayu cendana dari lampu minyak yang berkedip-kedip seperti kunang-kunang yang gelisah.Rakai Wisesa duduk di singgasana kayu jati yang diukir dengan motif bunga teratai, simbol kesucian dan kekuasaan. Jubahnya yang keemasan terurai seperti air sungai yang tenang, tetapi tangannya yang gemetar menggenggam tongkat kerajaan dengan erat. Di depannya, Dyah Sulastri berdiri dengan kain jarik biru tua yang menjuntai seperti air laut dalam, matanya yang berkaca-kaca menatap ayahnya dengan campuran kepasrahan dan pembe

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 219: Ki Jagabaya Melarikan Diri Lagi

    Malam yang pekat menyelimuti istana Gilingwesi. Di bawah tanah, di mana udara lembap dan bau lumut menyengat, Ki Jagabaya duduk dalam selnya yang sempit. Dinding batu yang berlumut dan jeruji besi berkarat menjadi saksi bisu penderitaannya. Ia menatap tajam pada bayangan yang bergerak-gerak di sudut sel, seolah mencari celah untuk melarikan diri. Tubuhnya yang tegap dan wajahnya yang penuh bekas luka menunjukkan bahwa ia bukan tahanan biasa. Matanya yang tajam seperti elang meneliti setiap inci lorong penjara, mencari kelemahan penjagaan. Sejak ditangkap karena pengkhianatannya, Ki Jagabaya tak pernah berhenti merencanakan pelarian. Ia tahu, keberadaannya di penjara hanyalah kesalahan fatal yang harus diperbaiki. "Mereka mengira rantai ini bisa menahanku?" gumamnya pelan, suaranya parau namun penuh keyakinan. Tangan kasarnya menggenggam erat jeruji besi, menguji kek

  • Perjalanan Waktu Sang Penjelajah Takdir   Bab 218: Arya Kertajaya Mengambil Keputusan Akhir

    Langit kelabu menggantung seperti kain berkabung yang basah oleh embun pagi, menyelimuti lapangan latihan kerajaan dengan kesan murung. Angin dingin berhembus pelan, menggoyang rumput liar yang tumbuh di antara bekas jejak kaki prajurit. Arya Kertajaya berdiri di sana, tubuhnya tegak seperti patung perunggu, namun jemarinya gemetar menggenggam Keris Pusaka Kyai Slamet . Pedang warisan itu terasa semakin berat, seolah menyerap seluruh beban penyesalan yang menggerogoti hatinya. Bayangan di tanah tiba-tiba bergerak sendiri, membentuk siluet Buto Ijo yang mengangkat kapak perunggu. Ini pertanda , pikirnya. Alam gaib tidak merestui keputusanku . Kilas balik menghantuinya: bocah delapan tahun yang berlari di halaman istana, tertawa riang bersama Dyah Sulastri kecil. "Arya, kau lambat!" serunya dulu. "Jika kau tertangkap Buto Ijo, aku ti

좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status