"Kenapa dia pulang tidak bilang-bilang? Apa aku pulang sekarang?" Danang melirik jam."Sudah jam setengah satu malam."
"Biarlah, sudah malam." Danang meletakkan ponselnya dan kemudian mengambil guling untuk dipeluknya. Ia mengabaikan pesan Dina, ia tidak ada niat membalas atau menghubungi Dina. Ternyata masih ada rasa kesal dalam hati Danang, karena Dina yang tidak mau meminta bagian tanah.
Pagi harinya, suara mesin mobil dan motor yang berlalu lalang mulai terdengar membuat Dina membuka matanya.
"Mas Danang tidak pulang juga," gumam Dina, begitu terbangun ia menyadari bahwa hanya ada dia dalam rumah. Kecewa dan sedih menyergapnya.
"Apa Mas Danang tidak membaca pesanku ?" Dina mengambil ponselnya dan melihat pesan yang dikirimnya pada Danang sudah centang dua yang menandakan pesannya sudah di baca Danang.
"Sudah di baca, tapi tidak dibalas
Dina terdiam sejenak, ia masih merasa sedih dan kecewa. Ia tidak percaya dengan alasan yang diberikan Danang."Kenapa Mas tidak menghubungi aku?" tanya Dina lagi."Aku sudah mengatakan bahwa aku lupa, Din ! Aku lupa ! Apa kau tidak percaya?" Kata Danang dengan nada suara yang sedikit keras."Mas berbohong," kata Dina."Aku tidak berbohong," jawab Danang lantang."Aku tidak percaya ! Mas berbohong, aku tahu," kata Dina."Din, percayalah, aku tidak berbohong," kata Danang dengan suara yang melembut."Mas berbohong," kata Dina."Din, aku..." Danang terdiam, ia merasa kesal dengan sikap Dina. Ia menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk menahan emosinya. "Aku tidak berbohong, Din. Aku memang lupa menghubungimu," kata Danang dengan nada yang sedikit meninggi."Pekerjaanku begitu banyak, Din. Kau tidak akan mengerti, kalau aku katakan pekerjaanku banyak. Karena kau hanya di rumah saja !"Dina terhenyak mendengar apa yang dikatakan oleh Danang."Mas menganggap aku tidak mengerti dunia kerj
Ia mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Ia mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubungi."Alma," gumam Dina, suaranya masih bergetar karena sisa tangis.Ia menjawab telepon itu. "Halo, Al," kata Dina dengan suara yang parau, mencoba untuk terdengar tenang."Din, kamu baik-baik saja kan?" tanya Alma dengan nada yang khawatir, suaranya terdengar cemas."Iya, Al. Kenapa?" jawab Dina,suaranya masih sedikit gemetar."Kenapa aku teriak-teriak di depan rumahmu, kau tidak keluar? Kau sudah balik dari kampung, kan?" tanya Alma."Kau sudah datang?" tanya Dina, suaranya terdengar terkejut."Iyaa! Aku di depan rumahmu seperti seorang penagih hutang ini, Din... ! Cepat keluar, nyonya," Kata Alma,suaranya terdengar sedikit bercanda.Alma menambahkan, "Din, cepat buka pintu!
Danang yang berada di kantin pada jam makan siang, mendapatkan ledekan temannya Yoga yang heran melihat pakaian yang dikenakan oleh Danang begitu lusuh."Tumben pakaianmu begitu lusuh, Dan? Sepertinya kau sudah seharusnya memiliki seorang istri, Dan, biar ada yang mengurus dirimu," kata Yoga. Ia mencoba bercanda, namun di balik candanya, ia merasa prihatin dengan keadaan Danang.Danang melihat pakaiannya, "Aku tidur di rumah mama, ini pakaian lamaku," kata Danang. Ia berusaha menjelaskan kondisi pakaian yang dikenakannya."Menikah Dan, biar ada yang membelikan baju untukmu," kata Yoga. Ia masih menganggap Danang masih lajang dan memberikan saran agar Danang segera menikah."Loh...! Bukannya kamu sudah menikah, Dan?" Toni yang datang, heran dengan apa yang dikatakan oleh Yoga. Ia merasa curiga dengan perkataan Yoga."Sudah menikah?" Yoga juga terkejut dengan apa yang d
Deni yang sangat penasaran dengan orang yang mengirimkan gambar Danang dengan seorang wanita pada ayahnya, merasa curiga dengan orang yang mengirim gambar itu."Siapa yang mengirim gambar itu pada ayah? Orang itu pasti mengenal ayah," kata Deni seraya melihat gambar Danang yang tersimpan di ponsel ayahnya. Matanya mengerjap, berusaha menangkap detail wajah wanita di samping Danang. Ia mencoba mengingat detail wanita tersebut. Siapa gerangan wanita itu?Deni kemudian mencoba menebak-nebak siapa yang mengirim gambar itu. Ia mengingat orang-orang yang dekat dengan ayahnya. Ingatannya berputar, mencoba mengingat wajah-wajah yang sering terlihat di rumah. "Apakah itu tetangga? Atau teman ayah? Atau mungkin...?" Deni bingung."Orang yang mengirim ini pasti sering ke kota? Tapi siapa?" Deni berpikir dengan keras untuk menemukan orang yang telah mengirim gambar Danang, suami kakaknya tersebut kepada ayahnya. Kepalanya mendongak, matanya menatap langit-langit, seolah mencari jawaban di sana."
"Aku harus mencari cara untuk menyelidiki gambar itu. Jika benar Mas Danang berselingkuh, aku tidak akan membiarkan kakakku di sakiti !" Kata Deni dengan suara tegas."Aku juga harus menyelidiki siapa sih pengirim gambar tersebut? Nomornya tidak aktif lagi, siapa orang ini ? pasti orang jahat. Apakah warga desa sini? Pasti warga desa ini, karena dia tahu nomor ponsel ayah. Tapi siapa ?" gumam Deni. Ia mencoba mencari petunjuk tentang siapa yang mengirim gambar itu. Keningnya berkerut, menunjukkan keseriusannya dalam memecahkan misteri gambar yang diterima oleh ayahnya.Deni mencoba mengingat orang-orang yang dekat dengan ayahnya. Ia mencoba mengingat orang-orang yang memiliki niat jahat dengan keluarganya."Siapa ? Ayah tidak ada musuh .""Nomor siapa ini ?" Deni menatap tajam nomor orang yang telah mengirim gambar Danang."Apa Johnny tahu ? Aku coba tanya saja."
Danang membawa Sinta untuk makan malam di tempat yang sangat romantis. Yaitu berada Rooftop hotel."Terimakasih telah membawaku ke sini, mas," kata Sinta.Danang menatap Sinta dengan tatapan mata lembut. "Aku senang kau suka.""Siapa yang tidak senang di bawa ketempat yang begitu indah ini. Hanya wanita bodo yang tidak menyukainya, mas. Dan aku bukan wanita itu," kata Sinta dengan bibir tersenyum manis menatap Danang."Dina tidak menyukainya, karena menghamburkan uang katanya," kata Danang dalam hati. Ia ingat saat membawa Dina makan malam romantis, saat mereka masih berpacaran dan Dina tidak menyukai apa yang dilakukan oleh Danang. Dina selalu berkata, uangnya bisa di 'tabung' daripada dipergunakan untuk hal-hal yang tidak perlu sekali."Mas...! Ihh...koq melamun," kata Sinta yang melihat Danang termenung melihat lilin yang ada di meja mereka. Sinta merasa penasaran
Di tengah hingar bingar kota yang tak henti-hentinya, Dina duduk sendirian di ruang tamu rumahnya. Matanya menerawang, pikirannya melayang ke tempat yang jauh, memperhatikan setiap detik yang berlalu. Ia menunggu kepulangan Danang. Hari ini ia berencana untuk menanyakan perihal wanita yang dilihatnya dan yang dilihat oleh Alma."Aku harus menanyakan, siapa wanita itu?" gumam Dina. Ia merasa terbebani dengan rasa penasaran yang membuncah."Sudah jam sebelas malam, apa dia tidak pulang?"Dina bangkit dan berjalan menuju jendela, ia menyibakkan tirai jendela untuk melihat keluar dan baru menyadari, ternyata hujan gerimis sedang membasahi tanah."Hujan," gumam Dina.Dina kemudian meninggalkan jendela dan mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Danang. Namun, ponsel Danang tidak aktif."Kemana lagi dia?" gumam Dina. Ia merasa
"Sayang, ahhh... Sayang !" Seru Danang yang menikmati apa yang dilakukan oleh Sinta, begitu juga Sinta yang menikmati apa yang dilakukan oleh Danang pada tubuhnya.Danang mengangkat kepalanya dan melihat Sinta yang bergerak seperti cacing kepanasan, membuat Danang senang. Lalu ia menurunkan pandangannya pada bawah Sinta dan kemudian menggesek bibirnya pada segitiga milik Sinta yang masih terlindungi."Mas ! Mas !!" Seru Sinta seraya menekan kepala Danang ke area sensitifnya.Ketika tangan Danang ingin menurunkan celana pendek Sinta, tiba-tiba suara menggelegar disertai kilatan cahaya membuat keduanya tersentak dan Sinta berteriak keras."Aaargh !!" Pekik Sinta ketakutan. Dan membuat apa yang sedang mereka lakukan terhenti tiba-tiba.Danang berdiri dan membawa Sinta dalam pelukan, karena merasakan rumah bergetar hebat karena sambaran petir."Apa itu mas ? Apa
Emosinya semakin memuncak. Dalam hati, Danang menyalahkan Dina atas keterlambatannya, meskipun ia tahu bahwa sebenarnya dirinya yang terlambat bangun. Namun, rasa frustrasi tidak memberinya ruang untuk berpikir jernih."Aku harus cepat! Aku tidak boleh terlambat. Ah... ada rapat pagi ini!" pikir Danang tiba-tiba, ingatannya muncul seperti kilatan yang semakin memperparah kekhawatirannya. Ia menambah kecepatan motornya, berharap waktu berpihak kepadanya."Dina, kau benar-benar membuatku kesal!" gumam Danang, suaranya menggeram penuh emosi. Meski jauh di lubuk hati, ia tahu bahwa kesalahannya sendiri yang membuatnya terlambat, bukan sepenuhnya salah Dina.Gas motor ditarik semakin kuat, Danang melaju dengan kecepatan tinggi, membelah keramaian jalan kota yang sibuk. Suara klakson kendaraan lain menyatu dengan deru mesin motornya, namun Danang tak peduli. Fokusnya hanya satu—mencapai kantor secepat mungk
Danang terbangun dengan terkejut saat sinar mentari yang terang langsung menerpa wajahnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba menyesuaikan pandangan yang masih buram. Pandangannya segera tertuju ke jam dinding, dan matanya melebar saat melihat angkanya."Sudah siang!" serunya dengan nada panik, hampir melompat dari tempat tidur. "Jam setengah delapan!"Ia bangkit dengan tergesa-gesa, satu tangannya menyisir rambut yang acak-acakan, dan wajahnya terlihat tegang. Sambil menghela napas frustrasi, ia berseru dengan nada sedikit meninggi, "Dina! Kenapa aku tidak dibangunkan?"Di dapur, Dina mendengar suara teriakan Danang. Ia menghentikan sejenak gerakannya yang sedang mengaduk secangkir kopi. Dengan ekspresi datar, ia mengedikkan bahunya santai, seolah tak peduli. "Emang aku pengasuh," gumamnya pelan, bibirnya menyunggingkan senyum kecil yang tampak sinis. Tanpa mengubah langkahnya, ia kembali melanjutkan kegi
Dina tidak bisa menerima apa yang dilakukan oleh Danang. Tubuh dan pikirannya menolak sentuhan Danang. Pikirannya menyuruh Dina untuk mendorong tubuh Danang menjauhinya. Pelukan dan ciumannya, yang biasanya menjadi sumber ketenangan, sekarang terasa seperti sangkar, menjebaknya dalam labirin perasaan yang tak terucapkan.Kehadiran Danang, yang dulunya menjadi sumber kenyamanan, sekarang terasa seperti pengingat konstan tentang kebencian yang tak terucapkan. Dia adalah teka-teki yang tidak bisa dia pecahkan, melodi yang tidak bisa dia uraikan. Dan seiring berjalannya malam, Dina tahu bahwa satu-satunya cara untuk melarikan diri dari siksaan ini adalah dengan menghadapi kebenaran, menghadapi emosi yang menawannya, dan menemukan keberanian untuk mengucapkan kata-kata yang terjebak di hatinya. Tapi, Dina tidak ingin melakukannya, di saat dia begitu letih dengan apa yang dialaminya hari ini.Tubuh Dina tiba-tiba meronta, "Lepas!!" serunya dengan
Dina masuk ke dalam kamar dan melihat jam sudah menunjukkan pukul 11 malam."Belum pulang juga," gumamnya. Dina kemudian merebahkan tubuhnya dan menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuhnya. Matanya terpejam, tubuhnya lelah, dan pikirannya kosong. Ia tertidur tanpa menunggu kepulangan Danang, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Sekarang, ia tidak ingin melakukan itu lagi. Hatinya sudah penuh terisi dengan kekecewaan, tidak ada lagi nama sang suami di dalam pikirannya.Sejak pagi, Dina disibukkan dengan berbagai aktivitas. Ia berlari dari satu tempat ke tempat lain, berusaha menyelesaikan semua apa yang menjadi target masa depannya. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk masa depannya. Dia ingin meraih kesuksesan setelah perpisahannya dengan Danang terjadi. Namun, di balik semua itu, ada rasa lelah yang tak tertahankan.Suara orang membuka pintu pagar. Dan suara motor juga tidak berhasi
Deni sedang asyik belajar dalam kamarnya. Buku-buku terbuka di mejanya, pena bergerak cepat menorehkan huruf di atas kertas. Cahaya lampu meja menyinari wajahnya yang kusut karena lelah."Den, jangan tidur terlalu larut, ya," ujar bundanya dengan suara lembut, penuh perhatian. Ia masuk ke kamar Deni dengan langkah tenang, membawa segelas susu hangat di tangannya. Ia meletakkan susu itu dengan hati-hati di atas meja belajar Deni."Minumlah, selagi hangat," lanjut bundanya, senyum hangat menghiasi wajahnya."Terima kasih, Bun," sahut Deni dengan senyum lebar. Ia mengambil gelas itu, meneguk susu hangat tersebut dengan lahap. Rasanya begitu nikmat, menghangatkan tubuhnya dan membuat perutnya terasa nyaman."Sudah malam, Den. Istirahatlah sebentar," kata bundanya sambil mengusap rambut Deni dengan lembut, penuh kasih sayang. "Besok kamu harus bangun pagi untuk sekolah.""Iya, Bun," j
"Sudah lama menunggu, Mas? Maaf ya, tadi boss masih sibuk kerja, jadi aku nggak bisa pulang lebih cepat," kata Sinta, suaranya lembut, penuh rasa penyesalan. Nada bicaranya yang tenang membuat hati Danang sedikit terasa nyaman.Danang tidak langsung menanggapi ucapan Sinta. Matanya tertuju pada rambut Sinta yang terlihat sedikit basah, menarik perhatiannya. Ia mengerutkan dahi, seolah mencoba mencari alasan di baliknya.Sinta menyadari tatapan Danang yang begitu lekat mengamatinya. "Ada apa, Mas?" tanyanya, penasaran dengan sorot mata Danang."Rambutmu basah? Kenapa?" tanya Danang akhirnya dengan nada ingin tahu, matanya tertuju pada rambut Sinta yang tampak lembap, sementara alisnya sedikit berkerut."Ah, tadi kehujanan sedikit pas keluar kantor. Ada urusan mendadak, dan aku lupa bawa payung," jawab Sinta sambil tersenyum tipis. Tangannya bergerak mengipas-ngipaskan rambutnya, mencoba
Begitu Dina tiba di rumah, Dina langsung membersihkan tubuhnya. Dina berdiri depan cermin dan menatap pantulan tubuhnya dalam cermin, "Pegal sekali," kata Dina sambil memijat pinggangnya yang terasa pegal. Lalu dia kemudian melihat ke arah jam dinding. "Sudah jam 5 sore, aku belum masak. Ahh... untuk apa masak, masak juga tidak ada yang makan," kata Dina."Beli makanan siap saja. Untuk apa capek-capek masak, tidak ada yang makan. Mulai hari ini, jangan pikirkan orang lain. Aku harus memikirkan diri sendiri. Untuk apa memikirkan orang, jika kita tidak dihargai."Lalu Dina mengambil ponselnya dan mencari makanan yang ingin dipesannya. Setelah mendapatkan apa yang ingin dimakannya untuk makan malam, Dina memesan dan kemudian meletakkan ponselnya.Tiba-tiba, Dina terpikir untuk mulai mengumpulkan syarat-syarat untuk mengajukan perceraian. "Aku harus mengumpulkan berkas-berkas untuk mengajukan perceraian. Aku harus mencari buku nikah, sebelum Mas Danang pulang."Dina kemudian melangkah men
Dina sibuk merencanakan masa depan setelah perpisahan dengan Danang terjadi, sementara di sisi lain, Danang tenggelam dalam pikirannya yang dipenuhi kegelisahan akibat permintaan cerai dari Dina. Ia terus mencari cara agar bisa membujuk Dina untuk membatalkan niatnya berpisah."Dina harus segera hamil secepatnya," gumam Danang dengan wajah penuh tekad, sambil melamun di ruang kerjanya, memutar otak untuk mencari solusi.Bagaimana bisa hamil, belakangan ini dia tidak mau aku sentuh. Hemmm... Apa aku beri dia obat, agar mau ku sentuh." Danang tersenyum memikirkan idenya yang cemerlang menurutnya."Tok tok " bunyi pintu ruang kerja Danang diketuk, diikuti dengan suara pintu yang terbuka perlahan sebelum Danang sempat memberikan izin. Danang mendongak dari meja kerjanya dengan wajah sedikit terganggu."Dan, sudah daftar untuk ikut family gathering?" tanya Yoga sambil melangkah
"Bagaimana kalau kita kembali untuk nego harga sewa?" kata Alma."Ya, baiklah. Aku mau coba nego lagi," kata Dina. Ia berharap bisa mendapatkan harga sewa yang lebih rendah."Kita coba aja, Din," kata Alma. "Yang penting kita berusaha dan tidak menyerah."Keduanya kemudian kembali ke toko milik Bu Linda. Dina mencoba mengumpulkan semua keberaniannya untuk bernegosiasi dengan Bu Linda.Tiba di ruko, Bu Linda masih berada di rukonya tersebut dan tersenyum ramah melihat kedatangan Alma dan Dina."Permisi, Bu," kata Dina. "Kami ingin menanyakan tentang harga sewa toko lagi. Apakah bisa dikurangi?""Ya, Bu. Kami mencoba menghitung biaya yang dibutuhkan. Dan ternyata harga sewanya sedikit tinggi untuk kami. Apakah bisa dikurangi sedikit?" tanya Dina."Hmm, kalau ambil setahun bisa saya berikan diskon 10%. Tapi kalau hanya sebulan, maaf ya, saya