Ia mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Ia mengambil ponselnya dan melihat siapa yang menghubungi.
"Alma," gumam Dina, suaranya masih bergetar karena sisa tangis.
Ia menjawab telepon itu. "Halo, Al," kata Dina dengan suara yang parau, mencoba untuk terdengar tenang.
"Din, kamu baik-baik saja kan?" tanya Alma dengan nada yang khawatir, suaranya terdengar cemas.
"Iya, Al. Kenapa?" jawab Dina, suaranya masih sedikit gemetar.
"Kenapa aku teriak-teriak di depan rumahmu, kau tidak keluar? Kau sudah balik dari kampung, kan?" tanya Alma.
"Kau sudah datang?" tanya Dina, suaranya terdengar terkejut.
"Iyaa! Aku di depan rumahmu seperti seorang penagih hutang ini, Din... ! Cepat keluar, nyonya," Kata Alma, suaranya terdengar sedikit bercanda.
Alma menambahkan, "Din, cepat buka pintu!
Danang yang berada di kantin pada jam makan siang, mendapatkan ledekan temannya Yoga yang heran melihat pakaian yang dikenakan oleh Danang begitu lusuh."Tumben pakaianmu begitu lusuh, Dan? Sepertinya kau sudah seharusnya memiliki seorang istri, Dan, biar ada yang mengurus dirimu," kata Yoga. Ia mencoba bercanda, namun di balik candanya, ia merasa prihatin dengan keadaan Danang.Danang melihat pakaiannya, "Aku tidur di rumah mama, ini pakaian lamaku," kata Danang. Ia berusaha menjelaskan kondisi pakaian yang dikenakannya."Menikah Dan, biar ada yang membelikan baju untukmu," kata Yoga. Ia masih menganggap Danang masih lajang dan memberikan saran agar Danang segera menikah."Loh...! Bukannya kamu sudah menikah, Dan?" Toni yang datang, heran dengan apa yang dikatakan oleh Yoga. Ia merasa curiga dengan perkataan Yoga."Sudah menikah?" Yoga juga terkejut dengan apa yang d
Deni yang sangat penasaran dengan orang yang mengirimkan gambar Danang dengan seorang wanita pada ayahnya, merasa curiga dengan orang yang mengirim gambar itu."Siapa yang mengirim gambar itu pada ayah? Orang itu pasti mengenal ayah," kata Deni seraya melihat gambar Danang yang tersimpan di ponsel ayahnya. Matanya mengerjap, berusaha menangkap detail wajah wanita di samping Danang. Ia mencoba mengingat detail wanita tersebut. Siapa gerangan wanita itu?Deni kemudian mencoba menebak-nebak siapa yang mengirim gambar itu. Ia mengingat orang-orang yang dekat dengan ayahnya. Ingatannya berputar, mencoba mengingat wajah-wajah yang sering terlihat di rumah. "Apakah itu tetangga? Atau teman ayah? Atau mungkin...?" Deni bingung."Orang yang mengirim ini pasti sering ke kota? Tapi siapa?" Deni berpikir dengan keras untuk menemukan orang yang telah mengirim gambar Danang, suami kakaknya tersebut kepada ayahnya. Kepalanya mendongak, matanya menatap langit-langit, seolah mencari jawaban di sana."
"Aku harus mencari cara untuk menyelidiki gambar itu. Jika benar Mas Danang berselingkuh, aku tidak akan membiarkan kakakku di sakiti !" Kata Deni dengan suara tegas."Aku juga harus menyelidiki siapa sih pengirim gambar tersebut? Nomornya tidak aktif lagi, siapa orang ini ? pasti orang jahat. Apakah warga desa sini? Pasti warga desa ini, karena dia tahu nomor ponsel ayah. Tapi siapa ?" gumam Deni. Ia mencoba mencari petunjuk tentang siapa yang mengirim gambar itu. Keningnya berkerut, menunjukkan keseriusannya dalam memecahkan misteri gambar yang diterima oleh ayahnya.Deni mencoba mengingat orang-orang yang dekat dengan ayahnya. Ia mencoba mengingat orang-orang yang memiliki niat jahat dengan keluarganya."Siapa ? Ayah tidak ada musuh .""Nomor siapa ini ?" Deni menatap tajam nomor orang yang telah mengirim gambar Danang."Apa Johnny tahu ? Aku coba tanya saja."
Danang membawa Sinta untuk makan malam di tempat yang sangat romantis. Yaitu berada Rooftop hotel."Terimakasih telah membawaku ke sini, mas," kata Sinta.Danang menatap Sinta dengan tatapan mata lembut. "Aku senang kau suka.""Siapa yang tidak senang di bawa ketempat yang begitu indah ini. Hanya wanita bodo yang tidak menyukainya, mas. Dan aku bukan wanita itu," kata Sinta dengan bibir tersenyum manis menatap Danang."Dina tidak menyukainya, karena menghamburkan uang katanya," kata Danang dalam hati. Ia ingat saat membawa Dina makan malam romantis, saat mereka masih berpacaran dan Dina tidak menyukai apa yang dilakukan oleh Danang. Dina selalu berkata, uangnya bisa di 'tabung' daripada dipergunakan untuk hal-hal yang tidak perlu sekali."Mas...! Ihh...koq melamun," kata Sinta yang melihat Danang termenung melihat lilin yang ada di meja mereka. Sinta merasa penasaran
Di tengah hingar bingar kota yang tak henti-hentinya, Dina duduk sendirian di ruang tamu rumahnya. Matanya menerawang, pikirannya melayang ke tempat yang jauh, memperhatikan setiap detik yang berlalu. Ia menunggu kepulangan Danang. Hari ini ia berencana untuk menanyakan perihal wanita yang dilihatnya dan yang dilihat oleh Alma."Aku harus menanyakan, siapa wanita itu?" gumam Dina. Ia merasa terbebani dengan rasa penasaran yang membuncah."Sudah jam sebelas malam, apa dia tidak pulang?"Dina bangkit dan berjalan menuju jendela, ia menyibakkan tirai jendela untuk melihat keluar dan baru menyadari, ternyata hujan gerimis sedang membasahi tanah."Hujan," gumam Dina.Dina kemudian meninggalkan jendela dan mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Danang. Namun, ponsel Danang tidak aktif."Kemana lagi dia?" gumam Dina. Ia merasa
"Sayang, ahhh... Sayang !" Seru Danang yang menikmati apa yang dilakukan oleh Sinta, begitu juga Sinta yang menikmati apa yang dilakukan oleh Danang pada tubuhnya.Danang mengangkat kepalanya dan melihat Sinta yang bergerak seperti cacing kepanasan, membuat Danang senang. Lalu ia menurunkan pandangannya pada bawah Sinta dan kemudian menggesek bibirnya pada segitiga milik Sinta yang masih terlindungi."Mas ! Mas !!" Seru Sinta seraya menekan kepala Danang ke area sensitifnya.Ketika tangan Danang ingin menurunkan celana pendek Sinta, tiba-tiba suara menggelegar disertai kilatan cahaya membuat keduanya tersentak dan Sinta berteriak keras."Aaargh !!" Pekik Sinta ketakutan. Dan membuat apa yang sedang mereka lakukan terhenti tiba-tiba.Danang berdiri dan membawa Sinta dalam pelukan, karena merasakan rumah bergetar hebat karena sambaran petir."Apa itu mas ? Apa
"Jangan nuduh sembarang, Din. Aku itu kerja ! Bukan main-main!" Kata Danang keras, raut wajahnya terlihat kesal. Ia mencoba menyangkal pertanyaan Dina."Sudahlah, mas. Jangan berkilah lagi," kata Dina. Ia merasa sangat kecewa dengan perbuatan Danang."Aku berkata yang sebenarnya. Aku tidak berbohong!" Kata Danang."Kau bohong mas, kau bohong, aku tahu kau bohong. Katakan siapa wanita yang bersamamu di bioskop? Dua minggu yang lalu aku melihatmu mas, aku melihatmu," tiba-tiba Dina berkata dengan keras. Danang terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Dina. Dia tidak menyangka Dina melihatnya saat menonton bersama Sinta."Kau... kau? Apa yang kau katakan?" ucap Danang dengan suara yang gugup karena dia tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulut Dina."Kenapa mas ? kau gugup? Kau kira aku perempuan rumahan yang tidak tahu semua kelakuanmu di luar sana? Katakan m
Apa?" Danang terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Dina. Dia tidak menyangka Dina mengatakan itu semua."Tidak, tidak," kata Danang."Kenapa tidak mas? Aku membebaskanmu mas, aku membebaskanmu untuk mencari kebahagiaanmu sendiri. Carilah wanita yang mas anggap pantes untuk menjadi istri dan ibu dari anak-anakmu," kata Dina dengan tenang.Danang terdiam. Ia merasa sangat terkejut dengan ucapan Dina. Ia tidak menyangka Dina akan mengajukan permintaan untuk berpisah. Ia merasa sangat menyesal atas semua kebohongan yang telah ia lakukan."Dina, aku mohon, jangan seperti ini," kata Danang. Ia mencoba meraih tangan Dina, namun Dina menarik tangannya."Aku sudah tidak sanggup lagi, mas. Kau terlalu banyak menuntutku untuk selalu sempurna," kata Dina dengan suara yang lembut, namun penuh kesedihan.Dina kemudian melanjutkan mengeluarkan apa yang selamanya ini te
°°Deni dan Johnny masih memantau dari kejauhan, bersembunyi di balik pohon besar yang tumbuh di sisi jalan. Motor mereka diparkir agak jauh, agar suara mesin tidak menarik perhatian. Mata Deni terus memperhatikan rumah di depannya, sementara Johnny duduk di tanah dengan pandangan resah."Deni, apa kita harus terus begini? Dari tadi Mas Danang nggak ngapa-ngapain," bisik Johnny sambil mengusap tengkuknya, mencoba menghilangkan rasa tidak nyaman.Deni tidak menjawab. Tatapannya tetap fokus pada Danang yang terlihat duduk di teras rumah Sinta, tubuhnya tegak tetapi ekspresinya jelas menunjukkan ada beban yang berat.Johnny akhirnya berdiri dan mendekatkan tubuhnya ke arah Deni. "Den, dia cuma duduk. Kelihatannya kayak orang lagi mikir berat. Apa yang sebenarnya kamu cari?"Deni menoleh seben
"Waalaikumsalam," sahut Dina ramah sambil tersenyum, melangkah mendekati seorang ibu yang berdiri di depan tokonya bersama anak kecil yang menggandeng tangannya. Wajah Dina memancarkan keramahan yang langsung membuat ibu itu merasa nyaman. "Mbak, mau jahit baju anak-anak, bisa?" tanya ibu itu dengan nada sopan, sesekali melirik ke arah anaknya yang tampak sedikit malu-malu. "Bisa, Bu. Untuk adek ini, ya?" tanya Dina dengan nada lembut sambil menunduk sedikit agar sejajar dengan mata anak itu. Ia tersenyum hangat, mencoba membuat si anak merasa lebih tenang. "Iya, Mbak," jawab ibu tersebut sambil mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Masuk, Bu," ajak Dina sambil membuka pintu tokonya lebih lebar. Tangannya mengisyaratkan agar ibu dan anak itu melangkah masuk. "Mari, silakan duduk, Bu." Setelah mereka masuk, Dina mengambil sebuah kursi dan memberikannya kepada sang ibu, lalu menuntun anak itu untuk duduk di sampingnya. "Adek, sini duduk dulu, ya," ujarnya sambil menunjuk kur
Motor Danang melaju dengan cepat, menerobos jalanan yang masih sedikit sibuk. Bunyi klakson terdengar samar di telinganya, tetapi pikirannya terlalu penuh untuk memperhatikan apa pun selain gejolak di dalam dirinya. Tangannya mencengkeram stang motor lebih erat, seolah-olah itu bisa membantu menahan emosi yang terus mendidih di dadanya."Dina nggak mau bicara. Aku nggak ngerti apa yang salah. Dia hanya diam, pura-pura nggak peduli..." pikirnya dengan kesal, bibirnya terkatup rapat.Ia menatap jalan di depannya dengan pandangan kosong, tetapi hatinya terasa begitu sesak. "Aku mencoba bicara, mencoba memperbaiki semuanya, tapi dia hanya membisu. Seolah-olah aku ini nggak berarti lagi buat dia..."Danang menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran itu, tetapi hal itu malah semakin memperburuk suasana hatinya."Dan Sinta... dia menghilang begitu saja. Aku ng
Suasana di meja makan terasa begitu hidup, penuh dengan percakapan ringan dan tawa kecil. Dina dan Danang tampak seperti pasangan sempurna, menghadirkan kesan bahwa semuanya berjalan baik-baik saja. Namun, di balik senyum dan kata-kata mereka, Deni dapat merasakan sesuatu yang berbeda. Ada keheningan tak terlihat di antara mereka, sebuah ketegangan yang tersembunyi di balik gerak tubuh dan nada suara.Deni melirik kakaknya sesekali, mencoba menangkap petunjuk dari cara mereka bicara atau saling memandang, tetapi semuanya terlihat terlalu rapi, terlalu terkendali. Johnny di sampingnya sibuk menghabiskan makanannya tanpa memperhatikan apa pun yang terjadi.Setelah beberapa saat, Danang akhirnya membuka suara, mencoba memecah keheningan yang terasa tak nyaman baginya. "Hari ini kalian mau kemana?" tanyanya sambil menatap Deni.Deni meletakkan sendoknya sejenak,
Di dalam kamar, Deni duduk di kursi dengan mata yang terpaku pada layar ponselnya. Jemarinya sesekali bergerak, tetapi tidak untuk mengetik—hanya untuk menggulir layar, memperhatikan gambar yang terpampang di sana. Foto Danang bersama seorang wanita membuat pikirannya berputar liar, jauh lebih cepat daripada kemampuan tangannya untuk mengambil keputusan.Di ranjang sebelahnya, Johnny sudah terlelap, dengkurannya terdengar pelan, menandakan betapa nyamannya ia tertidur. Tidak seperti Deni, yang justru semakin sulit memejamkan mata."Sepertinya, pernikahan Kak Dina tidak baik-baik saja." Suara hati Deni.Deni menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia tidak pernah ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga kakaknya, tetapi situasi sekarang tidak bisa diabaikan begitu saja.Deni kembali menatap layar ponselnya, matanya tak bisa lepas dar
Orang tersebut tertawa kecil, lalu melangkah mendekat. Begitu wajahnya terlihat jelas di bawah cahaya lampu, Danang langsung terperanjat."Deni! Kapan kau datang?" seru Danang, matanya melebar karena terkejut melihat keberadaan adik iparnya tersebut di rumahnya."Pagi tadi," jawab Deni santai, seolah tidak melihat kegelisahan Danang.Danang masih mencoba mencerna situasi. "Kenapa Dina nggak bilang apa-apa? Bukannya biasanya dia selalu memberitahu kalau Deni datang." Dalam pikiran Danang."Dina tahu kau mau datang?" tanyanya dengan nada heran."Tahu," sahut Deni tanpa ragu.Danang mengerutkan kening. "Tahu? Kenapa dia tidak bilang padaku?"Deni hanya mengangkat bahu ringan. "Ternyata kak Dina tidak memberitahukan kedatanganku kepada Mas Danang. Pasti ada sesuatu yang membuat kak D
"Kita tidak menunggu Mas Danang, Kak?" tanya Deni dengan nada ragu, matanya melirik ke arah meja makan yang masih tertata rapi.Dina menghela napas ringan sambil merapikan piring di hadapannya. "Mas Danang pulangnya tidak bisa dipastikan jam berapa, Den. Kita nggak bisa terus menunggu tanpa tahu pasti. Panggil Johnny, biar kita makan duluan," katanya dengan nada tenang, tetapi ada sedikit kebimbangan tersirat dalam suaranya.Deni masih belum bergerak, seakan ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. "Kakak baik-baik saja dengan Mas Danang, Kak?" tanyanya pelan, seolah mencoba membaca ekspresi sang kakak.Dina menoleh, matanya menatap Deni dengan lembut. "Baik, Deni," jawabnya, kali ini dengan senyum yang sedikit lebih lebar, mencoba meyakinkan adiknya."Betul?" Deni masih belum sepenuhnya yakin, alisnya sedikit mengernyit
Danang menghela napas kasar, matanya terus mengamati setiap orang yang keluar dari gedung kantor. Namun, tidak ada tanda-tanda Sinta.Ia merogoh ponselnya lagi, ibu jarinya bergerak cepat menekan nomor yang sudah berulang kali ia coba hubungi sejak tadi. Lagi-lagi, tidak ada jawaban.“Sial!” gumamnya, menekan tombol panggil sekali lagi. Matanya bergerak gelisah, berharap kali ini Sinta menjawab. Tapi harapan itu tetap kosong.Danang menutup ponselnya dengan gerakan kasar, lalu menghisap rokoknya dalam-dalam. Kepulan asap keluar dari bibirnya, tetapi tidak mampu meredakan kekacauan yang berkecamuk di kepalanya."Kenapa dia nggak angkat?" pikirnya dengan frustrasi.Ia melirik pintu utama gedung, memperhatikan setiap orang yang keluar, mencoba menangkap sosok yang ia cari. Tapi tetap tidak ada.
"Ayo, Johnny, Deni, makan," kata Dina sambil meletakkan dua bungkus nasi lemak di atas karpet untuk tempat mereka duduk, karena Dina belum membeli meja untuk tempat makan..Deni dan Johnny langsung duduk, aroma nasi lemak yang hangat menggoda selera mereka. Dina tersenyum melihat antusiasme keduanya."Kalian pasti sudah lapar, kan?" tanyanya sambil membuka plastik pembungkus. "Jam berapa tadi kalian berangkat dari sana?""Jam enam, Kak, bus trip pertama," sahut Johnny sambil mengusap perutnya. "Lama banget di jalan, aku udah hampir pingsan kelaparan."Deni terkekeh, membuka bungkus nasi lemaknya dengan cepat. "Enak nih," katanya setelah melihat isiannya yang lengkap—nasi wangi, sambal pedas, irisan telur, dan ikan bilis renyah.Dina tersenyum kecil. "Di dekat sini cuma ada ini. Kalau ke pasar, ada p