Di tengah hingar bingar kota yang tak henti-hentinya, Dina duduk sendirian di ruang tamu rumahnya. Matanya menerawang, pikirannya melayang ke tempat yang jauh, memperhatikan setiap detik yang berlalu. Ia menunggu kepulangan Danang. Hari ini ia berencana untuk menanyakan perihal wanita yang dilihatnya dan yang dilihat oleh Alma.
"Aku harus menanyakan, siapa wanita itu?" gumam Dina. Ia merasa terbebani dengan rasa penasaran yang membuncah.
"Sudah jam sebelas malam, apa dia tidak pulang?"
Dina bangkit dan berjalan menuju jendela, ia menyibakkan tirai jendela untuk melihat keluar dan baru menyadari, ternyata hujan gerimis sedang membasahi tanah.
"Hujan," gumam Dina.
Dina kemudian meninggalkan jendela dan mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Danang. Namun, ponsel Danang tidak aktif.
"Kemana lagi dia?" gumam Dina. Ia merasa
"Sayang, ahhh... Sayang !" Seru Danang yang menikmati apa yang dilakukan oleh Sinta, begitu juga Sinta yang menikmati apa yang dilakukan oleh Danang pada tubuhnya.Danang mengangkat kepalanya dan melihat Sinta yang bergerak seperti cacing kepanasan, membuat Danang senang. Lalu ia menurunkan pandangannya pada bawah Sinta dan kemudian menggesek bibirnya pada segitiga milik Sinta yang masih terlindungi."Mas ! Mas !!" Seru Sinta seraya menekan kepala Danang ke area sensitifnya.Ketika tangan Danang ingin menurunkan celana pendek Sinta, tiba-tiba suara menggelegar disertai kilatan cahaya membuat keduanya tersentak dan Sinta berteriak keras."Aaargh !!" Pekik Sinta ketakutan. Dan membuat apa yang sedang mereka lakukan terhenti tiba-tiba.Danang berdiri dan membawa Sinta dalam pelukan, karena merasakan rumah bergetar hebat karena sambaran petir."Apa itu mas ? Apa
"Jangan nuduh sembarang, Din. Aku itu kerja ! Bukan main-main!" Kata Danang keras, raut wajahnya terlihat kesal. Ia mencoba menyangkal pertanyaan Dina."Sudahlah, mas. Jangan berkilah lagi," kata Dina. Ia merasa sangat kecewa dengan perbuatan Danang."Aku berkata yang sebenarnya. Aku tidak berbohong!" Kata Danang."Kau bohong mas, kau bohong, aku tahu kau bohong. Katakan siapa wanita yang bersamamu di bioskop? Dua minggu yang lalu aku melihatmu mas, aku melihatmu," tiba-tiba Dina berkata dengan keras. Danang terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Dina. Dia tidak menyangka Dina melihatnya saat menonton bersama Sinta."Kau... kau? Apa yang kau katakan?" ucap Danang dengan suara yang gugup karena dia tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulut Dina."Kenapa mas ? kau gugup? Kau kira aku perempuan rumahan yang tidak tahu semua kelakuanmu di luar sana? Katakan m
Apa?" Danang terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Dina. Dia tidak menyangka Dina mengatakan itu semua."Tidak, tidak," kata Danang."Kenapa tidak mas? Aku membebaskanmu mas, aku membebaskanmu untuk mencari kebahagiaanmu sendiri. Carilah wanita yang mas anggap pantes untuk menjadi istri dan ibu dari anak-anakmu," kata Dina dengan tenang.Danang terdiam. Ia merasa sangat terkejut dengan ucapan Dina. Ia tidak menyangka Dina akan mengajukan permintaan untuk berpisah. Ia merasa sangat menyesal atas semua kebohongan yang telah ia lakukan."Dina, aku mohon, jangan seperti ini," kata Danang. Ia mencoba meraih tangan Dina, namun Dina menarik tangannya."Aku sudah tidak sanggup lagi, mas. Kau terlalu banyak menuntutku untuk selalu sempurna," kata Dina dengan suara yang lembut, namun penuh kesedihan.Dina kemudian melanjutkan mengeluarkan apa yang selamanya ini te
Sementara itu, di rumah Danang, Mama Danang merasa heran melihat motor Danang terparkir di garasi."Danang datang?" tanya Endang, Mama Danang, kepada Dinda.Dinda menggelengkan kepala sambil menjawab, "Nggak tahu, Ma.""Kenapa, Ma?" tanya Dinda."Ada motornya di garasi," jawab Mama."Ada motornya, pasti ada orangnya, Ma. Tidak mungkin motornya jalan sendiri ke sini," kata Dinda sambil bergurau."Jam berapa dia datang? Mama tidak dengar," kata Endang sambil menatap Dinda dengan wajah penuh rasa ingin tahu."Aku juga tidak dengar, Ma. Jam berapa Mas datang?" jawab Dinda, mencoba mengingat-ingat, namun tak menemukan jawabannya.Keduanya lalu mengalihkan pandangan ke arah pintu kamar Danang. Tidak lama kemudian, pintu kamar terbuka, dan Danang muncul dengan wajah yang masih mengantuk. Ia mengucek-ngucek matanya dengan mal
Alma memeluk Dina, "Tenang Din. Jangan keluarkan air mata untuk laki-laki seperti itu," kata Alma pada sahabatnya yang baru selesai menceritakan apa yang terjadi padanya."Aku ingin pisah! Aku sudah tidak sanggup lagi menjadi istrinya," kata Dina di sela-sela isakan."Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Din?" tanya Alma. Ia tahu betapa Dina mencintai Danang."Aku sudah berusaha, Alma," kata Dina. "Aku sudah mencoba menyelamatkan pernikahan kami. Tapi Danang terlalu egois. Dia tidak peduli perasaanku. Lama-lama aku bisa gila menghadapinya.""Lakukan, Din," kata Alma. "Aku akan selalu ada untukmu.""Terima kasih, Alma," kata Dina. Ia merasa terhibur oleh kehadiran Alma."Sekarang kamu harus kuat, Din," kata Alma. "Kamu harus fokus pada dirimu sendiri.""Aku akan baik-baik saja, Alma," kata Dina. "Aku akan melakukan yang terbaik untuk diriku
Dina terdiam, merenungkan perkataan Alma. Ia mencoba memikirkan apa yang ingin ia lakukan di masa depan. Ia mengingat masa-masa ketika ia bekerja di pabrik sarung tangan. Ia merasa bosan dan lelah dengan pekerjaan itu. Ia ingin mencoba sesuatu yang baru."Kenapa kau tidak menerima jahitan saja. Kau kan bisa menjahit," kata Alma untuk membuka pikiran Dina mengenai apa yang akan dilakukannya setelah bercerai."Aku ada melihat ruko di dekat rumahku, bisa dijadikan tempat menjahit Dina," kata Alma dengan bersemangat."Aku melihat ada ruko di dekat rumahku. Ruko itu bisa dijadikan tempat menjahit, Dina," kata Alma dengan bersemangat."Menjahit? Apa aku mampu?" gumam Dina, ragu."Ini yang aku nggak suka darimu, Din. Kamu itu langsung mempertanyakan kemampuanmu. Jangan pesimis, Din. Harus optimis, biar bisa sukses," kata Alma dengan nada serius."Aku kan
Dina sudah mantap untuk berpisah dengan Danang dan mulai merancang masa depan tanpa ada Danang di dalamnya. Sedangkan Danang masih bergulat dengan suara Dina yang mau berpisah dengannya. Sampai-sampai Danang berulang kali salah dalam mengerjakan tugasnya."Aahhh!" Danang menggeram dan mengepalkan kedua tangannya di atas meja kerjanya."Aku tidak akan mengabulkan permintaanmu, Dina. Kau akan menjadi istriku selamanya. Seorang pria kan bisa memiliki istri lebih dari satu," kata Danang dalam hati. "Kesederhanaan Dina, membuat aku nyaman. Tapi, aku membutuhkan istri yang bisa diajak untuk bersosialisasi, dan dari Sinta bisa ketemukan itu."Tok..tok, suara ketukan disertai suara mengagetkan Danang yang melamun. "Dan, melamun saja. Ada apa? Apa gaji mu sudah habis," Toni, rekan kerjanya masuk dan duduk di depan meja kerja Danang.Danang tersentak kaget dan langsung menutup layar laptopnya. Ia mencoba menutupi kesedihannya dengan senyum palsu."Ah, Toni. Nggak apa-apa. Lagi mikirin proyek b
Jika tidak mendapatkan kebahagiaan dalam hal-hal besar, temukanlah kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Kebahagiaan tidak selalu bersumber dari pencapaian besar, tetapi juga dari apresiasi terhadap apa yang kita miliki. Nikmati keindahan sederhana, seperti senyum seorang anak, secangkir kopi hangat di pagi hari, atau cahaya matahari yang menyinari wajah. Kebahagiaan sejati terletak dalam rasa syukur dan penghargaan terhadap momen-momen kecil yang kita alami setiap hari.~~**~~"Eh, Bu Linda, berapa sih harga sewanya?" tanya Alma. Suaranya menunjukkan keingintahuan yang mendalam."Harga sewanya 5 juta per bulan," jawab Bu Linda. Suaranya menunjukkan kepercayaan diri, menawarkan harga sewa yang terjangkau."Wah, cukup mahal juga ya," kata Dina dalam hati. Raut wajahnya menunjukkan keprihatinan, mencoba mempertimbangkan harga sewa yang ditawarkan."Bisa di tawar. Kalau ambil pertahun bi
"Ada apa?" tanya Dina dengan nada yang lebih lembut, namun ada sedikit keraguan di suaranya. "Kenapa Kakak merasa seperti akan ada badai?" tambahnya dengan senyuman kecil yang masih menghiasi bibirnya, berusaha mencairkan suasana tegang yang perlahan mulai terasa.Namun, Deni tidak membalas senyuman itu. Wajahnya tetap tegang, rahangnya mengeras, dan matanya yang biasanya ceria kini tampak redup. Reaksinya itu membuat rasa penasaran Dina semakin besar. Senyuman kecil di wajahnya perlahan memudar, digantikan oleh ekspresi serius yang mencerminkan kekhawatiran."Deni, ada apa ini?" desak Dina dengan nada sedikit lebih serius, tatapannya berusaha mencari jawaban di wajah adiknya.Deni tetap terpaku, pandangannya tidak bergeming dari wajah kakaknya, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Johnny, yang berdiri di sampingnya, akhirnya menyentuh leng
"Mas!"Sinta tersentak, matanya membulat saat melihat Danang tiba-tiba berlutut begitu mereka masuk ke dalam rumah. Tubuhnya kaku untuk sesaat, tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi.Danang menundukkan kepala, suaranya pelan tetapi penuh keteguhan. "Maafkan aku, Sayang. Aku tahu aku sudah banyak salah."Sinta mendekatinya dengan langkah cepat, ekspresinya campuran antara terkejut dan khawatir. "Bangkit, Mas. Jangan begini. Aku nggak suka melihatmu seperti ini," katanya sambil berusaha menarik tangan Danang agar berdiri.Namun, Danang tidak mau bergerak, tangannya tetap berada di lantai, seolah-olah ingin menunjukkan kesungguhannya. Ia menatap Sinta dengan mata yang sedikit berair. "Aku nggak akan berdiri sebelum kamu memaafkanku. Aku nggak bisa terus seperti ini, hidup tanpa kamu, Sinta."
°°Deni dan Johnny masih memantau dari kejauhan, bersembunyi di balik pohon besar yang tumbuh di sisi jalan. Motor mereka diparkir agak jauh, agar suara mesin tidak menarik perhatian. Mata Deni terus memperhatikan rumah di depannya, sementara Johnny duduk di tanah dengan pandangan resah."Deni, apa kita harus terus begini? Dari tadi Mas Danang nggak ngapa-ngapain," bisik Johnny sambil mengusap tengkuknya, mencoba menghilangkan rasa tidak nyaman.Deni tidak menjawab. Tatapannya tetap fokus pada Danang yang terlihat duduk di teras rumah Sinta, tubuhnya tegak tetapi ekspresinya jelas menunjukkan ada beban yang berat.Johnny akhirnya berdiri dan mendekatkan tubuhnya ke arah Deni. "Den, dia cuma duduk. Kelihatannya kayak orang lagi mikir berat. Apa yang sebenarnya kamu cari?"Deni menoleh seben
"Waalaikumsalam," sahut Dina ramah sambil tersenyum, melangkah mendekati seorang ibu yang berdiri di depan tokonya bersama anak kecil yang menggandeng tangannya. Wajah Dina memancarkan keramahan yang langsung membuat ibu itu merasa nyaman. "Mbak, mau jahit baju anak-anak, bisa?" tanya ibu itu dengan nada sopan, sesekali melirik ke arah anaknya yang tampak sedikit malu-malu. "Bisa, Bu. Untuk adek ini, ya?" tanya Dina dengan nada lembut sambil menunduk sedikit agar sejajar dengan mata anak itu. Ia tersenyum hangat, mencoba membuat si anak merasa lebih tenang. "Iya, Mbak," jawab ibu tersebut sambil mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Masuk, Bu," ajak Dina sambil membuka pintu tokonya lebih lebar. Tangannya mengisyaratkan agar ibu dan anak itu melangkah masuk. "Mari, silakan duduk, Bu." Setelah mereka masuk, Dina mengambil sebuah kursi dan memberikannya kepada sang ibu, lalu menuntun anak itu untuk duduk di sampingnya. "Adek, sini duduk dulu, ya," ujarnya sambil menunjuk kur
Motor Danang melaju dengan cepat, menerobos jalanan yang masih sedikit sibuk. Bunyi klakson terdengar samar di telinganya, tetapi pikirannya terlalu penuh untuk memperhatikan apa pun selain gejolak di dalam dirinya. Tangannya mencengkeram stang motor lebih erat, seolah-olah itu bisa membantu menahan emosi yang terus mendidih di dadanya."Dina nggak mau bicara. Aku nggak ngerti apa yang salah. Dia hanya diam, pura-pura nggak peduli..." pikirnya dengan kesal, bibirnya terkatup rapat.Ia menatap jalan di depannya dengan pandangan kosong, tetapi hatinya terasa begitu sesak. "Aku mencoba bicara, mencoba memperbaiki semuanya, tapi dia hanya membisu. Seolah-olah aku ini nggak berarti lagi buat dia..."Danang menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran itu, tetapi hal itu malah semakin memperburuk suasana hatinya."Dan Sinta... dia menghilang begitu saja. Aku ng
Suasana di meja makan terasa begitu hidup, penuh dengan percakapan ringan dan tawa kecil. Dina dan Danang tampak seperti pasangan sempurna, menghadirkan kesan bahwa semuanya berjalan baik-baik saja. Namun, di balik senyum dan kata-kata mereka, Deni dapat merasakan sesuatu yang berbeda. Ada keheningan tak terlihat di antara mereka, sebuah ketegangan yang tersembunyi di balik gerak tubuh dan nada suara.Deni melirik kakaknya sesekali, mencoba menangkap petunjuk dari cara mereka bicara atau saling memandang, tetapi semuanya terlihat terlalu rapi, terlalu terkendali. Johnny di sampingnya sibuk menghabiskan makanannya tanpa memperhatikan apa pun yang terjadi.Setelah beberapa saat, Danang akhirnya membuka suara, mencoba memecah keheningan yang terasa tak nyaman baginya. "Hari ini kalian mau kemana?" tanyanya sambil menatap Deni.Deni meletakkan sendoknya sejenak,
Di dalam kamar, Deni duduk di kursi dengan mata yang terpaku pada layar ponselnya. Jemarinya sesekali bergerak, tetapi tidak untuk mengetik—hanya untuk menggulir layar, memperhatikan gambar yang terpampang di sana. Foto Danang bersama seorang wanita membuat pikirannya berputar liar, jauh lebih cepat daripada kemampuan tangannya untuk mengambil keputusan.Di ranjang sebelahnya, Johnny sudah terlelap, dengkurannya terdengar pelan, menandakan betapa nyamannya ia tertidur. Tidak seperti Deni, yang justru semakin sulit memejamkan mata."Sepertinya, pernikahan Kak Dina tidak baik-baik saja." Suara hati Deni.Deni menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia tidak pernah ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga kakaknya, tetapi situasi sekarang tidak bisa diabaikan begitu saja.Deni kembali menatap layar ponselnya, matanya tak bisa lepas dar
Orang tersebut tertawa kecil, lalu melangkah mendekat. Begitu wajahnya terlihat jelas di bawah cahaya lampu, Danang langsung terperanjat."Deni! Kapan kau datang?" seru Danang, matanya melebar karena terkejut melihat keberadaan adik iparnya tersebut di rumahnya."Pagi tadi," jawab Deni santai, seolah tidak melihat kegelisahan Danang.Danang masih mencoba mencerna situasi. "Kenapa Dina nggak bilang apa-apa? Bukannya biasanya dia selalu memberitahu kalau Deni datang." Dalam pikiran Danang."Dina tahu kau mau datang?" tanyanya dengan nada heran."Tahu," sahut Deni tanpa ragu.Danang mengerutkan kening. "Tahu? Kenapa dia tidak bilang padaku?"Deni hanya mengangkat bahu ringan. "Ternyata kak Dina tidak memberitahukan kedatanganku kepada Mas Danang. Pasti ada sesuatu yang membuat kak D
"Kita tidak menunggu Mas Danang, Kak?" tanya Deni dengan nada ragu, matanya melirik ke arah meja makan yang masih tertata rapi.Dina menghela napas ringan sambil merapikan piring di hadapannya. "Mas Danang pulangnya tidak bisa dipastikan jam berapa, Den. Kita nggak bisa terus menunggu tanpa tahu pasti. Panggil Johnny, biar kita makan duluan," katanya dengan nada tenang, tetapi ada sedikit kebimbangan tersirat dalam suaranya.Deni masih belum bergerak, seakan ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. "Kakak baik-baik saja dengan Mas Danang, Kak?" tanyanya pelan, seolah mencoba membaca ekspresi sang kakak.Dina menoleh, matanya menatap Deni dengan lembut. "Baik, Deni," jawabnya, kali ini dengan senyum yang sedikit lebih lebar, mencoba meyakinkan adiknya."Betul?" Deni masih belum sepenuhnya yakin, alisnya sedikit mengernyit