Alma memeluk Dina, "Tenang Din. Jangan keluarkan air mata untuk laki-laki seperti itu," kata Alma pada sahabatnya yang baru selesai menceritakan apa yang terjadi padanya.
"Aku ingin pisah! Aku sudah tidak sanggup lagi menjadi istrinya," kata Dina di sela-sela isakan.
"Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Din?" tanya Alma. Ia tahu betapa Dina mencintai Danang.
"Aku sudah berusaha, Alma," kata Dina. "Aku sudah mencoba menyelamatkan pernikahan kami. Tapi Danang terlalu egois. Dia tidak peduli perasaanku. Lama-lama aku bisa gila menghadapinya."
"Lakukan, Din," kata Alma. "Aku akan selalu ada untukmu."
"Terima kasih, Alma," kata Dina. Ia merasa terhibur oleh kehadiran Alma.
"Sekarang kamu harus kuat, Din," kata Alma. "Kamu harus fokus pada dirimu sendiri."
"Aku akan baik-baik saja, Alma," kata Dina. "Aku akan melakukan yang terbaik untuk diriku
Dina terdiam, merenungkan perkataan Alma. Ia mencoba memikirkan apa yang ingin ia lakukan di masa depan. Ia mengingat masa-masa ketika ia bekerja di pabrik sarung tangan. Ia merasa bosan dan lelah dengan pekerjaan itu. Ia ingin mencoba sesuatu yang baru."Kenapa kau tidak menerima jahitan saja. Kau kan bisa menjahit," kata Alma untuk membuka pikiran Dina mengenai apa yang akan dilakukannya setelah bercerai."Aku ada melihat ruko di dekat rumahku, bisa dijadikan tempat menjahit Dina," kata Alma dengan bersemangat."Aku melihat ada ruko di dekat rumahku. Ruko itu bisa dijadikan tempat menjahit, Dina," kata Alma dengan bersemangat."Menjahit? Apa aku mampu?" gumam Dina, ragu."Ini yang aku nggak suka darimu, Din. Kamu itu langsung mempertanyakan kemampuanmu. Jangan pesimis, Din. Harus optimis, biar bisa sukses," kata Alma dengan nada serius."Aku kan
Dina sudah mantap untuk berpisah dengan Danang dan mulai merancang masa depan tanpa ada Danang di dalamnya. Sedangkan Danang masih bergulat dengan suara Dina yang mau berpisah dengannya. Sampai-sampai Danang berulang kali salah dalam mengerjakan tugasnya."Aahhh!" Danang menggeram dan mengepalkan kedua tangannya di atas meja kerjanya."Aku tidak akan mengabulkan permintaanmu, Dina. Kau akan menjadi istriku selamanya. Seorang pria kan bisa memiliki istri lebih dari satu," kata Danang dalam hati. "Kesederhanaan Dina, membuat aku nyaman. Tapi, aku membutuhkan istri yang bisa diajak untuk bersosialisasi, dan dari Sinta bisa ketemukan itu."Tok..tok, suara ketukan disertai suara mengagetkan Danang yang melamun. "Dan, melamun saja. Ada apa? Apa gaji mu sudah habis," Toni, rekan kerjanya masuk dan duduk di depan meja kerja Danang.Danang tersentak kaget dan langsung menutup layar laptopnya. Ia mencoba menutupi kesedihannya dengan senyum palsu."Ah, Toni. Nggak apa-apa. Lagi mikirin proyek b
Jika tidak mendapatkan kebahagiaan dalam hal-hal besar, temukanlah kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Kebahagiaan tidak selalu bersumber dari pencapaian besar, tetapi juga dari apresiasi terhadap apa yang kita miliki. Nikmati keindahan sederhana, seperti senyum seorang anak, secangkir kopi hangat di pagi hari, atau cahaya matahari yang menyinari wajah. Kebahagiaan sejati terletak dalam rasa syukur dan penghargaan terhadap momen-momen kecil yang kita alami setiap hari.~~**~~"Eh, Bu Linda, berapa sih harga sewanya?" tanya Alma. Suaranya menunjukkan keingintahuan yang mendalam."Harga sewanya 5 juta per bulan," jawab Bu Linda. Suaranya menunjukkan kepercayaan diri, menawarkan harga sewa yang terjangkau."Wah, cukup mahal juga ya," kata Dina dalam hati. Raut wajahnya menunjukkan keprihatinan, mencoba mempertimbangkan harga sewa yang ditawarkan."Bisa di tawar. Kalau ambil pertahun bi
"Bagaimana kalau kita kembali untuk nego harga sewa?" kata Alma."Ya, baiklah. Aku mau coba nego lagi," kata Dina. Ia berharap bisa mendapatkan harga sewa yang lebih rendah."Kita coba aja, Din," kata Alma. "Yang penting kita berusaha dan tidak menyerah."Keduanya kemudian kembali ke toko milik Bu Linda. Dina mencoba mengumpulkan semua keberaniannya untuk bernegosiasi dengan Bu Linda.Tiba di ruko, Bu Linda masih berada di rukonya tersebut dan tersenyum ramah melihat kedatangan Alma dan Dina."Permisi, Bu," kata Dina. "Kami ingin menanyakan tentang harga sewa toko lagi. Apakah bisa dikurangi?""Ya, Bu. Kami mencoba menghitung biaya yang dibutuhkan. Dan ternyata harga sewanya sedikit tinggi untuk kami. Apakah bisa dikurangi sedikit?" tanya Dina."Hmm, kalau ambil setahun bisa saya berikan diskon 10%. Tapi kalau hanya sebulan, maaf ya, saya
Dina sibuk merencanakan masa depan setelah perpisahan dengan Danang terjadi, sementara di sisi lain, Danang tenggelam dalam pikirannya yang dipenuhi kegelisahan akibat permintaan cerai dari Dina. Ia terus mencari cara agar bisa membujuk Dina untuk membatalkan niatnya berpisah."Dina harus segera hamil secepatnya," gumam Danang dengan wajah penuh tekad, sambil melamun di ruang kerjanya, memutar otak untuk mencari solusi.Bagaimana bisa hamil, belakangan ini dia tidak mau aku sentuh. Hemmm... Apa aku beri dia obat, agar mau ku sentuh." Danang tersenyum memikirkan idenya yang cemerlang menurutnya."Tok tok " bunyi pintu ruang kerja Danang diketuk, diikuti dengan suara pintu yang terbuka perlahan sebelum Danang sempat memberikan izin. Danang mendongak dari meja kerjanya dengan wajah sedikit terganggu."Dan, sudah daftar untuk ikut family gathering?" tanya Yoga sambil melangkah
Begitu Dina tiba di rumah, Dina langsung membersihkan tubuhnya. Dina berdiri depan cermin dan menatap pantulan tubuhnya dalam cermin, "Pegal sekali," kata Dina sambil memijat pinggangnya yang terasa pegal. Lalu dia kemudian melihat ke arah jam dinding. "Sudah jam 5 sore, aku belum masak. Ahh... untuk apa masak, masak juga tidak ada yang makan," kata Dina."Beli makanan siap saja. Untuk apa capek-capek masak, tidak ada yang makan. Mulai hari ini, jangan pikirkan orang lain. Aku harus memikirkan diri sendiri. Untuk apa memikirkan orang, jika kita tidak dihargai."Lalu Dina mengambil ponselnya dan mencari makanan yang ingin dipesannya. Setelah mendapatkan apa yang ingin dimakannya untuk makan malam, Dina memesan dan kemudian meletakkan ponselnya.Tiba-tiba, Dina terpikir untuk mulai mengumpulkan syarat-syarat untuk mengajukan perceraian. "Aku harus mengumpulkan berkas-berkas untuk mengajukan perceraian. Aku harus mencari buku nikah, sebelum Mas Danang pulang."Dina kemudian melangkah men
"Sudah lama menunggu, Mas? Maaf ya, tadi boss masih sibuk kerja, jadi aku nggak bisa pulang lebih cepat," kata Sinta, suaranya lembut, penuh rasa penyesalan. Nada bicaranya yang tenang membuat hati Danang sedikit terasa nyaman.Danang tidak langsung menanggapi ucapan Sinta. Matanya tertuju pada rambut Sinta yang terlihat sedikit basah, menarik perhatiannya. Ia mengerutkan dahi, seolah mencoba mencari alasan di baliknya.Sinta menyadari tatapan Danang yang begitu lekat mengamatinya. "Ada apa, Mas?" tanyanya, penasaran dengan sorot mata Danang."Rambutmu basah? Kenapa?" tanya Danang akhirnya dengan nada ingin tahu, matanya tertuju pada rambut Sinta yang tampak lembap, sementara alisnya sedikit berkerut."Ah, tadi kehujanan sedikit pas keluar kantor. Ada urusan mendadak, dan aku lupa bawa payung," jawab Sinta sambil tersenyum tipis. Tangannya bergerak mengipas-ngipaskan rambutnya, mencoba
Deni sedang asyik belajar dalam kamarnya. Buku-buku terbuka di mejanya, pena bergerak cepat menorehkan huruf di atas kertas. Cahaya lampu meja menyinari wajahnya yang kusut karena lelah."Den, jangan tidur terlalu larut, ya," ujar bundanya dengan suara lembut, penuh perhatian. Ia masuk ke kamar Deni dengan langkah tenang, membawa segelas susu hangat di tangannya. Ia meletakkan susu itu dengan hati-hati di atas meja belajar Deni."Minumlah, selagi hangat," lanjut bundanya, senyum hangat menghiasi wajahnya."Terima kasih, Bun," sahut Deni dengan senyum lebar. Ia mengambil gelas itu, meneguk susu hangat tersebut dengan lahap. Rasanya begitu nikmat, menghangatkan tubuhnya dan membuat perutnya terasa nyaman."Sudah malam, Den. Istirahatlah sebentar," kata bundanya sambil mengusap rambut Deni dengan lembut, penuh kasih sayang. "Besok kamu harus bangun pagi untuk sekolah.""Iya, Bun," j
Deni sedang asyik belajar dalam kamarnya. Buku-buku terbuka di mejanya, pena bergerak cepat menorehkan huruf di atas kertas. Cahaya lampu meja menyinari wajahnya yang kusut karena lelah."Den, jangan tidur terlalu larut, ya," ujar bundanya dengan suara lembut, penuh perhatian. Ia masuk ke kamar Deni dengan langkah tenang, membawa segelas susu hangat di tangannya. Ia meletakkan susu itu dengan hati-hati di atas meja belajar Deni."Minumlah, selagi hangat," lanjut bundanya, senyum hangat menghiasi wajahnya."Terima kasih, Bun," sahut Deni dengan senyum lebar. Ia mengambil gelas itu, meneguk susu hangat tersebut dengan lahap. Rasanya begitu nikmat, menghangatkan tubuhnya dan membuat perutnya terasa nyaman."Sudah malam, Den. Istirahatlah sebentar," kata bundanya sambil mengusap rambut Deni dengan lembut, penuh kasih sayang. "Besok kamu harus bangun pagi untuk sekolah.""Iya, Bun," j
"Sudah lama menunggu, Mas? Maaf ya, tadi boss masih sibuk kerja, jadi aku nggak bisa pulang lebih cepat," kata Sinta, suaranya lembut, penuh rasa penyesalan. Nada bicaranya yang tenang membuat hati Danang sedikit terasa nyaman.Danang tidak langsung menanggapi ucapan Sinta. Matanya tertuju pada rambut Sinta yang terlihat sedikit basah, menarik perhatiannya. Ia mengerutkan dahi, seolah mencoba mencari alasan di baliknya.Sinta menyadari tatapan Danang yang begitu lekat mengamatinya. "Ada apa, Mas?" tanyanya, penasaran dengan sorot mata Danang."Rambutmu basah? Kenapa?" tanya Danang akhirnya dengan nada ingin tahu, matanya tertuju pada rambut Sinta yang tampak lembap, sementara alisnya sedikit berkerut."Ah, tadi kehujanan sedikit pas keluar kantor. Ada urusan mendadak, dan aku lupa bawa payung," jawab Sinta sambil tersenyum tipis. Tangannya bergerak mengipas-ngipaskan rambutnya, mencoba
Begitu Dina tiba di rumah, Dina langsung membersihkan tubuhnya. Dina berdiri depan cermin dan menatap pantulan tubuhnya dalam cermin, "Pegal sekali," kata Dina sambil memijat pinggangnya yang terasa pegal. Lalu dia kemudian melihat ke arah jam dinding. "Sudah jam 5 sore, aku belum masak. Ahh... untuk apa masak, masak juga tidak ada yang makan," kata Dina."Beli makanan siap saja. Untuk apa capek-capek masak, tidak ada yang makan. Mulai hari ini, jangan pikirkan orang lain. Aku harus memikirkan diri sendiri. Untuk apa memikirkan orang, jika kita tidak dihargai."Lalu Dina mengambil ponselnya dan mencari makanan yang ingin dipesannya. Setelah mendapatkan apa yang ingin dimakannya untuk makan malam, Dina memesan dan kemudian meletakkan ponselnya.Tiba-tiba, Dina terpikir untuk mulai mengumpulkan syarat-syarat untuk mengajukan perceraian. "Aku harus mengumpulkan berkas-berkas untuk mengajukan perceraian. Aku harus mencari buku nikah, sebelum Mas Danang pulang."Dina kemudian melangkah men
Dina sibuk merencanakan masa depan setelah perpisahan dengan Danang terjadi, sementara di sisi lain, Danang tenggelam dalam pikirannya yang dipenuhi kegelisahan akibat permintaan cerai dari Dina. Ia terus mencari cara agar bisa membujuk Dina untuk membatalkan niatnya berpisah."Dina harus segera hamil secepatnya," gumam Danang dengan wajah penuh tekad, sambil melamun di ruang kerjanya, memutar otak untuk mencari solusi.Bagaimana bisa hamil, belakangan ini dia tidak mau aku sentuh. Hemmm... Apa aku beri dia obat, agar mau ku sentuh." Danang tersenyum memikirkan idenya yang cemerlang menurutnya."Tok tok " bunyi pintu ruang kerja Danang diketuk, diikuti dengan suara pintu yang terbuka perlahan sebelum Danang sempat memberikan izin. Danang mendongak dari meja kerjanya dengan wajah sedikit terganggu."Dan, sudah daftar untuk ikut family gathering?" tanya Yoga sambil melangkah
"Bagaimana kalau kita kembali untuk nego harga sewa?" kata Alma."Ya, baiklah. Aku mau coba nego lagi," kata Dina. Ia berharap bisa mendapatkan harga sewa yang lebih rendah."Kita coba aja, Din," kata Alma. "Yang penting kita berusaha dan tidak menyerah."Keduanya kemudian kembali ke toko milik Bu Linda. Dina mencoba mengumpulkan semua keberaniannya untuk bernegosiasi dengan Bu Linda.Tiba di ruko, Bu Linda masih berada di rukonya tersebut dan tersenyum ramah melihat kedatangan Alma dan Dina."Permisi, Bu," kata Dina. "Kami ingin menanyakan tentang harga sewa toko lagi. Apakah bisa dikurangi?""Ya, Bu. Kami mencoba menghitung biaya yang dibutuhkan. Dan ternyata harga sewanya sedikit tinggi untuk kami. Apakah bisa dikurangi sedikit?" tanya Dina."Hmm, kalau ambil setahun bisa saya berikan diskon 10%. Tapi kalau hanya sebulan, maaf ya, saya
Jika tidak mendapatkan kebahagiaan dalam hal-hal besar, temukanlah kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Kebahagiaan tidak selalu bersumber dari pencapaian besar, tetapi juga dari apresiasi terhadap apa yang kita miliki. Nikmati keindahan sederhana, seperti senyum seorang anak, secangkir kopi hangat di pagi hari, atau cahaya matahari yang menyinari wajah. Kebahagiaan sejati terletak dalam rasa syukur dan penghargaan terhadap momen-momen kecil yang kita alami setiap hari.~~**~~"Eh, Bu Linda, berapa sih harga sewanya?" tanya Alma. Suaranya menunjukkan keingintahuan yang mendalam."Harga sewanya 5 juta per bulan," jawab Bu Linda. Suaranya menunjukkan kepercayaan diri, menawarkan harga sewa yang terjangkau."Wah, cukup mahal juga ya," kata Dina dalam hati. Raut wajahnya menunjukkan keprihatinan, mencoba mempertimbangkan harga sewa yang ditawarkan."Bisa di tawar. Kalau ambil pertahun bi
Dina sudah mantap untuk berpisah dengan Danang dan mulai merancang masa depan tanpa ada Danang di dalamnya. Sedangkan Danang masih bergulat dengan suara Dina yang mau berpisah dengannya. Sampai-sampai Danang berulang kali salah dalam mengerjakan tugasnya."Aahhh!" Danang menggeram dan mengepalkan kedua tangannya di atas meja kerjanya."Aku tidak akan mengabulkan permintaanmu, Dina. Kau akan menjadi istriku selamanya. Seorang pria kan bisa memiliki istri lebih dari satu," kata Danang dalam hati. "Kesederhanaan Dina, membuat aku nyaman. Tapi, aku membutuhkan istri yang bisa diajak untuk bersosialisasi, dan dari Sinta bisa ketemukan itu."Tok..tok, suara ketukan disertai suara mengagetkan Danang yang melamun. "Dan, melamun saja. Ada apa? Apa gaji mu sudah habis," Toni, rekan kerjanya masuk dan duduk di depan meja kerja Danang.Danang tersentak kaget dan langsung menutup layar laptopnya. Ia mencoba menutupi kesedihannya dengan senyum palsu."Ah, Toni. Nggak apa-apa. Lagi mikirin proyek b
Dina terdiam, merenungkan perkataan Alma. Ia mencoba memikirkan apa yang ingin ia lakukan di masa depan. Ia mengingat masa-masa ketika ia bekerja di pabrik sarung tangan. Ia merasa bosan dan lelah dengan pekerjaan itu. Ia ingin mencoba sesuatu yang baru."Kenapa kau tidak menerima jahitan saja. Kau kan bisa menjahit," kata Alma untuk membuka pikiran Dina mengenai apa yang akan dilakukannya setelah bercerai."Aku ada melihat ruko di dekat rumahku, bisa dijadikan tempat menjahit Dina," kata Alma dengan bersemangat."Aku melihat ada ruko di dekat rumahku. Ruko itu bisa dijadikan tempat menjahit, Dina," kata Alma dengan bersemangat."Menjahit? Apa aku mampu?" gumam Dina, ragu."Ini yang aku nggak suka darimu, Din. Kamu itu langsung mempertanyakan kemampuanmu. Jangan pesimis, Din. Harus optimis, biar bisa sukses," kata Alma dengan nada serius."Aku kan
Alma memeluk Dina, "Tenang Din. Jangan keluarkan air mata untuk laki-laki seperti itu," kata Alma pada sahabatnya yang baru selesai menceritakan apa yang terjadi padanya."Aku ingin pisah! Aku sudah tidak sanggup lagi menjadi istrinya," kata Dina di sela-sela isakan."Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Din?" tanya Alma. Ia tahu betapa Dina mencintai Danang."Aku sudah berusaha, Alma," kata Dina. "Aku sudah mencoba menyelamatkan pernikahan kami. Tapi Danang terlalu egois. Dia tidak peduli perasaanku. Lama-lama aku bisa gila menghadapinya.""Lakukan, Din," kata Alma. "Aku akan selalu ada untukmu.""Terima kasih, Alma," kata Dina. Ia merasa terhibur oleh kehadiran Alma."Sekarang kamu harus kuat, Din," kata Alma. "Kamu harus fokus pada dirimu sendiri.""Aku akan baik-baik saja, Alma," kata Dina. "Aku akan melakukan yang terbaik untuk diriku