"Semoga Deni tidak ada masalah. Mas, begitu berat yang harus aku hadapi. Kenapa mas begitu cepat meninggalkan kami."
Aini merasa khawatir dengan perubahan sikap Deni. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Deni. Namun, ia tidak ingin memaksa Deni untuk menceritakan masalahnya. Ia yakin bahwa Deni akan bercerita kepadanya jika ia sudah siap.
Aini kemudian memutuskan untuk kembali ke dapur dan melanjutkan pekerjaannya. Ia mencoba untuk fokus pada kegiatan memasak, namun pikirannya terus tertuju pada Deni. Ia berharap Deni dapat segera menceritakan masalahnya kepadanya.
Deni keluar dari kamar mandi setelah mandi, mencoba menenangkan diri setelah menemukan foto kontroversial di ponsel ayahnya. Ia berusaha tersenyum ketika melihat Ibunya di dapur.
Deni melangkah menuju meja makan, "Bunda, harum sekali masakan Bund," ucap Deni mencoba memulai percakapan.
 
Saat Dina melihat keadaan kamar yang berantakan, ia memutuskan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dina merasa cemas dan khawatir.Dina kemudian keluar dari kamar, ia mencari tasnya dan mengambil ponselnya.Dina segera menghubungi Danang melalui telepon, namun panggilan tersebut tidak dijawab. Kegelisahan Dina semakin menjadi-jadi."Angkat, mas !""Tidak diangkat."Dina kemudian menuju dapur dan melihat dapurnya penuh dengan sampah dan piring kotor. Melihat kondisi dapurnya, Dina berkacak pinggang melihat semuanya."Tidak mungkin maling, pasti Mas Danang yang melakukannya." Dina berdiri dengan memijat keningnya yang tiba-tiba pusing melihat pemandangan di dapurnya."Apa Mas Danang tidak pernah membersikan dapur ? Semua piring ini sudah berjamur," ucapnya dalam keheningan dapur.&
Hidup adalah anugerah, dan setiap langkah adalah kesempatan untuk bersyukur. Temukanlah kebahagiaan dalam hal-hal kecil, karena kesederhanaanlah yang membawa kebijaksanaan dan kedamaian.~~**~~Setelah hening sejenak, Dinda bicara dengan Danang. "Kak Dina kapan kembali, Mas?" tanya Dinda dengan rasa penasaran.Danang menjawab sembari menaikkan bahunya, "Tidak tahu, mungkin nunggu lewat tujuh hari. Biarlah dia di sana, di sini juga ia tidak kerja.""Loh... Mas tidak menghubungi Kak Dina?" tanya Dinda, merasa heran karena Danang tidak berusaha untuk menghubungi istrinya, dan terlihat cuek walaupun sang istri tidak pulang."Ada sekali aku menghubunginya dan Dina tidak bilang kapan mau kembali, biarlah dia di kampung. Mungkin masih berat meninggalkan Bunda dan Deni," kata Danang dengan nada tenang, seolah tidak ingin membahas lebih jauh tentang keberadaan Dina.Dinda merasakan ada yang janggal dengan jawaban kakaknya. "Mas ini aneh sekali, jujur saja. Mas tidak sedang ribut dengan kak Din
"Sedikit, ada. Tapi, tidak sampai berlarut-larut. Kita harus melanjutkan kehidupan. Yang sudah pergi, biarkan pergi," kata Endang dengan santainya.Dinda dan Danang saling berpandangan, tidak percaya dengan ucapan Endang. Mereka merasa bahwa sikap Endang terlalu berlebihan, seolah-olah kehilangan Papa tidak berarti apa-apa baginya."Tapi, Ma, kita kan harus bersedih. Itu wajar, kan?" ucap Dinda dengan nada yang sedikit kecewa."Oh, Dinda, kamu ini terlalu cengeng. Jangan terlalu memikirkan hal-hal yang sudah berlalu. Hidup itu harus terus berjalan," jawab Endang dengan nada yang sedikit meremehkan.Dinda merasa kesal dengan sikap ibunya. Ia merasa bahwa Endang tidak memahami kesedihan yang mereka rasakan."Mama, Kak Dina pasti sedih sekarang. Dia baru saja kehilangan ayahnya," kata Dinda dengan nada yang sedikit emosi."Oh, Dinda, kamu ini terlalu sentimental. Jangan ikut-ikutan sedih. Kamu kan masih muda, banyak hal yang bisa kamu lakukan," jawab Endang dengan nada yang cuek.Dinda t
Tapi persetujuan mamanya untuk memberikan modal kepada Danang mendapat pertentangan dari Dinda. "Mama, jangan begitu saja memberikan modal kepada Mas Danang. Mama harus bertanya apa usaha Mas Danang yang akan didirikannya. Jangan sampai modal Mama nanti terbuang dengan sia-sia ya," kata Dinda dengan nada khawatir.Danang dan mamanya memandang Dinda. "Usaha yang akan Mas dirikan sudah Mas pikirkan dengan matang-matang, Dinda. Mas tidak akan pernah gagal," kata Danang dengan suara yang keras, berusaha meyakinkan adiknya."Oh ya? Sudah Mas memikirkan matang-matang usaha apa yang Mas ingin dirikan?" tanya Dinda dengan nada penasaran, berusaha untuk menggali lebih dalam tentang rencana kakaknya."Restoran. Mas ingin membuka usaha restoran, bekerjasama dengan seorang teman," jawab Danang dengan penuh keyakinan."Restoran? Apa yang tahu Mas mengenai restoran? Mengenai masak-memasak, menu yang disukai orang?
Setelah selesai bicara dengan Dina, Deni keluar dan berhenti depan pintu kamar bundanya. Ia mendengar suara bundanya yang seperti berbicara, nada suaranya terdengar sedikit sedih. Deni kemudian membuka pintu kamar bundanya sedikit dan melihat sang bunda duduk dengan memegang pigura foto. Deni tahu, pasti gambar ayahnya yang bundanya pegang.Deni menutup pintu kamar bundanya dengan lembut. Ia merasa sedih melihat bundanya yang berusaha untuk tegar di depannya, padahal bundanya pura-pura kuat."Apa yang dikatakan Kak Dina benar, Bunda pura-pura tegar?" gumam Deni dalam hati, matanya berkaca-kaca.Deni merasakan kesedihan yang mendalam. Ia kehilangan sosok ayahnya yang sangat ia cintai. Ia merasa bahwa hanya dirinya dan Kakaknya yang benar-benar merasakan kehilangan yang mendalam, sedangkan sang bunda sudah iklas, karena ia tidak melihat raut wajah sedih sang bunda. Ternyata, bundanya berusaha untuk tegar di depan mereka, dengan menunjukkan raut wajah biasa-biasa saja dihadapan mereka.D
Dina terdiam,hatinya terasa hancur mendengar ucapan ayahnya. Ia merasakehilangan arah,tidak tahu harus berbuat apa. Iamencintai Danang dengan sepenuh hati,namunia merasatakutkehilangan Danang."Ayah, aku takut kehilangan Danang," kata Dina, suaranya bergetar menahan tangis."Tidak ada yang harus ditakutkan, Nak. Kamu harus berani menghadapi kenyataan. Jika dia tidak lagi mencintaimu, maka lepaskanlah dia. Carilah kebahagiaanmu sendiri," kata ayahnya."Ayah, aku tidak mau kehilangan Danang," kata Dina, suaranya bergetar menahan tangis."Kamu harusberanimenentukan pilihanmu sendiri,Nak," kata ayahnya dengan suara yang lembut, namun terdengar tegas."Ayah, aku takut," kata Dina, suaranya bergetar menahan tangis."Janga
"Kenapa dia pulang tidak bilang-bilang? Apa aku pulang sekarang?" Danang melirik jam."Sudah jam setengah satu malam.""Biarlah, sudah malam." Danang meletakkan ponselnya dan kemudian mengambil guling untuk dipeluknya. Ia mengabaikan pesan Dina, ia tidak ada niat membalas atau menghubungi Dina. Ternyata masih ada rasa kesal dalam hati Danang, karena Dina yang tidak mau meminta bagian tanah.Pagi harinya, suara mesin mobil dan motor yang berlalu lalang mulai terdengar membuat Dina membuka matanya."Mas Danang tidak pulang juga," gumam Dina, begitu terbangun ia menyadari bahwa hanya ada dia dalam rumah. Kecewa dan sedih menyergapnya."Apa Mas Danang tidak membaca pesanku ?" Dina mengambil ponselnya dan melihat pesan yang dikirimnya pada Danang sudah centang dua yang menandakan pesannya sudah di baca Danang."Sudah di baca, tapi tidak dibalas
Dina terdiam sejenak, ia masih merasa sedih dan kecewa. Ia tidak percaya dengan alasan yang diberikan Danang."Kenapa Mas tidak menghubungi aku?" tanya Dina lagi."Aku sudah mengatakan bahwa aku lupa, Din ! Aku lupa ! Apa kau tidak percaya?" Kata Danang dengan nada suara yang sedikit keras."Mas berbohong," kata Dina."Aku tidak berbohong," jawab Danang lantang."Aku tidak percaya ! Mas berbohong, aku tahu," kata Dina."Din, percayalah, aku tidak berbohong," kata Danang dengan suara yang melembut."Mas berbohong," kata Dina."Din, aku..." Danang terdiam, ia merasa kesal dengan sikap Dina. Ia menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk menahan emosinya. "Aku tidak berbohong, Din. Aku memang lupa menghubungimu," kata Danang dengan nada yang sedikit meninggi."Pekerjaanku begitu banyak, Din. Kau tidak akan mengerti, kalau aku katakan pekerjaanku banyak. Karena kau hanya di rumah saja !"Dina terhenyak mendengar apa yang dikatakan oleh Danang."Mas menganggap aku tidak mengerti dunia kerj
°°Deni dan Johnny masih memantau dari kejauhan, bersembunyi di balik pohon besar yang tumbuh di sisi jalan. Motor mereka diparkir agak jauh, agar suara mesin tidak menarik perhatian. Mata Deni terus memperhatikan rumah di depannya, sementara Johnny duduk di tanah dengan pandangan resah."Deni, apa kita harus terus begini? Dari tadi Mas Danang nggak ngapa-ngapain," bisik Johnny sambil mengusap tengkuknya, mencoba menghilangkan rasa tidak nyaman.Deni tidak menjawab. Tatapannya tetap fokus pada Danang yang terlihat duduk di teras rumah Sinta, tubuhnya tegak tetapi ekspresinya jelas menunjukkan ada beban yang berat.Johnny akhirnya berdiri dan mendekatkan tubuhnya ke arah Deni. "Den, dia cuma duduk. Kelihatannya kayak orang lagi mikir berat. Apa yang sebenarnya kamu cari?"Deni menoleh seben
"Waalaikumsalam," sahut Dina ramah sambil tersenyum, melangkah mendekati seorang ibu yang berdiri di depan tokonya bersama anak kecil yang menggandeng tangannya. Wajah Dina memancarkan keramahan yang langsung membuat ibu itu merasa nyaman. "Mbak, mau jahit baju anak-anak, bisa?" tanya ibu itu dengan nada sopan, sesekali melirik ke arah anaknya yang tampak sedikit malu-malu. "Bisa, Bu. Untuk adek ini, ya?" tanya Dina dengan nada lembut sambil menunduk sedikit agar sejajar dengan mata anak itu. Ia tersenyum hangat, mencoba membuat si anak merasa lebih tenang. "Iya, Mbak," jawab ibu tersebut sambil mengusap kepala anaknya dengan lembut. "Masuk, Bu," ajak Dina sambil membuka pintu tokonya lebih lebar. Tangannya mengisyaratkan agar ibu dan anak itu melangkah masuk. "Mari, silakan duduk, Bu." Setelah mereka masuk, Dina mengambil sebuah kursi dan memberikannya kepada sang ibu, lalu menuntun anak itu untuk duduk di sampingnya. "Adek, sini duduk dulu, ya," ujarnya sambil menunjuk kur
Motor Danang melaju dengan cepat, menerobos jalanan yang masih sedikit sibuk. Bunyi klakson terdengar samar di telinganya, tetapi pikirannya terlalu penuh untuk memperhatikan apa pun selain gejolak di dalam dirinya. Tangannya mencengkeram stang motor lebih erat, seolah-olah itu bisa membantu menahan emosi yang terus mendidih di dadanya."Dina nggak mau bicara. Aku nggak ngerti apa yang salah. Dia hanya diam, pura-pura nggak peduli..." pikirnya dengan kesal, bibirnya terkatup rapat.Ia menatap jalan di depannya dengan pandangan kosong, tetapi hatinya terasa begitu sesak. "Aku mencoba bicara, mencoba memperbaiki semuanya, tapi dia hanya membisu. Seolah-olah aku ini nggak berarti lagi buat dia..."Danang menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran itu, tetapi hal itu malah semakin memperburuk suasana hatinya."Dan Sinta... dia menghilang begitu saja. Aku ng
Suasana di meja makan terasa begitu hidup, penuh dengan percakapan ringan dan tawa kecil. Dina dan Danang tampak seperti pasangan sempurna, menghadirkan kesan bahwa semuanya berjalan baik-baik saja. Namun, di balik senyum dan kata-kata mereka, Deni dapat merasakan sesuatu yang berbeda. Ada keheningan tak terlihat di antara mereka, sebuah ketegangan yang tersembunyi di balik gerak tubuh dan nada suara.Deni melirik kakaknya sesekali, mencoba menangkap petunjuk dari cara mereka bicara atau saling memandang, tetapi semuanya terlihat terlalu rapi, terlalu terkendali. Johnny di sampingnya sibuk menghabiskan makanannya tanpa memperhatikan apa pun yang terjadi.Setelah beberapa saat, Danang akhirnya membuka suara, mencoba memecah keheningan yang terasa tak nyaman baginya. "Hari ini kalian mau kemana?" tanyanya sambil menatap Deni.Deni meletakkan sendoknya sejenak,
Di dalam kamar, Deni duduk di kursi dengan mata yang terpaku pada layar ponselnya. Jemarinya sesekali bergerak, tetapi tidak untuk mengetik—hanya untuk menggulir layar, memperhatikan gambar yang terpampang di sana. Foto Danang bersama seorang wanita membuat pikirannya berputar liar, jauh lebih cepat daripada kemampuan tangannya untuk mengambil keputusan.Di ranjang sebelahnya, Johnny sudah terlelap, dengkurannya terdengar pelan, menandakan betapa nyamannya ia tertidur. Tidak seperti Deni, yang justru semakin sulit memejamkan mata."Sepertinya, pernikahan Kak Dina tidak baik-baik saja." Suara hati Deni.Deni menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia tidak pernah ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga kakaknya, tetapi situasi sekarang tidak bisa diabaikan begitu saja.Deni kembali menatap layar ponselnya, matanya tak bisa lepas dar
Orang tersebut tertawa kecil, lalu melangkah mendekat. Begitu wajahnya terlihat jelas di bawah cahaya lampu, Danang langsung terperanjat."Deni! Kapan kau datang?" seru Danang, matanya melebar karena terkejut melihat keberadaan adik iparnya tersebut di rumahnya."Pagi tadi," jawab Deni santai, seolah tidak melihat kegelisahan Danang.Danang masih mencoba mencerna situasi. "Kenapa Dina nggak bilang apa-apa? Bukannya biasanya dia selalu memberitahu kalau Deni datang." Dalam pikiran Danang."Dina tahu kau mau datang?" tanyanya dengan nada heran."Tahu," sahut Deni tanpa ragu.Danang mengerutkan kening. "Tahu? Kenapa dia tidak bilang padaku?"Deni hanya mengangkat bahu ringan. "Ternyata kak Dina tidak memberitahukan kedatanganku kepada Mas Danang. Pasti ada sesuatu yang membuat kak D
"Kita tidak menunggu Mas Danang, Kak?" tanya Deni dengan nada ragu, matanya melirik ke arah meja makan yang masih tertata rapi.Dina menghela napas ringan sambil merapikan piring di hadapannya. "Mas Danang pulangnya tidak bisa dipastikan jam berapa, Den. Kita nggak bisa terus menunggu tanpa tahu pasti. Panggil Johnny, biar kita makan duluan," katanya dengan nada tenang, tetapi ada sedikit kebimbangan tersirat dalam suaranya.Deni masih belum bergerak, seakan ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya. "Kakak baik-baik saja dengan Mas Danang, Kak?" tanyanya pelan, seolah mencoba membaca ekspresi sang kakak.Dina menoleh, matanya menatap Deni dengan lembut. "Baik, Deni," jawabnya, kali ini dengan senyum yang sedikit lebih lebar, mencoba meyakinkan adiknya."Betul?" Deni masih belum sepenuhnya yakin, alisnya sedikit mengernyit
Danang menghela napas kasar, matanya terus mengamati setiap orang yang keluar dari gedung kantor. Namun, tidak ada tanda-tanda Sinta.Ia merogoh ponselnya lagi, ibu jarinya bergerak cepat menekan nomor yang sudah berulang kali ia coba hubungi sejak tadi. Lagi-lagi, tidak ada jawaban.“Sial!” gumamnya, menekan tombol panggil sekali lagi. Matanya bergerak gelisah, berharap kali ini Sinta menjawab. Tapi harapan itu tetap kosong.Danang menutup ponselnya dengan gerakan kasar, lalu menghisap rokoknya dalam-dalam. Kepulan asap keluar dari bibirnya, tetapi tidak mampu meredakan kekacauan yang berkecamuk di kepalanya."Kenapa dia nggak angkat?" pikirnya dengan frustrasi.Ia melirik pintu utama gedung, memperhatikan setiap orang yang keluar, mencoba menangkap sosok yang ia cari. Tapi tetap tidak ada.
"Ayo, Johnny, Deni, makan," kata Dina sambil meletakkan dua bungkus nasi lemak di atas karpet untuk tempat mereka duduk, karena Dina belum membeli meja untuk tempat makan..Deni dan Johnny langsung duduk, aroma nasi lemak yang hangat menggoda selera mereka. Dina tersenyum melihat antusiasme keduanya."Kalian pasti sudah lapar, kan?" tanyanya sambil membuka plastik pembungkus. "Jam berapa tadi kalian berangkat dari sana?""Jam enam, Kak, bus trip pertama," sahut Johnny sambil mengusap perutnya. "Lama banget di jalan, aku udah hampir pingsan kelaparan."Deni terkekeh, membuka bungkus nasi lemaknya dengan cepat. "Enak nih," katanya setelah melihat isiannya yang lengkap—nasi wangi, sambal pedas, irisan telur, dan ikan bilis renyah.Dina tersenyum kecil. "Di dekat sini cuma ada ini. Kalau ke pasar, ada p