Pria itu mendongak, lalu tersenyum ramah kepada Nayra.
"Mbak Nayra Eka Sania ya? Silakan masuk, Mbak." Pria tersebut menunjuk kursi hadap di depannya.
Nayra menelan salivanya. Perlahan ia melangkahkan kaki menuju kursi itu dan mendudukkan tubuhnya. Ini pertama kali ia melakukan wawancara kerja.
Meskipun Nayra merupakan lulusan sarjana, Guna tidak mau Nayra bekerja setelah mereka menikah. Jadi, hari ini adalah pengalaman pertamanya hingga membuat kegugupan melanda Nayra seketika.
Pria tersebut kemudian melanjutkan. "Tadi saya sudah membaca sekilas dokumen Mbak. Hmm, ya…" Ia mengangguk memandangi beberapa kertas di depannya. "Oh, iya. Saya belum memperkenalkan diri saya ya?"
Nayra meresponnya dengan tersenyum simpul. Sementara pria di hadapannya sudah mengulurkan tangan menyeberangi meja di depan. Nayra menyambut tangan itu.
"Saya Arvin, selaku asisten dari Presdir sendiri," ujarnya mantap di sela jabat tangan mereka.
Kedua mata Nayra melebar takjub. Lalu mengangguk dan tersenyum kembali.
"Di perusahaan ini kamu akan ditempatkan sebagai sekretaris Presdir langsung." Penjelasan Arvin sontak mengejutkan Nayra.
"Maksud Bapak? Hmm, jadi… saya diterima, Pak?" Nayra mendelik ragu.
Arvin mengangguk. "Benar, mulai besok pagi kamu bisa langsung bekerja."
Arvin yang ada di hadapannya menaikkan sebuah senyuman, seakan tahu bagaimana perasaan senang yang ada pada diri Nayra.
"Tapi, hari ini kamu harus menjalani training singkat dulu." Ucapan yang Arvin lontarkan barusan membuat senyum Nayra surut, lantas tergantikan oleh mimik serius.
"Baik, Pak. Saya akan melakukannya," paparnya lantang penuh semangat.
Arvin mengambil salah satu buku lumayan tebal di dekatnya. Kedua mata Nayra mengikuti gerakan Arvin yang membuka bukunya satu kali, memutarnya hingga menghadap ke arahnya, kemudian mulai berdeham untuk menjelaskan lagi.
"Ini, kamu coba periksa daftar isi di sini." Arvin menuding tulisan yang memenuhi satu halaman tersebut.
Nayra mencondongkan tubuhnya, mencoba memperhatikan tulisan yang lumayan kecil jika dibaca dari posisi duduknya.
"Ini adalah tata cara juga hal-hal yang tidak disukai oleh beliau. Pelajari dan lakukan secara tepat. Bos kita orang yang disiplin."
Nayra mengerjap cepat. Tapi… bukunya kenapa bisa setebal ini? Batin Nayra mulai khawatir.
Arvin tiba-tiba bangkit dari duduknya. "Ayo, aku akan menunjukkan tempatmu besok."
Tanpa menunggu jawaban dari Nayra, pria tersebut berderap keluar. Nayra tergegau lalu segera mengikuti langkah Arvin.
Menaiki lift, Arvin menekan angka 25 di tombol itu. Nayra mengawasi gerakan Arvin di depannya. Sontak ia tertegun.
Mengerti keterkejutan dalam diri Nayra, Arvin menoleh singkat. "Ruangan Presdir ada di lantai tertinggi gedung ini."
Nayra mengangguk dengan terpana meskipun Arvin tak melihatnya. Ini bagai mimpi yang tak terduga.
Tak lama setelahnya, lift terbuka. Arvin menggiring kakinya menyusuri koridor panjang diikuti Nayra. Di ujung lorong terlihat sebuah ruangan eksklusif dengan dua pintu kaca transparan.
Arvin membuka pintu tersebut, menunjukkannya kepada Nayra yang kini sudah dibuat kagum oleh ruangan di depannya. Nayra tak berhenti terpukau saat mengedarkan pandangannya menyapu seluruh sudut ruangan itu.
“Woah…”
Ruangan presdir sangat luas dengan menyuguhkan langsung lanskap megahnya ibukota dari jendela. Ruangan tersebut memang didominasi oleh kaca. Mungkin karena pimpinannya tidak mau terlalu stress di tengah beliau bekerja.
Membayangkan presdirnya hampir botak akibat tekanan kerja membuat Nayra lantas terkikik. Ia segera menutup mulutnya ketika Arvin menatapnya sembari melipat dahi.
Tak ingin ambil pusing, Arvin pun segera mengajak Nayra untuk kembali. Nayra menurut lalu mengikuti jejak Arvin yang keluar dari ruangan itu.
Namun sebelum keluar, Nayra sempat melihat sekilas sebuah nama yang bertengger di atas meja besar di dalam ruangan tadi.
"Alfredo Atmajaya," gumamnya saat membaca tulisan tersebut.
Nayra dan Arvin berpisah. Pria itu bilang ada urusan pekerjaan, lantas memperbolehkan Nayra membawa buku tebal tadi untuk dipelajari.
Nayra membawa buku tersebut ke lantai satu, lalu duduk di salah satu sofa yang ada di lobi utama. Ia meletakkannya di atas meja dan mulai membuka satu per satu halamannya.
Tenggorokan Nayra seakan tercekat, peraturan yang ada di dalamnya terlalu banyak untuk diingat. Wajahnya kini pucat pasi. Walaupun bara semangat terus menyala di dalam diri Nayra, namun buku di hadapannya sekarang sangat menguras kapasitas otaknya.
"Seperti apa Pak Presdir di sini?" lirih Nayra tak percaya saat mulai membaca peraturan di dalamnya. Ia memijat pelipisnya, lalu menghela napas.
"Ini kenapa banyak banget," keluhnya tak sanggup mencerna isi buku tersebut ke dalam otaknya.
Setelah itu, Nayra mulai mengamati beberapa karyawan yang berlalu-lalang di sekitarnya. Mengamati bagaimana mereka berbusana juga bekerja. Semakin lama, ia merasa takjub dan beruntung dapat diterima di perusahaan ini.
"Ya ampun, kamu tahu nggak? Pak Presdir seenaknya saja menolak presentasiku di depan semua kolega!" ucap salah satu pegawai di sana. Dari nadanya seperti hampir menangis.
Teman satunya hanya mengembuskan napas panjang. "Hah… kamu tahu sendiri gimana orang galak itu."
Nayra terperanjat. Kemudian dua pria paruh baya di dekatnya juga berhasil mengalihkan perhatiannya. Kedua pria tersebut terlihat frustasi dan wajahnya sudah merah padam.
"Rasanya aku pengen resign dari sini saja, To. Ya Allah, ndak sanggup aku punya bos modelan begitu," sungut salah satu pria yang terdengar kental dengan aksen Jawanya.
"Aku juga gitu. Parah banget itu orang. Pengen aku jadikan tumbal aja!"
Sekujur tubuh Nayra langsung meremang. Raut mukanya tampak khawatir. Separah itukah bosnya?
Nayra memutuskan untuk bangkit berdiri, kemudian segera pulang dari gedung besar tersebut. Mungkin ia akan berpikir ulang saat dirinya sudah mencapai rumah.
Keluar dari area perusahaan besar itu, Shada berjalan di trotoar. Ia lalu menghentikan sebuah angkutan umum dan menyeret kakinya naik.
Tak jauh dari sana, sepasang mata sedang mengawasinya. Guna begitu tercekat saat tahu Nayra keluar dari salah satu perusahaan besar di kota ini.
Guna menggertakkan giginya begitu tahu kemungkinan besar wanita tersebut bekerja di sana.
"Nggak! Nggak mungkin! Masa dia enak kerja di sana, sementara aku belum mendapatkan kerja sama sekali! Dia nggak boleh bahagia tanpaku!" geram Guna dengan menekuk wajahnya.
Sesampainya di rumah, Nayra langsung menuju ke dalam kamarnya. Tapi ketika indra pendengarnya menangkap suara berisik dari dapur, ia lekas keluar.
Nayra mendes*h lega saat memastikan ayahnya duduk di depan televisi dengan tenang. Ia lalu menggiring kakinya pelan sembari memeriksa apa yang tengah Ida lakukan.
"Punya keluarga nggak guna semua!"
Nayra mengernyit begitu mendengar umpatan Ida. Wanita itu menarik beberapa peralatan masak yang ada di dapur dan meletakannya kasar di sebelah kakinya.
"Astaga… apalagi yang Ibu lakukan?" lirih Nayra sambil mengusap dadanya.
Demi menghindari konflik, Nayra akhirnya kembali ke kamar. Ia meneguhkan pendiriannya untuk mulai bekerja besok apapun yang akan ia hadapi nantinya. Semua ini untuk ayahnya agar tak mendengar banyak ocehan Ida mengenai keuangan.
♡♡♡
Keesokan paginya, Nayra kecewa dengan meja makan yang kosong. Ida bahkan tidak mau menyiapkan makanan bagi Budi maupun dirinya. Wanita tersebut lebih memilih diam di dalam kamar sembari bertelepon di hari masih pagi begini.
Nayra berdecak kesal, kemudian memutuskan untuk membeli sayur lodeh di warung depan gang rumahnya.
Padahal hari ini ia tidak boleh terlambat. Namun, antrean panjang yang ada di depannya membuatnya gusar dan sesekali memeriksa jam yang terlingkar di tangannya.
Setelah dilayani, Nayra segera membawa makanan itu untuk ayahnya juga Ida. Ia menaruhnya di meja makan lantas segera bersiap-siap tanpa menyentuh nasi dan sayur yang baru saja ia beli.
Ida memandang heran tatkala menyaksikan kepergian Nayra dengan setelan pakaian formal yang rapi. Ida belum tahu jika Nayra sudah mendapatkan pekerjaan.
Nayra berlari seraya memeriksa jam tangannya. Wajahnya cemas karena angkutan yang biasa ia tumpangi sudah berangkat meninggalkannya.
Dengan napas terengah-engah, Nayra berhenti sebentar untuk meraup oksigen di sekitarnya.
Namun ketika ia hendak melanjutkan perjalanannya lagi, sebuah mobil kencang dari arah belakang justru melewati genangan air tepat di dekatnya.
Air kotor nan keruh tersebut lantas menyembur ke badan Nayra. Nayra terperangah kemudian murka.
"Astaga!"
Bersambung..
"Hei, tunggu dulu! Kurang ajar!" pekik Nayra begitu melihat kondisi baju yang tengah ia pakai.Nayra menggerutu, tidak mungkin ia kembali lagi ke rumah demi mengganti pakaiannya. Nayra sudah mencapai lebih dari separuh perjalanannya.Tak ingin membuang waktu, Nayra segera mengejar mobil itu."Heh, tanggung jawab!"Namun percuma, si pengendara tidak bisa mendengar teriakan Nayra. Mobil mewah warna hitam berkilat tersebut tetap melaju kencang meninggalkan Nayra yang berlari dengan napas terengah-engah.Nayra sempat melihat nomor plat mobil yang menyebabkan kesialannya pagi ini. Ia tahu jika si pemilik pasti orang kaya karena beberapa kombinasi angka dan huruf di plat mobil itu membentuk sebuah nama."Aldo?" Nayra mencoba menebak nama sang pemilik.Nayra tetap memacu kakinya cepat, sehingga ia beruntung dapat mencapai perusahaan saat ini.Begitu mendekat, Nayra terperanjat. Kedua mata dengan iris warna cokelatnya membulat sempurna. Tampak mobil dan plat nomor yang sama terparkir rapi di
Nayra membeku di tempat. Tatapan pria itu seakan sanggup membunuhnya sekarang juga. Tubuhnya meremang lantas segera menyelinap kembali ke dalam toilet.Sementara Pria bernama Aldo beserta orang-orangnya terus berderap. Arvin yang berada jauh di belakang rombongan tersebut terlihat bingung. Ia hendak memanggil Nayra, namun seketika ia urungkan karena yang lainnya berlalu begitu cepat.Kini tangan Nayra mencengkeram tepi wastafel kuat. Kedua matanya mengerjap sambil mencoba mencerna apa yang baru saja ia saksikan.Nayra menggigit bibir bawahnya. Ia lalu mendongak dan memandang cermin. Di pantulan cermin itu, ia dapat melihat raut mukanya yang takut dan khawatir."Apa aku sudah gila?" Nayra bergerak gelisah. Ia lalu menuntun langkahnya ke sana ke mari dengan frustasi.Nayra mencoba menjernihkan pikirannya yang sedang keruh. "Sebentar. Aldo itu ternyata presdir di sini? Bukannya namanya Alfredo? Eh, Aldo, Alfredo…" gumamnya sembari menggigit jari beberapa kali."Astaga!" Sontak Nayra menu
Arvin meneguk ludah, lalu membuka mulut hendak bicara. Namun ia urungkan karena Nayra mendahuluinya."Sa-saya dipecat, Pak?" Suaranya parau menunjukkan kekecewaan.Kedua mata sipit Aldo menatap Nayra nyalang. Ia lalu mendengus dan membuang muka. Malas untuk bicara dengan karyawan yang menurutnya tidak berguna dan membuang-buang waktunya saja."Pak, sebenarnya tidak ada yang melamar posisi sekretaris Anda kecuali Mbak ini," aku Arvin akhirnya.Aldo tertegun. Ia lantas memandang ke arah Arvin, meminta penjelasan lebih lanjut kepada pria berkacamata tersebut."Apa maksudmu? Yang benar saja?!" sembur Aldo keras."Iya, Pak. Maka dari itu saya langsung menerima Mbak Nayra." Arvin membungkukkan badan lagi. "Saya minta maaf, Pak."Aldo mengatupkan rahangnya. Ia berkacak pinggang sembari terlihat berpikir. Wajahnya sangat serius.Sementara itu, Nayra melirik Aldo yang tepat berada di depannya. Setelah ia amati, secara fisik Aldo memang mirip dengan Pak Nugroho.Kulit putih, mata sipit tajam, a
Arvin terlonjak ketika menyadari perkataannya. Ia segera menegakkan tubuh sekaligus memperbaiki kacamatanya.Arvin lalu memperhatikan Aldo yang diam sembari berpikir."Kenapa, Pak? Ada masalah?" Arvin cemas.Aldo meletakkan bolpoinnya lantas menggeleng. "Coba bawa sini ponselmu," sahutnya memberi kode agar Arvin menghampirinya di meja.Arvin lekas berdiri kemudian menyodorkan ponsel yang masih menampilkan berita dari salah satu website nasional.Aldo mencondongkan tubuhnya demi membaca judul besar yang bertengger di atas artikel tersebut.[Suami Ketahuan Selingkuh di Kontrakan Sendiri, Wanita ini Nekat Memviralkannya Lewat Video Live.]Kedua mata sipit Aldo menajam. Manik hitamnya bergerak cepat selaras dengan tempo bacanya. Ia lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lantas membuang napas kasar.Arvin yang sedari tadi berada di depannya menjadi canggung. "Ada apa, Pak? Anda baik-baik saja?" tanyanya penuh kekhawatiran."Tidak. Aku hanya berpikir suaminya beneran brengsek. T
Nayra refleks memejamkan kedua mata tatkala cangkir berikut isinya terlempar ke lantai di sekitarnya.Setelah membuka mata pelan, Nayra tersentak. Kedua manik matanya terbelalak kaget. Nayra menutup mulut dengan salah satu tangan agar pekikan ketakutannya tidak lolos saat itu juga.Sekarang ia tengah memandangi pecahan cangkir sekaligus tumpahan kopi di lantai di dekat kakinya. Bahkan beberapa bercak noda kopi mendarat di blouse putih yang sedang ia kenakan.Kedua netra Nayra lalu terseret ke arah Aldo yang menatapnya tajam. Kulitnya yang semula putih pucat kini bersemu merah karena murka."Kamu itu bodoh atau apa, hah! Cepat buatkan minuman lagi!"Nayra tertegun. Setengahnya ia bingung, ada dimana letak kesalahannya?Kemudian kerongkongan Nayra terasa penuh, suaranya juga tak bisa ia keluarkan secara leluasa. Nayra sedang menahan agar tak menjatuhkan buliran bening yang hampir meluap dari pelupuknya. Ia begitu ketakutan melihat mimik kemarahan yang ditunjukkan Aldo.Tanpa menjawab ap
"Pak Aldo serius akan melakukan itu?" Arvin terperanjat, tidak percaya.Aldo kemudian mendongak lagi. "Kenapa? Kamu tidak setuju?" cecarnya sembari menautkan alis.Arvin terdiam. Sambil memperbaiki letak kacamatanya, ia merenung."Bukannya begitu, Pak. Tapi Anda apa tidak kasihan sama Mbak Nayra? Mbak Nayra janda, Pak. Tidak punya suami," erang Arvin tersulut empati."Aku tidak peduli apapun statusnya, Vin. Aku hanya melihat kinerjanya. Kalau pekerjaannya baik, aku tidak mungkin melakukan ini." Aldo membela diri."Tapi tetap saja, Pak. Sebaiknya jangan terlalu membuatnya menderita." Arvin tampak khawatir. Ia tahu bahwa wanita manapun pasti mengalami kesulitan di masa awal mereka bercerai."Kamu yang jangan terlalu banyak bicara! Dia pegawaiku, jadi aku bebas melakukan apa saja." Aldo sengaja menekan di kalimat terakhir."Sudah, Vin. Kamu diam saja dan lihat apa yang akan aku lakukan."Arvin membeku di tempat. Ia tahu Aldo memang keras kepala dan keputusannya sudah tidak bisa diganggu
Kedua pupil Nayra melebar. Ia memicingkan mata sambil mencoba fokus untuk mendengarkan pembicaraan Ida dengan seseorang di seberang telepon wanita tersebut. Indra pendengarnya menangkap hal yang membuat Nayra tercekat. "Guna?" Bibir Nayra bergerak menyebut nama itu dengan mimik tak percaya. Kenapa Ibu berbicara dengan Guna? Mereka masih berhubungan? Pertanyaan muncul saling bersimpangan dari dalam pikiran Nayra. Ia harus menerima jawaban sekarang juga, pikir Nayra lagi. Namun suara keras membuyarkan konsentrasinya. Nayra tersentak. Bunyi itu berasal dari ruang tamu dimana Budi berada. Nayra panik dan lekas berlari menuju sumber suara tersebut. Ketika melihat apa yang terjadi, Nayra terkesiap lalu berhambur menuju ayahnya. "Ya ampun, Ayah. Ayah kenapa?" Nayra memandang ke arah ayahnya dengan tatapan khawatir. Sedetik kemudian ia memeriksa kondisi Budi, takut jika terjadi sesuatu pada ayahnya. "Ayah tidak apa-apa kan?" tanyanya lagi untuk memastikan. Budi berusaha menggerakkan mu
Nayra melebarkan kedua mata. Ia menoleh ke sekitarnya dengan khawatir, kemudian menatap tajam ke arah Guna yang masih menyunggingkan senyumnya. "Ngapain kamu ke sini?!" tekan Nayra sembari mengatupkan rahang. Guna menyugar rambutnya, mengabaikan pertanyaan yang terlontar dari mulut Nayra. Ia justru sedang menikmati pemandangan di sekelilingnya yang merupakan kawasan perusahaan elite. Tampak dua karyawati lewat di belakang tubuh Nayra seraya menancapkan perhatian ke arah mereka. Guna bersiul sepanjang dua pasang mata itu menatapnya. Keduanya kemudian saling berbisik karena mengenali Guna yang pernah viral di sosial media. "Kamu hebat juga bisa kerja di sini. Ada lowongan buat aku nggak?" Guna menyeringai lebar. "Apa-apaan kamu! Kamu kemari cuma buat tanya lowongan?" Nayra tergelak tak percaya. Ia bersedekap seakan membentengi dirinya sendiri. "Nggak sih. Mau nemuin kamu." Guna menaikkan-turunkan kedua alis tebalnya. "Carikan aku pekerjaan dong, Nay." Nayra langsung mendelik. "Ena
Ida mengusap perlahan perutnya yang mulai membesar sembari menunggu bus yang tengah ia tumpangi menepi. Kedua matanya lebih sayu dari enam bulan yang lalu. Ida memutuskan kembali ke kampung halamannya dan mulai hidup baru di sana sejak peristiwa pengarakan yang membuatnya tak ingin ia ingat.Meski begitu, gosip di tengah masyarakat desa ternyata lebih kejam menggunjingnya. Apalagi berita mengenai perselingkuhannya viral dan menguar ke berbagai media sosial nasional. Ia sangat malu, tapi kehidupan di desa lebih menjamin dibanding di kota jika menyangkut masalah pekerjaan. Di kampungnya sendiri, asal ia gerak, maka ia dapat upah juga dengan membanting tulang di ladang milik tetangga kaya atau tuan tanah.“Pak, turun di sini, Pak!” Dari belakang, Ida mengingatkan sang sopir.Ia mulai melangkahkan kaki perlahan dengan mencangking sebuah kresek lumayan besar, lantas turun dari kendaraan besar beroda empat tersebut selagi orang-orang menatapnya. Tanpa menunggu waktu, Ida lekas melanjutkan p
Banyak orang tengah mengerumuni rumah kontrakan Guna pagi ini. Salah satu dari mereka ketua RT di wilayah tempat tinggal Guna, sementara sebagian besarnya merupakan warga yang kepo dengan penggerebekan kali ini.“Maaf, Bu. Saya selaku ketua RT di sini terpaksa harus mengamankan Ibu dan Mas Guna dulu. Hal ini dikarenakan banyak aduan dari warga bahwa di rumah ini sering disalahgunakan untuk kumpul kebo. Benar begitu, Mas Guna?” papar sopan seorang pria paruh baya secara lugas.Ida menegang. Kedua matanya menyapu orang-orang yang berada di belakang pria tadi sedang antusias memotret maupun merekamnya. Tampaknya mereka sangat penasaran dengan kondisi di rumah ini. Apalagi ternyata tersiar kabar bahwa wanita yang dibawa Guna ke kontrakannya memiliki selisih usia yang tak wajar.Guna mendengus keras. Hasil lab dari penyakitnya masih menghantui dirinya. Bagaimana tidak, di dokumen tersebut tertulis jelas bahwa Guna terjangkit virus HIV. Guna tiba-tiba menggelengkan kepala sambil menatap ke
Nayra terpaksa melakukan hal ini. Memasukkan semua barang Ida ke tas besar, lalu melemparnya ke luar rumah selagi ibunya itu memohon agar tidak diusir.Budi yang menyaksikan adegan ini sesenggukan. Perasaannya campur aduk antara kecewa karena merasa gagal menjadi sosok kepala rumah tangga, sedih, marah, menyesal dan tentu sejujurnya ia tak mau akhirnya jadi begini."Nay, maaf! Jangan usir Ibu!" Berkali-kali Ida memohon kepada Nayra, namun nyatanya Nayra sudah tak sudi mendengar semua penjelasan atau sekadar mengasihani ibunya.Nayra tidak keberatan menjadi anak durhaka sekarang. Ia amat kecewa, dan jijik dengan Ida. "Perceraian kalian biar nanti aku yang urus!" gertak Nayra sembari memasukkan barang Ida dan mendorongnya ke tubuh wanita dewasa tersebut.Ida menekuk wajahnya. Percuma. Sepertinya apa pun penjelasannya, Nayra tetap bersikukuh mengusir dirinya."Oke! Urus aja! Hidupmu bakal lebih buruk setelah ini! Lihat aja!" ancam Ida kemudian. Ia sudah tak sudi memohon.Tapi, setelahnya
Sontak keduanya memalingkan perhatiannya kepada satu titik. Nayra terperangah.“Marsella? Ada apa, Sel?”Aldo yang ada di samping Nayra kini mengacak rambutnya frustasi. Wanita di depannya sekarang datang pada waktu yang tidak tepat.“Mbak, aku mau bicara sebentar. Ini penting.” Raut wajah Marsella tampak terdesak. Tapi, Nayra tak dapat menebaknya sama sekali.Nayra akhirnya menoleh ke arah Aldo dengan segan, kemudian berkata, “Maaf, Ko. Kita bicara lagi nanti, ya.” Ekspresi Nayra sungkan.“Ya, Nay. Aku pulang dulu kalau begitu.” Aldo mau tak mau mengangguk, lalu melangkahkan kaki pergi meski sebenarnya enggan.Kedua netra Nayra mengikuti gerakan Aldo hingga pria itu hilang dari pandangannya. Nayra menghela napas, lantas kembali menaruh perhatian pada Marsella yang sudah tampak tak sabar.“Lanjut, Sel. Kamu mau ngomong apa?”Marsella bergerak meraih ponsel yang ada di dalam tasnya. Dengan gerakan cepat, ia memutarkan video berdurasi tak kurang dari satu menit tersebut. Tangannya terju
Kedua netra Marsella melebar tatkala taksi yang ia tumpangi meluncur perlahan dikarenakan efek macet sore ini. Secara kebetulan ia menangkap sosok menyebalkan Guna justru berjalan beriringan bersama wanita dewasa yang pernah mengolok-ngoloknya usai video perselingkuhannya viral ke mana-mana."Pak, bentar. Kita berhenti dulu, ya," ungkap Marsella cepat sementara dua manik hitamnya terus mengikuti jejak mereka.Marsella mula-mula meraih ponselnya, lalu memberanikan diri untuk menghubungi Guna lagi. Dari balik kaca mobil, ia memperhatikan gerak-gerik Guna yang mengerutkan kening sewaktu ponsel miliknya berdering.Guna terpaku menatap sebuah nama yang terpampang di layar selama sekian detik sebelum memutuskan untuk menjawab."Halo?" Guna akhirnya menempelkan benda persegi panjang tersebut ke telinga."Gun, kamu ada di mana?"Wajah Guna memerah. Selain masih terbawa emosi, ia agaknya kesal karena Marsella tak bisa dihubungi selama ini. Marsella juga tidak ada sewaktu dirinya berada di titi
Rianty menggertakkan gigi sewaktu menyaksikan sosok yang ia benci beberapa tahun lalu malah muncul kembali di hadapannya. Mukanya merah padam. Kini amarah Rianty berkembang menjadi dua kali lipat.Stefanny tersenyum simpul, berdiri, kemudian berderap mendekat demi menyambut kehadiran Rianty yang sengaja ia tunggu-tunggu.“Halo, Tante. Akhirnya kita bertemu, ya.” Sambil mempertahankan senyumnya, tangan Stefanny terulur untuk berjabat tangan dengan Rianty.Rianty mengatupkan rahang, sementara Nugroho yang ada di sisinya kebingungan menyaksikan situasi di depannya. Rianty mendengus, mengabaikan tangan yang terlihat menunggu di hadapannya.“Ternyata kamu anaknya Rachel. Tahu begitu aku tidak akan sudi menghubungi Rachel demi anak sepertimu,” ketus Rianty langsung menghunjam dada Stefanny.Stefanny tergelak. Ia memandang tangannya yang tak dianggap, lantas menariknya kembali. Ia tersenyum miring sembari mengibaskan rambut pendek hitamnya yang cemerlang.“Begini. Tante saya nggak salah sih,
Aldo terkesiap. Bibir lembut itu tiba-tiba menyerobot dan tak memberi napas sedetik pun. Jika saja ciuman tersebut mereka lakukan beberapa tahun silam, mungkin Aldo tak akan sekesal sekarang. Ia segera mendorong tubuh Stefanny menjauh tatkala mendengar suara benda jatuh tak jauh dari posisinya.Sontak kedua netra Aldo melebar usai melihat siapa yang baru saja datang di ruangannya.“Nayra!” Aldo lekas bangkit, ingin mengejar Nayra yang sekarang berlari pergi. Tetapi sebuah tangan terulur untuk mencegahnya.Aldo yang sudah muak menoleh dan langsung mengibaskan lengannya hingga terlepas dari cengkeraman wanita tersebut.“Sial, kamu harus tanggung jawab!” tuding Aldo murka sebelum berlari mengejar kepergian Nayra.Alih-alih merasa bersalah. Stefanny justru menyunggingkan seringaiannya dengan puas.“Pertunjukkan ini semakin seru ternyata,” gumamnya tersenyum miring.Aldo melangkahkan kaki cepat mencari keberadaan Nayra. Sejumlah karyawan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tak seperti bia
Saat itu Nayra baru saja dari divisi marketing, memeriksa dokumen-dokumen yang ia minta sambil berjalan menelusuri koridor.Tiba-tiba telinganya menangkap sepasang suara yang ia kenal baik. Nayra mendongak, menyaksikan Aldo dan Stefanny tengah menggiring kaki dari arah yang berlawanan sembari tertawa.Sepertinya mereka sedang bercanda, atau membicarakan tentang masa lalu indah mereka, atau bahkan mulai merangkai masa depan bersama."Hahaha, begitu, ya! Kamu pintar, Fan!" celetuk Aldo melirik Nayra, lantas menyampirkan tangannya pada pundak Stefanny."Wah, iya dong, Do. Kan kamu suka aku dulu karena kecerdasanku." Stefanny menyombongkan diri.Nayra memilih segera fokus ke dokumen kembali. Ia sengaja bersikap acuh tak acuh demi menyembunyikan perasaan berkecamuk yang sesungguhnya. Toh, ia benar-benar merasa tak layak. Jadi, Nayra tentu saja mengikhlaskan Aldo bersama wanita secantik dan sepintar Stefanny.Aldo dan Nayra saling melewati tubuh masing-masing. Nayra masih tampak berkutat pa
“Kamu tidak perlu tahu,” ucap Aldo ketus. Tak sudi menatap lawan bicaranya.Stefanny menggigit bibirnya emosi. Tangannya terkepal erat mendengar jawaban Aldo. Ia kecewa, padahal selama ini ia rela banting tulang mengurus perusahaan yang bukan milik keluarganya sendiri demi membuktikan diri dan kembali kepada Aldo.“Apa itu Nayra?” tekan Stefanny. Ia buru-buru membuang muka demi menyembunyikan kegeramannya. “Aku tau tatapanmu beda untuk perempuan itu.”Napas Stefanny semakin berat. Tapi, Aldo tak kunjung menjawabnya juga. Justru beruntung bagi Aldo karena lift di hadapannya lekas terbuka.“Dinner kita batal,” sergah Aldo dingin sebelum benar-benar keluar dari lift.Rahang Stefanny mengeras tatkala matanya menyaksikan punggung Aldo menjauh. Saking marahnya, kerongkongannya seperti tertutup oleh sesuatu yang menyakitkan. Mungkin sedikit lagi air matanya tumpah. Tetapi, Stefanny pantang menangis. Ia sudah terbiasa makan asam garam kehidupan.Dan, sejauh ini, pernyataan dari mulut Aldo bar