Nayra membeku di tempat. Tatapan pria itu seakan sanggup membunuhnya sekarang juga. Tubuhnya meremang lantas segera menyelinap kembali ke dalam toilet.
Sementara Pria bernama Aldo beserta orang-orangnya terus berderap. Arvin yang berada jauh di belakang rombongan tersebut terlihat bingung. Ia hendak memanggil Nayra, namun seketika ia urungkan karena yang lainnya berlalu begitu cepat.
Kini tangan Nayra mencengkeram tepi wastafel kuat. Kedua matanya mengerjap sambil mencoba mencerna apa yang baru saja ia saksikan.
Nayra menggigit bibir bawahnya. Ia lalu mendongak dan memandang cermin. Di pantulan cermin itu, ia dapat melihat raut mukanya yang takut dan khawatir.
"Apa aku sudah gila?" Nayra bergerak gelisah. Ia lalu menuntun langkahnya ke sana ke mari dengan frustasi.
Nayra mencoba menjernihkan pikirannya yang sedang keruh. "Sebentar. Aldo itu ternyata presdir di sini? Bukannya namanya Alfredo? Eh, Aldo, Alfredo…" gumamnya sembari menggigit jari beberapa kali.
"Astaga!" Sontak Nayra menutup bibirnya dengan tangan. Kedua matanya melebar seketika.
Nayra menepuk dahi. "Mampus! Selesai sudah riwayatku! Gimana ini ya, Tuhan?!" Kegelisahan Nayra mulai memuncak.
Sementara itu, rapat para petinggi eksekutif telah dimulai. Aldo menatap tajam ke arah kursi di dekatnya yang kosong. Ia lalu mengalihkan perhatiannya ke salah satu manajer yang sedang berdiri dan mempresentasikan kinerja timnya dengan nadi di sekitar leher yang masih berdenyut-denyut.
Arvin yang sudah mengenal Aldo dengan baik, paham apa yang tengah dirasakan pimpinannya itu. Ia juga ikut melirik kursi yang seharusnya diisi Nayra dengan gelisah.
Arvin diam-diam meraih ponselnya. Sambil memperhatikan rapat yang tengah berlangsung, ia bergerak untuk menghubungi Nayra.
Pertama, Arvin memilih mengiriminya pesan singkat. Setelah selang beberapa menit Nayra tak membalas pesannya, Arvin menimbang-nimbang hendak menelepon wanita tersebut.
Namun ketika ia hendak bangkit dan izin keluar, ponselnya berbunyi singkat. Tanda bahwa ada pesan masuk untuknya.
Arvin membukanya, lalu menghela napas berat setelah membaca pesan yang Nayra kirimkan.
[Mohon maaf, Pak. Saya mendadak sakit perut. Jadi kemungkinan saya akan terlambat mengikuti rapat.]
Arvin kemudian memandang Aldo gusar. Bertepatan dengan itu, Aldo justru tengah melemparkan tatapan serius ke arahnya. Arvin tersenyum segan lantas menyapu tengkuk lehernya pelan.
Mau tak mau, akhirnya selama rapat Arvin mengambil alih posisi Nayra sebagai sekretaris baru Aldo.
Dan sepanjang rapat juga, Aldo meradang. Aldo adalah tipikal orang yang disiplin. Ia tidak akan menoleransi keterlambatan sedetik pun. Apalagi sikap tidak tanggung jawab yang ditunjukkan oleh sekretarisnya yang merupakan karyawan baru. Aldo mengepalkan tangannya erat.
Aldo dan Arvin menyapa beberapa kolega penting setelah rapat usai. Aldo mengulum senyumnya, tetapi sekali lihat saja Arvin langsung paham jika Aldo melakukannya secara terpaksa. Arvin pikir Aldo masih geram dengan Nayra.
Sekarang hanya tinggal mereka berdua di sana. Aldo langsung mengubah ekspresinya menjadi serius kembali.
"Vin, pegawai yang baru kamu rekrut ada di mana sekarang, hah?!" tandas Aldo marah.
Arvin terlihat kelimpungan. "Sebentar, Pak. Saya akan mencoba meneleponnya." Ia meraih ponsel dari dalam saku celananya dengan gugup.
"Ya, cepetan!" Aldo bersedekap. Kedua mata sipitnya menatap lurus tajam ke depan.
Setelah beberapa menit, akhirnya Arvin dapat menghela napas lega. Teleponnya sudah tersambung dengan Nayra.
"Mbak, kamu ada di mana? Pak Alfredo mencarimu sekarang juga." Arvin mencuri pandang ke arah Aldo dengan ragu. Sementara Aldo mendengus, sudah siap untuk meluluhlantakkan emosi yang dari tadi bergemuruh di dalam dadanya.
Arvin menutup sambungan teleponnya, lalu menatap Aldo. "Sebentar lagi Mbak Nayra mau ke sini."
♡♡♡
Motor Guna memasuki halaman rumah kontrakan sederhana yang dulunya ia kontrak bersama Nayra. Guna melepas helmnya lantas menggiring kakinya menuju ke dalam rumah.
Sebelah tangannya mengibaskan map warna cokelat yang di dalamnya terdapat beberapa dokumen syarat melamar kerja.
Peluh mengalir deras dari rambut cepak milik pria itu. Dari pagi usahanya untuk mendapat pekerjaan tak membuahkan hasil apapun.
Semakin hari Guna semakin sulit memperoleh pekerjaan. Itu karena kebanyakan dari mereka sudah memasukkan Guna Aditya ke dalam blacklist.
Guna geram. Sejak dirinya viral di berbagai sosial media—bahkan sempat tersiar juga di berita televisi—ia tidak bisa bergerak bebas lagi. Kemanapun Guna pergi, orang-orang di sekitarnya selalu merundung dirinya.
Pernah suatu kali saat Guna membeli rokok di salah satu mini market, seseorang dari belakang tiba-tiba memukulnya dengan botol sabun mandi yang berukuran besar.
"Rasakan! Makanya jadi lelaki jangan sok kegantengan!" celetuk salah satu ibu-ibu.
Tak hanya itu, beberapa pria di dekatnya juga melemparinya dengan kata-kata hujatan kotor kepadanya.
Guna menggeram, ini semua karena Nayra.
Guna mengernyit heran tatkala ia membuka pintu yang ternyata tidak terkunci. Ia masuk ke dalam, menghirup aroma vanilla yang sangat ia kenali.
Dengan langkah cepat, Guna segera melangkahkan kaki menuju kamar. Setelah membuka pintu, orang yang ia harapkan ternyata sudah berada di sana. Guna mengulum sebuah senyuman.
Wanita itu mendongak. "Kamu sudah dapat pekerjaan?" tanyanya dengan posisi tidur terlungkup.
Senyuman di bibir Guna raib seketika. Guna mengacak rambutnya frustasi seraya menuntun kakinya masuk dan duduk di tepi tempat tidur.
"Belum juga. Sialan! Semua ini gara-gara Nayra!"
Wanita berkulit bersih dengan rambut bergelombang yang dicat warna caramel terang lantas mengubah posisinya. Ia duduk dengan melipat kaki. Tampak daster motif bunga yang ia kenakan menyibakkan kakinya yang jernih dan jenjang.
Guna mengalihkan perhatiannya pada tubuh wanita tersebut. "Kenapa kamu sudah ada di sini, Sel?"
Wanita bernama Marsella tersebut kemudian mengerucutkan bibirnya. Ia beringsut dan mendekati posisi duduk Guna.
Tangannya mengusap dada kekar Guna dengan lembut. "Rekeningku masih dibekukan sama Papi, padahal skincareku habis. Mas Guna nggak punya uang simpanan?"
Guna menggelengkan kepalanya pasrah. "Udah habis, Sel. Kerjaan juga belum dapat. Aku masih bingung gimana caranya biar cepat dapat uang," desah Guna.
Marsella berdecak kesal, kemudian semakin menekuk wajahnya. Guna menoleh lantas membelai dagu Marsella.
"Kamu jangan marah gitu dong. Sabar, aku pasti cepat dapat uang untuk beli skincaremu." Guna berbisik lembut. Kedua matanya lalu menjelajahi paha Marsella yang tersingkap.
"Sekarang, ayo kita bersenang-senang dulu," lirihnya sembari mendorong tubuh Marsella ke atas kasur.
Sementara itu, di tempat lain Nayra menundukkan kepala sambil menahan napas. Ia tidak berani menatap kedua mata elang yang seakan menghunus dirinya.
"Ma-maafkan saya, Pak," ucapnya terbata-bata. Salah satu tangannya mencekal erat rok kotor yang sedang ia kenakan.
Aldo menghunjamkan tatapannya dari atas lalu ke bawah. Wajahnya datar, tak menunjukkan rasa simpati apapun.
"Oh, ternyata kamu karyawan baru yang tidak punya tanggung jawab itu!" sembur Aldo.
Nyali Nayra menciut seketika. Mendadak ia ingat tentang kejadian pagi tadi dimana dirinya membentak Aldo yang telah mengotori pakaiannya. Nayra langsung merutuki kebodohannya dalam hati.
Aldo kemudian menoleh ke arah Arvin. "Gimana kamu bisa merekrut karyawan yang sembarangan begini, Vin?!"
Sontak Arvin membungkukkan badannya segan. Kemudian mendongak dengan ekspresi memelas. "Maaf, Pak. Tapi—"
"Aku tidak mau dengar tapi-tapian! Ini juga tanggung jawabmu, Vin! Lihat, coba kamu perhatikan dia!"
Nayra meringis samar, merasa bahwa dirinya sedang dituding oleh pria kejam itu.
"Penampilan tidak rapi, baju lusuh dan kotor, tidak beretika, tidak datang tepat waktu, sama sekali tidak punya tanggung jawab! Kamu pikir seperti ini layak masuk perusahaanku, hah?!" nyalaknya kepada Arvin.
Arvin tersentak, lantas segera menundukkan kepalanya.
Aldo berpaling ke arah Nayra lagi, kemudian menggeram. "Kamu keluar saja dari sini. Aku tidak butuh karyawan dengan sumber daya rendah sepertimu!"
Nayra tercekat. Baik Nayra maupun Arvin mendongak secara bersamaan.
Bersambung..
Arvin meneguk ludah, lalu membuka mulut hendak bicara. Namun ia urungkan karena Nayra mendahuluinya."Sa-saya dipecat, Pak?" Suaranya parau menunjukkan kekecewaan.Kedua mata sipit Aldo menatap Nayra nyalang. Ia lalu mendengus dan membuang muka. Malas untuk bicara dengan karyawan yang menurutnya tidak berguna dan membuang-buang waktunya saja."Pak, sebenarnya tidak ada yang melamar posisi sekretaris Anda kecuali Mbak ini," aku Arvin akhirnya.Aldo tertegun. Ia lantas memandang ke arah Arvin, meminta penjelasan lebih lanjut kepada pria berkacamata tersebut."Apa maksudmu? Yang benar saja?!" sembur Aldo keras."Iya, Pak. Maka dari itu saya langsung menerima Mbak Nayra." Arvin membungkukkan badan lagi. "Saya minta maaf, Pak."Aldo mengatupkan rahangnya. Ia berkacak pinggang sembari terlihat berpikir. Wajahnya sangat serius.Sementara itu, Nayra melirik Aldo yang tepat berada di depannya. Setelah ia amati, secara fisik Aldo memang mirip dengan Pak Nugroho.Kulit putih, mata sipit tajam, a
Arvin terlonjak ketika menyadari perkataannya. Ia segera menegakkan tubuh sekaligus memperbaiki kacamatanya.Arvin lalu memperhatikan Aldo yang diam sembari berpikir."Kenapa, Pak? Ada masalah?" Arvin cemas.Aldo meletakkan bolpoinnya lantas menggeleng. "Coba bawa sini ponselmu," sahutnya memberi kode agar Arvin menghampirinya di meja.Arvin lekas berdiri kemudian menyodorkan ponsel yang masih menampilkan berita dari salah satu website nasional.Aldo mencondongkan tubuhnya demi membaca judul besar yang bertengger di atas artikel tersebut.[Suami Ketahuan Selingkuh di Kontrakan Sendiri, Wanita ini Nekat Memviralkannya Lewat Video Live.]Kedua mata sipit Aldo menajam. Manik hitamnya bergerak cepat selaras dengan tempo bacanya. Ia lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lantas membuang napas kasar.Arvin yang sedari tadi berada di depannya menjadi canggung. "Ada apa, Pak? Anda baik-baik saja?" tanyanya penuh kekhawatiran."Tidak. Aku hanya berpikir suaminya beneran brengsek. T
Nayra refleks memejamkan kedua mata tatkala cangkir berikut isinya terlempar ke lantai di sekitarnya.Setelah membuka mata pelan, Nayra tersentak. Kedua manik matanya terbelalak kaget. Nayra menutup mulut dengan salah satu tangan agar pekikan ketakutannya tidak lolos saat itu juga.Sekarang ia tengah memandangi pecahan cangkir sekaligus tumpahan kopi di lantai di dekat kakinya. Bahkan beberapa bercak noda kopi mendarat di blouse putih yang sedang ia kenakan.Kedua netra Nayra lalu terseret ke arah Aldo yang menatapnya tajam. Kulitnya yang semula putih pucat kini bersemu merah karena murka."Kamu itu bodoh atau apa, hah! Cepat buatkan minuman lagi!"Nayra tertegun. Setengahnya ia bingung, ada dimana letak kesalahannya?Kemudian kerongkongan Nayra terasa penuh, suaranya juga tak bisa ia keluarkan secara leluasa. Nayra sedang menahan agar tak menjatuhkan buliran bening yang hampir meluap dari pelupuknya. Ia begitu ketakutan melihat mimik kemarahan yang ditunjukkan Aldo.Tanpa menjawab ap
"Pak Aldo serius akan melakukan itu?" Arvin terperanjat, tidak percaya.Aldo kemudian mendongak lagi. "Kenapa? Kamu tidak setuju?" cecarnya sembari menautkan alis.Arvin terdiam. Sambil memperbaiki letak kacamatanya, ia merenung."Bukannya begitu, Pak. Tapi Anda apa tidak kasihan sama Mbak Nayra? Mbak Nayra janda, Pak. Tidak punya suami," erang Arvin tersulut empati."Aku tidak peduli apapun statusnya, Vin. Aku hanya melihat kinerjanya. Kalau pekerjaannya baik, aku tidak mungkin melakukan ini." Aldo membela diri."Tapi tetap saja, Pak. Sebaiknya jangan terlalu membuatnya menderita." Arvin tampak khawatir. Ia tahu bahwa wanita manapun pasti mengalami kesulitan di masa awal mereka bercerai."Kamu yang jangan terlalu banyak bicara! Dia pegawaiku, jadi aku bebas melakukan apa saja." Aldo sengaja menekan di kalimat terakhir."Sudah, Vin. Kamu diam saja dan lihat apa yang akan aku lakukan."Arvin membeku di tempat. Ia tahu Aldo memang keras kepala dan keputusannya sudah tidak bisa diganggu
Kedua pupil Nayra melebar. Ia memicingkan mata sambil mencoba fokus untuk mendengarkan pembicaraan Ida dengan seseorang di seberang telepon wanita tersebut. Indra pendengarnya menangkap hal yang membuat Nayra tercekat. "Guna?" Bibir Nayra bergerak menyebut nama itu dengan mimik tak percaya. Kenapa Ibu berbicara dengan Guna? Mereka masih berhubungan? Pertanyaan muncul saling bersimpangan dari dalam pikiran Nayra. Ia harus menerima jawaban sekarang juga, pikir Nayra lagi. Namun suara keras membuyarkan konsentrasinya. Nayra tersentak. Bunyi itu berasal dari ruang tamu dimana Budi berada. Nayra panik dan lekas berlari menuju sumber suara tersebut. Ketika melihat apa yang terjadi, Nayra terkesiap lalu berhambur menuju ayahnya. "Ya ampun, Ayah. Ayah kenapa?" Nayra memandang ke arah ayahnya dengan tatapan khawatir. Sedetik kemudian ia memeriksa kondisi Budi, takut jika terjadi sesuatu pada ayahnya. "Ayah tidak apa-apa kan?" tanyanya lagi untuk memastikan. Budi berusaha menggerakkan mu
Nayra melebarkan kedua mata. Ia menoleh ke sekitarnya dengan khawatir, kemudian menatap tajam ke arah Guna yang masih menyunggingkan senyumnya. "Ngapain kamu ke sini?!" tekan Nayra sembari mengatupkan rahang. Guna menyugar rambutnya, mengabaikan pertanyaan yang terlontar dari mulut Nayra. Ia justru sedang menikmati pemandangan di sekelilingnya yang merupakan kawasan perusahaan elite. Tampak dua karyawati lewat di belakang tubuh Nayra seraya menancapkan perhatian ke arah mereka. Guna bersiul sepanjang dua pasang mata itu menatapnya. Keduanya kemudian saling berbisik karena mengenali Guna yang pernah viral di sosial media. "Kamu hebat juga bisa kerja di sini. Ada lowongan buat aku nggak?" Guna menyeringai lebar. "Apa-apaan kamu! Kamu kemari cuma buat tanya lowongan?" Nayra tergelak tak percaya. Ia bersedekap seakan membentengi dirinya sendiri. "Nggak sih. Mau nemuin kamu." Guna menaikkan-turunkan kedua alis tebalnya. "Carikan aku pekerjaan dong, Nay." Nayra langsung mendelik. "Ena
"Anda memanggil saya?" Aldo mengerjap cepat. Ia menghela napas lega karena ternyata Nayra-lah yang masuk ke dalam ruangannya. Maklum, dirinya masih terhanyut dalam kenangan lama. Namun beberapa detik berikutnya, Aldo menjadi bingung. Ia tak merasa memanggil Nayra, lantas menggeleng. "Apa? Aku tidak—" Mendadak pintu kaca ruangan tersebut didorong lagi oleh Arvin yang baru saja tiba. Arvin mengangguk di belakang Nayra sambil mengangkat dua tangan membentuk silang. Pria itu juga menggerakkan mulutnya membentuk kata 'iya', tetapi Aldo tetap tidak mengerti maksudnya. Aldo menautkan kedua alisnya ke arah Arvin. Wajahnya bingung dan penuh tanda tanya. Nayra yang menunggu jawaban Aldo sontak hendak menoleh ke belakang. Bersamaan dengan itu, Aldo akhirnya paham, lalu segera mencegahnya. "Ah, iya... iya. Tadi aku memanggilmu," sahut Aldo secepat mungkin. Arvin terlihat lega dan menggerakkan tangan mengusap peluh di dahinya. Aldo tetap mengernyit sambil mengamati Arvin untuk menuntut respo
Sontak Nayra menghentikan gerakannya. Ia langsung menoleh ke arah sumber suara karena merasa mengenal sosok tersebut. Arvin berjalan mendekat dengan memasang ponsel yang ada di genggaman tangannya menghadap ke arah Nayra dan Marsella. Tatapan takjub ia tujukan kepada Nayra yang berani bertengkar di tempat umum. Tampak di dalam rekaman video tersebut, Nayra tersentak lantas segera melepaskan cengkeraman tangannya dari rambut Marsella. Begitu juga Marsella yang terpaku dengan mimik penuh tanya. "Pak Arvin," gumam Nayra kaget. "Kenapa Anda bisa ada di sini?" Kedua pipinya memerah menahan malu. Arvin menyudahi rekamannya kemudian tersenyum lebar. "Kan ini memang warung langgananku, Mbak." Nayra meringis, ia sangat malu karena Arvin memergoki dirinya sedang bertengkar dengan Marsella. Sementara Arvin tak ingin melewatkan momen langka yang ia lihat. Seorang Nayra yang terlihat kalem ternyata bisa melakukan perlawanan juga, pikir Arvin. Marsella tercenung memandang Arvin yang sepertinya
Ida mengusap perlahan perutnya yang mulai membesar sembari menunggu bus yang tengah ia tumpangi menepi. Kedua matanya lebih sayu dari enam bulan yang lalu. Ida memutuskan kembali ke kampung halamannya dan mulai hidup baru di sana sejak peristiwa pengarakan yang membuatnya tak ingin ia ingat.Meski begitu, gosip di tengah masyarakat desa ternyata lebih kejam menggunjingnya. Apalagi berita mengenai perselingkuhannya viral dan menguar ke berbagai media sosial nasional. Ia sangat malu, tapi kehidupan di desa lebih menjamin dibanding di kota jika menyangkut masalah pekerjaan. Di kampungnya sendiri, asal ia gerak, maka ia dapat upah juga dengan membanting tulang di ladang milik tetangga kaya atau tuan tanah.“Pak, turun di sini, Pak!” Dari belakang, Ida mengingatkan sang sopir.Ia mulai melangkahkan kaki perlahan dengan mencangking sebuah kresek lumayan besar, lantas turun dari kendaraan besar beroda empat tersebut selagi orang-orang menatapnya. Tanpa menunggu waktu, Ida lekas melanjutkan p
Banyak orang tengah mengerumuni rumah kontrakan Guna pagi ini. Salah satu dari mereka ketua RT di wilayah tempat tinggal Guna, sementara sebagian besarnya merupakan warga yang kepo dengan penggerebekan kali ini.“Maaf, Bu. Saya selaku ketua RT di sini terpaksa harus mengamankan Ibu dan Mas Guna dulu. Hal ini dikarenakan banyak aduan dari warga bahwa di rumah ini sering disalahgunakan untuk kumpul kebo. Benar begitu, Mas Guna?” papar sopan seorang pria paruh baya secara lugas.Ida menegang. Kedua matanya menyapu orang-orang yang berada di belakang pria tadi sedang antusias memotret maupun merekamnya. Tampaknya mereka sangat penasaran dengan kondisi di rumah ini. Apalagi ternyata tersiar kabar bahwa wanita yang dibawa Guna ke kontrakannya memiliki selisih usia yang tak wajar.Guna mendengus keras. Hasil lab dari penyakitnya masih menghantui dirinya. Bagaimana tidak, di dokumen tersebut tertulis jelas bahwa Guna terjangkit virus HIV. Guna tiba-tiba menggelengkan kepala sambil menatap ke
Nayra terpaksa melakukan hal ini. Memasukkan semua barang Ida ke tas besar, lalu melemparnya ke luar rumah selagi ibunya itu memohon agar tidak diusir.Budi yang menyaksikan adegan ini sesenggukan. Perasaannya campur aduk antara kecewa karena merasa gagal menjadi sosok kepala rumah tangga, sedih, marah, menyesal dan tentu sejujurnya ia tak mau akhirnya jadi begini."Nay, maaf! Jangan usir Ibu!" Berkali-kali Ida memohon kepada Nayra, namun nyatanya Nayra sudah tak sudi mendengar semua penjelasan atau sekadar mengasihani ibunya.Nayra tidak keberatan menjadi anak durhaka sekarang. Ia amat kecewa, dan jijik dengan Ida. "Perceraian kalian biar nanti aku yang urus!" gertak Nayra sembari memasukkan barang Ida dan mendorongnya ke tubuh wanita dewasa tersebut.Ida menekuk wajahnya. Percuma. Sepertinya apa pun penjelasannya, Nayra tetap bersikukuh mengusir dirinya."Oke! Urus aja! Hidupmu bakal lebih buruk setelah ini! Lihat aja!" ancam Ida kemudian. Ia sudah tak sudi memohon.Tapi, setelahnya
Sontak keduanya memalingkan perhatiannya kepada satu titik. Nayra terperangah.“Marsella? Ada apa, Sel?”Aldo yang ada di samping Nayra kini mengacak rambutnya frustasi. Wanita di depannya sekarang datang pada waktu yang tidak tepat.“Mbak, aku mau bicara sebentar. Ini penting.” Raut wajah Marsella tampak terdesak. Tapi, Nayra tak dapat menebaknya sama sekali.Nayra akhirnya menoleh ke arah Aldo dengan segan, kemudian berkata, “Maaf, Ko. Kita bicara lagi nanti, ya.” Ekspresi Nayra sungkan.“Ya, Nay. Aku pulang dulu kalau begitu.” Aldo mau tak mau mengangguk, lalu melangkahkan kaki pergi meski sebenarnya enggan.Kedua netra Nayra mengikuti gerakan Aldo hingga pria itu hilang dari pandangannya. Nayra menghela napas, lantas kembali menaruh perhatian pada Marsella yang sudah tampak tak sabar.“Lanjut, Sel. Kamu mau ngomong apa?”Marsella bergerak meraih ponsel yang ada di dalam tasnya. Dengan gerakan cepat, ia memutarkan video berdurasi tak kurang dari satu menit tersebut. Tangannya terju
Kedua netra Marsella melebar tatkala taksi yang ia tumpangi meluncur perlahan dikarenakan efek macet sore ini. Secara kebetulan ia menangkap sosok menyebalkan Guna justru berjalan beriringan bersama wanita dewasa yang pernah mengolok-ngoloknya usai video perselingkuhannya viral ke mana-mana."Pak, bentar. Kita berhenti dulu, ya," ungkap Marsella cepat sementara dua manik hitamnya terus mengikuti jejak mereka.Marsella mula-mula meraih ponselnya, lalu memberanikan diri untuk menghubungi Guna lagi. Dari balik kaca mobil, ia memperhatikan gerak-gerik Guna yang mengerutkan kening sewaktu ponsel miliknya berdering.Guna terpaku menatap sebuah nama yang terpampang di layar selama sekian detik sebelum memutuskan untuk menjawab."Halo?" Guna akhirnya menempelkan benda persegi panjang tersebut ke telinga."Gun, kamu ada di mana?"Wajah Guna memerah. Selain masih terbawa emosi, ia agaknya kesal karena Marsella tak bisa dihubungi selama ini. Marsella juga tidak ada sewaktu dirinya berada di titi
Rianty menggertakkan gigi sewaktu menyaksikan sosok yang ia benci beberapa tahun lalu malah muncul kembali di hadapannya. Mukanya merah padam. Kini amarah Rianty berkembang menjadi dua kali lipat.Stefanny tersenyum simpul, berdiri, kemudian berderap mendekat demi menyambut kehadiran Rianty yang sengaja ia tunggu-tunggu.“Halo, Tante. Akhirnya kita bertemu, ya.” Sambil mempertahankan senyumnya, tangan Stefanny terulur untuk berjabat tangan dengan Rianty.Rianty mengatupkan rahang, sementara Nugroho yang ada di sisinya kebingungan menyaksikan situasi di depannya. Rianty mendengus, mengabaikan tangan yang terlihat menunggu di hadapannya.“Ternyata kamu anaknya Rachel. Tahu begitu aku tidak akan sudi menghubungi Rachel demi anak sepertimu,” ketus Rianty langsung menghunjam dada Stefanny.Stefanny tergelak. Ia memandang tangannya yang tak dianggap, lantas menariknya kembali. Ia tersenyum miring sembari mengibaskan rambut pendek hitamnya yang cemerlang.“Begini. Tante saya nggak salah sih,
Aldo terkesiap. Bibir lembut itu tiba-tiba menyerobot dan tak memberi napas sedetik pun. Jika saja ciuman tersebut mereka lakukan beberapa tahun silam, mungkin Aldo tak akan sekesal sekarang. Ia segera mendorong tubuh Stefanny menjauh tatkala mendengar suara benda jatuh tak jauh dari posisinya.Sontak kedua netra Aldo melebar usai melihat siapa yang baru saja datang di ruangannya.“Nayra!” Aldo lekas bangkit, ingin mengejar Nayra yang sekarang berlari pergi. Tetapi sebuah tangan terulur untuk mencegahnya.Aldo yang sudah muak menoleh dan langsung mengibaskan lengannya hingga terlepas dari cengkeraman wanita tersebut.“Sial, kamu harus tanggung jawab!” tuding Aldo murka sebelum berlari mengejar kepergian Nayra.Alih-alih merasa bersalah. Stefanny justru menyunggingkan seringaiannya dengan puas.“Pertunjukkan ini semakin seru ternyata,” gumamnya tersenyum miring.Aldo melangkahkan kaki cepat mencari keberadaan Nayra. Sejumlah karyawan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tak seperti bia
Saat itu Nayra baru saja dari divisi marketing, memeriksa dokumen-dokumen yang ia minta sambil berjalan menelusuri koridor.Tiba-tiba telinganya menangkap sepasang suara yang ia kenal baik. Nayra mendongak, menyaksikan Aldo dan Stefanny tengah menggiring kaki dari arah yang berlawanan sembari tertawa.Sepertinya mereka sedang bercanda, atau membicarakan tentang masa lalu indah mereka, atau bahkan mulai merangkai masa depan bersama."Hahaha, begitu, ya! Kamu pintar, Fan!" celetuk Aldo melirik Nayra, lantas menyampirkan tangannya pada pundak Stefanny."Wah, iya dong, Do. Kan kamu suka aku dulu karena kecerdasanku." Stefanny menyombongkan diri.Nayra memilih segera fokus ke dokumen kembali. Ia sengaja bersikap acuh tak acuh demi menyembunyikan perasaan berkecamuk yang sesungguhnya. Toh, ia benar-benar merasa tak layak. Jadi, Nayra tentu saja mengikhlaskan Aldo bersama wanita secantik dan sepintar Stefanny.Aldo dan Nayra saling melewati tubuh masing-masing. Nayra masih tampak berkutat pa
“Kamu tidak perlu tahu,” ucap Aldo ketus. Tak sudi menatap lawan bicaranya.Stefanny menggigit bibirnya emosi. Tangannya terkepal erat mendengar jawaban Aldo. Ia kecewa, padahal selama ini ia rela banting tulang mengurus perusahaan yang bukan milik keluarganya sendiri demi membuktikan diri dan kembali kepada Aldo.“Apa itu Nayra?” tekan Stefanny. Ia buru-buru membuang muka demi menyembunyikan kegeramannya. “Aku tau tatapanmu beda untuk perempuan itu.”Napas Stefanny semakin berat. Tapi, Aldo tak kunjung menjawabnya juga. Justru beruntung bagi Aldo karena lift di hadapannya lekas terbuka.“Dinner kita batal,” sergah Aldo dingin sebelum benar-benar keluar dari lift.Rahang Stefanny mengeras tatkala matanya menyaksikan punggung Aldo menjauh. Saking marahnya, kerongkongannya seperti tertutup oleh sesuatu yang menyakitkan. Mungkin sedikit lagi air matanya tumpah. Tetapi, Stefanny pantang menangis. Ia sudah terbiasa makan asam garam kehidupan.Dan, sejauh ini, pernyataan dari mulut Aldo bar