Catatan hati Sang istri (Bukan aku yang mandul, Mas)
Part: 1
***
"Sudah Ibu bilang, ceraikan saja wanita mandul itu!" Perkataan Ibu mertuaku itu sungguh menyesakkan rongga dada."Jangan bicara seperti itu, Bu! Aryo dan Suci akan terus ber-ikhtiar dan berdoa, sampai Allah mempercayai kami untuk dititipkan keturunan," papar, Mas Aryo dengan bijak.
Aku yang mengintip dari balik pintu kamarku, sungguh merasa terharu dengan sikap suamiku yang sabar itu.
Lima tahun sudah mengarungi mahligai rumah tangga namun, sampai hari ini kami belum juga memiliki anak.
"Ibu, ini sudah tua, Yo. Mau nunggu Ibu mati dulu baru kamu menyesal!" bentak Ibu menepis ucapan bijak, Mas Aryo.
"Sudahlah, Bu. Aryo telat nih ke kantornya."
Terlihat Mas Aryo meninggalkan Ibu begitu saja. Aku merasa iba karena setiap hari Mas Aryo ditekan oleh Ibunya.
Seperti biasa, aku keluar kamar dengan ragu-ragu. Suamiku jarang sekali sarapan di rumah. Katanya malas mendengar ocehan Ibu.
Kini, mobil Mas Aryo sudah berlalu. Aku mencoba menghampiri Ibu, dan berniat membantunya memasak di dapur.
"Bu, biar saya bantuin ya," ucapku lembut.
"Tidak perlu! Mending kamu di kamar saja bersantai main handphone seharian sampai suami pulang, baru keluar!"
Aku hanya bisa menarik nafas panjang mendengar sindiran, Ibu mertuaku itu.
Aku berlalu dari hadapan Ibu. Sudah hampir dua tahun belakangan ini, Ibu tidak mengizinkan aku menyiapkan makan untuk suamiku sendiri.
Di rumah hanya ada aku, Mas Aryo, dan juga Ibu. Sedangkan Ayah dari Mas Aryo sudah tiada sedari Mas Aryo kecil dulu. Itulah alasan kenapa, Mas Aryo sangat patuh dengan apa pun perintah Ibu.
Namun, sejak menikah denganku, Ibu menganggap Mas Aryo telah berubah. Karena tidak menuruti kemauannya untuk menceraikanku.
Aku kembali masuk ke dalam kamar, ku ambil ponsel dan mulai menulis semua isi hatiku.
Sudah setahun ini, aku rutin menulis. Selain membuatku tenang, aku juga mendapat hasil dari tulisanku itu. Namun, aku sengaja merahasiakannya dari suami dan mertuaku.
Saat aku sedang asyik dengan gawaiku ini, tiba-tiba aku mendengar Ibu sedang bicara dengan seseorang. Suaranya terdengar sangat besar, mungkin Ibu sengaja agar aku dapat mendengar dari dalam kamar.
"Kamu tuh udah cantik, rajin, sukses pula! Harusnya dulu Aryo menikahi kamu Des, bukan perempuan mandul itu!" ujar Ibu dengan lantang.
Aku yang mendengar, langsung beristigfar! Aku bertahan di sini, hanya karena Mas Aryo yang begitu menyayangiku.
"Tante, bisa aja! Desy jadi malu!"
Oh, ternyata Desy yang sedang bersama Ibu mertuaku. Desy adalah gadis cantik, yang memiliki usaha butik sendiri. Mas Aryo pernah cerita, katanya Desy itu bekas pacarnya dulu.
Jantungku bagai dihujani ribuan panah, mendengar pembicaraan Ibu dan Desy. Dengan cepat aku keluar dan menghampiri mereka.
Aku duduk di sofa dekat dengan Ibu dan Desy. Tanpa merasa janggal, aku bertingkah biasa-biasa saja.
"Ngapain kamu ikut duduk di sini!" protes Ibu terlihat tidak menyukai kedatanganku.
"Bosan di kamar terus, Bu!" sahutku tersenyum.
Desy memperhatikan penampilanku dari ujung kepala, hingga ujung kaki. Kemudian ia tersenyum getir, mungkin karena penampilanku ini sangat tertutup, berbeda dengan dirinya yang terlihat cantik dan seksi.
"Makanya kerja, jangan malas-malasan aja setiap hari. Contoh dong Desy ini, udah cantik, sukses lagi! Bagai langit dan bumi jika dibandingkan dengan kamu!"
Desy tersenyum senang, mendengar pujian dari mertuakun itu dan berkata, "ah, Tante terlalu berlebihan!"
"Tante bicara berdasarkan fakta! Harusnya kamu yang menjadi istri Aryo!"
Degh ... Hatiku kembali sakit mendengar kata-kata Ibu mertuaku itu. Ia benar-benar tidak menghargai aku lagi sebagai menantunya.
"Cukup, Bu! Saya juga manusia biasa, punya hati dan perasaan! Ibu sudah keterlaluan kali ini!" bentakku untuk yang pertama kalinya dengan suara yang keras.
"Menantu durhaka kamu ya, berani sekali bicara dengan mertua seperti itu!" Ibu berdiri sambil berkacak pinggang.
"Sudah, Tante. Jangan ditanggapi, nanti malah buat kesehatan, Tante menurun." Desy mencoba mencari muka pada Ibu.
Aku yang sudah dilanda emosi, bergegas masuk kembali ke dalam kamar. Ibu masih terteriak mencaci maki aku dengan segala sumpah serapahnya.
"Dasar perempuan mandul! Saya akan buat Aryo menceraikan kamu secepatnya!" teriak Ibu dengan kesal.
Saat berada di dalam kamar, aku menangis sejadi-jadinya. Hari ini kesabaranku telah diuji dua kali-lipat dari biasanya.
Aku sudah tidak bisa tinggal diam, jika selama ini aku selalu menolak untuk ke rumah sakit mengecek tes kesuburan. Maka nanti sore setelah Mas Aryo pulang kantor, aku akan mengajaknya.
Lima tahun menikah, dan Ibu selalu memponisku mandul. Padahal aku belum pernah memeriksa kesuburanku sebelumnya.
***
Tak terasa waktu berjalan dengan cepat. Kini, Mas Aryo telah pulang."Assalamualaikum," ucapnya memberi salam.
Seperti biasa, aku berlari keluar saat mendengar suaranya. Hatiku senang setiap kali suamiku pulang. Karena Mas Aryo selalu menenangkan aku ketika Ibu kembali menyinggung tentang kemandulanku ini.
"Walaikum sallam." Ibu membukakan pintu dengan sigap.
Aku yang berada di belakang Ibu hanya tersenyum menyambut Mas Aryo.
"Dek!" panggilnya saat melihatku.
Ibu seketika menoleh ke belakang, dan menyunggingkan bibir dengan sinis.
Mas Aryo masuk, dan beristirahat di sofa terlebih dahulu.
"Mas, bagaimana kalau hari ini kita ke dokter!" ucapku tanpa basa-basi.
"Mau ngapain kamu ngajakin Aryo ke dokter?" tanya Ibu penasaran.
"Mengecek kesuburan kami, Bu! Saya tidak mau dikatakan mandul lagi sebelum mendapatkan bukti dari pengecekan seorang dokter!" sahutku dengan jelas.
Mas Aryo terlihat syok mendengar penuturanku. Karena selama ini aku yang selalu menolak jika ia mengajakku periksa.
"Halah! Apa lagi yang mau dibuktikan! Sudah pasti kamu yang mandul!" Ibu bicara dengan ciri khasnya, setengah berteriak.
"Belum tentu, Bu!" Hari ini aku melawan semua ucapannya.
"Jadi kamu fikir, anak saya yang mandul? Jangan lancang kamu! Dikeluarga saya tidak ada satu pun yang mandul!" bentak Ibu sambil melototiku.
"Sudah! Suudah! Memang seharusnya masalah ini dikonsultasikan pada dokter! Selama ini Suci sudah berikhtiar untuk berobat, tanpa memeriksakan kesuburan terlebih dahulu! Jadi biar jelas, saya akan memeriksa ini pada dokter!" papar Mas Aryo.
Aku, Mas Aryo serta Ibu pun pergi menuju rumah sakit. Dalam perjalanan aku berfikir, bagaimana jika Mas Aryo yang mandul? Ibu pernah bilang, jika keturunannya yang bermasalah, maka ia rela mati dari pada menanggung malu.
Aku malah menjadi semakin cemas. Siapapun yang diponis mandul nanti, tetap akan menjadi bencana untukku.
Kini kami sudah sampai di rumah sakit Bina Harapan. Tanpa basa-basi kami langsung meminta diperiksa satu persatu.
Dokter Wiliam yang menangani kami itu langsung meminta aku dan Mas Aryo masuk bersamaan.
Aku tegang, begitu pun Mas Aryo. Cukup lama Dokter memeriksa kami secara bergantian.
Mas Aryo yang mendapat giliran duluan, kini dipersilahkan menunggu di luar. Setelah pemeriksaanku selesai, Dokter Wiliam menahanku. Sebenarnya ada apa?
"Maaf, Bu Suci! Dengan berat hati saya harus menyampaikan kebenaran ini ...." ucapnya menatap serius padaku.
Degh ... Jantungku kembali berdebar, aku berfikir, apakah benar diriku yang mandul hingga Dokter Wiliam merasa begitu sungkan padaku.
"Katakan saja, Dok!" paparku dengan gugup.
"Dari hasil pemeriksaan, Bu Suci dinyatakan sehat, dan subur!" jelas Dokter Wiliam.
"Alhamdulillah," ucapku merasa lega.
Kini Ibu tidak bisa lagi mengatakan aku perempuan mandul!
"Namun, saya sangat memohon maaf sebelumnya. Karena suami Ibu Suci dinyatakan tidak subur alias mandul!"
Degh ... Kini debaran jantungku seolah berhenti. Hal yang aku takutkan, benar terjadi. Aku terdiam beberapa detik, hingga Dokter Wiliam kembali menyadarkan lamunanku.
"Bu Suci! Apa anda baik-baik saja?" tanya-nya cemas.
Aku mengangguk cepat, dan berkata, "rahasiakan ini dari suami dan mertua saya, Dok!"
"Tapi kenapa, Bu?" tanya-nya heran.
"Ini sudah menjadi tugas saya sebagai seorang istri, untuk melindungi perasaannya! Katakan saja bahwa saya yang mandul!" paparku dengan ekspresi datar.
Dokter Wiliam sempat berdebat denganku, karena merasa keberatan dengan permintaanku ini. Namun, akhrinya ia mengerti dan menyetujui.
"Baiklah, Bu Suci! Anda memang wanita berhati mulia, saya doakan rumah tangga anda langgeng sampai menua bersama!" ucapnya mengakhiri perdebatan.
Kini aku dan Dokter Wiliam keluar bersamaan. Terlihat Ibu dan Mas Aryo sudah tidak sabar mendengar jawaban dari sang dokter.
"Bagaimana, Dok? Benarkan menantu saya ini yang mandul?" tanya Ibu dengan serius.
Dokter Wiliam menatap sekilas ke arahku. Terlihat dirinya merasa iba. Dengan membuang nafas kasar, Dokter Wiliam berkata, "benar! Suci dinyatakan tidak subur."
Bersambung
Sebelum baca tekan love dan coment ya manteman!Part: 2***Ibu dan Mas Aryo menatapku tajam. Kini aku pasti dibully habis-habisan oleh Ibu.Sebenarnya aku melakukan cek kesuburan ini, demi menjawab pertanyaan diriku sendiri. Karena aku merasa baik-baik saja dengan kondisiku selama ini.Ternyata dugaanku memang benar, aku sehat, dan subur. Namun, Mas Aryo begitu malang. Aku tidak sanggup jika Mas Aryo yang harus menanggung beban ini. Maka dari itu biarlah aku yang menutupinya."Tuh, kan benar! Tunggu apa lagi, Yo! Kamu harus ceraikan Suci saat ini juga!" ujar Ibu dengan lantang.Dokter Wiliam sangat terkejut mendengar ucapan Ibu, wajahnya menjadi kembali iba padaku.Sementara Mas Aryo terlihat tak berdaya. Ia mengajak kami pulang ke rumah terlebih dahulu."Sudah, Bu! Lebih baik kita bicarakan di rumah saja," ucapnya sambil berdiri.Kami pun memasuki mobil kembali.
Part: 3***Alangkah terkejutnya aku melihat, Mas Aryo tidur di sofa.Aku mendekati Mas Aryo dan mencoba membangunkannya."Mas, bangun," lirihku pelan namun, Mas Aryo bergeming.Kini aku coba membangunkan dengan suara yang keras, "Mas, bangun!""Apaan sih, Dek! Sikap kamu jadi kurangajar sekarang!" hardiknya karena kaget mendengar suaraku yang keras."Maaf, Mas. Tadi Adek panggil-panggil dengan pelan, tapi Mas gak bangun-bangun juga," ucapku menjelaskan.Mas Aryo pun beranjak menuju ke kamar tanpa memperdulikanku.Aku segera mengejar langkahnya. Ketika sampai di kamar, Mas Aryo langsung mendengkur tertidur pulas. Tanpa mengganggunya, aku pun memejamkan mata menyusul tidur.***Pagi pun datang. Aku bangun lebih awal, namun, tak ku temui Mas Aryo di sampingku."Tumben pagi sekali sudah keluar," gumamku.Aku
Part: 4***Aku masih berusaha tenang, menunggu pengakuan apa yang akan dilontarkan oleh Mas Aryo!"Dek, sebenarnya ...." ucapnya yang masih ragu-ragu."Udahlah, Yo! Langsung aja bilang, ngapain banyak basa-basi," hardik Ibu dengan geram."Mas minta izin kawin lagi, Dek!"Degh ... Jantungku tetap berdebar kencang, walaupun aku sudah tidak terlalu kaget lagi. Namun, tetap saja rasanya ada yang menghujam dada."Apa, Mas?" Aku pura-pura terkejut."Maafkan, Mas, Dek! Ini demi masa depan keluarga kita, agar segera memiliki keturunan."Aku bertambah gusar mendengar penuturan suamiku itu. Bagaimana mungkin ia akan memiliki keturunan dengan menikah lagi. Sedangkan yang mandul adalah dirinya sendiri."Tapi, Mas ....""Halah! Terima ajalah, jangan banyak protes!" bentak Ibu memotong ucapanku."Bukan begitu, Bu. Masalahnya, Mas Aryo tetap tidak akan memiliki ketur
Part: 5***Duniaku seakan berhenti bersinar. Pemandangku mulai buram, dan barangsur gelap. Aku berharap ini hanyalah mimpi semata.Entah berapa lama aku tak sadarkan diri, hingga kini aku sudah berada di dalam kamar.Ku lirik ke sebelahku, tidak ada Mas Aryo di sini. Aku mencoba bangun perlahan, ternyata hari sudah sangat malam.Terlihat Mas Aryo tidur di sofa lagi. Aku tidak membangunkannya kali ini, karena aku sadar bahwa ia telah menalakku tadi.Ini memang kesalahan yang aku perbuat sendiri. Seharusnya dari awal aku mengatakan yang sebenarnya, walaupun Ibu akan bunuh diri ketika mendengarnya.Harusnya aku tidak terlalu perduli dengan perasaan mereka, biarkan saja Anak dan Ibu itu terluka.Harusnya aku tidak berlagak menjadi pahlawan, karena kini aku yang terbuang.Ah sudahlah! Nasi telah menjadi bubur.Aku kembali ke kamar, dan segera mengemasi barang-ba
Part: 6***Aku masih berbincang dan bertukar cerita dengan, Dokter Wiliam! Ternyata dokter tampan di sebelahku ini adalah pemilik rumah mewah yang berada tepat di hadapan kontrakkanku.Dokter Wiliam ternyata masih membujang. Usianya sudah sangat matang untuk berumah tangga. Namun, seorang dokter kan tentu pilih-pilih mencari calon istri. Lagian jika ia mau, pasti banyak yang sudah mengantri."Oya, Suci. Saya pamit pulang dulu, kamu mau mampir sekalian ke rumah saya?""Terima kasih, Dok! Nanti pasti saya berkunjung, lagi pula cuma lima langkah dari sini.""Baiklah," ucapnya sembari berlalu.Hari ini Dokter Wiliam tidak ada jadwal ke rumah sakit. Kedua orang tuanya akan datang dari luar negeri. Tadi ia telah menceritakan semuanya padaku.Aku masuk kembali ke dalam kontrakkan. Seperti biasa, aku mulai menuliskan cerita rutinku.Sebelum melanjutkan menulis, aku memb
Part: 7***Seminggu telah berlalu. Kini aku mulai terbiasa dengan kehidupan baruku.Aku berfikir ingin membuka usaha, agar ada kegiatan tambahan selain menulis.Dari kemarin aku memutar otak untuk berfikir, namun, aku belum juga mendapatkan ide yang bagus. Akhirnya aku memutuskan untuk bertemu dengan teman lamaku, sekalian meminta pendapat padanya[ Di cafe tempat kita nongkrong dulu, aku tunggu setengah jam lagi ] aku mengirim pada Rena teman lamaku itu.[ Oke, aku otw bentar lagi ] balas Rena.Aku bersiap-siap untuk segera meluncur ke tempat yang sudah ku janjikan itu.Di depan cermin, aku merapikan jilbab panjangku. Ya, aku lebih suka memakai jilbab instan yang menutupi dada. Memang terkesan sangat sederhana.Setelah merasa cukup untuk menatap wajah sendiri di balik cermin ini, aku pun segera bergegas menuju cafe.Aku memesan taxi online, dan ia te
Part: 8***Setelah bertemu dan bercerita banyak dengan Rena. Kini aku sudah pulang kembali ke kontrakan.Aku beristirahat di kamar sambil merenung."Mas! Mau kemana?" tanyaku pada Mas Aryo."Mau ke pesta temen, Dek! Tapi khusus para lelaki saja yang hadir. Maaf ya, Dek, kali ini Mas gak bisa ngajakin kamu.""Iya, gapapa toh, Mas!"Aku kembali terbayang masa-masa bersama Mas Aryo itu. Bagiku ia adalah sosok suami yang sangat setia.Hingga aku teringat lagi, bahwa aku pernah menemukan jepit rambut wanita di saku jas kerjanya!"Mas, jepit rambut siapa ini? Adek ketemu di dalam saku baju, Mas itu.""Oh, itu ... Tadi Mas beliin buat kamu, Dek!""Adek kan gak pakai jepit rambut begini, Mas! Ini tuh pasti dipakai untuk yang tidak menggunakan hijab.""Ya, kalau tidur kan, Adek gak pakai hijab."Mas Aryo selalu bersikap tenang dan tidak se
Tetap tinggalkan jajak manteman! Respon pembaca adalah semangat untuk penulisđź’žPart: 9***Setelah selesai menata letak sofa dan meja makan, aku kembali beristirahat.Hari sudah semakin gelap. Aku kembali memainkan ponselku.Ternyata ada pesan watsapp dari Mas Aryo. Aku tidak menyadarinya sedari tadi.Aku membuka isi pesannya dengan penasaran. Kira-kira ada apa ia menghubungiku?[ Kamu tinggal di mana sekarang? ] Isi pesan Mas Aryo.Kenapa ia bertanya keberadaanku?Ah, sudahlah! Untuk apa aku memberitahunya. Sudah tidak ada urusan lagi.Namun, ponselku kembali bergetar, Mas Aryo mengirim pesan lagi.[ Kenapa hanya dibaca? Saya bertanya karena merasa iba, jika kamu terlantar di luaran! ]Dengan geram, aku pun membalas! [ Saya sudah memiliki tempat tinggal, dan tidak perlu merasa iba, karena saya bisa berdiri di atas kaki sendiri!
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 25.***POV Reno.***Hari ini adalah hari paling membahagiakan sepanjang hidupku. Ibu akan berangkat umroh memenuhi impiannya. "Titip Sita ya, Ren. Tolong jaga dia dengan baik selama Ibu tidak di rumah," kata Ibu. Sebelum ia berangkat.Aku tersenyum mengiyakannya. Betapa Ibu sangat menyayangi Sita..Waktu berjalan, aku dan Sita kompak mengurusi usaha yang kini tengah naik daun."Rumah terasa sepi ya, Mas tanpa Ibu," ucap Sita sedih."Iya, Dek. Tapi Ibu kan tidak lama di sana," sahutku."Aku sudah tak bisa jauh-jauh dari Ibu," papar istriku.Aku meraihnya ke dalam dekapanku. "Terima kasih, Dek. Terima kasih karena telah membuat Mas begitu bangga padamu.".10 hari kemudian ....Ibu pulang dan kami kembali berkumpul. Rasanya sangat membahagiakan."Ibu," lirih Sita memeluk tubuh Ibu."Kenapa, sayang? Kau pasti merindukan Ibu kan?" Ibu tersenyum sambil membelai kepala Sita.Sita menangis tanpa menjawab. Sedangkan aku turut bergabung da
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 24.***POV Sita.Sore itu aku mendapat pesan dari aplikasi biru yang sedang aku buka. Seorang teman lama mengajakku bertemu dengan dalih ingin memperkenalkan produk kosmetik ternama miliknya.Aku yang memang sedang bosan di rumah, akhirnya setuju dan menemuinya.Kami bertemu di restoran yang sudah disepakati."Hay, Sita! Kamu tampak lebih cantik sekarang," sapa Budi sekaligus memuji.Ya, namanya Budi. Teman sekolahku dulu waktu masih SMA."Hey, terima kasih.""Oya, langsung saja aku kasih kamu lihat tentang produkku ini."Budi mengeluarkan berbagai jenis skincare. Aku memeriksanya satu persatu. Namun, aku ragu dan tak tertarik."Hem, aku sebenarnya sudah cocok dengan skincare lamaku, Bud.""Cobain dulu aja! Atau kamu coba lipstik ini. Biar aku pasangkan."Budi dengan sigap ingin mengoleskan lipstik itu di bibirku, tapi aku menepis tangannya dengan cepat."Jangan kurangajar! Aku sudah menikah, dan jika ada yang melihat maka pasti akan
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 23.***Aku menggeleng dan hendak berlalu dari gudang ini.Namun, pintu tak bisa dibuka."Tolong! Tolong!"Buk Fatma tiba-tiba menjerit minta tolong sembari merobek bajunya sendiri."Apa maksud Buk Fatma melakukan ini?" tanyaku dengan raut wajah entah bagaimana."Tolong! Tolong saya!" teriaknya lagi.Aku panik dan tak tahu harus berbuat apa. Berkali-kali aku memutar gagang pintu.Namun, seketika Buk Fatma memelukku dari belakang."Tolong!""Lepas, Buk! Anda sudah kehilangan akal!" hardikku.Buk Fatma terus berteriak minta tolong sambil mendekapku erat.Hingga tiba-tiba pintu dibuka dari luar."Tolong saya," lirih Buk Fatma yang ambruk ke lantai."Buk Fatma, ayo cepat bantu Buk Fatma," ujar sekuriti.Saat ini di depan gudang sudah ramai para pegawai berkumpul. Mereka menatapku tajam serta memaki berbagai umpatan kasar."Dasar tak tahu terima kasih! Sudah diberi jabatan tinggi, malah ingin memperkosa atasan sendiri," ucap para wanita ya
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 22.***POV Reno. Sore ini aku pulang dengan penuh semangat. Rasa rinduku menumpuk ingin segera bertemu Sita. Hubungan kami yang renggang membuah aku begitu tersiksa. Dan perubahan sikap istriku sudah cukup mengobati lukaku yang sebelumnya tercipta..Sampai di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar mencari keberadaan Sita. Namun, istriku tak ada di dalam kamarnya. Kemudian aku ke dapur untuk mengecek. "Bu, Sita ke mana?" tanyaku pada Ibu."Tadi katanya ada teman lamanya yang ngajak bertemu di luar. Ibu sudah menyuruh Sita untuk meminta izinmu terlebih dahulu," ujar Ibu."Oh, ya sudah kalau begitu." Aku tak ingin memperpanjang masalah kecil lagi. Mungkin Sita suntuk dan butuh hiburan di luar. Tentang izin dariku, aku mengerti Sita masih marah. Jadi mana mungkin dia mau menghubungiku terlebih dahulu..Hampir satu jam berlalu, Sita pulang dengan wajah sumringah."Kamu habis ketemu siapa, Dek?" tanyaku menyelidik."Seseorang, Mas
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 21.***POV Fatma.Setelah mendapat alamat rumah orang tua Sita, aku langsung bergegas menemuinya di sana. Sebelumnya aku juga sudah mengatakan pada keluarga Reno.Sampai di kediaman orang tua Sita, aku dipersilakan masuk oleh asisten rumah tangganya."Buk Fatma, dari mana tahu alamat rumah orang tuaku?" tanya Sita menatap sinis padaku."Dari siapa lagi kalau bukan dari Reno," jawabku santai.Sita semakin menatapku tak suka. Tak lama kemudian kedua orang tuanya turut bergabung duduk di dekat kami."Jadi kamu yang bernama Fatma?" tanya lelaki yang masih tampak gagah di usia yang tidak muda lagi itu.Aku mengangguk pelan sambil tersenyum."Wanita ini yang sudah merusak rumah tanggaku, Pa. Dibalik sikap lembutnya, tersimpan racun yang berbisa," cibir Sita.Aku berdehem pelan menanggapi ucapannya. Senyumku masih terpasang. Menghadapi orang seperti Sita cukup dengan ketenangan."Sebelumnya saya minta maaf. Namun, saya tak mau berlama-lama m
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 20***"Dalam rangka apa Ibu ingin mengundang Buk Fatma?" tanyaku menyelidik."Ingin meminta maaf. Ibu dan Sita sudah sepakat untuk meminta maaf secara langsung pada Fatma. Tolong kau undang dia malam ini ya, Ren." Lembut suara Ibu membuat aku tak bisa menolak."Baiklah, Bu."Aku berlalu ke dalam kamar dan meninggalkan mereka yang tengah sibuk memasak.Rasanya sedikit lega jika Sita benar-benar bisa menyayangi Ibuku seperti aku menyayanginya..Di dalam kamar, aku menelepon atasanku untuk memberitahu kabar bahagia ini.Panggilanku berdering dan dijawab dengan cepat."Halo, Ren! Tumben telepon. Ada apa?" tanya-nya terdengar senang."Iya, Buk Fatma. Maaf jika saya mengganggu. Saya hanya ingin mengundang Buk Fatma untuk makan malam. Ini adalah permintaan dari Ibu," ujarku."Alhamdulillah, saya senang sekali menerima undangan dari beliau. Saya pasti datang, Ren.""Terima kasih, Buk Fatma. Kami semua menunggu kedatangan Buk Fatma nanti mala
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 19***"Sita sudah berubah jadi lebih baik. Tak pantas jika Ibu mencampakkannya. Silakan keluar, Ren. Bawa ponselmu ini! Ibu tak butuh bukti rekaman semacam ini."Langkahku terdorong mundur. Rasanya tak percaya mendapat tanggapan seperti ini dari Ibu.Kenapa Ibu dibutakan oleh Sita?Apa yang telah Sita katakan pada Ibu?Benarkah ada ancaman?Akhirnya aku berjalan menuju kamar. Di dalamnya tentu ada Sita yang sedang bersantai."Mas," lirihnya canggung saat melihat wajahku.Aku menatap matanya tajam tanpa sebuah senyuman. Hatiku telah panas, sepanas suasana siang hari di ibukota ini."Apa yang kau lakukan terhadap Ibuku? Kenapa Ibu seolah melindungimu walau kenyataannya telah membuktikan kau bersalah, Dek." Bergetar suaraku mengutarakan hal tersebut."Kenyataan apa maksudmu, Mas?" tanya Sita berlagak heran."Jangan pura-pura lagi, Sita! Lihatlah ini!"Aku melempar ponselku ke ranjang dan membiarkan rekaman itu terputar.Sita meraihnya da
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 18***POV Reno.Aku ke kantor dengan perasaan resah dan gelisah. Melihat sikap Ibu yang bersikeras membela Sita, membuat aku ikut merasa bersalah.Kenapa aku sebagai seorang suami tak bisa mempercayainya sedikit saja seperti Ibu?Apakah istriku seburuk itu?.Sampai aku di kantor dan masuk ke dalam ruangan. Bukannya mengerjakan tugas, aku malah merenungi semua yang sedang terjadi.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Dapat dipastikan yang datang adalah Buk Fatma."Masuk," lirihku dengan malas.Senyum indah Buk Fatma terukir saat menatap wajahku."Ren, maaf untuk keributan yang tercipta di rumahmu tadi. Saya benar-benar mengkhawatirkan Ibu. Tidak lebih dari itu Ren," ujarnya."Iya, Buk Fatma. Saya yang minta maaf atas sikap Ibu saya. Namun, biasanya beliau memang memiliki feeling yang kuat," paparku.Wajah Buk Fatma langsung berubah jadi kesal. Aku sadar, ucapanku mungkin sedikit menyinggungnya."Ibu terlalu baik d
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 17***POV Sita.Setelah suamiku berangkat ke kantor. Tak lama bel berbunyi. Aku mengintip dari balik tirai, ternyata wanita munafik itu yang datang."Nak, kenapa tak dibuka pintunya?" tanya Ibu yang tiba-tiba berdiri di belakangku.Aku menarik pelan tangan Ibu untuk segera menjauh."Bu, di luar ada Buk Fatma. Apa Ibu mau bekerjasama denganku?"Alis Ibu mertua bertaut saat mendengar ucapanku."Bekerjasama apa, Sita?""Ibu bukain pintu, dan jangan bilang kalau aku sudah kembali. Aku ingin mendengar apa saja yang akan dia katakan.""Tapi, Nak. Ibu tidak terbiasa berbohong.""Ayolah, Bu. Aku hanya ingin membuktikan pada Ibu, kalau Buk Fatma itu tidak sebaik yang kalian kira."Dengan ragu, akhirnya Ibu mengangguk.Aku langsung bersembunyi di balik sudut pembatas ruangan.Setelah Ibu membuka pintu, keduanya pun segera duduk di sofa.Aku dapat melihat dengan jelas kalau saat ini Buk Fatma memasang wajah sedih dan sangat polos.Berbeda saat i