Part: 5
***Duniaku seakan berhenti bersinar. Pemandangku mulai buram, dan barangsur gelap. Aku berharap ini hanyalah mimpi semata.Entah berapa lama aku tak sadarkan diri, hingga kini aku sudah berada di dalam kamar. Ku lirik ke sebelahku, tidak ada Mas Aryo di sini. Aku mencoba bangun perlahan, ternyata hari sudah sangat malam.Terlihat Mas Aryo tidur di sofa lagi. Aku tidak membangunkannya kali ini, karena aku sadar bahwa ia telah menalakku tadi.Ini memang kesalahan yang aku perbuat sendiri. Seharusnya dari awal aku mengatakan yang sebenarnya, walaupun Ibu akan bunuh diri ketika mendengarnya.Harusnya aku tidak terlalu perduli dengan perasaan mereka, biarkan saja Anak dan Ibu itu terluka.Harusnya aku tidak berlagak menjadi pahlawan, karena kini aku yang terbuang.Ah sudahlah! Nasi telah menjadi bubur.Aku kembali ke kamar, dan segera mengemasi barang-barangku, agar besok pagi aku bisa langsung keluar dari rumah ini.Setelah selesai, aku mencoba memejamkan mata kembali dan akhirnya terlelap.***Aku terbangun untuk menunaikan ibadah shollat subuh terlebih dahulu. Setelah selesai, aku langsung menuju keluar kamar.Ibu dan Mas Aryo juga sudah bangun. Aku menghampiri mereka dan mencoba meyakinkan sekali lagi."Bu, Mas! Saya akan keluar dari rumah sekarang, tapi saya ingin kalian mempercayai ucapan saya kali ini," paparku dengan menahan air mata."Halah! Pergi ya, pergi aja! Gak usah banyak drama lagi!" bentak Ibu yang tetap tidak ingin mendengarkanku."Iya, Suci! Jangan bicara omong kosong lagi!" sambung Mas Aryo."Baiklah! Kalau kalian tetap tidak ingin mempercayai saya, yang penting saya sudah mengatakan kebenarannya!" Aku sudah putus asa bicara dengan Ibu dan Mas Aryo. Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil koperku dan segera pergi.Aku memesan taxi online. Aku kembali bersedih karena harus meninggalkan rumah yang selama lima tahun aku tempati ini.Aku melangkah perlahan, tergambar jelas raut kebahagian di wajah mantan mertuaku itu.Sementara Mas Aryo hanya menunduk. "Saya pamit!" ucapku sebelum melanjutkan langkah.Mereka hanya bergeming. Ibu kembali menyunggingkan bibir. Aku segera masuk ke dalam taxi yang sudah menunggu di depan.Aku mencari kontrakan untuk sementara waktu. Untung saja aku sudah memiliki penghasilan sejak setahun lalu. Jadi aku telah memiliki sedikit tabungan untuk masa depanku.Tidak ada tempat kembali, kedua orang tuaku telah tiada sedari aku sekolah dulu. ***"Dek! Mas ingin melamarmu," ucap Mas Aryo."Mas, serius? Saya hanya gadis yatim piatu yang tidak punya apa-apa, Mas. Kita sangat berbeda jauh!" paparku."Mas, tidak memandang itu semua, Dek. Bagi, Mas yang terpenting adalah ketulusan hati kamu."Aku tersipu malu mendengarkan pernyataannya itu."Bagaimana, Dek? Kamu mau menjadi bidadari, Mas?" tanya-nya serius.Tanpa ragu, aku langsung menganggukkan kepala sembari tersenyum malu."Maaf, Bu. Kita sudah sampai tujuan!" ucap supir taxi online itu yang menyadarkan lamunanku."Oh, iya! Terima kasih, Pak!" sahutku yang tersadar dari kenangan lima tahun yang lalu itu.Aku sudah mencari informasi kontrakan melalui sosial media tadi malam. Jadi pagi ini aku sudah bisa menempatinya.Walaupun hanya kontrakan sederhana namun, cukuplah untuk aku tempati seorang diri.Aku membuka kembali ponselku, terpampang status watsapp Ibu. Ibu memasang gambar dirinya dan Desy yang sedang tersenyum lebar. Aku membuang nafasku dengan kasar melihat itu.Tak lama kemudian, ponselku bergetar! Ibu mengirimkan pesan padaku.[ Mantan menantu mandulku, di manakah kini kamu berada? Pasti sedang kebingungan karena tidak memiliki uang buat cari tempat tinggal! ] Isi pesan dari mantan mertuaku.Aku tidak terpancing dengan pesan Ibu, itu! Biarkan saja mereka berfikir aku akan menjadi gelandangan. Suatu hari nanti, aku akan membuat Ibu tercengang melihat kesuksesanku!Hari ini boleh saja mereka menghinaku. Namun, nanti ku pastikan keadaan akan berbalik. [ Semoga segera memiliki Cucu! ] balasku dengan menyertai emot senyum.Dengan cepat Ibu membalas kembali pesanku itu, [ Tentu saja, karena calon menantuku itu tidak mandul, sepertimu! ]Aku hanya tersenyum dan tidak ingin membalasnya lagi.Aku mulai membiasakan diri di lingkungan ini. Kontrakanku cukup bagus dan layak walau tidak terlalu besar. Kini aku duduk bersantai di teras yang sudah tersedia kursi itu. Seketika aku melihat ada rumah yang sangat mewah dan indah di depan kontrakan ini. Tadi aku tidak terlalu memperhatikan sekitar. Sekarang baru jelas terlihat, kalau wilayah ini sepertinya banyak orang elit yang menempatinya.Aku mengalihkan pandanganku pada layar handphone. Aku mengecek pemasukkanku bulan ini dari hasil menulis."Alhamdulillah," gumamku sembari tersenyum."Apa yang alhamdulillah?" tanya seseorang yang membuat aku terkejut."Dokter Wiliam!" teriakku yang tidak menyadari kedatangannya.Dokter Wiliam pun turut duduk di sebelahku, dan bertanya, "kamu yang mengontrak di sini?"Aku mengangguk pelan, ia terlihat heran."Bukankah ...." ucapannya terputus.Aku mengerti Dokter Wiliam ingin mengatakan apa. Namun, sepertinya ia takut menyinggungku."Iya, Dok! Saya sudah berpisah dengan Mas Aryo," paparku tanpa ditanya olehnya."Lho, kok bisa?!" Dokter Wiliam terkejut mendengarnya.Aku menjelaskan semuanya dengan jujur. Dokter Wiliam hanya bisa menggelengkan kepala mendengar ceritaku."Ini semua adalah kesalahan saya sendiri, Dok! Jadi biarlah saya menerima akibatnya," ucapku pula."Tapi seharusnya mereka mengecek lagi kebenaran yang kamu ungkapankan. Sekarang kan sudah zaman canggih, mereka bisa memeriksa kembali kesuburan Aryo, di rumah sakit lain, jika Ibunya menganggap saya akan bersekongkol denganmu!" Aku hanya tersenyum getir mendengar ucapan bijak, Dokter Wiliam.BersambungPart: 6***Aku masih berbincang dan bertukar cerita dengan, Dokter Wiliam! Ternyata dokter tampan di sebelahku ini adalah pemilik rumah mewah yang berada tepat di hadapan kontrakkanku.Dokter Wiliam ternyata masih membujang. Usianya sudah sangat matang untuk berumah tangga. Namun, seorang dokter kan tentu pilih-pilih mencari calon istri. Lagian jika ia mau, pasti banyak yang sudah mengantri."Oya, Suci. Saya pamit pulang dulu, kamu mau mampir sekalian ke rumah saya?""Terima kasih, Dok! Nanti pasti saya berkunjung, lagi pula cuma lima langkah dari sini.""Baiklah," ucapnya sembari berlalu.Hari ini Dokter Wiliam tidak ada jadwal ke rumah sakit. Kedua orang tuanya akan datang dari luar negeri. Tadi ia telah menceritakan semuanya padaku.Aku masuk kembali ke dalam kontrakkan. Seperti biasa, aku mulai menuliskan cerita rutinku.Sebelum melanjutkan menulis, aku memb
Part: 7***Seminggu telah berlalu. Kini aku mulai terbiasa dengan kehidupan baruku.Aku berfikir ingin membuka usaha, agar ada kegiatan tambahan selain menulis.Dari kemarin aku memutar otak untuk berfikir, namun, aku belum juga mendapatkan ide yang bagus. Akhirnya aku memutuskan untuk bertemu dengan teman lamaku, sekalian meminta pendapat padanya[ Di cafe tempat kita nongkrong dulu, aku tunggu setengah jam lagi ] aku mengirim pada Rena teman lamaku itu.[ Oke, aku otw bentar lagi ] balas Rena.Aku bersiap-siap untuk segera meluncur ke tempat yang sudah ku janjikan itu.Di depan cermin, aku merapikan jilbab panjangku. Ya, aku lebih suka memakai jilbab instan yang menutupi dada. Memang terkesan sangat sederhana.Setelah merasa cukup untuk menatap wajah sendiri di balik cermin ini, aku pun segera bergegas menuju cafe.Aku memesan taxi online, dan ia te
Part: 8***Setelah bertemu dan bercerita banyak dengan Rena. Kini aku sudah pulang kembali ke kontrakan.Aku beristirahat di kamar sambil merenung."Mas! Mau kemana?" tanyaku pada Mas Aryo."Mau ke pesta temen, Dek! Tapi khusus para lelaki saja yang hadir. Maaf ya, Dek, kali ini Mas gak bisa ngajakin kamu.""Iya, gapapa toh, Mas!"Aku kembali terbayang masa-masa bersama Mas Aryo itu. Bagiku ia adalah sosok suami yang sangat setia.Hingga aku teringat lagi, bahwa aku pernah menemukan jepit rambut wanita di saku jas kerjanya!"Mas, jepit rambut siapa ini? Adek ketemu di dalam saku baju, Mas itu.""Oh, itu ... Tadi Mas beliin buat kamu, Dek!""Adek kan gak pakai jepit rambut begini, Mas! Ini tuh pasti dipakai untuk yang tidak menggunakan hijab.""Ya, kalau tidur kan, Adek gak pakai hijab."Mas Aryo selalu bersikap tenang dan tidak se
Tetap tinggalkan jajak manteman! Respon pembaca adalah semangat untuk penulis💞Part: 9***Setelah selesai menata letak sofa dan meja makan, aku kembali beristirahat.Hari sudah semakin gelap. Aku kembali memainkan ponselku.Ternyata ada pesan watsapp dari Mas Aryo. Aku tidak menyadarinya sedari tadi.Aku membuka isi pesannya dengan penasaran. Kira-kira ada apa ia menghubungiku?[ Kamu tinggal di mana sekarang? ] Isi pesan Mas Aryo.Kenapa ia bertanya keberadaanku?Ah, sudahlah! Untuk apa aku memberitahunya. Sudah tidak ada urusan lagi.Namun, ponselku kembali bergetar, Mas Aryo mengirim pesan lagi.[ Kenapa hanya dibaca? Saya bertanya karena merasa iba, jika kamu terlantar di luaran! ]Dengan geram, aku pun membalas! [ Saya sudah memiliki tempat tinggal, dan tidak perlu merasa iba, karena saya bisa berdiri di atas kaki sendiri!
Part: 10***Seminggu sudah berlalu. Kini acara pernikahan, Mas Aryo dan Desy segera dilaksankan.Aku berfikir dua kali untuk hadir ke sana. Bukan apa-apa, hanya tidak ingin mendengar sindiran dari mantan mertuaku itu lagi.Saat aku masih dalamdilema, tiba-tiba aku kembali mendapat pesandari Ibu.[ Jangan sampai tidak datang! Nanti nyesel, kami membuat pesta yang besar. Kan lumayan bisa numpang makan gratis! ]Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku saat membaca isi pesan dari mantan mertua julid itu.Aku semakin ragu untuk pergi ke sana.Kini aku lebih memilih bersantai di sofa empukku. Lalu terdengar suara ketukan pintu!Aku bergegas membukanya, ternyata Dokter Wiliam dan Jeniffer.Mereka berdua terlihat kompak menggunakan pakaian bagus."Eh, pada mau ke mana? Dandanannya kayak mau ke pesta." Aku berkata sambil mempersilahkan k
Part: 11***Saatsampai di kontrakkan. Aku kembali terbayang kejadian diacara Mas Aryo itu.Sungguh pernikahan yang paling spektakuler! Aku bergidik ngeri membayangkan keluarga itu.Bisa-bisanya aku tidak menyadari perselingkuhan Mas Aryo dengan Widya selama ini.Namun, aku bersyukur, karena aku baru mengetahui setelah sah bercerai dengannya. Jika tidak! Mungkin lukaku akan terasa lebih perih.Dari pada aku terus memikirkan hal yang tidak berguna itu, lebih baik aku memasak saja di dapur.Aku membuat sup kembali. Niatku ingin mengantar sup buatanku ini pada Jeniffer nanti.Dengan semangat 45 aku siap dengan cepat!Aku segera menyisihkan sebagian untuk, ku berikan pada keluarga Jeniffer. Semoga saja Tante Ratna dan Om Wilson juga menyukainya.Sedangkan Dokter Wiliam, ia telah pergi ke rumah sakit setelah usai kembali dari pesta tadi. Katanya dinas malam
Part: 12***Saat aku hendak melangkahkeluar pintu, aku berpapasan dengan Tante Ratna.Ia menunduk ketika melihatku."Tante ....""Pergi! Jangan buat dirimu terlibat dalam masalah!" ucapnya yang memotong perkataanku.Aku semakin merasa ada yang tidak beres. Tante Ratna buru-buru berlalu setelah mengatakan itu. Aku pun segera keluar."Suci!" teriak Dokter Wiliam ketika aku sudah berada di depan gerbang.Aku memutar balik tubuhku, dan menoleh ke arah Dokter Wiliam. Namun, terlihat dari jendela lantai atas, Om Wilson memperhatikanku.Aku sungguh merasa ngeri melihat tatapan dinginnya itu."Suci, mau kamana?" tanya Dokter Wiliam yang kini sudah berada di depanku."Pulang, Dok. Saya ada pekerjaan rumah yang belum selesai tadi," ucapku berusaha tenang."Oh, baiklah!" sahutnya tersenyum.Aku bergegas melangkah. Ketika sampai di kont
Part: 13***Hari berlalu ....Aku dan Rena bersemangatmengelola toko pakaianku ini.Semua sudah tersusun rapi. Pengunjung juga mulai berdatangan.Rena sangat handal dalam urusan tawar menawarkan. Aku sangat terbantu dengan adanya Rena di sini."Oya, Ren! Kamu belum sarapan kan?" tanyaku.Ia mengangguk dengan cepat. Aku mengerti maksudnya."Baiklah, aku beli lontong sayur yang ada di ujung itu ya," ucapku sembari berlalu.Tidak terlalu jauh dari toko pakaianku, ada sebuah warung kecil yang menjual berbagai makanan. Aku melangkah dengan santai.Ketika aku melewati salah satu ruko yang berisi pakaian lengkap wanita, aku melihat ada Desy di dalamnya.Aku bersembunyi di balik sudut pintu. Ternyata Desy sedang bersama mantan mertuaku.Sepertinya butik besar ini milik Desy.Ah, kenapa bisa kebetulan begini.
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 25.***POV Reno.***Hari ini adalah hari paling membahagiakan sepanjang hidupku. Ibu akan berangkat umroh memenuhi impiannya. "Titip Sita ya, Ren. Tolong jaga dia dengan baik selama Ibu tidak di rumah," kata Ibu. Sebelum ia berangkat.Aku tersenyum mengiyakannya. Betapa Ibu sangat menyayangi Sita..Waktu berjalan, aku dan Sita kompak mengurusi usaha yang kini tengah naik daun."Rumah terasa sepi ya, Mas tanpa Ibu," ucap Sita sedih."Iya, Dek. Tapi Ibu kan tidak lama di sana," sahutku."Aku sudah tak bisa jauh-jauh dari Ibu," papar istriku.Aku meraihnya ke dalam dekapanku. "Terima kasih, Dek. Terima kasih karena telah membuat Mas begitu bangga padamu.".10 hari kemudian ....Ibu pulang dan kami kembali berkumpul. Rasanya sangat membahagiakan."Ibu," lirih Sita memeluk tubuh Ibu."Kenapa, sayang? Kau pasti merindukan Ibu kan?" Ibu tersenyum sambil membelai kepala Sita.Sita menangis tanpa menjawab. Sedangkan aku turut bergabung da
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 24.***POV Sita.Sore itu aku mendapat pesan dari aplikasi biru yang sedang aku buka. Seorang teman lama mengajakku bertemu dengan dalih ingin memperkenalkan produk kosmetik ternama miliknya.Aku yang memang sedang bosan di rumah, akhirnya setuju dan menemuinya.Kami bertemu di restoran yang sudah disepakati."Hay, Sita! Kamu tampak lebih cantik sekarang," sapa Budi sekaligus memuji.Ya, namanya Budi. Teman sekolahku dulu waktu masih SMA."Hey, terima kasih.""Oya, langsung saja aku kasih kamu lihat tentang produkku ini."Budi mengeluarkan berbagai jenis skincare. Aku memeriksanya satu persatu. Namun, aku ragu dan tak tertarik."Hem, aku sebenarnya sudah cocok dengan skincare lamaku, Bud.""Cobain dulu aja! Atau kamu coba lipstik ini. Biar aku pasangkan."Budi dengan sigap ingin mengoleskan lipstik itu di bibirku, tapi aku menepis tangannya dengan cepat."Jangan kurangajar! Aku sudah menikah, dan jika ada yang melihat maka pasti akan
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 23.***Aku menggeleng dan hendak berlalu dari gudang ini.Namun, pintu tak bisa dibuka."Tolong! Tolong!"Buk Fatma tiba-tiba menjerit minta tolong sembari merobek bajunya sendiri."Apa maksud Buk Fatma melakukan ini?" tanyaku dengan raut wajah entah bagaimana."Tolong! Tolong saya!" teriaknya lagi.Aku panik dan tak tahu harus berbuat apa. Berkali-kali aku memutar gagang pintu.Namun, seketika Buk Fatma memelukku dari belakang."Tolong!""Lepas, Buk! Anda sudah kehilangan akal!" hardikku.Buk Fatma terus berteriak minta tolong sambil mendekapku erat.Hingga tiba-tiba pintu dibuka dari luar."Tolong saya," lirih Buk Fatma yang ambruk ke lantai."Buk Fatma, ayo cepat bantu Buk Fatma," ujar sekuriti.Saat ini di depan gudang sudah ramai para pegawai berkumpul. Mereka menatapku tajam serta memaki berbagai umpatan kasar."Dasar tak tahu terima kasih! Sudah diberi jabatan tinggi, malah ingin memperkosa atasan sendiri," ucap para wanita ya
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 22.***POV Reno. Sore ini aku pulang dengan penuh semangat. Rasa rinduku menumpuk ingin segera bertemu Sita. Hubungan kami yang renggang membuah aku begitu tersiksa. Dan perubahan sikap istriku sudah cukup mengobati lukaku yang sebelumnya tercipta..Sampai di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar mencari keberadaan Sita. Namun, istriku tak ada di dalam kamarnya. Kemudian aku ke dapur untuk mengecek. "Bu, Sita ke mana?" tanyaku pada Ibu."Tadi katanya ada teman lamanya yang ngajak bertemu di luar. Ibu sudah menyuruh Sita untuk meminta izinmu terlebih dahulu," ujar Ibu."Oh, ya sudah kalau begitu." Aku tak ingin memperpanjang masalah kecil lagi. Mungkin Sita suntuk dan butuh hiburan di luar. Tentang izin dariku, aku mengerti Sita masih marah. Jadi mana mungkin dia mau menghubungiku terlebih dahulu..Hampir satu jam berlalu, Sita pulang dengan wajah sumringah."Kamu habis ketemu siapa, Dek?" tanyaku menyelidik."Seseorang, Mas
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 21.***POV Fatma.Setelah mendapat alamat rumah orang tua Sita, aku langsung bergegas menemuinya di sana. Sebelumnya aku juga sudah mengatakan pada keluarga Reno.Sampai di kediaman orang tua Sita, aku dipersilakan masuk oleh asisten rumah tangganya."Buk Fatma, dari mana tahu alamat rumah orang tuaku?" tanya Sita menatap sinis padaku."Dari siapa lagi kalau bukan dari Reno," jawabku santai.Sita semakin menatapku tak suka. Tak lama kemudian kedua orang tuanya turut bergabung duduk di dekat kami."Jadi kamu yang bernama Fatma?" tanya lelaki yang masih tampak gagah di usia yang tidak muda lagi itu.Aku mengangguk pelan sambil tersenyum."Wanita ini yang sudah merusak rumah tanggaku, Pa. Dibalik sikap lembutnya, tersimpan racun yang berbisa," cibir Sita.Aku berdehem pelan menanggapi ucapannya. Senyumku masih terpasang. Menghadapi orang seperti Sita cukup dengan ketenangan."Sebelumnya saya minta maaf. Namun, saya tak mau berlama-lama m
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 20***"Dalam rangka apa Ibu ingin mengundang Buk Fatma?" tanyaku menyelidik."Ingin meminta maaf. Ibu dan Sita sudah sepakat untuk meminta maaf secara langsung pada Fatma. Tolong kau undang dia malam ini ya, Ren." Lembut suara Ibu membuat aku tak bisa menolak."Baiklah, Bu."Aku berlalu ke dalam kamar dan meninggalkan mereka yang tengah sibuk memasak.Rasanya sedikit lega jika Sita benar-benar bisa menyayangi Ibuku seperti aku menyayanginya..Di dalam kamar, aku menelepon atasanku untuk memberitahu kabar bahagia ini.Panggilanku berdering dan dijawab dengan cepat."Halo, Ren! Tumben telepon. Ada apa?" tanya-nya terdengar senang."Iya, Buk Fatma. Maaf jika saya mengganggu. Saya hanya ingin mengundang Buk Fatma untuk makan malam. Ini adalah permintaan dari Ibu," ujarku."Alhamdulillah, saya senang sekali menerima undangan dari beliau. Saya pasti datang, Ren.""Terima kasih, Buk Fatma. Kami semua menunggu kedatangan Buk Fatma nanti mala
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 19***"Sita sudah berubah jadi lebih baik. Tak pantas jika Ibu mencampakkannya. Silakan keluar, Ren. Bawa ponselmu ini! Ibu tak butuh bukti rekaman semacam ini."Langkahku terdorong mundur. Rasanya tak percaya mendapat tanggapan seperti ini dari Ibu.Kenapa Ibu dibutakan oleh Sita?Apa yang telah Sita katakan pada Ibu?Benarkah ada ancaman?Akhirnya aku berjalan menuju kamar. Di dalamnya tentu ada Sita yang sedang bersantai."Mas," lirihnya canggung saat melihat wajahku.Aku menatap matanya tajam tanpa sebuah senyuman. Hatiku telah panas, sepanas suasana siang hari di ibukota ini."Apa yang kau lakukan terhadap Ibuku? Kenapa Ibu seolah melindungimu walau kenyataannya telah membuktikan kau bersalah, Dek." Bergetar suaraku mengutarakan hal tersebut."Kenyataan apa maksudmu, Mas?" tanya Sita berlagak heran."Jangan pura-pura lagi, Sita! Lihatlah ini!"Aku melempar ponselku ke ranjang dan membiarkan rekaman itu terputar.Sita meraihnya da
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 18***POV Reno.Aku ke kantor dengan perasaan resah dan gelisah. Melihat sikap Ibu yang bersikeras membela Sita, membuat aku ikut merasa bersalah.Kenapa aku sebagai seorang suami tak bisa mempercayainya sedikit saja seperti Ibu?Apakah istriku seburuk itu?.Sampai aku di kantor dan masuk ke dalam ruangan. Bukannya mengerjakan tugas, aku malah merenungi semua yang sedang terjadi.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu menyadarkan lamunanku. Dapat dipastikan yang datang adalah Buk Fatma."Masuk," lirihku dengan malas.Senyum indah Buk Fatma terukir saat menatap wajahku."Ren, maaf untuk keributan yang tercipta di rumahmu tadi. Saya benar-benar mengkhawatirkan Ibu. Tidak lebih dari itu Ren," ujarnya."Iya, Buk Fatma. Saya yang minta maaf atas sikap Ibu saya. Namun, biasanya beliau memang memiliki feeling yang kuat," paparku.Wajah Buk Fatma langsung berubah jadi kesal. Aku sadar, ucapanku mungkin sedikit menyinggungnya."Ibu terlalu baik d
Judul: Ibuku teraniaya di rumahnya sendiri.Part: 17***POV Sita.Setelah suamiku berangkat ke kantor. Tak lama bel berbunyi. Aku mengintip dari balik tirai, ternyata wanita munafik itu yang datang."Nak, kenapa tak dibuka pintunya?" tanya Ibu yang tiba-tiba berdiri di belakangku.Aku menarik pelan tangan Ibu untuk segera menjauh."Bu, di luar ada Buk Fatma. Apa Ibu mau bekerjasama denganku?"Alis Ibu mertua bertaut saat mendengar ucapanku."Bekerjasama apa, Sita?""Ibu bukain pintu, dan jangan bilang kalau aku sudah kembali. Aku ingin mendengar apa saja yang akan dia katakan.""Tapi, Nak. Ibu tidak terbiasa berbohong.""Ayolah, Bu. Aku hanya ingin membuktikan pada Ibu, kalau Buk Fatma itu tidak sebaik yang kalian kira."Dengan ragu, akhirnya Ibu mengangguk.Aku langsung bersembunyi di balik sudut pembatas ruangan.Setelah Ibu membuka pintu, keduanya pun segera duduk di sofa.Aku dapat melihat dengan jelas kalau saat ini Buk Fatma memasang wajah sedih dan sangat polos.Berbeda saat i