"Mas!" panggil Ann pelan. Setidaknya Ben harus tahu jika ia kembali ke rumah sang nenek sebelum nanti sore kembali pulang ke Jakarta. "Hem," terdengar jawaban dari dalam. "Aku balik ke rumah Mbah, sorry aku malah ketiduran di ranjang kamu," kata Ann. "Kuanter?" tawar Ben tiba-tiba membuka pintu kamar mandi, ia keluar hanya berbalut handuk, tubuhnya masih basah. "Hah?" Ann tertegun. Meski Ben sudah acapkali bertelanjang dada menggunakan boxer seksi yang menggoda, tapi kali ini, Ben berkali lipat jauh lebih seksi. Rambutnya sedikit basah oleh air, tato indahnya dialiri air juga, sepertinya sengaja tak diseka oleh pemiliknya. "Tunggu bentar. Kuanter sekalian aku jalan ke bandara. Aku ngambil penerbangan pertama," kata Ben seolah berpamitan untuk kembali ke Jakarta lebih dulu. "Aku jalan sorenya ya, ehm," ucap Ann berdehem, masih sedikit susah menguasai dirinya. "Kamu nggak tidur Mas?" tanyanya mengikuti langkah Ben yang menuju ranjang, mengenakan bathrobe-nya santai sekali.
Arino terpingkal bahagia saat Ben menceritakan bagaimana agresifnya Ann menyingkap handuk di pinggangnya pagi tadi. Beruntung Ben bisa menguasai diri dan segera menghindar, berpura-pura sibuk berganti pakaian karena harus mengejar penerbangan paling pagi ke Jakarta. "Bisa-bisanya," kekeh Arino geleng-geleng kepala. "Ann lebih ganas dari keliatannya," gumamnya. "Sialan!" desis Ben, "dia nggak tau gue udah nggak begituan lama, pake dipancing segala. Untung nggak telanjang gue," katanya bergidik. "Dia penasaran sama isinya kayaknya Bos, kan pasti yang pernah tidur sama lo cerita ke dia, cewek hobi cerita masalah ukuran, yakin gue!" kata Arino masih tertawa geli sesekali. "Kayaknya dia udah nggak perawan," ucap Ben curiga. "Nakal gitu tangannya." "Nggak jadi masalah, yang penting tu orang kepancing," tunjuk Arino ke arah seorang perempuan sangat anggun yang melihat kedatangan Ben dan Arino dengan tatapan tak terdefinisikan. "Selamat bernostalgia, Bos." "Gue bawa handgun, persiap
Bertemu Eriska dan kembali membahas masa lalu mereka sebenarnya tidak pernah Ben inginkan. Satu hal yang membuat Ben bersedia bertatap muka lagi dengan Nadila Eriska Adyaksa Ghautama adalah karena ia tidak ingin ada seorang pun yang berani mengancam keselamatan Ann. Permusuhan dan persaingan keluarga antara Adyaksa Ghautama dan kerajaan besar keluarga Takahashi sudah berlangsung sejak berpuluh tahun lamanya. Ben muda yang jatuh cinta pada sosok Eriska hingga pada akhirnya harus melepas sang cinta pertama, kenangan yang masih menyimpan luka yang sama besarnya. Namun, berbeda dengan Eriska, Ben memilih melepaskan sementara Eriska masih memaksakan, tak terima meski ia sendiri yang berbuat kesalahan."Kayaknya nggak berjalan dengan lancar," tebak Arino langsung mendatangi Ben yang memilih menuju ke parkiran mobil. "Bunuh dia kalau berani nyentuh Ann," ucap Ben lirih tapi penuh penekanan. "Lo nggak liat berapa orang yang Adyaksa siagain di sekitarnya cuma buat jaga-jaga doang? Mereka tau
Ann tak sempat memberikan jawabannya karena Ben sudah buru-buru memintanya untuk ikut. Mereka hampir terlambat datang karena saat tiba di sebuah rumah besar berbentuk bangunan khas Jepang itu, seluruh anggota keluarga sudah berkumpul. Ben mengungkapnya bernama zashiki yang Ann sendiri tak paham artinya. Namun, ketika keduanya tiba, seperti sekelompok mafia-mafia Jepang pada umumnya, mereka disambut dan diberi hormat oleh banyak orang yang berjaga. Arino bergabung saat Ben memasuki bangunan utama, ia datang dengan mobil berbeda. "Serem amat rumahnya," bisik Ann di samping Arino. "Kita ke ruang yang paling dalam. Keluarga besar udah ngumpul semua di sana, masih taraf normal ini, kalau kakeknya Big Ben pulang ke Indonesia, lebih mencekam lagi suasananya. Ntar kamu bakalan liat gimana kawanan ini ngebuang salah satu anggotanya," terang Arino. "Ngebuang? Kenapa dibuang?" tanya Ann bingung. "Sama kayak Chester, dia dirawat Ben karena ibunya sendiri nggak mau nerima dia dan ditin
"Lo mau gagal dua kali?" celetuk Benji. "Diselingkuhin Mima apa bukan kegagalan namanya?" cibir Ben tersenyum miring. "Cukup!" lerai Taka langsung paham situasi. Ben dan Benji bisa saja saling hunus pedang jika obrolan mereka tidak dijeda. "Ann," ia beralih pada Ann sekarang. "Tau resiko terlibat dengan keluarga ini?" tanyanya. Ann mengangguk lagi, lebih ragu dari sebelumnya. "Ben adalah tipe pengusaha yang nggak kenal ampun, dia nggak segan melumuri tangannya dengan darah lawannya, kamu udah pernah denger?" Bastian menyela. Kali ini Ann tak buru-buru mengangguk. Ia toleh Ben lebih dulu, berharap Ben menyangkal perkataan sang kakak. Namun Ben justru mengangguk membenarkan, membuat Ann merasa sesak tiba-tiba menghimpit dadanya. "Sejauh ini dia pengasuh Chester, kalian gila kalau menganggap dia jadi nyonya rumah nantinya," sebut Ben. "Lo nggak akan ajak dia ke zashiki kalau nggak ada niat buat jadiin dia nyonya rumah, Tolol!" desis Danisha muak. "Ann seorang model, menik
Ann memilih bungkam sepanjang perjalanan pulang. Ia tahu bahwa suasana hati Ben sedang tidak baik-baik saja. Melihat bagaimana keluarga Ben mengintimidasinya dan hanya Taka yang tampak memihaknya membuat Ann tersadar, beban yang Eriska berikan di pundak lelaki ini teramat besar. Ben hanya tidak mengeluh, ia tidak membagi lukanya sama sekali. "Kita mampir makan dulu," kata Ben seakan memberi penawaran pada Ann. "Aku pengin makan sop ayam bikinan kamu, Mas," celetuk Ann, "boleh?" tanyanya. Ben menoleh Ann sekejap, mereka saling tatap. Kemudian, Ben memilih membuang pandangan, ia pura-pura fokus menyetir, tak lama kemudian mengangguk setuju. Di balik sikap dingin dan kejam sang Big Ben, luka besar karena ditepikan oleh keluarga sendiri hanya karena jatuh cinta pada orang yang salah, Ann tak tahu bagaimana sakitnya. Keheningan panjang menyergap. Ann tak berani bertanya lagi, ia berusaha memahami posisi Ben saat ini. Hingga mereka tiba di rumah besar Ben, Ann memilih untuk diam
"Sebagai orang yang dibuang dari kawanan, aku harus bisa apa aja," jawab Ben. Ia sajikan sop ayam pesanan Ann dengan memberinya sentuhan terakhir, menabur bawang goreng. "Aku bakalan jadi bawang goreng itu," celetuk Ann tanpa sadar, "pelengkap yang bikin makanan jadi lebih enak," tuturnya mengulas senyum. "Kamu punya impian dan karir yang harus kamu kejar, renungin itu dulu. Aku cukup mampu ngelindungin kamu dari Eriska tanpa harus nikah," ucap Ben sungguh-sungguh. "Tapi kamu nggak akan dipercaya Kakek kamu kan?" "Aku nggak punya kewajiban buat bikin Kakek percaya, jangan bikin kamu terbebani." Ann menyeruput kuah sopnya demi membuat dirinya berpikir jernih. Kenapa ia justru antusias sekali dinikahi oleh Ben padahal Ben tidak serius melakukan itu? "Keuntungan yang bisa kamu dapet dengan jadi istriku dan masuk ke keluarga besar adalah perlindungan yang lebih luas dari ancaman Eriska dan orang-orangnya," gumam Ben membuat Ann menghentikan kunyahannya. "Itu bedanya kalau ka
Pembicaraan mengenai pernikahan yang masih mengambang malam itu tak lagi dilanjutkan. Baik Ben maupun Ann sibuk lagi dengan kegiatan masing-masing. Ben jarang pulang, bahkan tak bertemu Ann sama sekali selama 2 minggu ini. Sedangkan Ann mulai ramai menerima tawaran membintangi iklan dan menjadi model majalah-majalah fashion. Meski bertanya-tanya ke mana Ben pergi dan apa saja yang dilakukan oleh lelaki dingin itu, Ann tak berani mencari tahu pada orang-orang rumah. Berusaha untuk mengakrabkan diri dengan Chester dan harimau lainnya adalah pilihan Ann di sela-sela jadwal padatnya. Rasa rindu kadang menyerangnya, tapi ia bisa apa jika hubungannya dengan Ben bukanlah apa-apa. "Tunggu di situ Chest, aku kudu belajar ini," ucap Ann berdialog pada Chester yang kini mulai berani ia bawa masuk ke kamarnya. Seperti pada Ben, Chester menurut. Hewan buas ini duduk di kaki Ann, sementara Ann tampak membolak-balik buku catatannya. Minggu ini, kuliahnya mulai memasuki Ujian Akhir Semester. Me
"Baru pertama kali ini aku liburan ke Eropa. Mimpi apa aku bisa ke sini sama orang yang paling berarti di hidupku," desis Ann lirih. Matanya mengitar takjub, masih tidak percaya pada apa yang kini tengah dialaminya. London tengah ada di awal musim gugur saat ini. Suhu udara cukup dingin untuk kulit Ann yang terbiasa dengan suhu tropis khatulistiwa. Ia sampai memeluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menghangatkan tubuhnya. Liburan musim panas di Inggris Raya baru akan selesai dan Westminster cukup sepi dari wisatawan di bulan-bulan ini. "Pilihan yang tepat kita keluar malam hari, untungnya Christ udah akrab sama Lala, jadi kita bisa keluar malem-malem gini, biar Christ istirahat," ujar Ben sengaja merangkul leher istrinya mesra. "Lala udah kenal Danisha lama, jadi kayaknya Christ sering diajak jalan bareng juga sama Lala, makanya mereka cepet akrab," gumam Ann. "Mas, indah banget Inggris Raya," ujarnya tak hentinya berdecak. Meninggalkan
Ann menyesap teh melati buatan Ben sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang begitu damai dan menenangkan baginya, tanpa beban. Christ sedang sarapan pagi bersama Ben di ruang makan, sedangkan Ann sendiri duduk di halaman belakang, sesekali mengusap punggung Chester yang kini memang sengaja diboyong ke rumah baru demi memulihkan kesehatannya. Minggu depan kuliah Ann sebagai Maba akan dimulai, jadi, ia sengaja menikmati momen-momen emas ini tanpa gangguan. "Ane-san, berangkat seolah dulu," kata Christ mendatangi Ann sambil membungkukkan badannya. "Oke, hati-hati ya, semangat sekolahnya!" balas Ann melambaikan tangannya ceria, menatap punggung kecil nan kokoh Christ yang berlalu menjauh. Untuk kegiatan sekolah dan les privat yang harus dijalani Christ, Ann menyiagakan seorang sopir antar-jemput. Ben juga meminta Sony untuk menjadi penjaga Christ selama berkegiatan di luar rumah. "Kamu nggak ada agenda ke mana-mana hari ini, Ann?" tegur Ben yang menyusul duduk di seberang Ann, menent
"Hai, Christoper!" sapa Eriska yang sudah datang lebih dulu di sebuah coutage tempat mereka dijadwalkan bertemu. Seperti rencana, Ann dan Ben mengantar Christ bertemu dengan Eriska. Satu titik balik kehidupan Christ akan ditentukan hari ini. Ann tidak tahu apa yang tengah dirancang oleh Eriska untuk mengusiknya lagi, tapi ia percaya Ben bisa mengatasi gangguan Eriska lebih baik ketimbang sebelumnya."Mami Eris," balas Christ melambaikan tangan sekenanya, juga memberi senyum simpul yang asing. "Kamu tambah tinggi ya," puji Eriska. "Makanmu pasti enak-enak pas ikut Ben," katanya. "Makasih udah menuhin permintaanku," tambahnya ke arah Ben sambil memeluk Christ yang tampak canggung. "Gue pengin urusan kita segera selesai," balas Ben. "Biar Christ mesen makanan dulu ya," tandas Eriska. "Aku udah makan sama Ann dan Ben sebelum ke sini," ucap Christ sangat fasih. "Kata Ann, Mami kangen sama aku," gumamnya. "Iya," jawab Eriska mengangguk. "Mami nggak bawa makanan kesukaanku?" tembak Ch
Setelah sekian lama tidak beraktivitas di ranjang karena kondisi kesehatannya, Ben cukup berhati-hati bergerak. Ann lebih banyak memimpin permainan, sang istri berbalik memegang posisi dominan. "Joanna," Ben mengerang lirih, menikmati pemandangan sang istri yang meliuk-liuk di atasnya. "Berasa liat aku di Queen's Diary lagi ya Mas," goda Ann masih sempat bercanda. "Ini lebih juara sensasinya," balas Ben merem-melek, terbakar gairah. Ann terkikik, ia bergerak makin cepat, tapi tetap berhati-hati. Ben yang tengah berbaring di bawahnya itu masih belum sembuh total, jadi mereka tidak boleh bermain liar. "Ane-san!" Ben mengeja panggilan istrinya, ia tiba di puncak dengan senyuman lepas yang puas. "Wah," deru napas Ann masih terengah, "lega, Big Ben? 250 juta transfer ke rekeningku ya," candanya lucu. Ia bangkit dan duduk di sebelah suaminya, membiarkan Ben meriah selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Nggak 300 juta sekalian?" tawar Ben. Ann mengangguk, "Boleh. Dikasih 500 juta lebi
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha
"How's life, Ann? Kamu bahagia?" tanya Eriska yang ditemui oleh Ann di sebuah rumah makan besar. Ann melirik sang suami yang duduk di sebelahnya. Ben tampak tak acuh, ia itarkan pandangan ke sekeliling, enggak bertemu tatap dengan Eriska. Dari sorot matanya, tampak Eriska masih begitu mendamba suami Ann itu. "Gue nggak punya alasan buat nggak bahagia setelah suami masih hidup di sisi gue," jawab Ann jumawa. "Asal nggak ada orang yang mengusik kami lagi, gue yakin bahagia selamanya," gumamnya. "Ben," Eriska tersenyum, mencoba mengambil perhatian mantan pacarnya itu. "Aku nggak akan ngusik kalian lagi. Cuma satu penginku, aku diijinin buat ketemu sama Christ. Sekarang udah nggak ada Papa yang bakalan nyakitin dia, boleh nggak Christ disuruh milih, mau ikut aku atau kalian? Aku janji, setelah Christ milih, aku nggak akan pernah muncul dalam kehidupan kalian lagi," ujarnya. Ben yang semula tak peduli akhirnya memfokuskan pandangannya pada Eriska. Keduanya bertemu tatap, diam dan tak a
Proses recovery Ben memakan banyak waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Selama itu, Ann setia mendampingi, membantu sang suami mendapatkan tubuh bugarnya lagi. "Dua tusukan yang nggak akan pernah bisa dilupain," desis Ann sambil menunjuk bekas luka di dada dan perut Ben yang kancing kemejanya sengaja tidak dikancingkan. "Nggak kamu bikin tato, Mas?" tanyanya. Ben menggeleng, "Luka tembak ini sengaja kutato karena pengin kuhilangkan. Kalau luka tusuk beda cerita, ini award perasaanku atas kamu Ann. Aku terluka buat ngelindungin kamu, itu kebanggaan tersendiri," ujarnya. "Tapi aku jadi ngerasa bersalah kalau liat bekas luka ini. Kamu ada di ambang kematian selama 5 bulan, gimana aku nggak sedih.""Apa mau kutato aja biar kamu nggak sedih?" tawar Ben. Gelengan Ann berikan, "Kalau kamu nggak ngeliat aku sebagai bentuk kesalahan, sedihku bisa ganti jadi kebahagiaan kok Mas," ucapnya lembut, plin-plan. Senyuman Ben terkembang, ia kibaskan lagi pedangnya untuk kembali memulai latiha
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama