"Kita pulang beneran Mas?" tanya Ann memberanikan diri. "Rino tadi mana?" tanya Ben balik, ia menoleh ke belakang tanpa melihat Ann. "Itu!" kata Ann menunjuk ke arah lobi. Dari sana terlihat Arino setengah berlari membawakan tas milik Ann. "Cuma ini kan?" tanya Arino terengah. "Iya, makasih Bang," ucap Ann tersenyum, sorot matanya jelas bertanya-tanya sekarang. "Lo urus sama Choky masalah ini, Rin," kata Ben setelah menghela napas panjang. "Tuntut mereka kalau bisa," tegasnya. "Siap!" jawab Arino sigap. "Nyetir sendiri?" tanyanya. "Hem," desis Ben mengangguk lemah. Tak ada obrolan lagi hingga mobil datang dan Ery turun dari kursi kemudi. Arino dengan sigap membukakan pintu penumpang di depan untuk Ann, ia hanya memberi kode dengan menggerakkan kepalanya. Mood Big Ben sedang tidak baik, jadi, semua orang memilih untuk tidak banyak bicara. Suasana di dalam mobil saat perjalanan juga hening. Ben sama sekali tak bicara, begitupun Ann yang takut untuk mengajak mengobrol. S
Ben sengaja meletakkan pisau dapur yang tengah dipegangnya saat Ann datang menyusul. Gadis ini bahkan tidak mengenakan dress-nya lagi, hanya menutupi rapat tubuhnya dengan jas kepunyaan Ben. Ia duduk di kursi meja makan, enggan menatap lelaki yang kini tengah menyorotnya tajam. "Kenapa?" gumam Ann pura-pura sibuk menata sendok di tempatnya. "Kenapa nggak pake baju?" tanya Ben lantas sibuk meracik masakannya lagi. "Nanti kamu nggak puas liatnya. Makanya sengaja nggak aku pake dulu. Biar kamu makan pake lauknya ngeliat aku," sindir Ann menohok. "Terserahmu," balas Ben sekenanya, tak ingin terlibat perdebatan yang bisa menyulut emosinya lagi. "Ada apa sama Patra? Kenapa kamu marah banget pas tau aku berurusan sama dia?" tanya Ann selalu tak bisa menahan rasa penasarannya. "Dia musuh bisnis," balas Ben. "Musuh bisnis? Semua orang yang jadi member bukannya musuh bisnis juga? Kenapa kamu galak banget sama dia? Kalian ada masalah serius dan bukan cuma soal kontrakku kan
Ann mendesah lemah mendengar jawaban Ben yang mengecewakan itu. Sebenarnya, ia tahu, Ben menyembunyikan banyak hal darinya. Lelaki ini sangat misterius, dingin, tapi hangat di dalam, perhatian dan mudah iba pada perempuan. Ben membungkus dirinya dalam sikap seperti kutub utara agar tak ada yang mendekat dan terlalu ikut campur dalam urusannya. "Minggu depan boleh aku pulang ke Semarang tiga hari? Kebetulan ada libur di show dan aku nggak ada jadwal laen. Aku pengin jenguk seseorang," kata Ann mengganti topik. "Tiga hari terlalu lama," balas Ben. "Tiga hari buat setahun kemudian aku udah nggak akan pulang ke Semarang lagi, Mas," desak Ann setengah memohon. Sesekali ia suap mie hangat buatan Ben yang rasanya sangat nikmat. "Dua hari, nggak lebih," kata Ben tak terbantahkan. "Oke," jawab Ann lemah. "Mas, kamu kursus masak ya? Bisaan banget masak yang seger-seger gini," pujinya. "Buat bisa bertahan di duniaku, kamu harus bisa apa aja, kamu kudu bisa ngandalin diri kamu sendiri,
Ben segera mengantar Ann ke Semarang menggunakan helikopter malam itu juga. Mengingat Ann yang sudah linglung dan tak bisa diajak bicara fokus dan rasional, Ben memutuskan untuk tetap mendampinginya. Mereka dikawal oleh dua orang bodyguard dan juga Arino yang bertugas untuk mengurus semua keperluan mendadak mereka selama di Semarang. Ketika rombongan tiba di kediaman sederhana yang ditinggali Ann sejak masa kanak-kanak, tetangga dan beberapa saudara jauh sudah berkumpul. Ann jelas langsung menjadi pusat perhatian, apalagi ia datang dikawal oleh beberapa lelaki tak dikenal yang penampilannya cukup mewah dan mencengangkan. "Aku baru mau pulang minggu depan Mbah, kenapa Mbah nggak nunggu aku," isak Ann memeluk tubuh kaku neneknya yang sudah dimandikan dan dikafani. Ben dan pengawalnya beserta Arino tampak duduk di antara para tetangga yang masih berkumpul. Meski merasa asing dengan sekitarnya, Ben berusaha menyesuaikan diri. Ia mengambil rokoknya, menawari beberapa bapak-bapak di
"Sejak aku mutusin buat berangkat ke Jakarta dulu, aku udah dicap kayak gitu karena aku kerja paruh waktu dan pulang selalu tengah malam. Ironis ya? Padahal aku jadi pelayan di rumah makan," cerita Ann. "Aku nggak mau Mbah terlalu lama denger gosip kayak gitu, makanya aku mutusin buat pergi jauh ke Jakarta. Dua hari lalu, aku dikabarin kalau Mbah masuk rumah sakit, darah tingginya kambuh. Kata Budhe, semua uang yang kukirim buat Mbah belakangan ini nggak dipake apa-apa sama Mbah, padahal aku minta dipake buat kesehatan dan buat menuhin semua keperluannya Mbah di sini. Aku ngerasa bersalah banget, Mbah yang ngerawat aku dari kecil, nyukupin semua kebutuhanku dengan jualan bunga buat ziarah ke makam," ujarnya terisak lagi, semakin keras. Melihat kondisi Ann, Ben mematikan bara rokoknya. Tidak banyak yang bisa ia katakan untuk menghibur Ann karena ia memang tidak pandai berkata-kata. Love language seorang Big Ben adalah act of service, jadi, ia memilih untuk membawa Ann ke dalam cer
Selepas pemakaman, Ben sengaja memilih untuk meninggalkan Ann dan pergi ke hotel lebih dulu. Ann masih harus mengurus masalah uang santunan dan lain-lain bersama keluarga besar, jadi Ben tidak ingin terlalu ikut campur dengan hal-hal semacam itu. Ia meminta Sony, salah satu bodyguard untuk menunggu dan menjaga Ann. "Mas Ben nggak bilang apa-apa lagi Bang?" tanya Ann saat ia mengantar makan malam untuk Sony. "Nggak ada Mbak, cuma disuruh nunggu dan nemenin sampe keperluan Mbak selesai," ucap Sony apa adanya. Ben memang hanya memberinya perintah untuk menjaga dan mengawal Ann, menyiapkan keperluan sang nona jika membutuhkan sesuatu. "Ya udah, nanti kalau acara ngaji sama urusan yang lain-lain udah selesai, anter gue ke hotelnya ya Bang," ujar Ann tersenyum simpul. "Siap Mbak," ujar Sony sigap. Ann kembali masuk ke dalam rumah, menemui Budhe Narti, kakak tertua ibundanya. Mereka sedang memberesi sisa-sisa snack untuk pengajian, termasuk menanyakan langkah Ann selanjutnya akan
"Kenapa?" tembak Ann langsung begitu Ben membukakan pintu kamar hotel untuknya. "Ngapain?" tanya Ben balik, seperti biasa, penampilannya saat santai adalah selalu shirtless seksi menggoda. Sadar bahwa Ben menemuinya dengan tampilan sedikit hot, Ann tertegun. Sejenak ia kehilangan suara, hatinya tiba-tiba nyeri. Akankah ada perempuan lain di dalam kamar saat ini dan kedatangan Ann membuat permainan mereka terganggu? "Kamu bilang kalau aku butuh sesuatu, kamu nyuruh aku ngomong," ucap Ann tersendat, matanya berkaca-kaca, tak tahu apa penyebabnya. "Sony nggak bisa bantu? Arino ke mana? Nggak standby di rumah kamu, dia?" tanya Ben celingak-celinguk. "Kamu lagi ada tamu?" tanya Ann tak nyambung. Gatal juga lidahnya karena rasa penasaran yang tertahan. "Enggak." "Kayaknya kamu lagi ada kegiatan di dalem," ujar Ann tak langsung percaya. Paham arti tatapan redup dari gadis di hadapannya, Ben membuka akses. Ia persilakan Ann masuk ke dalam kamar, membiarkannya meneliti seisi ruang
"Justru karena kamu Joanna dan bukan Eriska, kupake kamu seumur hidup," ucap Ben menahan jemari Ann yang sudah berdiri. "Eriska bakalan cari tau siapa kamu," tambahnya. "Kenapa aku? Kenapa harus aku yang kamu libatin dalam urusanmu? Apa karena kamu udah ngebayar aku?" tanya Ann menegarkan hati. Ben mengangguk, ia hentak genggamannya di pergelangan tangan Ann hingga Ann terhuyung dan jatuh ke pangkuan Ben tanpa perlawanan. Sesaat mereka saling berpandangan, kali ini Ann tidak melihat ada dusta yang Ben sembunyikan di matanya. Kenapa sesakit ini mengetahui ternyata si kejam Ben memiliki nama perempuan lain yang tersimpan rapi di hatinya? "Siapa si Eriska ini?" gumam Ann berani. "Kamu nggak akan mau tau," balas Ben berpaling. "Salah satu perempuan yang nolak buat kamu tidurin? Perawan? Cinta pertama?" "Aku nggak mau bahas soal dia sama kamu," desis Ben. "Jelas harus dibahas karena kamu make aku yang kata kamu buat balas dendam dan pelampiasan atas dia. Kamu marahnya sa
"Baru pertama kali ini aku liburan ke Eropa. Mimpi apa aku bisa ke sini sama orang yang paling berarti di hidupku," desis Ann lirih. Matanya mengitar takjub, masih tidak percaya pada apa yang kini tengah dialaminya. London tengah ada di awal musim gugur saat ini. Suhu udara cukup dingin untuk kulit Ann yang terbiasa dengan suhu tropis khatulistiwa. Ia sampai memeluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk menghangatkan tubuhnya. Liburan musim panas di Inggris Raya baru akan selesai dan Westminster cukup sepi dari wisatawan di bulan-bulan ini. "Pilihan yang tepat kita keluar malam hari, untungnya Christ udah akrab sama Lala, jadi kita bisa keluar malem-malem gini, biar Christ istirahat," ujar Ben sengaja merangkul leher istrinya mesra. "Lala udah kenal Danisha lama, jadi kayaknya Christ sering diajak jalan bareng juga sama Lala, makanya mereka cepet akrab," gumam Ann. "Mas, indah banget Inggris Raya," ujarnya tak hentinya berdecak. Meninggalkan
Ann menyesap teh melati buatan Ben sambil memejamkan mata. Sungguh pagi yang begitu damai dan menenangkan baginya, tanpa beban. Christ sedang sarapan pagi bersama Ben di ruang makan, sedangkan Ann sendiri duduk di halaman belakang, sesekali mengusap punggung Chester yang kini memang sengaja diboyong ke rumah baru demi memulihkan kesehatannya. Minggu depan kuliah Ann sebagai Maba akan dimulai, jadi, ia sengaja menikmati momen-momen emas ini tanpa gangguan. "Ane-san, berangkat seolah dulu," kata Christ mendatangi Ann sambil membungkukkan badannya. "Oke, hati-hati ya, semangat sekolahnya!" balas Ann melambaikan tangannya ceria, menatap punggung kecil nan kokoh Christ yang berlalu menjauh. Untuk kegiatan sekolah dan les privat yang harus dijalani Christ, Ann menyiagakan seorang sopir antar-jemput. Ben juga meminta Sony untuk menjadi penjaga Christ selama berkegiatan di luar rumah. "Kamu nggak ada agenda ke mana-mana hari ini, Ann?" tegur Ben yang menyusul duduk di seberang Ann, menent
"Hai, Christoper!" sapa Eriska yang sudah datang lebih dulu di sebuah coutage tempat mereka dijadwalkan bertemu. Seperti rencana, Ann dan Ben mengantar Christ bertemu dengan Eriska. Satu titik balik kehidupan Christ akan ditentukan hari ini. Ann tidak tahu apa yang tengah dirancang oleh Eriska untuk mengusiknya lagi, tapi ia percaya Ben bisa mengatasi gangguan Eriska lebih baik ketimbang sebelumnya."Mami Eris," balas Christ melambaikan tangan sekenanya, juga memberi senyum simpul yang asing. "Kamu tambah tinggi ya," puji Eriska. "Makanmu pasti enak-enak pas ikut Ben," katanya. "Makasih udah menuhin permintaanku," tambahnya ke arah Ben sambil memeluk Christ yang tampak canggung. "Gue pengin urusan kita segera selesai," balas Ben. "Biar Christ mesen makanan dulu ya," tandas Eriska. "Aku udah makan sama Ann dan Ben sebelum ke sini," ucap Christ sangat fasih. "Kata Ann, Mami kangen sama aku," gumamnya. "Iya," jawab Eriska mengangguk. "Mami nggak bawa makanan kesukaanku?" tembak Ch
Setelah sekian lama tidak beraktivitas di ranjang karena kondisi kesehatannya, Ben cukup berhati-hati bergerak. Ann lebih banyak memimpin permainan, sang istri berbalik memegang posisi dominan. "Joanna," Ben mengerang lirih, menikmati pemandangan sang istri yang meliuk-liuk di atasnya. "Berasa liat aku di Queen's Diary lagi ya Mas," goda Ann masih sempat bercanda. "Ini lebih juara sensasinya," balas Ben merem-melek, terbakar gairah. Ann terkikik, ia bergerak makin cepat, tapi tetap berhati-hati. Ben yang tengah berbaring di bawahnya itu masih belum sembuh total, jadi mereka tidak boleh bermain liar. "Ane-san!" Ben mengeja panggilan istrinya, ia tiba di puncak dengan senyuman lepas yang puas. "Wah," deru napas Ann masih terengah, "lega, Big Ben? 250 juta transfer ke rekeningku ya," candanya lucu. Ia bangkit dan duduk di sebelah suaminya, membiarkan Ben meriah selimut untuk menutupi tubuh mereka. "Nggak 300 juta sekalian?" tawar Ben. Ann mengangguk, "Boleh. Dikasih 500 juta lebi
Setitik air mata Ann jatuh, ia berpaling agar tak ketahuan tengah bersedih. Sesak di dadanya berusaha ia sembunyikan sebisa mungkin, hatinya telah jatuh teramat banyak pada Christ. "Kenapa aku harus milih? Aku udah tinggal di sini kan?" gumam Christ lugu. "Kamu bukan anggota keluarga, Eriska minta kamu kembali ke keluarga kamu," ungkap Ben gamblang, terdengar sangat tega. "Ane-san," Christ menoleh Ann, "apa aku harus milih? Aku aku harus ikut Mami Eris?" tanyanya hampir menangis. "Kamu boleh tetep tinggal di sini kalau kamu mau, Christ," jawab Ann. "Asal kamu memilih tinggal bersama kami, kamu boleh tinggal selamanya di sini," sambar Ben. Christ terdiam, ia tampak bingung dan hanya memainkan kancing bajunya sebagai bentuk pelarian. Anak sekecil Christ tentu mempunyai banyak perspektif pada setiap orang yang pernah merawatnya. Ann meski galak dan tegas, tidak pernah memukul atau menggunakan kekerasan. Begitu pula dengan Ben, meski ia keras dan kejam, selalu menekan Christ dengan
"Marah, Ane-san?" tegur Ben yang menyadari perubahan sikap istrinya semenjak pulang dari rumah makan tadi siang. "Hem?" Ann melirik suaminya sekejap, lantas fokus lagi memainkan ponselnya. "Kamu marah sama aku, Ann?" ulang Ben sabar. "Marah? Emangnya kamu kenapa?" tanya Ann balik. Ben mendecak, ia tahu Ann sedang tidak mau diajak mengobrol. Istrinya ini tengah marah, enggan ditanya-tanya tapi jika Ben tak acuh, kemarahan itu akan semakin membesar. "Coba bilang, salahku di mana?" pancing Ben. "Wah," Ann tertawa dalam tatapan piasnya yang tak menyangka. "Nggak sadar salahnya?" "Oke, aku salah ngambil keputusan setuju sama Eriska? Bener?" "Terus?" "Aku mengabaikan kamu," desis Ben meringis, takut salah. "Bukan cuma mengabaikan, Mas. Aku nggak kamu anggep ada di tempat itu. Seharusnya kamu tanya dulu keputusanku, kan?" sergah Ann bagai siap memuntahkan lahar panas dari mulutnya. "Iya, aku minta maaf," ungkap Ben tak mau memperpanjang masalah. Salah atau tidak salah, ia tetap ha
"How's life, Ann? Kamu bahagia?" tanya Eriska yang ditemui oleh Ann di sebuah rumah makan besar. Ann melirik sang suami yang duduk di sebelahnya. Ben tampak tak acuh, ia itarkan pandangan ke sekeliling, enggak bertemu tatap dengan Eriska. Dari sorot matanya, tampak Eriska masih begitu mendamba suami Ann itu. "Gue nggak punya alasan buat nggak bahagia setelah suami masih hidup di sisi gue," jawab Ann jumawa. "Asal nggak ada orang yang mengusik kami lagi, gue yakin bahagia selamanya," gumamnya. "Ben," Eriska tersenyum, mencoba mengambil perhatian mantan pacarnya itu. "Aku nggak akan ngusik kalian lagi. Cuma satu penginku, aku diijinin buat ketemu sama Christ. Sekarang udah nggak ada Papa yang bakalan nyakitin dia, boleh nggak Christ disuruh milih, mau ikut aku atau kalian? Aku janji, setelah Christ milih, aku nggak akan pernah muncul dalam kehidupan kalian lagi," ujarnya. Ben yang semula tak peduli akhirnya memfokuskan pandangannya pada Eriska. Keduanya bertemu tatap, diam dan tak a
Proses recovery Ben memakan banyak waktu dan perjuangan yang cukup panjang. Selama itu, Ann setia mendampingi, membantu sang suami mendapatkan tubuh bugarnya lagi. "Dua tusukan yang nggak akan pernah bisa dilupain," desis Ann sambil menunjuk bekas luka di dada dan perut Ben yang kancing kemejanya sengaja tidak dikancingkan. "Nggak kamu bikin tato, Mas?" tanyanya. Ben menggeleng, "Luka tembak ini sengaja kutato karena pengin kuhilangkan. Kalau luka tusuk beda cerita, ini award perasaanku atas kamu Ann. Aku terluka buat ngelindungin kamu, itu kebanggaan tersendiri," ujarnya. "Tapi aku jadi ngerasa bersalah kalau liat bekas luka ini. Kamu ada di ambang kematian selama 5 bulan, gimana aku nggak sedih.""Apa mau kutato aja biar kamu nggak sedih?" tawar Ben. Gelengan Ann berikan, "Kalau kamu nggak ngeliat aku sebagai bentuk kesalahan, sedihku bisa ganti jadi kebahagiaan kok Mas," ucapnya lembut, plin-plan. Senyuman Ben terkembang, ia kibaskan lagi pedangnya untuk kembali memulai latiha
Dua puluh empat jam pasca hidup kembali, Ben dinyatakan dalam kondisi yang sangat bagus oleh dokter. Tubuhnya sudah melewati pemeriksaan dan pengecekan dan tidak ada organ tubuhnya yang malfungsi. Ben hanya memerlukan banyak latihan bergerak dan berjalan untuk menormalkan kembali sendi-sendi dan tulangnya. "Dia minta pindah sekolah di sini, pengin jagain Ketua tapi dia ngeluh bosan nunggu kamu bangun, tiap hari begitu," ucap Ann tertawa. "Dia jagain kamu dengan baik ya," kekeh Ben sudah mulai lancar berkomunikasi. Ann mengangguk, "Kadang dia ngomel, kenapa Ketua nggak bangun-bangun padahal dia mau cerita gimana dia ngelawan anak-anak lain yang nyoba ngerundung dia," ceritanya. "Udah ya Mas, biar dia stay di Indo aja, Christ pasti nggak mau kalau disuruh balik ke Jepang lagi. Nanti aja kalau dia udah bisa milih mau lanjut studi di Jepang atau di negara mana pun, kita bisa atur lagi," urainya. "Aku ikut kebijakan kamu, Ane-san," kata Ben lembut. "Ah, Adyaksa sekarang dipegang sama