"Leyka, mamah mu gimana kabarnya?" Tanya tante Juwita, mamah Abay.
Ibuku sudah beberapa hari ini sakit, jadi dia tidak bisa bekerja. Alhasil, mamah Abay menyewa pembantu sementara karena aku sendiri tidak bisa menggantikan ibu untuk bekerja disini. Aku harus sekolah, dan sulit membagi waktu.
Lagipula, ibu Abay sendiri tidak mengijinkanku untuk bekerja. Ia menyuruhku untuk fokus sekolah.
"Sudah mendingan tante." Ujarku sambil sedikit tersenyum.
"Mah, Abay jalan yah."
Tanpa salam, tanpa cium tangan, Abay main keluar rumah begitu saja dan menghiraukan ibunya yang jelas-jelas saat itu ada disana.
"Woy Abay! Salam dulu sama tante!" Ujarku sambil mengejar Abay yang sudah diambang pintu.
"Udah telat Deb, harus konser nih." Ujar Abay lagi.
Abay memiliki sebuah group band bernama "Rising Star" dimana mereka tampil di Mall-Mall. Band ini bukanlah band dari sekolahan.
Abay adalah seorang gitaris dan juga vokalis. Suaranya dan keahliannya dalam memetik gitar tidak bisa diragukan.
Ia sudah belajar bernyanyi dan bermain gitar sedari kecil. Dan aku... aku hanya jadi penontonnya saja saat itu, saat dia latihan. Aku tidak bisa ikut latihan karena tidak mempunyai uang.
Maka dari itu, suatu hari, salah satu manager Rising Star merekrut Abay karena mereka tertarik dengan suara unik yang Abay miliki.
Lalu Abay meminta persetujuanku untuk ikut bergabung dalam band tersebut. Dan setelah mendapatkan persetujuanku, Abay pun ikut serta dalam band tersebut.
Ya, jika ada suatu hal yang baru yang perlu di musyawarahkan atau diambil keputusan, Abay selalu bertanya padaku dan meminta pendapatku.
Aku senang akan hal tersebut, itu artinya aku cukup penting bagi seorang Abay.
Terkadang, aku mengambil keputusanku sesuka hati bahkan sampai Abay sendiri kesal. Tapi apapun keputusanku, Abay selalu menerimanya. Sorry and Thank you Abay.
***
"Ah apalah arti konser!"
Aku mendorong punggung Abay untuk kembali ke ibunya agar ia bersalaman terlebih dahulu. Aku paling tidak suka saat Abay mengacuhkan ibunya.
"Assalamualaikum bu." Ujar Abay dengan ketus saat ia telah selesai mencium lengan ibunya itu.
Ibu Abay tersenyum seraya mengacungkan jempol tangannya padaku. Akupun begitu. Kami berdua memang telah membuat kesepakatan yakni membuat Abay menjadi anak yang lebih baik dan sopan.
Abay adalah anak satu-satunya di keluarganya, sama dengan diriku. Aku juga anak satu-satunya setelah kak Amalia meninggal.
Kedua orang tua Abay selalu sibuk bekerja sehingga membuat Abay menjadi anak yang kurang perhatian. Alhasil, Abay menjadi anak yang sedikit liar. Aku pun tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubah sifat Abay. Tapi aku akan mencobanya, aku ingin Abay menjadi anak yang lebih baik. Dan kali ini, aku dibantu tante Juwita.
"Sama ibu sendiri tuh harus sopan dikit!" Ujarku dengan ketus saat kami sudah berada di dalam mobil Abay.
Tempat konser Abay kali ini adalah Mall Senayan. Setiap Abay konser aku pasti selalu ikut. Tapi aku tidak jadi penonton semata disana. Aku menjadi asisten Abay yang membantu Abay dengan segala keperluannya.
"Dih! Kamu sendiri kayak yang sopan sama ibu kamu!"
Aku mendoyor kepala Abay, tapi dia diam saja karena tengah fokus menyetir.
"Beda ceritanya ya!" Ujarku dengan ketus dan memanyunkan bibir.
"Udah jelek, gak usah dijelek-jelekin lagi Debi!"
Tanpa kusangka, Abay mencomot bibirku yang tadi kumanyunkan itu. Hal tersebut membuat jantungku berdetak cepat, apalagi saat ia memanggil namaku. Aku semakin degdegan dibuatnya.
"Kumaha aing! (Terserah aku)" jawabku pura-pura marah padahal muka ku sudah memerah.
"Sampai. Mau tunggu di basement apa ikut ke panggung?" Tanya Abay padaku.
Aku sendiri terkejut mendengar pertanyaan itu. Apa menurutnya aku ini motor?! Kenapa pula aku harus menunggu di basement.
"Ikut ke panggung, mau kacauin acaranya!" Ujarku dengan ketus sambil meninggalkan Abay dan berjalan duluan.Aku memang galak, galak tapi sayang.
"Nih."
Abay menyusulku, dia nenyerahkan tas ransel miliknya yang berisi baju ganti, laptop, dan barang lainnya lagi.
"Abay ini berat!" Dumel ku.
Aku kesal sekali saat Abay menyuruhku membawa barang miliknya. Ya memang benar aku bekerja sebagai pembantu dirumahnya, tapi apa setiap saat aku harus membawakan barang-barang miliknya?
Abay mundur kembali dan mendekatiku, lalu ia berkata.
"Kau kan wanita kuat. Masa bawa gituan aja ngeluh." Ia berkata sambil tersenyum dan kembali meninggalkan ku.
Aku rasa barang yang Abay bawa ini bukan hanya laptop, dia seperti membawa bom nuklir.
Karena kesal dan berat, akhirnya kuputuskan untuk meninggalkan tas ransel milik Abay di basement.
"Bodo amat."
***
"Sa, lirik lagu nya mana?" Tanya Aldi.
Aldi adalah salah satu gitaris juga di band Rising Star. Sifatnya sangat berbalik 180° dengan Abay.
Jika Abay galak, maka Aldi baik. Jika Abay rajin, maka Aldi malas. Eh salah, mana mungkin Abay rajin. Maksudku, jika Abay malas maka Aldi rajin. Pokoknya begitu.
"Tuh di si Debi." Ujar Abay dingin sambil terus memetik gitar nya.
"Hah? Di gue? Nggak tuh!"
"Ada. Di tas yang tadi gue kasih."
Aku membelalakan mata. Tas yang tadi? Astaga! Tas nya kan ku simpan di basement.
Aku kebingungan dan celingukan sendiri, bingung mau berbuat apa. Jujur aku takut kalau Abay marah.
"Kenapa Ley?" Tanya Aldi padaku. Dia sepertinya tahu bahwa aku sedang kebingungan.
"Mm anu Al. Mmm." Aku belum bisa membuka mulut.
"Lha? Tas nya mana Deb? Jangan bilang lo taro di basement lagi?!"
"Lagi?" Benar, hehe. Aku pernah melakukan hal yang seperti ini sebelumnya, bahkan lebih dari sekali. Meninggalkan barang Abay di basement.
"Wah keterlaluan lo Deb. Liriknya kan ada disitu, key melody nya Deb!" Ujar Abay dengan nada yang penuh akan penekanan.
"Lo yang keterlaluan Bay! Tadi itu tas nya berat!"
Abay menatapku dengan tajam, aku pun begitu. Aku tidak terima dikatakan keterlaluan padahal dia sendiri yang keterlaluan.
"Gue gak mau tau! Cari dan bawa tas itu kesini sekarang!" Titahnya padaku sambil menunjuku dan menyuruhku keluar dari ruangan itu.
Saat aku hendak bicara, tiba-tiba Mc di depan sudah memanggil nama band Rising Star yang akan tampil berikutnya.
"Buruan Debi!" Titah Abay padaku. Tapi aku masih juga belum beranjak. Aku juga kesal pada Abay.
"Udahlah Sa. Lagian kita udah mau telat, tuh udah dipanggil." Aldi menenangkan Esa.
"Tapi gimana kita mau main tanpa lirik itu?!"
"Tampil seadanya aja." Ujar Aldi lagi.
"Gara-gara dia kita jadi gagal tampil sempurna!" Abay menunjuk ku sambil berteriak. Aku langsung menunduk karenanya.
"Mana ada sih orang yang sempurna di dunia ini Abay!" Aku melakukan perlawanan dengan mata berlinang, aku hampir menangis.
"Terserah! Kali ini lo pulang sendiri!"
Abay, Aldi dan yang lainnya meninggalkanku. Setelah ruang make up sepi, akhirnya kutumpahkan air mataku yang dari tadi sudah ku bendung.
Aku tidak menyangka ternyata Abay bisa segalak itu. Apa pertemanan selama bertahun-tahun tidak berarti apa-apa dan terkalahkan oleh sebuah lagu yang ditulis didalam buku?
Apa kepopuleran dan pertunjukan lebih penting daripada pertemanan?
Aku meninggalkan ruangan tersebut, aku ingin pulang saja. Aku tidak perduli lagi dengan Abay ataupun konsernya. Hatiku sakit!
"Abay, kamu menyebalkan!"
"Assalamualaikum bu."Aku pulang dengan langkah terhuyung, aku pulang menggunakan angkutan umum. Masih terngiang-ngiang dibenak ku bentakan Abay tadi.Aku pulang meninggalkan Abay yang tadi masih sibuk dengan konsernya. Aku sudah tidak perduli lagi dengan dia, lagipula tadi dia sudah mengusirku."Leyka? Kenapa? Kok mukanya kusut begitu?" Ibu menyadari muka ku yang memang kusut dan lusuh itu."Gak apa-apa bu. Leyka cuman kecapean aja."Saat itu ibu sedang sakit dan pasti kepalanya pusing. Aku tidak ingin memperunyam keadaan dan membuatnya tambah sakit, makannya aku tidak mengatakan masalahku dengan Abay. Karena aku tahu ia pasti khawatir kalau tahu soal itu."Oh, Esa nya mana?"Abay biasanya selalu mampir ke rumahku untuk bertemu dengan ibu. Karena dulu, saat kedua orang tua Abay sibuk bekerja, ibulah yang selalu ada untuk Abay. Jadi wajar saja jika Abay menyanyangi ibuku lebih dari ibunya sendiri.Bisa tahu bukan
"Assalamualaikum tante."Saat urusan rumah sudah selesai, saat aku sudah makan dan memastikan ibu baik-baik saja aku langsung tancap gas menggunakan angkutan umum pergi ke rumah Abay yang rumahnya tidak jauh dariku. Sebenarnya biasanya aku jalan kaki, hanya saja saat ini aku sedang buru-buru, aku ingin segera menemui Abay."Masuk Ley."Setelah dipersilahkan seperti itu oleh tante Juwita, aku langsung saja masuk.Memang rumah Abay sudah seperti rumahku sendiri. Sekalipun tidak ada yang menjawab atau mempersilahkan ku masuk, biasanya aku akan langsung masuk."Abay nya mana tante?" Tanyaku pada tante Juwita yang pada saat itu sedang sibuk bergulat dengan laptopnya diruang tengah."Tuh dikamar." Ujarnya tanpa melirik ku sedikitpun.Aku memang bukan seperti tamu saat dirumah Abay. Bahkan terkadang, kalau aku haus aku langsung saja ke dapur dan mengambil minuman sendiri.Setelah bersalaman dengan tante Juwit
Kelasku memang tidak pernah lepas dari kata ricuh. Kelas 12 M Ipa 3.Ada yang sibuk berdandan, ada yang sibuk menggosip, ada yang sibuk main taruh-taruhan, ada yang sibuk baru mengerjakan PR. Padahal PR sudah diberikan dua hari lalu.Semuanya berbicara dengan suara yang kencang agar tidak terkubur oleh suara lainnya. Ketibang di sekolah, aku merasa bahwa diriku sedang berada di pasar. Semuanya ricuh."Pak Budi ,pak Budi."Kericuhan mulai tenang dan terhenti saat salah satu guru datang. Dia adalah pak Budi. Beliau merupakan kepala sekolah kami.Seperti namanya, pak Budi adalah orang yang baik dan berbudi. Tapia beliau cukup disegani.Aku melirik Abay, dia dari tadi tidak berhenti memainkan handphonenya. Bahkan saat pak Budi sudah datang.Aku bersyukur karena aku bisa sekelas dan bahkan duduk sebangku dengan Abay. Padahal Abay merupakan murid anak orang kaya.Disekolahku, kelas kami dibagi menjadi tiga bagian
Selain segala kelebihan yang Tasya punya, Tasya juga pandai dalam bergaul dengan sesama.Hanya dalam hitungan beberapa menit setelah pelajaran usai, Tasya sudah menarik banyak perhatian anak-anak.Ia sudah seperti magnet yang menarik banyak besi untuk mendekatinya. Kini, semua murid berkumpul mengerumuni Tasya dan juga Abay. Ingat bukan bahwa Abay duduk satu bangku dengan Tasya.Dan yang paling parah, bukan hanya anak-anak dari kelas kami, tapi juga dari kelas lain. Ada banyak juga adik kelas yang datang ke kelasku ini. Seperti sedang ada acara bazar murah meriah saja.Hanya aku dan Ina yang tidak menghampiri Tasya. Aku sudah cukup mengenal Tasya. Dan aku juga tidak mau berdesak-desakan dengan yang lainnya. Mereka mengantri seperti hendak menerima sembako dari presiden saja."Memangnya seberapa cantik sih si Tasya itu?" Tukas Ina padaku.Aku sadar betul kalau Ina sangat cemburu dan kurang suka pada Tasya. Bahkan saat ini Daffa ada dian
Saat semua pelajaran telah usai, aku celingukan sendiri di tempat parkiran. Aku mencari Abay. Entah kemana perginya Abay saat ini.Biasanya kalau tidak langsung pulang ke rumah dan mengantarku. Abay akan ke ruangan musik terlebih dahulu atau sibuk menggrepe perempuan.Tapi kali ini tidak ada. Aku sudah mencari keruangan musik dan tidak ada Abay disana. Murid yang berada disana pun tidak tahu Abay kemana saat kutanyai apakah mereka melihat Abay atau tidak.Lalu aku beralih melihat ke kelas M Ipa 1. Disana ada pacar Abay, Krystal namanya. Aku memang melihat Krystal, tapi tidak ada Abay disana. Dan kurasa Krystal sedang ada masalah dengan Abay.Saat kuhampiri ke kelasnya, Krystal tengah menangis dikelilingi beberapa teman wanitanya. Kutebak jika bukan bertengkar pasti Krystal diputuskan oleh Abay.Terakhir kali Abay pernah berkata kepadaku bahwa Krystal menyebalkan dan selalu mengekangnya. Hal tersebut membuat Abay tidak nyam
Setelah berkata begitu, ibu pergi meninggalkan ku bersama dengan obat-obatan yang sudah berserakan di kasur.Aku sudah mencoba menghentikan kepergian ibu yang tidak tahu akan kemana. Tapi aku gagal dan ibu malah membentaku hingga membuatku tidak bisa berkutik.Sebenarnya aku bisa saja melawan ibu, tapi aku takut penyakit darah tinggi ibu kambuh. Dan aku tidak bisa mengikutinya karena kepalaku benar-benar berat dan tidak bisa untuk diajak berjalan.Aku tidak tahu bahwa efek dari berjalan kaki sebentar saja bisa begini. Seperti orang sedang sakit tipus saja.Tapi sepertinya bukan hanya karena kelelahan, tapi juga karena pikiran. Aku terlalu memikirkan Abay seharian kemarin sampai aku sakit begini.Aku harus berhenti memikirkan Abay dan mulai berpikir ke mana perginya ibu. Ibu tampak marah saat aku mengatakan Abay meninggalkanku dan tidak mengantarkanku pulang. Aku takut kalau ibu kerumah Abay dan melabrak Abay lalu aku takut Abay akan marah pad
Aku merenung didalam kamar setelah meninggalkan Abay. Entah kenapa aku merasa aku mendadak jadi bodoh begini. Aku tahu dan sadar bahwa aku menyukai Abay. Tapi kenapa aku berkhianat pada hati kecilku ini. Aku menjauhi Abay, aku cuek dan jutek padanya padahal aku sendiri tidak tega melakukan semua itu.Aku kembali bercermin. Menatap wajahku yang pucat pasi ini. Apa aku pantas menjadi pasangan seorang Esa Juniansyah? Pertanyaan itu kembali muncul di benak ku saat Abay sudah datang ke rumahku."Waalaikumsalam. Hati-hati ya nak."Itu suara ibu. Pasti ibu berbicara dengan Abay, pasti Abay saat ini sudah pulang. Aku naik ke atas kasur lalu mendekap guling dan bantal dan menumpahkan segala kesedihanku.Aku tidak kuat lagi dengan semua ini. Aku sakit, aku terluka. Aku sangat mencintainya, aku ingin memilikinya. Namun kenapa begitu berat bagiku. Kenapa aku tidak bisa melakukannya.Kenapa Abay begitu sulit untuk aku raih? Tidak adakah sedikit pe
Kami menumpangi sebuah mobil Avanza hitam milik Predi. Aku tidak tahu apa pekerjaan Mang Ardi saat ini. Tapi yang jelas, keadaan ekonomi nya lebih baik dari pada keadaan ekonomi aku dan ibu."Kamu sekarang kelas berapa?" Tanya Predi padaku dalam keadaan fokus menyetir."Kelas 2 kak." Ujarku."Lha? Kok panggil kak sih?"Jujur aku sedikit bingung saat itu. Aku sudah lupa berapa usia Predi sekarang. Kalau dulu sih aku memang hanya memanggilnya nama saja. Tapi sekarang beda, ia sudah besar, begitupun aku. Aku takut Predi tersinggung kalau aku hanya memanggil namanya saja."Panggil nama aja." Ujarnya lagi."Emangnya usianya berapa kak? Eh Per maksudnya.""Beda tipis lah sama kamu. Menginjak 21 tahun bulan ini." Ujarnya lagi sambil tersenyum dan sesekali melirik ku.Usia Predi ternyata tidak jauh berbeda dari usiaku. Dia juga masih muda. Sepertinya Predi melanjutkan pendidikannya ke jenjang universitas yang belum kuketahui dima
Aku kembali pulang ke rumah dengan diantar Max. Ia benar-benar baik. Baik di depan Ibu nya maupun di belakanh Ibu nya, ia selalu murah senyum dan seseoali mengajak ku berbicara, tidak ada kecanggungan diantara kami berdua."Gak usah repot-reoit nganterin, gue bisa pulang naik ojek." Aku menghentikan langkahku sesaat untuk sekedar menolak tawaran Max, aku hanya takut merepotkan dirinya."Gakpapa. Gue yang bawa lo kesini maka gue juga yang harus bawa lo pulang.""Gakpapa kok. Mungkin lo mau nemenin tante Puji aja?" Tanyaku padanya."Gakpapa, Mamah lagi istirahat. Gue mau nganterin lo aja."Sebuah keputusan yang tidak bagus untuk dibantah. Karena itu akhirnya aku menyetujui usulnya untuk mengantarkanku pulang karena ia sendiri yang mau dan merasa tidak direpotkan.Kami tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, hanya sesekali saja Max mengajak ku berbicara."Leyka?" Tanyanya dengan setengah berteriak."Ya?' Jawabku."K
"Bay?""Hmm?""Cuek gitu.""Masalah?""Ya nggak sih."Dari tadi aku terus memperhatikan Abay makan tapi ia sama sekali tidak memperhatikanku hingga aku jera sendiri."Gue cuman mau ngomong nanti siang jangan ke rumah."Setelah berkata begitu, barulah ia menghadapku dan menghentikan aktivitasnya memakan gehu."Kenapa?" Tanyanya dengan alis yang mulai meruncing."Gue mau pergi sama Max.""Kemana?""Rumah sakit.""Oh."Tidak hanya kata saja yang dingin, ia juga ternyata enyah dari hadapanku beserta mangkok bakso yang menjadi menu makan siangnya.Sejauh ini aku masih belum nengerti pada tingkah aneh mereka berdua. Maksudku Predi dan Abay.Disaat aku sedang fokus memikirkan apa yang menimpa Abay dan Predi, orang yang menurut Ina penyebab kebakaran ini terjadi datang. Ya, dia adalah Max.Tanpa izin lagi, dia duduk disampingku dengan membawa dua mangkok mie.Kini sem
"Wihh pake parfum banyak banget gitu." Ibu datang dan langsung mengkritik ku yang memang menggunakan parfum hampir setengah botol."Iya hehe." Aku tidak ada kata lain selain cengengsan."Yang pria kemarin itu siapa Ley?"Aku menghentikan aktivitas menata diriku dan mencoba mengingat siapa pria yang Ibu maksud."Ohh yang itu, Leyka ingat. Namanya Max bu, temen baru Leyka."Aku dan Max sudah berjanji tidak akan memberitahukan pasal hubungan palsu kami pada Ibu. Bukan apa-apa, aku takut Ibu tidak setuju kalau kami berbohong mengenai hubungan kami, sementara kalau aku mengatakan bahwa aku pacar nyata Max aku takut Ibu malah menyuruh Abay untuk menyelidiki Max lebih jauh karena kami belum saling mengenal dalam jangka waktu lama.Maka dari itu ada baiknya jika aku hanya diam saja dan mengatakan bahwa Max hanya sekedar berteman denganku. Tidak lebih dan mungkin tidak akan pernah lebih."Ohh. Anak nya sopan yah, Ibu suka."Prasangka ku
Pagi-pagi sekali Ibu sudah membangunkanku lebih pagi dari biasanya. Kulirik jam dinding dimana waktu masih menunjukan jam 7 pagi hari. Ini asalah hari sabtu atau tepatnya hari libur. Setelah selewai shalat shubuh tadi, aku kembali merebahkan diri diatas kasur dengan tubuh dirungkupi selimut tebal yang membantuku memberikan kehangatan."Ada apa sih, Bu?" Tanyaku dengan mata yang masih tertutup dan nyawa setengah sadar."Bangun dulu tuh ada temen nya."Bukannya bangun, aku semakin merapatkan tubuhku dan mempererat pelukanku pada guling kala mendengar nama 'teman' disebut. Teman mana pula yang datang sepagi ini di hari libur."Paling Abay kan? Suruh pulang aja bu, semalam Leyka gadang masih mau tidur.""Oh yaudah."Ibu pergi setelah gagal membangunkanku, selimut yang tadi sempat tersibak kembali kutarik untuk melingdungi diriku dari dinginnya udara pagi.Baru juga aku kembali terlelap dalam mimpi, suara Ibu sudah terdengar ny
"Lo kenapa sih Deb?"Abay menghentikan langkahku ketika kami hendak pergi ke kantin."Apanya yang kenapa?" Tanyaku dengan kening yang mulai mengerut."Kayak orang lagi banyak masalah tapi berusaha disembunyiin gitu."Aku menatap Abay tidak percaya, mataku bulat sempurna. Aku tidak menyangka bahwa Abay ternyata mengetahui wajah asli dibalik topeng yang sedang ku pakai ini.Aku salah, aku salah ketika aku berpikir bahwa berpura-pura bahagia itu ternyata mudah. Ternyata salah, salah besar dan itu sangat susah.Tidak perduli seberapa kencang aku tertawa, selebar apa aku tersenyum, sesibuk apa pekerjaan yang kulakukan masalah tetaplah masalah yang senantiasa muncul kapan saja dan dimana saja lalu sulit untuk disembunyikan begitu saja."Whoa ya enggak dong! Gak bisa bedain orang yang lagi bahagia sama orang yang lagi sedih?" Meski sudah ketahuan, aku masih berusaha untuk terus beralibi."Bisa. Bisa banget bedain orang yang senyumnya
"Hallo guys."Impianku mendapatkan pria dan cinta yang kuinginkan tidak terwujud setidaknya aku tetap bahagia.Aku menghampiri Ina, Daffa, Abay yang saat ini sedang duduk di satu kursi di kantin sana."Heboh banget lu, pake guys guy segalanya." Tukas Ina, ia memang sewot kalau aku sewot."Woiya dong. Kalau orang lagi happy kan heboh."ujarku.Tanpa dipersilahkan, aku langsung duduk dengan begitu anggun dan mengibaskan rambut ku sehingga terbang ke belakang."Tuh rambut lu terbang, awas gak balik lagi." Ujar Daffa, sama nyinyirnya dengan Ina."Iya dong. Rambut gue terbang gara-gara hati gue terbang." Ujar ku sambil cengengesan dan tersenyum sangat lebar.Bagaimana? Langkah awal ku berpura-pura hebat kan? Orang mana yang saat ini tahu bahwa aku sedang sedih? Tidak ada kan?"Bu Susum, gehu 10, nasi goreng satu piring pake acar 3 kantong terus risol 10 sambal nya jangan lupa sesendok ya terus bakso 3!"Aku memesa
Pertanyaan Abay barusan seperti mesin waktu yang dapat menghentikan waktu untuk sesaat.Kami diam mematung. Ada yang melihat Abay, melihatku dan juga melihat Predi.Aku sendiri tidak habis pikir. Maksudku, jika memang benar ciri-ciri nya mirip denganku, haruskah Abay menanyakannya sekarang? Kita memiliki waktu yang banyak untuk bersama saat di luar sekolah nanti. Abay bisa mengatakan wakru twrsebut.Kecuali ada sesuatu yang ia maksud dari pertanyaannya itu."Kenapa diam? Pertanyaannya cukup sulit ya?" Tanya Abay lagi dengan bertambah lantang."Ekhem. Maksud Anda Debi yang mana? Siapa? Ada begitu banyak nama Debi di muka bumi ini." Tanya Predi."Nama lengkapnya adalah Leyka Mutiara Anatasya, nama panggilannya Debi. Gadis 17 tahun yang kini sedang duduk di samping saya."Mata Abay tertuju padaku, begitupun mataku. Aku masih menatapnya tidak percaya."Oh itu haha. Bagaimana Anda bisa mengira itu dia?" Tanya Predi sambil sala
"Debi?!" Tanpa sadar, ternyata Abay sudah memanggilku sedari tadi. Aku terlalu sibuk melamun hingga tidak sadar akan seruannya."Eh iya?" Ujarku gelagapan."Kenapa sih? Kok ngelamun mulu kayak nya?"Aku tersenyum, lalu dengan lantang aku nengatakan."Bay, kita udahan aja." Ujarku seperti sedang memutuskan seorang pacar."Udahan apa nya? Kan belum nyampe. Lo kebelet, terus mau berhenti di jalan?" Aku tahu bahwa Abay akan salah tangkap."Eh enggak deh."Tidak. Meski aku akan menyudahi oengorbanan dan perjuangan ku sebagai seseorang yang akan membahagiakan Abay, aku tidak boleh memberitahu nya.Sebagaimana keadaan yang memberitahu ku, aku juga akan membiarkan keadaan yang memberitahu perubahan ku.Perlahan tapi pasti, Abay pasti akan menyadari perubahan yang terjadi pada diriku. Perubahan diriku yang mulai menjauhinya.Meski aku akan berhenti mencintainya, bukan berarti aku bisa menyakitinya. Dengan menga
Aku menata diriku, mengenakan baju seragam sekolah dan memasukan buku-buku yang akan digunakan untuk hari ini. Sebelum beranjak pergi, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa hari ini aku harus bahagia. Tidak boleh ada kesedihan apapun, tidak boleh menangis. Tidak boleh terluka karena Abay. Aku bisa mendapatkan kebahagiaan yang tidak hanya bisa diberikan oleh pria. Lewat teman, aku juga bisa bahagia. *** "Pagi Deb." Pagi-pagi sekali Abay sudah datang menjemputku. Aku tidak menyangka bahwa dirinya yang akan datang, kupikir akan Predi yang datang. Tapi tidak masalah. Siapa yang datang lebih awal, maka ia yang pergi denganku. Yang terpenting aku bisa sampai disekolah. "Bareng gue yuk." Ajaknya padaku. Aku mengangguk, tidak ingin ada penolakan pagi ini. Abay rupanya belum selesai dengan sepeda motornya, ia masih menggunakan itu. Mungkin dirinya nyaman. "Deb?" "Hmm?" "Maaf." Gumamny