Mereka akhirnya tiba di depan gerbang mansion Alatas. Tepat ketika pintu gerbang terbuka sebuah mobil mendekat di belakang mereka membuat keduanya menoleh.
“Mereka baru sampai,” kata Fandra, tersenyum.
Vana memusatkan perhatiannya ke mobil di belakang, sebuah mobil BMW putih mendekat.
Fandra melirik Vana yang menatapnya begitu mobil berhenti di depan teras dan pria itu mengangguk. Gadis itu keluar lebih dulu dari mobil bersamaan dengan seorang perempuan cantik yang berpakaian modis sederhana, dia adalah Alifika, kakaknya Fandra.
“Halo,” sapa Alifika riang dengan senyum lebar pada Vana.
“Halo,” Vana membalas sambil menganggukan kepalanya singkat, perhatiannya tertuju pada seorang bocah yang turun dari mobil dan senyum gadis itu melebar. “Azka, halo.” Tangannya melambai pada bocah itu.
Bocah itu membungkuk hormat
“Aku ….” Fandra masih menggantungkan keputusannya membuat semua orang menunggu.Dia sama sekali tak memutuskan tatapan dari Vana. Benaknya mengulang kembali kenangan yang sudah mereka lakukan bersama, termasuk pertengkaran kecil mereka. Di hari-hari belakangan ini jarak itu sudah terkikis, Fandra ingat bagaimana Vana menenangkannya ketika dia terjebak dalam ingatan masa lalunya tentang kekasih yang hilang entah ke mana.Kedua matanya terpejam, dadanya sesak ketika bayangan gadis itu harus pergi bila keputusannya salah. Fandra tak tahu harus melakukan apa bila Vana tak lagi berada dalam jarak pandangannya.“Kami tak akan memaksa, jadi pikirkanlah sebaik mungkin, namun waktumu hanya sampai di sini, Fandra,” kata nenek.Kesempatannya hanya sekali. Bila keputusannya lain dari yang mereka harapkan, maka dia harus siap ditinggalkan lagi, bukan? Lalu, bagaimana dengan janjinya
Vana mengikuti langkah Fandra keluar dari sana dan menyusuri teras sampai melewati teras barat. Gadis itu cukup tertinggal, tapi tidak masalah sebab pikirannya sedang kacau sekarang. dia bertanya-tanya mengapa Fandra mengambil keputusan itu untuk mempertahankannya dan bukannya mengambil keputusan lain yang membuat pria itu bisa terbebas darinya.“Aku sungguh tak mengerti apa yang dia pikirkan,” katanya sepanjang jalan menuju bangunan selatan di mana ruang kekuasaan Fandra berada.Sebenarnya dia juga terkejut dengan apa yang di sampaikan nenek tadi, ataukah itu hanya agar Fandra menentukan dengan jelas dan tegas?“Bagaimana Nenek bisa berpikir begitu? Aku sama sekali tak menyangka, keberadaanku di sini tergantung pada keputusan Fandra sekarang,” dia kembali mendumel sehingga langkah kakinya menjadi lambat.Halaman luas arah barat menarik perhatian gadis itu yang menghentikan langkah kakinya di teras yang biasa nenek gunakan untuk melihat senja. Dia menghadapkan wajahnya ke barat di ma
Keluarga menyampaikan pada mereka keputusan yang di ambil setelah berunding begitu Fandra dan Vana pergi. Mereka berada di meja makan sekarang dan Alifika mengatakan kalau mereka telah memutuskan untuk merahasiakannya dari media sementara waktu sampai acaranya dekat.“Jadi kami berharap, sampai pengumuman itu disebarkan, Vana harus bisa menghadapinya. karena begitu media menyorotmu, maka secara otomatis kau tak bisa pergi dengan bebas,” terang Alifika pada Vana yang kini duduk berdampingan dengan Fandra lagi.Vana melirik ibunya yang duduk di sisi kanannya dan wanita itu mengangguk lembut. Tentunya keputusan itu di ambil dengan kesaksiannya. Kalau sang ibu mengangguk, artinya dia tahu mana yang terbaik.“Aku akan mengikutinya selama itu baik untukku, keluargaku dan keluarga Alatas,” kata Vana, melirik mereka satu per satu.Nenek, Diana, dan Alan mengangguk bersamaan. Alifika tersenyum padanya begitu juga Haikal. Fiona tentu saja senang yang kini telah akrab dengan Vita, adiknya. Terak
Waktu demi waktu yang berlalu mendekatkan mereka pada acara yang telah di tetapkan. Vana sudah mengambil cuti bekerja dan Arzal bertanya alasannya, tentu dia tak menjelaskannya secara gamblang, hanya urusan pribadi saja.Vana juga melakukan banyak latihan dan tes agar dia bisa tampil dengan sempurna, dan berlatih dasar-dasar tentang dansa sebelum melakukan gerakannya. Dari pagi hingga sore hari dia belajar dengan keras, demi dirinya supaya tak mempermalukan diri di depan banyak orang nanti.Serta semakin dekat dengan waktu pengumuman pada media yang pasti akan membuat heboh jagat raya dan maya. Siapa yang tak mengenal Althafandra Alatas yang meskipun tertutup wajahnya dan prestasinya cukup tersebar dan dikenal banyak orang, terutama di khalayak muda yang menjadikannya idaman.“Aku lelah,” desah Vana setelah Pelayan Diara menginteruksikan kalau latihan hari ini berakhir.Vana menghepaskan dirinya di sofa ballroom rumah besar itu.“Tanggal pengumuman tinggal sebentar lagi, Anda harus si
Semua orang berkumpul di ruang tengah menunggu berita yang akan segera keluar usai pengumuman yang telah mereka lakukan. Seharusnya sore itu atau mungkin esok hari akan muncul di berita TV.“Seharusnya muncul di berita sore. Kalau tidak sekarang, mungkin besok,” kata Alfa, sekretaris senior nenek.“Tidak masalah, sekarang atau besok, mereka pasti akan tahu. Semoga tak mengundang hal-hal yang tak diinginkan, itu saja sudah cukup,” timpal Xu Mei sembari melempar senyum pada sekretarisnya itu.Pria tua yang sudah lama mengabdi di keluarga Alatas itu mengangguk, membalas senyum nenek.Namun, di sudut kursi lain, Vana tegang sekali. Dia penasaran berita seperti apa yang biasanya tersiar itu? Akankah heboh atau hanya bagai angin lalu saja? Tapi dilihat dari bagaimana sikap nenek dan calon ibu mertuanya yang tetap tenang, sepertinya itu bukanlah masalah yang besar, tapi tetap saja, Vana gugup setengah mati sampai menahan napasnya.“Gugup, ya, Vana?” tanya Diana yang menyadari kekakuan gadis
“Kau sungguh tak tau siapa dia, Vana?” tanya Sabina saat Vana melakukan panggilan vidio dengan teman-temannya di laptop.Vana hanya bisa menggeleng saja, ingin sekali mengakui, tapi dia sadar akan konsekuensinya nanti.“Astaga. Aku patah hati,” keluh Giana dengan tampang terlukanya padahal setahu Vana dia punya pacar.“Berita ini heboh sekali, sampai gue males banget nanggapi mereka yang patah hati. Masa kau yang di rumahnya nggak tau siapa calonnya, Vana?” tanya Angela.“Meskipun aku tau, aku tak bisa mengatakannya pada kalian, atau aku akan menanggung akibatnya, kalian mau membantu?” tanya Vana, sedikit menuduh.Mereka semua diam, memasang wajah yang begitu sedih. Kecuali Heda tentunya yang sudah tahu sejak awal.“Tunggu saja, pasti akan muncul nanti,” kata Heda logis. Dia tak bisa membela Vana, se
Pria bertubuh tegap dengan dada bidang yang terbalut kemeja itu baru saja keluar dari kamarnya ketika seorang pelayan berari keluar dari kamar Vana dengan terburu. Menelisik raut wajahnya yang terbaca sekilas, dia tampak panik.“Tunggu,” cegahnya tepat sebelum Nina, pelayan itu melewatinya.Fandra masih menahan Nina tapi tatapannya tertuju pada pintu kamar di seberangnya yang sedikit terbuka.“Ada apa?” tanyanya kemudian sembari mengalihkan tatapan pada sang pelayan.“Anu …,” Nina tanpa gugup, melepaskan cekalan tuan mudanya lalu mengambil langkah mundur. Tanpa mampu menatap wajah tegas nan dingin di hadapannya, Nina menjawab sambil menunduk, “Nona Vana, demam, Tuan Muda,” katanya sedikit terbata.Mata tajam bak elang dengan manik hitam itu tampak melebar begitu mendengar jawaban si pelayan.“
Fandra jadi salah tingkah, tapi jelas dia keberatan sekarang bila harus berjauhan dengan Vana. Sekarang saja, dia merasa tersiksa dan bersalah karena gadis itu jatuh sakit karena kekurangpekaannya.Baik nenek, ibu, ayah, kakak bahkan sang adik dan para pelayan menatapnya, menunggu konfirmasi atas apa yang baru saja Fandra katakan tentang keberatannya bila Vana dipindah ke ruang barat.“Kenapa jangan?” Alifika menuntut, mengarahkan pandangan dan badannya pada sang adik.“Itu ….” Fandra jelas bingung sekarang untuk membela dirinya. Akan memalukan sekali bila sampai dia mengakui perasaannya terhadap Vana pada semua orang di ruangan itu.Tidak ada yang bicara untuk beberapa saat lamanya karena menunggu pengakuan Fandra.“Bukankah itu jelas? Kak Fandra keberatan bila harus berjauhan dengan Kak Vana, menyesakkan sekali bila harus menahan rindu tak t
Sudah hampir satu bulan sejak Fandra pergi ke Jepang untuk urusan bisnisnya ternyata masalahnya rumit sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mengurusnya. Ayah Fandra juga turut pergi satu minggu lalu untuk membantu karena masalahnya semakin besar membuat semua jadi khawatir.Cuaca belakangan ini tidak tentu, hujan deras turun dengan guntur dan kilat padahal siang masih berlangsung tapi hujan sudah turun. Keluarga Alatas menjadi resah tapi mereka saling menguatkan satu sama lain, mendoakan yang sedang berada di luar rumah.Hari ini pagi cerah, tapi saat siang hari mendung berat, langit gelap dengan gemuruh yang terdengar keras. Angin kencang pun tak mau tertinggal menyemarakkan badai yang hendak turun.Dengan semua kabar cuaca yang buruk itu membuat Vana menjadi tak tenang. Fandra tidak bisa dihubungi dua hari ini karena sibuk sekali. Ayah sempat mengabari kalau mereka akan lembur beberapa hari agar masalah segera beres.Vana tidak tahu apapun jadi hanya bisa mendukung saja dan mend
Tiga hari sejak kejadian itu, Vana jarang sekali keluar dan lebih menghabiskan waktunya di rumah Fandra. Dia punya hobi baru sekarang, melakukan banyak hal seperti merangkai bunga, membuat kerajinan dan lain sebagainya. Fandra sibuk dengan pekerjaannya hingga jarang sekali dihubungi, karena Vana tidak ingin menganggu maka pria itulah yang menghubunginya.Vana sudah menjadi bagian dari keluarga besar itu, dan calon istri Fandra jadi dia bisa bebas ke manapun dia mau di gedung selatan itu. Namun, Fandra tidak mengizinkan Vana untuk ke rumah pondok itu.“Vana, kau sibuk?” Heda datang menghampiri.Apa yang terjadi di hotel itu hanya diketahui beberapa orang saja. Fandra membungkam wartawan yang Asheila bawa itu, dan Asheila sendiri sudah pergi lagi. Dua bodyguard yang ditugaskan Fandra pun tidak akan membicarakan masalah itu, hanya Heda dan Gavian yang mengetahuinya lagi, serta Arzal. Yang lain, terutama keluarga Alatas tidak ada yang tahu.“Tidak. Kenapa?” tanya Vana sambil berbalik meng
Vana tampak kelehan, dan berbaring di ranjang yang berantakan.Entah berapa tempat yang mereka jamah, dan memberantakannya bahkan kamar mandi pun tak luput dari mereka.“Kau akan kesakitan saat bangunan nanti.”Vana merespon pelan.“Aku tahu. Tapi, aku tidak bisa … kenapa kau di sini?” tanya Vana lemah.“Aku tidak mungkin meninggalkanmu dengan masalah besar, bukan?”“Ya. Namun, bagaimana kau?” Vana tampak tak berdaya, dia lemah sekarang setelah energinya terkuras habis untuk bergelut dengan pria itu.“Kau akan tahu saat sadar sepenuhnya. Jadi sekarang, tidurlah. Kau pasti lelah,” katanya sambil mengusap kepala Vana dan mendaratkan kecupan di dahi gadis itu.“Kau akan pergi bukan?”“Ya, setelah ini,” jawabnya.“Cepatlah kembali. Aku akan menunggu.”“Tentu. Istirahatlah di sini. Sahabatmu akan menjemput besok. Ibu akan menjagamu sampai aku kembali. Jangan pernah keluar lagi dengan pria lain.”Vana mengangguk. Kedua matanya tampak berat untuk terbuka tapi dia masih mengenali suara itu.“
“Fandra?” Vana memanggil sambil mencari pria itu.Fandra muncul tak lama kemudian.“Ya?” Fandra menyahut. “Ada apa?”“Tidak. Aku pikir kau ke mana. Bukannya kau ingin mengatakan sesuatu padaku, apa itu?” tanya Vana kemudian sambil menatap pria itu yang justru menghindar.“Kau mau melihat sekitar?” tanya Fandra, mengalihkan.“Nanti,” jawab Vana sadar kalau Fandra menghindarinya. “Katakanlah, selagi aku bisa mendengarkannya dengan baik,” kata gadis itu mendesak Fandra.Meskipun ragu, pria itu akhirnya menatap Vana.“Aku akan pergi dinas,” ungkap Fandra akhirnya.Vana tak merespon, membiarkan Fandra kembali menyampaikan sisanya.“Ke Jepang, selama dua minggu,” lanjutnya dan masih menatap Vana, mengawasi ekspresi gadis itu.“Itu saja?” tanya Vana tampak tenang.Kedua alis Fandra terangkat, sedikit heran dengan tanggapan yang gadis itu berikan. Fandra berpikir Vana mungkin akan marah, sedih, atau hal lainnya lagi. Namun ternyata, gadis itu cukup tenang untuk merespon.“Ya,” jawab Fandra si
Setelah hari pertunangan itu Asheila menemui Arzal di tempat pria itu sering berada. Asheila mencari tahu lebih dulu tentang pria itu sebelumnya, dan kini duduk anggun di salah satu kursi café milik Arzal.Dengan senyum puas menghiasi bibir, dan rencana yang telah disusun. Asheila yakin semua akan berhasil sesuai dengan prediksinya bila bekerjasama dengan Arzal. Ashelia pikir bisa mengendalikan pria itu, dan membawa ke sisinya lalu menggunakannya untuk merebut Vana dari Fandra, maka dengan begitu Fandra akan kembali padanya.“Maaf membuatmu menunggu,” suara Arzal membuat Asheila menolehkan kepala.“Tidak apa-apa. Aku sudah menunggumu, duduklah,” ujar Asheila.Sesaat Arzal diam, firasatnya tak enak, menatap wanita di depannya beberapa saat. Tentu saja, Arzal sedikit mengenali Asheila yang ditemuinya di acara Vana dan Fandra tapi Arzal tidak tahu hubungan antara wanita itu dan Fandra.Masih tetap membentuk senyuman di bibir, Asleila menunggu respon dari Arzal dengan perasaan tak sabar.
Setelah serangkaian sambutan, mereka akhirnya bertukar cincin. Fandra memasangkannya di jari manis Vana, memperhatikannya beberapa saat. Gema tepuk tangan memenuhi ruangan. Giliran Vana memasangkan cincinnya di jari manis tangan kiri Fandra. Para hadirin bersorak, menyampaikan bahagianya dan mengucapkan selamat atas pertunangan itu, mereka kini resmi menjadi sepasang kekasih yang membuat iri banyak pihak.Vana memeluk ibunya begitu sesi tukar cincin berakhir dan para tamu undangan bergantian memberinya selamat. Fandra ditarik menjauh oleh Arvan dan bergabung dengan Gavian sedangkan Vana bersama keluarganya, ibu serta nenek mengelilinginya. Ada nenek dan kakek Gavian juga di sana menyampaikan bahagia dan harunya pada Vana serta mendoakannya yang terbaik.“Aku senang akhirnya kamu menjadi bagian dari keluarga ini dan membuat Xu Mei tenang,” kata nenek Gavian sembari mengusap lengan Vana.“Terima kasih atas hadirnya, Nenek, dan mendoakan yang terbaik untukku. Semoga doa baik kembali pada
Ruang ballroom yang tadinya luas, hanya ada dekorasi di sisi ruangan kini tampak megah dengan kursi dan meja, altar, dan panggung, serta pernah pernik yang menghiasi ruangan luas di mansion Alatas itu. Kali ini ruangan tersebut hampir penuh sesak oleh tamu undangan yang hadir, meskipun hanya mengundang kalangan atas, tetap saja banyak.Fandra menunggu bersama keluarganya sembari mendengarkan MC yang membuat sambutan sesuai dengan urutannya. Xu Mei, wanita tua berdarah China itu tampak anggun, diapit oleh menantu dan putra tersayangnya, mereka bak raja dan ratu serta ibu suri yang duduk satu meja bersama pangerannya. Alifika juga ada di sana, di meja yang sama dengan orang tua serta ibunya Vana. Wanita itu sama anggunnya seperti Diana yang duduk di sampingnya.Para tamu undangan itu tampak berseri- seri, ikut gugup menunggu sang putri yang wajahnya masih rahasia, hanya namanya yang tertera di kartu undangan. Semua orang dibuat penasaran, secantik apa dia? Sehebat apa latarnya sehingga
Hari besar itu akhirnya tiba juga. Acara akan dilaksanakan pada malam hari, tapi ketika senja menjadi latar di barat sana Vana sudah di dalam kamarnya, tidak boleh kelaur dan Fandra dilarang menemuinya sejak pagi, bahkan mungkin kemarin malam. Meski begitu, Fandra beberapa kali ingin menemuinya, tak melihat gadis itu rasanya aneh baginya.Alifika dan keluarga lainnya memaksa Fandra untuk pindah ke bagunan lain, dan mereka menahannya di kamar sang nenek. Di sanalah dia berganti baju, sedangkan Vana tetap di kamarnya, sibuk dengan para perias, bahkan ponselnya tak bisa dia mainkan. Hanya para wanita yang boleh datang untuk melihatnya, Fandra tidak boleh. Tampilan Vana akan menjadi kejutan juga untuknya.“Kau yang bertunangan kenapa aku yang gugup,” ujar Sabina yang datang lebih awal bersama Angela untuk menemani Vana.“Iya nih. Bener-benar gila rasanya,” timpal Angela yang duduk di samping Sabina sementara Vana di sofa usai merias wajah dan mengenakan gaun untuk pertunangannya hari ini
Matahari sudah di ufuk barat ketika Fandra akhirnya tiba di rumah. Dia pergi menenangkan dirinya lebih dulu sebelum kembali karena kalau sampai neneknya tahu, dia pasti akan dalam bahaya.Memarkirkan mobilnya sebaik mungkin. Saat senja seperti ini biasanya sang nenek bersantai di teras kediamannya menikmati matahari tenggelam yang terasa hangat. Para pekerja sedang sibuk beralu lalang, semua dipercayakan pada orang lain yang mengurus dekorasi dalam pengawasan sang ibu dan kakaknya.“Kau kembali,” sapa Alifika yang kebetulan berada di ballroom untuk mengecek dekorasi.Sempat Fandra terkejut, tapi dia kemudian bersikap biasa saja melihat sang kakak tengah sibuk dengan kertas di tangannya, mencatat apa yang sudah dan belum selesai di kerjakan.“Ya,” jawabnya singkat.Alifika mengangkat wajahnya dan menatap sang adik beberapa saat lalu menepuk bahunya sebelum