Pria bertubuh tegap dengan dada bidang yang terbalut kemeja itu baru saja keluar dari kamarnya ketika seorang pelayan berari keluar dari kamar Vana dengan terburu. Menelisik raut wajahnya yang terbaca sekilas, dia tampak panik.
“Tunggu,” cegahnya tepat sebelum Nina, pelayan itu melewatinya.
Fandra masih menahan Nina tapi tatapannya tertuju pada pintu kamar di seberangnya yang sedikit terbuka.
“Ada apa?” tanyanya kemudian sembari mengalihkan tatapan pada sang pelayan.
“Anu …,” Nina tanpa gugup, melepaskan cekalan tuan mudanya lalu mengambil langkah mundur. Tanpa mampu menatap wajah tegas nan dingin di hadapannya, Nina menjawab sambil menunduk, “Nona Vana, demam, Tuan Muda,” katanya sedikit terbata.
Mata tajam bak elang dengan manik hitam itu tampak melebar begitu mendengar jawaban si pelayan.
“
Fandra jadi salah tingkah, tapi jelas dia keberatan sekarang bila harus berjauhan dengan Vana. Sekarang saja, dia merasa tersiksa dan bersalah karena gadis itu jatuh sakit karena kekurangpekaannya.Baik nenek, ibu, ayah, kakak bahkan sang adik dan para pelayan menatapnya, menunggu konfirmasi atas apa yang baru saja Fandra katakan tentang keberatannya bila Vana dipindah ke ruang barat.“Kenapa jangan?” Alifika menuntut, mengarahkan pandangan dan badannya pada sang adik.“Itu ….” Fandra jelas bingung sekarang untuk membela dirinya. Akan memalukan sekali bila sampai dia mengakui perasaannya terhadap Vana pada semua orang di ruangan itu.Tidak ada yang bicara untuk beberapa saat lamanya karena menunggu pengakuan Fandra.“Bukankah itu jelas? Kak Fandra keberatan bila harus berjauhan dengan Kak Vana, menyesakkan sekali bila harus menahan rindu tak t
Kelopak mata itu mulai mengerjap perlahan dan terbuka tak lama kemudian. Hal pertama yang dia lihat adalah langit kamar yang berwarna putih pucat dengan ukiran bunga-bunga dan lampu hias kristal yang menggantung. Dia mengerjapkan matanya, rasa pusing mulai menyerang.“Kau bangun?” Suara berat itu menyapanya membuat Vana menggulirkan matanya ke samping dan mendapati Fandra di sana, tersenyum menyambutnya. “Mana yang sakit?” tanya pria itu.Tidak ada jawaban dari Vana, gadis itu justru terlihat bingung dengan apa yang terjadi padanya dan mengapa dia berbaring, juga kepalanya yang terasa berat. Dia bergerak untuk bangun dari tidurnya, Fandra sigap membantunya dan menyandarkan tubuh Vana di tumpukan bantal yang dia susun barusan.“Makasih,” ucap Vana parau. Dia menatap pria itu. “Aku, kenapa?” tanyanya setelah perhatiannya tertuju pada slang infus yang menggantung dan tersambung ke punggung tangannya.Kali ini Fandra yang tak langsung menjawab, bahkan terdiam cukup lama melihat wajah Vana
“Pesankan tiket pesawat untukku pulang. Sekarang!” titahnya pada asisten yang berdiri tak jauh darinya yang duduk anggun di sofa berwarna gading.Asisten perempuannya itu mengangguk menerima perintahnya. Sebuah surat kabar yang sempat dilemparkan Asheila menampilkan kabar pertunangan Fandra, di sana terlampir foto pria itu yang berjas dan masih tampak menawan walaupun waktu berlalu sejak lama.“Kau tak menepati janji padaku?” tanyanya pada Koran itu. Napasnya memburu, raut wajahnya merah padam, dia marah melihat kabar itu.Bangun dari duduknya, Asheila berjalan keluar dari kantornya, bergegas kembali ke rumah untuk mengepak kopernya dan kembali ke Negara asalnya, Indonesia, di mana dia meninggalkan kekasih tersayangnya.Bagaimana mungkin Fandra mengumumkan pertunangan tanpa berdiskusi lebih dulu dengannya? Jelas saja dia tak terima. Namun, sepertinya Asheila tak tahu kalau cal
Beberapa hari ini Vana sudah kembali seperti biasa, hanya saja Fandra belum mengizinkannya keluar dengan bebas dan kembali berlatih, dia masih diharuskan untuk beristirahat dan mempelajari hal-hal yang tak melelahkan. Tentu saja Vana kesal dengan keputusan pria itu dia ingin kembali bekerja tapi tidak bisa, bahkan nenek dan ibu Fandra tak bisa berbuat banyak sebab bila Fandra sudah begitu akan sulit bagi Vana keluar masuk rumah.Alifika yang melihat Vana tertekan karena Fandra hanya bisa tersenyum. Dalam kunjungannya di minggu ini dia kembali memeriksa Vana secara rutin tentu saja atas permintaan adiknya yang keras kepala.“Kau baik-baik saja, hanya tampak stess,” kata Alifika sambil merapikan stetoskopnya.Vana membuang napas kasar. “Bagaimana aku nggak stess kalau terkurung di sini?” katanya berat.Tawa Alifika berderai dan Vana menatapnya bingung lalu cemberut.“Maaf. Tapi, dia memang adikku,” katanya seraya tersenyum. Vana mendengus.“Tidak adakah obat untuk menurunkan kekeraskepa
Batapa bahagianya Vana bisa keluar dari rumah besar itu setelah beberapa minggu terkurung. Dia memiliki jiwa yang bebas, sehingga terlalu lama di dalam ruangan itu pasti akan membuanya stress. Dia bahkan bermain dengan riang gembira dengan Azka di dalam mobil sehingga perjalanan itu menjadi ceria penuh tawa. Alifika yang berada di samping sang putra ikut tersenyum bahkan Pelayan Mega yang duduk di bangku depan bersama sang sopir pun ikut tersenyu, sesekali tertawa.Vana memiliki suatu kepribadian yang sulit ditebak, dia tampak dingin tapi di satu sisi tak begitu juga. Tampak ceria tapi terlihat dingin, itu sebabnya Alifika tak banyak berkomentar bagaimana Vana bisa meluluhkan hati sang adik yang keras dan dingin. Namun, keluarganya cukup bersyukur atas perubahan yang terjadi itu.Billionaire itu terbilang kejam, itu yang orang lain katakan, tapi tak semua juga begitu. Masih ada yang berhati untuk tak begitu angkuh pada kehidupan serta berbaur dengan siapapun dan dari kalangan manapun
Pelayan Mega dan Alifika sama-sama terdiam, bahkan semakin menyembunyikan diri dengan berpura-pura kalau mereka sedang berbicara dan membahas hal lain ketika wanita itu melihat mereka sekilas lalu melengos bak model di atas catwalk. Sementara Vana pergi ke sisi lain untuk membuang gelas kopi yang sempat dia pungut.“Kau ingat dia, bukan?” tanya Alifika setelah merasa aman.Mega melihat kepergian wanita itu di belakang Alifika yang kaku untuk menoleh.“Dia, berbeda,” sahut Mega pelan, tatapannya tertuju pada punggung wanita itu yang semakin menjauh dan berbaur dengan kerumunan. “Dia sudah jauh,” katanya memberi tahu Alifika dan dia menoleh lantas membuang napasnya lega.“Benar, amat jauh berbeda,” timpal Alifika ikut menatap kepergian wanita itu dengan ekspresi wajah yang berubah datar, tatapannya menyiratkan kemarahan yang tak terkatakan. “Kenapa
Kedua mata Vana terpejam, pikirannya mulai melantur.“Dia begitu cantik. Apa yang dia kenakan sangat cocok, bahkan wajahnya sekalipun membuatku iri melihatnya,” katanya mengakui. “Jika, wanita itu adalah kekasihnya, akankah dia tetap mempertahankanku?” pikirnya kemudian. “Namun, aku merasa kalau keputusannya itu bukanlah kemauannya untuk mempertahankanku. Dia seolah merencanakan sesuatu, tapi aku tak tahu apa itu,” lanjutnya menerawang.Vana sungguh tidak tahu kalau yang dia temui itu adalah kekasihnya Fandra. Entah apakah masih bisa disebut kekasih setelah lima tahun berpisah dan sama sekali tak ada kabar apa pun. Kenapa Fandra tak mencarinya? Bukankah dengan segala yang dia miliki itu mudah baginya untuk menemukan seseorang kalau dia mau? Namun, dia seolah tak melakukan apa pun. Apa yang sebenarnya terjadi?Kesan pertama pertemuan mereka meskipun asing, tapi ternyata buruk. Asheila merendahkan Vana hanya karena dia menumpahkan kopinya dan menuduhnya memanfaatkan itu untuk mendapatka
“Astaga. Makanmu seperti anak kecil saja,” ujar Fandra begitu tiba di tempat Alifika berada dan mengomentari bagaimana Vana melahap es krimnya hingga belepotan ke bibir.Vana mengangkat wajahnya dan berdecak melihat kedatangan pria itu, sedikit tidak senang.“Bukan urusanmu,” balasnya ketus dan kembali melahap es krimnya tanpa mempedulikan Fandra.Mega yang semula duduk di samping Vana beralih posisi ke dekat Alifika. Azka menyapa pamannya dan Fandra membalasnya seperti biasa, mengabaikan Vana untuk sesaat sambil duduk di dekatnya dan mengambil beberapa helai tisu yang tersedia di atas meja.“Es krim milikmu sudah habis, Ka? Mau lagi?” tawar Fandra pada Azka.“Tidak. Sudah cukup, terlalu banyak bisa sakit,” katanya.Fandra melirik Vana begitu Azka mengatakannya, tentu gadis itu mendengarnya dan menatap Azka deng
Sudah hampir satu bulan sejak Fandra pergi ke Jepang untuk urusan bisnisnya ternyata masalahnya rumit sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mengurusnya. Ayah Fandra juga turut pergi satu minggu lalu untuk membantu karena masalahnya semakin besar membuat semua jadi khawatir.Cuaca belakangan ini tidak tentu, hujan deras turun dengan guntur dan kilat padahal siang masih berlangsung tapi hujan sudah turun. Keluarga Alatas menjadi resah tapi mereka saling menguatkan satu sama lain, mendoakan yang sedang berada di luar rumah.Hari ini pagi cerah, tapi saat siang hari mendung berat, langit gelap dengan gemuruh yang terdengar keras. Angin kencang pun tak mau tertinggal menyemarakkan badai yang hendak turun.Dengan semua kabar cuaca yang buruk itu membuat Vana menjadi tak tenang. Fandra tidak bisa dihubungi dua hari ini karena sibuk sekali. Ayah sempat mengabari kalau mereka akan lembur beberapa hari agar masalah segera beres.Vana tidak tahu apapun jadi hanya bisa mendukung saja dan mend
Tiga hari sejak kejadian itu, Vana jarang sekali keluar dan lebih menghabiskan waktunya di rumah Fandra. Dia punya hobi baru sekarang, melakukan banyak hal seperti merangkai bunga, membuat kerajinan dan lain sebagainya. Fandra sibuk dengan pekerjaannya hingga jarang sekali dihubungi, karena Vana tidak ingin menganggu maka pria itulah yang menghubunginya.Vana sudah menjadi bagian dari keluarga besar itu, dan calon istri Fandra jadi dia bisa bebas ke manapun dia mau di gedung selatan itu. Namun, Fandra tidak mengizinkan Vana untuk ke rumah pondok itu.“Vana, kau sibuk?” Heda datang menghampiri.Apa yang terjadi di hotel itu hanya diketahui beberapa orang saja. Fandra membungkam wartawan yang Asheila bawa itu, dan Asheila sendiri sudah pergi lagi. Dua bodyguard yang ditugaskan Fandra pun tidak akan membicarakan masalah itu, hanya Heda dan Gavian yang mengetahuinya lagi, serta Arzal. Yang lain, terutama keluarga Alatas tidak ada yang tahu.“Tidak. Kenapa?” tanya Vana sambil berbalik meng
Vana tampak kelehan, dan berbaring di ranjang yang berantakan.Entah berapa tempat yang mereka jamah, dan memberantakannya bahkan kamar mandi pun tak luput dari mereka.“Kau akan kesakitan saat bangunan nanti.”Vana merespon pelan.“Aku tahu. Tapi, aku tidak bisa … kenapa kau di sini?” tanya Vana lemah.“Aku tidak mungkin meninggalkanmu dengan masalah besar, bukan?”“Ya. Namun, bagaimana kau?” Vana tampak tak berdaya, dia lemah sekarang setelah energinya terkuras habis untuk bergelut dengan pria itu.“Kau akan tahu saat sadar sepenuhnya. Jadi sekarang, tidurlah. Kau pasti lelah,” katanya sambil mengusap kepala Vana dan mendaratkan kecupan di dahi gadis itu.“Kau akan pergi bukan?”“Ya, setelah ini,” jawabnya.“Cepatlah kembali. Aku akan menunggu.”“Tentu. Istirahatlah di sini. Sahabatmu akan menjemput besok. Ibu akan menjagamu sampai aku kembali. Jangan pernah keluar lagi dengan pria lain.”Vana mengangguk. Kedua matanya tampak berat untuk terbuka tapi dia masih mengenali suara itu.“
“Fandra?” Vana memanggil sambil mencari pria itu.Fandra muncul tak lama kemudian.“Ya?” Fandra menyahut. “Ada apa?”“Tidak. Aku pikir kau ke mana. Bukannya kau ingin mengatakan sesuatu padaku, apa itu?” tanya Vana kemudian sambil menatap pria itu yang justru menghindar.“Kau mau melihat sekitar?” tanya Fandra, mengalihkan.“Nanti,” jawab Vana sadar kalau Fandra menghindarinya. “Katakanlah, selagi aku bisa mendengarkannya dengan baik,” kata gadis itu mendesak Fandra.Meskipun ragu, pria itu akhirnya menatap Vana.“Aku akan pergi dinas,” ungkap Fandra akhirnya.Vana tak merespon, membiarkan Fandra kembali menyampaikan sisanya.“Ke Jepang, selama dua minggu,” lanjutnya dan masih menatap Vana, mengawasi ekspresi gadis itu.“Itu saja?” tanya Vana tampak tenang.Kedua alis Fandra terangkat, sedikit heran dengan tanggapan yang gadis itu berikan. Fandra berpikir Vana mungkin akan marah, sedih, atau hal lainnya lagi. Namun ternyata, gadis itu cukup tenang untuk merespon.“Ya,” jawab Fandra si
Setelah hari pertunangan itu Asheila menemui Arzal di tempat pria itu sering berada. Asheila mencari tahu lebih dulu tentang pria itu sebelumnya, dan kini duduk anggun di salah satu kursi café milik Arzal.Dengan senyum puas menghiasi bibir, dan rencana yang telah disusun. Asheila yakin semua akan berhasil sesuai dengan prediksinya bila bekerjasama dengan Arzal. Ashelia pikir bisa mengendalikan pria itu, dan membawa ke sisinya lalu menggunakannya untuk merebut Vana dari Fandra, maka dengan begitu Fandra akan kembali padanya.“Maaf membuatmu menunggu,” suara Arzal membuat Asheila menolehkan kepala.“Tidak apa-apa. Aku sudah menunggumu, duduklah,” ujar Asheila.Sesaat Arzal diam, firasatnya tak enak, menatap wanita di depannya beberapa saat. Tentu saja, Arzal sedikit mengenali Asheila yang ditemuinya di acara Vana dan Fandra tapi Arzal tidak tahu hubungan antara wanita itu dan Fandra.Masih tetap membentuk senyuman di bibir, Asleila menunggu respon dari Arzal dengan perasaan tak sabar.
Setelah serangkaian sambutan, mereka akhirnya bertukar cincin. Fandra memasangkannya di jari manis Vana, memperhatikannya beberapa saat. Gema tepuk tangan memenuhi ruangan. Giliran Vana memasangkan cincinnya di jari manis tangan kiri Fandra. Para hadirin bersorak, menyampaikan bahagianya dan mengucapkan selamat atas pertunangan itu, mereka kini resmi menjadi sepasang kekasih yang membuat iri banyak pihak.Vana memeluk ibunya begitu sesi tukar cincin berakhir dan para tamu undangan bergantian memberinya selamat. Fandra ditarik menjauh oleh Arvan dan bergabung dengan Gavian sedangkan Vana bersama keluarganya, ibu serta nenek mengelilinginya. Ada nenek dan kakek Gavian juga di sana menyampaikan bahagia dan harunya pada Vana serta mendoakannya yang terbaik.“Aku senang akhirnya kamu menjadi bagian dari keluarga ini dan membuat Xu Mei tenang,” kata nenek Gavian sembari mengusap lengan Vana.“Terima kasih atas hadirnya, Nenek, dan mendoakan yang terbaik untukku. Semoga doa baik kembali pada
Ruang ballroom yang tadinya luas, hanya ada dekorasi di sisi ruangan kini tampak megah dengan kursi dan meja, altar, dan panggung, serta pernah pernik yang menghiasi ruangan luas di mansion Alatas itu. Kali ini ruangan tersebut hampir penuh sesak oleh tamu undangan yang hadir, meskipun hanya mengundang kalangan atas, tetap saja banyak.Fandra menunggu bersama keluarganya sembari mendengarkan MC yang membuat sambutan sesuai dengan urutannya. Xu Mei, wanita tua berdarah China itu tampak anggun, diapit oleh menantu dan putra tersayangnya, mereka bak raja dan ratu serta ibu suri yang duduk satu meja bersama pangerannya. Alifika juga ada di sana, di meja yang sama dengan orang tua serta ibunya Vana. Wanita itu sama anggunnya seperti Diana yang duduk di sampingnya.Para tamu undangan itu tampak berseri- seri, ikut gugup menunggu sang putri yang wajahnya masih rahasia, hanya namanya yang tertera di kartu undangan. Semua orang dibuat penasaran, secantik apa dia? Sehebat apa latarnya sehingga
Hari besar itu akhirnya tiba juga. Acara akan dilaksanakan pada malam hari, tapi ketika senja menjadi latar di barat sana Vana sudah di dalam kamarnya, tidak boleh kelaur dan Fandra dilarang menemuinya sejak pagi, bahkan mungkin kemarin malam. Meski begitu, Fandra beberapa kali ingin menemuinya, tak melihat gadis itu rasanya aneh baginya.Alifika dan keluarga lainnya memaksa Fandra untuk pindah ke bagunan lain, dan mereka menahannya di kamar sang nenek. Di sanalah dia berganti baju, sedangkan Vana tetap di kamarnya, sibuk dengan para perias, bahkan ponselnya tak bisa dia mainkan. Hanya para wanita yang boleh datang untuk melihatnya, Fandra tidak boleh. Tampilan Vana akan menjadi kejutan juga untuknya.“Kau yang bertunangan kenapa aku yang gugup,” ujar Sabina yang datang lebih awal bersama Angela untuk menemani Vana.“Iya nih. Bener-benar gila rasanya,” timpal Angela yang duduk di samping Sabina sementara Vana di sofa usai merias wajah dan mengenakan gaun untuk pertunangannya hari ini
Matahari sudah di ufuk barat ketika Fandra akhirnya tiba di rumah. Dia pergi menenangkan dirinya lebih dulu sebelum kembali karena kalau sampai neneknya tahu, dia pasti akan dalam bahaya.Memarkirkan mobilnya sebaik mungkin. Saat senja seperti ini biasanya sang nenek bersantai di teras kediamannya menikmati matahari tenggelam yang terasa hangat. Para pekerja sedang sibuk beralu lalang, semua dipercayakan pada orang lain yang mengurus dekorasi dalam pengawasan sang ibu dan kakaknya.“Kau kembali,” sapa Alifika yang kebetulan berada di ballroom untuk mengecek dekorasi.Sempat Fandra terkejut, tapi dia kemudian bersikap biasa saja melihat sang kakak tengah sibuk dengan kertas di tangannya, mencatat apa yang sudah dan belum selesai di kerjakan.“Ya,” jawabnya singkat.Alifika mengangkat wajahnya dan menatap sang adik beberapa saat lalu menepuk bahunya sebelum