Bab 39*Setelah beberapa kali pertemuan itu, aku dan Salman semakin dekat. Seringkali ia melakukan panggilan telepon saat tak sibuk. Kami membicarakan tentang banyak hal. Kadang hanya berupa candaan, hingga obrolan yang lebih serius. Aku tak lagi menyapa dengan sebutan saya, juga tak lagi memanggilnya dengan embel-embel bapak. Katanya, dia masih muda untuk disematkan panggilan itu. Kepedean memang, padahal umurnya sudah tiga puluh dua saat itu.“Aku akan ketemu nenek, ya!” tegasnya.Aku menceritakan takdirku padanya. Tentang semua hal berat yang sudah kualami dalam hidup ini. Terutama tentang perbedaan yang dilakukan Nenek untukku. Tentang Kalila dan Karina, juga semua lukaku. Entah ia hanya akan bersimpati atau apa, yang penting aku bisa meluapkan sesak yang terpendam begitu lama.Aku juga menceritakan tentang penyebab Nenek tak menyukaiku, karena aku terlahir dari rahim ibu yang disebut sebagai anak di luar nikah. Aku berusaha jujur padanya, tak ada yang kututupi agar penerimaan i
Bab 40*Sejenak aku terpaku menatap wanita yang berjalan dengan kursi roda itu. Wajahnya putih dengan beberapa bekas-bekas jahitan di bagian pipinya, terlihat lebih muncul di permukaan kulit. Aku mengamati dalam diam, dari jauh ia berjalan, rahang satunya berbeda dengan sebelah lainnya. Sebelah wajahnya terlihat cantik dan baik-baik saja, tapi sebelah lagi terlihat agak miring rahangnya. Berbeda. Padahal usianya belum terlalu tua, mungkin sekitar lima puluhan. Aku hanya mengamati sambil dalam hati merasa iba. Aku meratapi nasibku yang malang, tanpa melihat bahwa di sini juga ada wanita yang bahkan tak bisa berjalan. Ia mendorong kursi rodanya hingga mendekat padaku, lalu tersenyum. Terlihat manis, meski bibirnya tertarik tak seimbang karena kondisi rahangnya yang seperti itu. Aku membalas senyumannya dan berjalan lebih dekat padanya. Aku menggapai tangan sebelah kanan wanita itu, lalu kulihat ia hanya diam tak bergerak. Tangan kanannya tetap disandarkan di sandaran kursi roda. Aku b
Bab 41*“Hei, kenapa?” ulang Salman menatap kami satu persatu.Serentak kami menoleh padanya, lalu saling menatap antara aku, Fika dan Tante Rita. Detik selanjutnya kami saling tertawa, menertawakan diri sendiri dan kebingungan Salman.“Biasalah. Perempuan kalau saling cerita suka baper,” jawab Fika.Salman mengangguk-ngangguk seraya melangkah mendekat pada kami.“Udah lama sampai?” tanya Salman padaku setelah duduk di samping Tante Rita.“Lumayan lama,” jawabku tersenyum padanya.“Elah, tadi kan udah aku wa, kalau aku dan Sekar udah sampai,” seru Fika.Salman mengerutkan kening, “beneran?”Fika mengangguk.“Nggak ada notif tuh,”Salman merogoh ponsel dari saku jas yang ia pakai. Ia mengecek ponselnya dan mencebik seketika.“Mati,” cengirnya.“Kamu tuh emang udah kebiasaan, baterai habis malah nggak dicharge,” omel Fika.Salman hanya mengangguk seraya meluruskan bibirnya karena kena omel oleh saudara sepupunya.Aku mengamati keluarga ini, sepertinya hangat sekali.Kami mengobrol bebe
Bab 42*Dua Minggu setelah itu, Fika dan sopirnya menjemputku di kampung tepat dua hari sebelum resepsi pernikahan dimulai. Katanya untuk melakukan persiapan yang matang, padahal semua persiapan baju, katering, tamu undangan, semua sudah disiapkan pihak keluarga mempelai laki-laki. Dari kampung tak ada yang aku undang, aku hanya datang bersama Bude dan Farah juga suaminya, karena hanya mereka saja keluargaku. Nenek tetap tak mau datang, ia tak ingin mengubah pendiriannya terhadapku. Tak ingin sedikit saja menghargaiku.Masih teringat jelas, ketika Salman dengan niat baiknya datang menjemput restu dari nenek. Sore itu, nenek sedang bersantai di teras, Salman datang dengan membawa beberapa buah tangan berupa buah dan sirup. Lelaki itu dengan sopan menyalami nenek. Aku masih ingat, bahkan nenek tak menyuruhnya masuk, ia hanya dipersilakan duduk di luar, di kursi satu lagi yang ada di terasnya, sedangkan aku hanya berdiri.“Saya mau meminta restu nenek untuk menikahi Sekar,” ucap Salman
Bab 43*Setelah menikah, aku tinggal di rumah bersama Salman di rumah Tante Rita, yang sebenarnya itu adalah rumah peninggalan kakek. Salman sempat bercerita bahwa ia juga memiliki rumah lain, rumah orangtuanya yang ada di Jalan Kuningan. Bukan rumah, tapi apartemen katanya. Saat itu aku tahu apa bedanya sebelum ia menjelaskan. Ia tak ingin menjual apartemen itu, karena banyak sekali kenangan masa kecil di sana, meski tak satu pun bisa diingatnya.Sehari setelah resepsi pernikahanku, Salman menyuruh sopirnya untuk mengantar Bude dan keluarganya ke kampung.Hari itu, aku kembali merasakan perpisahan yang menyakitkan, karena mulai hari itu, aku tak lagi tinggal bersama Bude, tak lagi tidur dengannya, dan bisa melihatnya setiap saat. Kami terpisah jarak. Namun, terpisah jarak lebih baik daripada terpisah rasa, seperti aku dan nenek. Terpisah jarak bisa saja sesekali aku mengunjunginya atau sebaliknya. Terpisah rasa, aku tak mungkin bisa mengunjungi karena aku akan tertolak, pun ia tak i
Bab 44*Aku diperlakukan dengan begitu baik di keluarga baruku. Fika juga seolah mengerti bahwa aku seringkali merasa bosan duduk di rumah. Sebab itu, hari Minggu ia sering mengajakku ke salon kecantikan langganannya. Dia melakukan banyak perawatan, luluran, perawatan wajah dan juga rambutnya. Hasilnya, setelah rutin ke salon, kulitku menjadi lebih bersih dan cerah. Wajahku juga sama sekali tak terlihat dekil seperti dulu. Rambut yang dulu ikal dan kasar, kini menjadi kurus dan lembut. Fika benar-benar mengerti dan menyulapku menjadi bidadari.Hanya saja, mataku membelalak saat mendengar jumlah yang harus dibayar oleh Fika sekali datang ke salon.“Nggak apa-apa Sekar. Duit itu dicari ya untuk dibelanjakan,” ucapnya dengan santai. Sementara aku masih syok dengan jumlah belasan juta dihabiskan hanya untuk pergi ke salon.Terkadang aku menilai mereka terlalu menghambur-hamburkan uang. Itu jika kunilai dari sudut pandangku, tapi jika dari sudut pandang Fika, itu adalah kebutuhan yang har
Bab 45 * Tak hanya Fika yang secara tak langsung mengajarkanku tentang banyak hal, khususnya tentang perempuan. Salman juga mengajarkan banyak hal. Saat tak sibuk, ia akan mengajakku makan di luar. Ia mengajarkan bagaimana sistem di restoran-restoran besar. Cara memesan makanan, cara bersikap tidak kaku di depan orang ramai. Bahkan cara makan dan meletakkan sendok setelah makan. Aku belajar banyak hal dari keluarga baruku, dan aku merasa bahagia dengan itu. Seperti beberapa hari yang lalu, ia mengajakku makan di sebuah restoran. Aku membaca menu di buku yang tersedia, lalu menatapnya bingung. Bingung mau pesan apa, karena tak satupun aku mengenali jenis makanan yang tertulis di sana.Ada satu makanan yang bisa kubayangkan seperti apa, sup jagung. Aku hanya membayangkan jagung sebagai bahan utama, terserah nanti diolah akan seperti apa. Jadi aku katakan pada suamiku bahwa aku memesan menu itu. “Sup jagung di sini juga enak, aku pesan itu juga deh,” ucapnya. Aku mengangguk saja.Tak b
Bab 46*Pagi ini aku terbangun lebih awal dari biasanya. Seperti biasa, saat ada waktu luang aku akan ke dapur dan membantu Simbok yang pastinya sedang memasak. Setelah menunaikan salat subuh, aku turun ke dapur, dan benar saja Simbok sedang sibuk menyiapkan bumbu-bumbu.“Masak apa, Mbok?” tanyaku.Simbok kaget dengan suaraku yang tiba-tiba, aku terkekeh melihatnya. Untung saja ia tidak latah, kalau tidak mungkin bisa memecahkan piring-piring ke lantai.“Semalam nyonya minta dimasakin nasi lemak sama mie goreng, udah lama nggak makan katanya.”Aku mengangguk dan melihat beberapa bumbu yang telah disiapkan Simbok.“Sekar bantu rebus mienya ya.”Simbok sudah bosan melarangku, karena sekuat apapun ia melarang, aku akan tetap membantunya. Bosan. Hitung-hitung aku juga belajar masak darinya. Pernah suatu hari saat aku sedang membantu Simbok memasak, Tante Rita datang untuk mengambil minuman karena perawatnya sedang minta izin keluar sebentar. Tante melihat aku di dapur sedang merajang bu
Extra Part POV Kalila*Aku pulang dari rumah Nenek setelah seminggu meminta cuti. Percuma saja aku di sana, karena Nenek hanya peduli pada Sekar. Perlakuan Nenek padaku sudah berbeda, ia tak lagi memanjakanku seperti dulu. Aku merasa hanya membuang-buang waktu selama di sana, karena Nenek sama sekali mengabaikanku. Hanya Sekar dan Sekar yang ia layani layaknya ratu. Mungkin karena uangnya lebih banyak dariku, sebab itu Nenek memperlakukan Sekar begitu baik.Hanya Sekar cucu kesayangannya. Sementara aku hanyalah cucu yang tak diacuhkan.Saat Sekar mengirimkan pesan di Instagram, aku tak membalasnya. Memang tak berniat untuk pulang ke rumah Nenek. Untuk apa memangnya? Ia bahkan tak pernah menjengukku di kota ini, ia tak mengerti keadaanku yang super sibuk ini. Bahkan saat ia tinggal bersama ayah, ia tak datang ke tempatku. Aku dengar dari Ayah bahwa Nenek langsung pulang ke kampung.Aku hanya membaca pesan dari Sekar, lalu kuberitahu pada ayah. Saat itu ayah bilang bahwa ia akan pulang
Extra Part POV Karina*Aku duduk di sofa sambil memijat kening yang terasa begitu berdenyut, karena lelahnya seharian bekerja. Jam telah menunjukkan pukul lima sore, dan aku baru pulang.Aku melihat di kamar, suamiku sedang tertidur pulas. Semakin naik pitam aku melihatnya. Ia sangat pemalas, seperti benalu yang hidup dari semua uangku. Dulu, saat awal menikah, ia punya pekerjaan tetap, tapi setelah itu harus kena PHK masal karena perusahaannya bangkrut. Setelah itu, jangankan untuk bekerja, mencari pekerjaan saja ia tak mau. Seperti sudah keenakan hidup di bawah keringatku.Stres aku memikirkan keuangan keluarga. Apalagi anak-anak sudah sekolah, yang tentu akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Gajiku hanya cukup untuk membayar cicilan mobil, menggaji ART, dan biaya sekolah anak-anak. Syukurnya dulu saat Agus masih bekerja, kami mengumpulkan uang untuk membeli rumah.Aku mengambil ponsel dari dalam tas saat benda itu berbunyi. Kulihat nama ibu tertulis di layar.“Halo, Bu!” ucapku di
Extra Part POV Nenek * Aku mengakhiri masa lajangku dengan menikah dan hidup bersama suamiku. Setelah menikah, kami pindah ke Bandung, di salah satu desa di sana. Merantau dari satu kota ke kota mencari pekerjaan, hingga akhirnya kami memilih menetap di kampung. Orang Jawa yang pindah ke tanah Sunda. Kami diterima dengan baik di kampung itu, berbaur dengan orang lain. Hingga aku memiliki tiga orang anak laki-laki, Ridwan, Jamal dan Harun. Ketiganya terlahir dan menjadi anak-anak yang baik, yang akan menjagaku kelak. Namun, di tengah perjalanan hidupku, Ridwan mengecewakanku. Aku begitu membenci sikapnya. Saat kecil, ia kusayangi sepenuh jiwa, tapi ketika ia dewasa, malah mengecewakan karena menikahi perempuan tanpa nasab. Kehidupan terus berjalan, hingga Ridwan pergi untuk selamanya. Hari itu, dua anakku Jamal dan Harun pindah rumah karena mutasi pekerjaan. Keduanya ditempatkan di kota yang sama. Mereka menjual rumah di kampung dan membeli rumah di sana, berencana akan tinggal sel
Bab 63*Aku melahirkan anak pertama. Kebahagiaan semakin lengkap sejak hadirnya sang buah hati dalam rumah tangga kami. Bisnisku semakin lancar, kini aku membuka cabang pabrik lagi di daerah Bekasi. Bisnis Salman juga semakin lancar. Secara ekonomi kami sangat mapan. Aku bersyukur atas kepercayaan Tuhan menitipkan itu semua.Aku menikmati hari-hari di mana aku mengasuh putriku yang kuberi nama Talita. Sejak ia mengeluarkan tangisan pertama di dunia ini, berlanjut saat ia mulai bisa mengeja kosa kata. Aku ingat kosa kata yang pertama ia ucapkan, yaitu mama dan papa. Rasanya aku telah menjadi wanita yang begitu sempurna. Kini, Talita sudah beranjak tiga tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang ceria dan cantik.Satu kata untuk mewakili semua perasaanku saat ini, yaitu bahagia. Terlepas dari apa saja yang terjadi di masa lalu. Itu hanya sejarah di belakang hidupku.Bulan lalu, Salman juga menemukan dua orang adik kakak di jalanan yang katanya sudah tak lagi memiliki orangtua. Mereka mengamen
Bab 62*Hari itu setelah ribut dengan Paklek, aku pulang ke Jakarta. Aku kembali pada rutinitas yang telah lama kutinggalkan.Aku keluar dari rumah Nenek hari itu. Saat aku keluar, kulihat ada beberapa tetangga yang masih berdiri di depan pagar mereka dan menatap prihatin padaku. Aku terus melangkah, karena mereka melihatku menangis. Mereka terlihat kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mencampuri urusan keluarga kami. Tak perlu kuceritakan apa yang terjadi dalam keluargaku, mereka lebih tahu bagaimana kelakuan Paklekku. Mereka tahu Paklek menelantarkan Nenek sekian lamanya, karena terkadang tetangga-tetangga itu juga yang memberikan makanan untuk Nenek.Esoknya, Pak Lurah datang menemuiku di rumah Bude, lelaki paruh baya itu meminta maaf karena sudah menandatangani surat-surat untuk mengurus semuanya.Pak Lurah mengatakan bahwa mereka datang tanpa tingkah mencurigakan sama sekali. Ia sempat bertanya siapa saja yang mendapat warisan, apa aku mendapatkan warisan atau tidak.
Bab 61*“Ke mana surat-surat tanahnya, Paklek?” ulangku lagi menatap tajam keduanya yang baru saja masuk ke dalam rumah.Dua lelaki paruh baya itu saling pandang sejenak, karena melihat ekspresiku yang sedang menahan marah. Aku yakin kini wajahku merah padam, akibat luapan amarah yang sedang meledak-ledak dalam dada. Lalu, kulihat ia segera menyembunyikan tangannya di belakang. Aku melihat sebuah map berwarna cokelat ia dipegang erat oleh Paklek Harun. Aku telah mewanti map itu sejak kulihat mereka masuk ke dalam.Paklek hanya diam. Hal itu membuatku semakin naik darah. Aku lupa pada saran Salman untuk bertanya baik-baik pada mereka. Aku sudah cukup baik selama ini dengan mereka, lebih tepatnya cukup banyak diam demi tidak memperkeruh suasana.Aku diam saat kulihat Paklek mengambil uang dari dompet kecil yang ada di bawah kasur Nenek saat ia tertidur. Aku tak memasak untuk mereka, dan mereka menggunakan uang Nenek untuk membeli makanan. Padahal aku tahu, uangnya begitu banyak, tapi p
Bab 60*Tujuh hari acara tahlilan untuk almarhum Nenek berjalan dengan lancar, meskipun tanpa Paklek yang ikut andil membantu. Mereka terkesan tak mau tahu tentang apa saja yang dibutuhkan saat acara tahlilan. Saat siang, kedua Paklekku tak pernah ada di rumah, mungkin takut jika aku meminta uang untuk acara tahlilan. Padahal sepeser pun aku tak pernah menyinggung apalagi meminta.Hanya saja terkadang aku bingung menjawab pertanyaan warga kampung yang datang ke rumah. Mereka menanyakan tentang Paklek, juga Kalila dan Karina yang tak terlihat selama tujuh hari itu.“Paklekmu ke mana, Sekar?” tanya salah satu wanita paruh baya yang membantu memasak siang itu.Aku menatap Bude yang juga spontan menatapku. Sangat bingung. Pun, aku tak tahu mereka pergi ke mana, dan apa alasannya menghindar dari orang-orang yang menghadiri kenduri untuk almarhum.“Udah keluar sebentar, Bu. Mungkin nyari rokok atau apa gitu.” Aku tersenyum pada mereka. Lalu, melanjutkan aktivitasku.“Si Kalila waktu itu ad
Bab 59*Tubuhku terasa begitu lelah, acara tahlilan baru saja selesai. Setelah mencuci muka, aku masuk ke dalam kamar dan mendapati Salman juga tengah bersiap untuk tidur.Rumah ini terasa sangat sepi setelah kepergian Nenek. Seperti tak ada lagi nyawa di dalamnya. Kosong. Seperti kekosongan rasa dekat antara kami sekeluarga. Paklek masih di sini, tapi tak sekalipun mengurus acara tahlilan tadi. Hanya Bude dan para tetangga yang sibuk membantu. Paklek sedari siang pergi entah ke mana, dan pulang saat magrib. Aku tak bertanya, hanya merasa kecewa berkali lipat dalam dada.Aku merebahkan diri di samping Salman. Tubuhku yang lelah seolah ingin segera hanyut dalam lelapnya malam. Namun, aku merasa ada keresahan dalam diri setelah kembali bertemu dengan Udin. Seperti sesuatu yang membuatku tak nyaman.“Capek ya?” tanya Salman yang belum memejamkan mata.Aku mengangguk. Ia tersenyum padaku, tapi aku seolah bisa melihat ada sesuatu yang ingin ditanyakan.“Aku boleh nanya, nggak?” tanyanya k
Bab 58*Aku mengangguk, lalu mengambil benda itu dari tangannya. Ia tersenyum begitu medalinya berpindah tangan padaku. Aku tak merasa berjasa hanya dengan menyarankannya berenang dulu. Namun, aku hanya ingin menghargai usahanya menemuiku untuk memberikan medali itu.“Tadi di ujung lorong, aku melihat Kalila sama Karina, kaca mobilnya terbuka. Aku masih hapal wajah mereka. Mereka mau ke mana?” tanya Udin.Aku menatapnya sejenak, lalu menghela napas lelah. Pertanyaannya kembali mengingatkanku pada dua sepupuku itu. Tentang sikap mereka yang sama sekali tak melihat keadaanku. Mereka tak pernah bisa menepikan rasa egois yang mereka miliki.“Mereka mau pulang.” Aku menjawab dengan suara lirih.“Bukannya Nenek baru saja meninggal?”Aku mengangguk lemah. Kesedihan kembali hadir di hati.“Apa mereka masih seperti dulu?” tanya Udin hati-hati. Mungkin takut jika hatiku terluka, karena mereka saudaraku.Aku mengangguk lemah. “Mereka tidak berubah.”Udin mengangguk mengerti.“Entah kenapa juga