Bab 46*Pagi ini aku terbangun lebih awal dari biasanya. Seperti biasa, saat ada waktu luang aku akan ke dapur dan membantu Simbok yang pastinya sedang memasak. Setelah menunaikan salat subuh, aku turun ke dapur, dan benar saja Simbok sedang sibuk menyiapkan bumbu-bumbu.“Masak apa, Mbok?” tanyaku.Simbok kaget dengan suaraku yang tiba-tiba, aku terkekeh melihatnya. Untung saja ia tidak latah, kalau tidak mungkin bisa memecahkan piring-piring ke lantai.“Semalam nyonya minta dimasakin nasi lemak sama mie goreng, udah lama nggak makan katanya.”Aku mengangguk dan melihat beberapa bumbu yang telah disiapkan Simbok.“Sekar bantu rebus mienya ya.”Simbok sudah bosan melarangku, karena sekuat apapun ia melarang, aku akan tetap membantunya. Bosan. Hitung-hitung aku juga belajar masak darinya. Pernah suatu hari saat aku sedang membantu Simbok memasak, Tante Rita datang untuk mengambil minuman karena perawatnya sedang minta izin keluar sebentar. Tante melihat aku di dapur sedang merajang bu
Bab 47*Setelah beberapa kali Salman mengajarkanku mengemudi mobil, akhirnya aku bisa dan terbiasa, meskipun awalnya masih tak berani mengemudi di jalan raya. Namun, terkadang saat Fika mengajakku keluar, ia menyuruhku untuk menyetir, agar lebih mahir katanya.Banyak hal yang sudah bisa kulakukan. Aku bertranformasi banyak hal, dari gadis desa yang tak tahu apa-apa, hingga menjadi perempuan yang lebih baik. Salman juga menawarkan untuk belajar bisnis agar bisa masuk ke perusahaan.“Kamu mau kuliah bisnis?” tanyanya suatu malam.Aku menatapnya sejenak, lalu tertawa dengan pertanyaannya.“Tau kan umurku sekarang berapa?” tanyaku.Ia mengerutkan kening. “Kenapa memangnya?”Umurku beberapa bulan lagi akan mencapai tiga puluh tahun waktu itu. Sementara Salman sudah berumur tiga puluh dua tahun, dua tahun selisih dariku. Mungkin untuk masuk universitas itu tak ada masalahnya, tapi tetap saja aku merasa sudah tua untuk itu.“Aku nggak mau sekelas sama adek-adek imut yang baru lulus SMA.” Ak
Bab 48.Setelah mendengar nasihat Tante Rita dan motivasi dari Salman, aku kembali melakukan apa yang sempat kurencanakan untuk berhenti. Aku kembali menjual keripik. Mereka masih mempromosikan seperti biasa. Pertalian promosi dari orang-orang di rumah, berlanjut ke saling promo antar pegawai.Aku juga menelepon Farah dan memberitahu bahwa aku memulai bisnis itu lagi. Aku meminta doa Bude agar usahaku lancar jaya tanpa ada kendala tertentu.Doa Bude selalu yang terbaik untukku. Ah, rindu sekali menatap wajahnya dan Farah. Namun, sayangnya Farah masih menggunakan ponsel poliponik yang sama seperti saat terakhir kami bertemu. Ingin aku membelikan ponsel android untuknya agar bisa melakukan video call, tapi aku tak mungkin meminta uang pada Salman. Terkesan terlalu manja, meskipun tak seberapa. Aku tak terbiasa seperti itu, mungkin banyak hal bisa berubah dariku, tapi tidak dengan sikap. Uang tabunganku pun hanya tersisa sedikit karena sudah kupakai untuk modal utama penjualan keripik.
Bab 49*Jam di ponselku telah menunjukkan pukul sepuluh pagi saat aku dan Farah baru saja pulang dari pasar.Semalam diam-diam aku melihat nenek menangis di ranjangnya. Ia memunggungi ke arah dinding agar aku tak melihatnya. Namun, aku merasa ada yang disembunyikan, kesedihannya ia simpan sendiri dan tak dibagi denganku. Sesekali ia batuk tercampur dengan isak yang ditahan.Hati orang tua itu rentan sekali, aku mencoba mendekat dan bertanya dengan hati-hati, karena merasa ada yang tidak beres.“Nek, ada apa?” tanyaku membelai punggung kurusnya.Ia menggeleng, lalu menghadapku.“Sudah dua tahun nenek nggak buat kenduri arwah. Nanti malam harusnya bertepatan dengan hari kakek meninggal.” Nenek berkata lirih.Aku menggigit bibir bawah, menahan air mata yang hendak keluar. Aku merasa bersalah dengan tangisannya, ia bahkan memendam sendiri untuk hal seperti itu. Mungkin karena rasa bersalah di masa lalu, ia tak berani meminta padaku.“Maaf ya, Nek. Sekar lupa.” Aku menggenggam tangan tuan
Bab 50*Acara kenduri arwah telah selesai dengan lancar. Saat berdoa, nenek tak ikut bersama, hanya mengaminkan di ranjangnya sambil tiduran. Kondisinya terlihat semakin lemah, sudah jarang sekali duduk meskipun di ranjang. Bahkan saat makan, sudah sering kusuapi sambil tidur. Sayangnya ia sama sekali tak ingin ke rumah sakit.Beberapa hari lalu, aku bahkan membeli kursi roda agar mudah jika ingin dimandikan.Acara telah selesai, setelah makan-makan, aku membereskan dapur dibantu Bude dan Farah. Mulai dari lap kompor, mencuci piring dan lain sebagainya. Tak ada yang membantu. Kalila beralasan masih lelah, sementara Karina beralasan ingin menidurkan anaknya yang masih balita itu. Aku tak memaksa, karena malas berbicara banyak dengan mereka. Hanya Paklek yang ikut berdoa bersama tamu tadi. Ia juga yang membantu menghidangkan makanan untuk tamu.Hingga setelah semuanya selesai, aku kembali bertanya pada nenek.“Mau makan lagi?”Nenek menggeleng. Tadi ia sudah makan setelah magrib. Aku b
Bab 51*“Mas, kenapa? Pasti ada sesuatu, kan?” Aku mendesak suamiku untuk menjawab. Rasa penasaranku sedang memuncak.Salman hanya menatapku.“Aku nggak bisa tidur kalau penasaran.” Aku berkata lagi. Ia malah tersenyum melihat raut wajahku yang penasaran, karena jujur aku juga merasa ada yang aneh dari suami Kalila.“Aku kenal dia, cuma sekadar diam-diam kenal,” ucap lelaki yang tidur di sampingku. “Kenal dari beberapa kenalanku, mereka cerita tentang dia.”“Maksudnya gimana? Kalian kenal, tapi kenapa seolah tak kenal?” Aku mencoba berpikir, tapi tak mendapat pemahaman. Malam itu saat Salman datang, lelaki itu hanya sejenak berdiri di dekat pintu kamar, lalu kembali masuk. Salman juga tak terlihat seperti orang yang mengenalinya.“Dia nggak kenal aku. Suami Kalila terkenal di kalangan pengusaha.”“Suami Kalila kerja di perusahaan juga? Atau punya bisnis juga.”Salman mengangguk, tapi setelah itu ia malah tersenyum miring.“Bisnis obat-obatan terlarang. Dia jualan barang terlarang itu
Bab 52*Sudah dua hari setelah acara kenduri di rumah nenek. Sejak malam itu, nafsu makan nenek sedikit lebih bertambah dibandingkan sebelumnya. Terlebih jika siang hari, ia kerap kali minta makan setiap pukul empat sore setelah makan siang. Aku senang, setidaknya dengan makan energinya sedikit bertambah. Terbukti ia jadi lebih banyak bicara dari sebelumnya, juga lebih banyak duduk meski di ranjang.Padahal sebelumnya, ia tak terlalu nafsu makan. Apalagi jika batuknya menyerang, ia bisa seharian menahan sakitnya, dan aku mengurut dadanya.Awalnya saat aku datang, ia masih bisa dipapah untuk ke kamar mandi. Setelah itu semakin lemas kondisinya, baru dua hari ini terlihat lebih baik.“Nek, mau jalan-jalan? Nenek kuat nggak hari ini? Kita pake kursi roda.”Mataku berbinar mengajak nenek keluar setelah baru saja kumandikan. Salman yang tadi membantuku mengangkat nenek untuk duduk di kursi roda, dan membantu menimba air di sumur.Nenek sudah terlihat cantik, aku memakaikan bedak tabur di
Bab 53*Nenek membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman. Sejenak ia diam, dan kami semua menunggu apa yang ingin ia bicarakan lagi.Mata tuanya menatap kami satu persatu, masih diam dan mencari kata yang tepat untuk memulai tentang wasiatnya.Jika Nenek memang akan membagikan warisan malam ini, yang aku tahu sawahnya ada sekitar enam hektar. Ditambah rumah juga tanah yang kini kami duduki. Itu luas sekali, tanahnya juga bagus untuk bercocok tanam. Aku tahu karena ayah yang bercerita dulu. Kakek, Nenek dan ayah rajin sekali menanam di sawah, dan saat hasil panen banyak, mereka mengumpulkan uang untuk beli tanah lagi. Begitu terus hingga hartanya terkumpul banyak. Jika dilihat dari dulu Nenek memang tak punya banyak uang, tapi punya banyak tanah dan padi untuk makan.Mirisnya, tanah sebanyak itu yang dulunya dikerjakan oleh ayah, tapi setelah ayah menikah dengan ibu, ia sama sekali tak mendapatkan jatah lagi.“Aku akan membagi sesuai dengan ajaran Islam, karena ayah kalian dulu sel