Share

POV KARINA

Author: El Baarish
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Extra Part POV Karina

*

Aku duduk di sofa sambil memijat kening yang terasa begitu berdenyut, karena lelahnya seharian bekerja. Jam telah menunjukkan pukul lima sore, dan aku baru pulang.

Aku melihat di kamar, suamiku sedang tertidur pulas. Semakin naik pitam aku melihatnya. Ia sangat pemalas, seperti benalu yang hidup dari semua uangku. Dulu, saat awal menikah, ia punya pekerjaan tetap, tapi setelah itu harus kena PHK masal karena perusahaannya bangkrut. Setelah itu, jangankan untuk bekerja, mencari pekerjaan saja ia tak mau. Seperti sudah keenakan hidup di bawah keringatku.

Stres aku memikirkan keuangan keluarga. Apalagi anak-anak sudah sekolah, yang tentu akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Gajiku hanya cukup untuk membayar cicilan mobil, menggaji ART, dan biaya sekolah anak-anak. Syukurnya dulu saat Agus masih bekerja, kami mengumpulkan uang untuk membeli rumah.

Aku mengambil ponsel dari dalam tas saat benda itu berbunyi. Kulihat nama ibu tertulis di layar.

“Halo, Bu!” ucapku di
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   POV KALILA

    Extra Part POV Kalila*Aku pulang dari rumah Nenek setelah seminggu meminta cuti. Percuma saja aku di sana, karena Nenek hanya peduli pada Sekar. Perlakuan Nenek padaku sudah berbeda, ia tak lagi memanjakanku seperti dulu. Aku merasa hanya membuang-buang waktu selama di sana, karena Nenek sama sekali mengabaikanku. Hanya Sekar dan Sekar yang ia layani layaknya ratu. Mungkin karena uangnya lebih banyak dariku, sebab itu Nenek memperlakukan Sekar begitu baik.Hanya Sekar cucu kesayangannya. Sementara aku hanyalah cucu yang tak diacuhkan.Saat Sekar mengirimkan pesan di Instagram, aku tak membalasnya. Memang tak berniat untuk pulang ke rumah Nenek. Untuk apa memangnya? Ia bahkan tak pernah menjengukku di kota ini, ia tak mengerti keadaanku yang super sibuk ini. Bahkan saat ia tinggal bersama ayah, ia tak datang ke tempatku. Aku dengar dari Ayah bahwa Nenek langsung pulang ke kampung.Aku hanya membaca pesan dari Sekar, lalu kuberitahu pada ayah. Saat itu ayah bilang bahwa ia akan pulang

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   1. Pulang

    Cucu yang Dibedakan Part 1 * “Kamu persis ibu ayahmu! Keras kepala!” “Jangan tanya aku, kamu bukan cucuku.” “Pergi, dan jangan memaksaku menjadi wali ketika ayahmu sendiri sudah lama tercoret dari KK ibu.” Hinaan, kebenaran yang tak diakui, dan pengucilan dari keluargaku terus membayangi. Saat aku kembali melihat kampung ini, semua itu terasa begitu nyata. Kenangan buruk itu berputar slide demi slide meski tak ingin diingat. Aku pernah mencoba untuk lupa atau melupakan, tapi kealamian memori tetap memaksa kenangan untuk keluar, terlebih saat melihat suasana dan orang-orang yang memberikan luka di kenangan itu. Aku membuka kaca mobil saat memasuki perkampungan yang dulu pernah kutinggali. Menghirup udara segar yang begitu kurindukan, sangat berbeda dengan udara di kota Jakarta yang sesak dan penuh polusi bercampur dengan napas-napas para pembohong. Sesak sekali. Mobil memasuki akses jalan rumah yang akan kutuju. Sekarang jalan perkampungan itu sudah diaspal, berbeda dengan dulu

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   2. Nenek Sakit

    Cucu yang DibedakanPart 2 * Aku membelai tangan keriputnya yang begitu lemah. Ia kembali ingin meraih wajahku, menghapus air mata yang mengalir di sana. Kulihat ia juga menangis. Aku mencoba meredam rasa haru dalam hati. Tangisan yang ditahan itu semakin sesak, aku tak mampu mencegahnya. Aku menangisi dengan tersedu-sedu, seolah luka masa lalu sudah menemukan obatnya hari ini. Beberapa menit kami tenggelam dalam rasa haru masing-masing. Lalu, aku menghapus sisa basah di wajah nenek.Aku bangkit dari ranjang tua itu. Melangkah ke meja di mana aku letakkan beberapa makanan, obat dan popok dewasa yang ia butuhkan. Menurut yang dikatakan Farah, Nenek sering pipis di tempat tidur. Kalau siang ingin buang air besar, jika merasa sedikit bertenaga, ia akan keluar, karena kamar mandi di rumah nenek ada di belakang rumah. Lumayan jauh jika dibandingkan dengan tenaganya sekarang. “Nenek sanggup mandi sekarang? Merasa sejuk? Atau Sekar lap aja pakai kain basah?” Aku menawarkan nenek untuk ma

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   3. Rendang Basi

    Bab 3 * Namaku Sekar, saat itu usiaku masih sembilan tahun. Masih mengenyam pendidikan sekolah dasar di kelas empat. Aku merupakan anak tunggal dari orangtuaku. Sejak kecil tinggal bersama orangtua di rumah yang sangat sederhana, bagiku rumah itu sangat layak dan menjadi tempat teduh ternyaman. Mungkin bagi orang lain tidak. Sebuah rumah yang terbangun dari bahan kayu, lantainya masih beralaskan tanah. Hanya di kamar saja yang sudah disemen kasar, kamar ibu bersama ayah dan kamarku. Letaknya tak jauh dari rumah nenek, sekitar lima rumah selang dari rumah itu. Tanahnya tidak luas, hanya cukup untuk membangun rumah dan tersisa sedikit halaman di depannya. Berbeda dengan halaman rumah nenek yang cukup lebar. Kata ayah, tanah itu ia beli sendiri dari hasil sawah sejak ia masih muda. Kehidupanku sama seperti anak kecil lainnya. Sekolah di pagi hari, mengaji di siang hari dan bermain di sore hari. Malam adalah waktu bersama ibu dan ayah, karena saat siang hingga sore ayah dan ibu pergi

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   4. Dibedakan

    Part 4 * Aku terdiam cukup lama demi memikirkan apa saja kemungkinan yang baru saja terjadi. Kemungkinan nenek memang sengaja memberikan makanan basi, atau memang indera penciuman nenek yang sedang bermasalah, sehingga tidak bisa mengisi bau aneh dari rendang itu. Saat itu, aku memilih untuk berpikir positif bahwa nenek tak sengaja. Nenek hanya tidak teliti dalam memberikan makanan itu untukku. Namun, saat aku melihat lagi ke dalam plastik yang berisi rendang, beberapa belatung tampak saling muncul di dalam sana. Beberapa binatang kecil itu terpintal-pintal diantara daging. Aku bergidik ngeri dan geli, juga sedikit mual saat itu. Bahkan buluku merinding karena rasa geli. Aku segera membuang makanan itu serta plastiknya tak tersisa. Rasa laparku yang tadinya bersuara kini bilang entah ke mana. Siang itu, aku memilih untuk langsung pergi mengaji. Untuk makan sisa telur di bawah tudung saji pun aku sudah tak selera, rasanya belatung itu akan melompat-lompat di piringku. Seringnya, aku

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   5. Jambu Nenek

    Part 5 * Sisakan untuk Kalila dan Karina. Jujur, aku cemburu mendengar kalimat itu keluar dari mulut nenek. Ia terlalu spontanitas mengatakan bahwa dua cucunya itu terlalu spesial di hatinya. Dan, aku hanya cucu yang ada atau tidak keberadaannya sama sekali tak berpengaruh pada nenek. Beberapa menit setelah mengatakan itu, dari atas pohon kulihat Kalila dan Karina datang bersama ayah mereka. Keduanya menaiki motor yang mengkilat dibonceng sang ayah. Aku hapal nama motornya hingga kini. Ayah Kalila menaiki motor merek Honda Supra Fit. Sementara Aya Karina menggunakan motor Karisma. Melihat kedatangan saudara-saudaraku, Farah berlari pulang tanpa pamit pada nenek, juga padaku yang masih di atas pohon. Dari atas pohon kulihat nenek begitu gembira menyambut dua anak dan cucunya. Paman-pamanku mencium tangan nenek, diikuti Kalila dan Karina. Lalu, ada yang tiba-tiba sesak dalam hatiku. Sesak sekali dan sulit kujelaskan. Tanpa sadar, pipiku basah. Aku tak sengaja menangis. Bukan karena

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   6. Dibully Sepupu Sendiri

    Bab 6 * Itu masih sebagian yang kualami dalam hidupku. Tentang ketidakadilan, tentang pengucilan juga tentang menepi perlahan. Semuanya diringkas menjadi tentang seorang cucu yang dibedakan. Diperlakukan beda dari Kalila dan Karina. Pagi. Seperti biasa ibu dan ayah pergi ke sawah. Selesai satu sawah, mereka akan bergerak ke sawah lainnya. Ada dua petak sawah yang mereka kelola, setahuku itu milik nenek. Nenek memiliki beberapa sawah dan kebun, peninggalan kakek turun temurun alias warisan. Aku masih sedang menyiapkan diri, mengenakan seragam sekolah saat ibu dan ayah berpamitan. Setelah semua beres, aku pun berangkat ke sekolah. Sampai di depan rumah Farah, aku memanggilnya untuk pergi bersama. Farah juga terlihat sudah siap. Jika dilihat, penampilanku dengan Farah hampir sama. Sama buluknya. Ia mengenakan sepatu butut, tas yang sudah dijahit di bagian talinya. Sama sepertiku. Aku dan Farah berjalan kaki ke sekolah, jaraknya memang tidak terlalu jauh, tapi lumayan membuat kaki

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   7. Sepeda Baru, Aku yang Pilu

    Bab 7 * Setelah berbagai perbedaan yang kualami, aku masih saja menyukai nenek. Masih saja bermain bersama Kalila dan Karina. Karena bagiku saudara tetap saudara, keluarga tetap keluarga. Aku marah, aku kecewa, tapi hanya pada hari itu saja. Layaknya anak kecil yang terlalu polos untuk membenci, untuk menghakimi. Aku hanya bersikap seperti biasa. Meskipun jika dipikir, Kalila dan Karina masih saja suka membuliku. Masih saja suka mencari gara-gara dan menyalahkanku. Seperti saat istirahat di sekolah tadi pagi, anak-anak bermain melempar kertas ke sembarang arah. Kalila dan Karina ikut bersama mereka, melempar kertas dan bersorak dengan gembira. Entah ke mana semua guru, mungkin mereka tak bisa mendengar suara riuh kami, karena kelas lumayan jauh dari kantor guru. Tiba-tiba seorang anak lelaki datang padaku, menghampiri tempat dudukku. “Aku nggak suka ya, kamu nulis nama aku.” Anak lelaki itu berkata. Sementara aku menatapnya bingung. “Apa maksudnya?” tanyaku. Bocah lelaki bernama

Latest chapter

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   POV KALILA

    Extra Part POV Kalila*Aku pulang dari rumah Nenek setelah seminggu meminta cuti. Percuma saja aku di sana, karena Nenek hanya peduli pada Sekar. Perlakuan Nenek padaku sudah berbeda, ia tak lagi memanjakanku seperti dulu. Aku merasa hanya membuang-buang waktu selama di sana, karena Nenek sama sekali mengabaikanku. Hanya Sekar dan Sekar yang ia layani layaknya ratu. Mungkin karena uangnya lebih banyak dariku, sebab itu Nenek memperlakukan Sekar begitu baik.Hanya Sekar cucu kesayangannya. Sementara aku hanyalah cucu yang tak diacuhkan.Saat Sekar mengirimkan pesan di Instagram, aku tak membalasnya. Memang tak berniat untuk pulang ke rumah Nenek. Untuk apa memangnya? Ia bahkan tak pernah menjengukku di kota ini, ia tak mengerti keadaanku yang super sibuk ini. Bahkan saat ia tinggal bersama ayah, ia tak datang ke tempatku. Aku dengar dari Ayah bahwa Nenek langsung pulang ke kampung.Aku hanya membaca pesan dari Sekar, lalu kuberitahu pada ayah. Saat itu ayah bilang bahwa ia akan pulang

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   POV KARINA

    Extra Part POV Karina*Aku duduk di sofa sambil memijat kening yang terasa begitu berdenyut, karena lelahnya seharian bekerja. Jam telah menunjukkan pukul lima sore, dan aku baru pulang.Aku melihat di kamar, suamiku sedang tertidur pulas. Semakin naik pitam aku melihatnya. Ia sangat pemalas, seperti benalu yang hidup dari semua uangku. Dulu, saat awal menikah, ia punya pekerjaan tetap, tapi setelah itu harus kena PHK masal karena perusahaannya bangkrut. Setelah itu, jangankan untuk bekerja, mencari pekerjaan saja ia tak mau. Seperti sudah keenakan hidup di bawah keringatku.Stres aku memikirkan keuangan keluarga. Apalagi anak-anak sudah sekolah, yang tentu akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Gajiku hanya cukup untuk membayar cicilan mobil, menggaji ART, dan biaya sekolah anak-anak. Syukurnya dulu saat Agus masih bekerja, kami mengumpulkan uang untuk membeli rumah.Aku mengambil ponsel dari dalam tas saat benda itu berbunyi. Kulihat nama ibu tertulis di layar.“Halo, Bu!” ucapku di

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   POV NENEK

    Extra Part POV Nenek * Aku mengakhiri masa lajangku dengan menikah dan hidup bersama suamiku. Setelah menikah, kami pindah ke Bandung, di salah satu desa di sana. Merantau dari satu kota ke kota mencari pekerjaan, hingga akhirnya kami memilih menetap di kampung. Orang Jawa yang pindah ke tanah Sunda. Kami diterima dengan baik di kampung itu, berbaur dengan orang lain. Hingga aku memiliki tiga orang anak laki-laki, Ridwan, Jamal dan Harun. Ketiganya terlahir dan menjadi anak-anak yang baik, yang akan menjagaku kelak. Namun, di tengah perjalanan hidupku, Ridwan mengecewakanku. Aku begitu membenci sikapnya. Saat kecil, ia kusayangi sepenuh jiwa, tapi ketika ia dewasa, malah mengecewakan karena menikahi perempuan tanpa nasab. Kehidupan terus berjalan, hingga Ridwan pergi untuk selamanya. Hari itu, dua anakku Jamal dan Harun pindah rumah karena mutasi pekerjaan. Keduanya ditempatkan di kota yang sama. Mereka menjual rumah di kampung dan membeli rumah di sana, berencana akan tinggal sel

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   63. Mau Diakui Saudara

    Bab 63*Aku melahirkan anak pertama. Kebahagiaan semakin lengkap sejak hadirnya sang buah hati dalam rumah tangga kami. Bisnisku semakin lancar, kini aku membuka cabang pabrik lagi di daerah Bekasi. Bisnis Salman juga semakin lancar. Secara ekonomi kami sangat mapan. Aku bersyukur atas kepercayaan Tuhan menitipkan itu semua.Aku menikmati hari-hari di mana aku mengasuh putriku yang kuberi nama Talita. Sejak ia mengeluarkan tangisan pertama di dunia ini, berlanjut saat ia mulai bisa mengeja kosa kata. Aku ingat kosa kata yang pertama ia ucapkan, yaitu mama dan papa. Rasanya aku telah menjadi wanita yang begitu sempurna. Kini, Talita sudah beranjak tiga tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang ceria dan cantik.Satu kata untuk mewakili semua perasaanku saat ini, yaitu bahagia. Terlepas dari apa saja yang terjadi di masa lalu. Itu hanya sejarah di belakang hidupku.Bulan lalu, Salman juga menemukan dua orang adik kakak di jalanan yang katanya sudah tak lagi memiliki orangtua. Mereka mengamen

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   62. Yang Ditunggu

    Bab 62*Hari itu setelah ribut dengan Paklek, aku pulang ke Jakarta. Aku kembali pada rutinitas yang telah lama kutinggalkan.Aku keluar dari rumah Nenek hari itu. Saat aku keluar, kulihat ada beberapa tetangga yang masih berdiri di depan pagar mereka dan menatap prihatin padaku. Aku terus melangkah, karena mereka melihatku menangis. Mereka terlihat kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mencampuri urusan keluarga kami. Tak perlu kuceritakan apa yang terjadi dalam keluargaku, mereka lebih tahu bagaimana kelakuan Paklekku. Mereka tahu Paklek menelantarkan Nenek sekian lamanya, karena terkadang tetangga-tetangga itu juga yang memberikan makanan untuk Nenek.Esoknya, Pak Lurah datang menemuiku di rumah Bude, lelaki paruh baya itu meminta maaf karena sudah menandatangani surat-surat untuk mengurus semuanya.Pak Lurah mengatakan bahwa mereka datang tanpa tingkah mencurigakan sama sekali. Ia sempat bertanya siapa saja yang mendapat warisan, apa aku mendapatkan warisan atau tidak.

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   61. Paklek yang Kejam

    Bab 61*“Ke mana surat-surat tanahnya, Paklek?” ulangku lagi menatap tajam keduanya yang baru saja masuk ke dalam rumah.Dua lelaki paruh baya itu saling pandang sejenak, karena melihat ekspresiku yang sedang menahan marah. Aku yakin kini wajahku merah padam, akibat luapan amarah yang sedang meledak-ledak dalam dada. Lalu, kulihat ia segera menyembunyikan tangannya di belakang. Aku melihat sebuah map berwarna cokelat ia dipegang erat oleh Paklek Harun. Aku telah mewanti map itu sejak kulihat mereka masuk ke dalam.Paklek hanya diam. Hal itu membuatku semakin naik darah. Aku lupa pada saran Salman untuk bertanya baik-baik pada mereka. Aku sudah cukup baik selama ini dengan mereka, lebih tepatnya cukup banyak diam demi tidak memperkeruh suasana.Aku diam saat kulihat Paklek mengambil uang dari dompet kecil yang ada di bawah kasur Nenek saat ia tertidur. Aku tak memasak untuk mereka, dan mereka menggunakan uang Nenek untuk membeli makanan. Padahal aku tahu, uangnya begitu banyak, tapi p

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   60. Menghilangnya Surat Tanah

    Bab 60*Tujuh hari acara tahlilan untuk almarhum Nenek berjalan dengan lancar, meskipun tanpa Paklek yang ikut andil membantu. Mereka terkesan tak mau tahu tentang apa saja yang dibutuhkan saat acara tahlilan. Saat siang, kedua Paklekku tak pernah ada di rumah, mungkin takut jika aku meminta uang untuk acara tahlilan. Padahal sepeser pun aku tak pernah menyinggung apalagi meminta.Hanya saja terkadang aku bingung menjawab pertanyaan warga kampung yang datang ke rumah. Mereka menanyakan tentang Paklek, juga Kalila dan Karina yang tak terlihat selama tujuh hari itu.“Paklekmu ke mana, Sekar?” tanya salah satu wanita paruh baya yang membantu memasak siang itu.Aku menatap Bude yang juga spontan menatapku. Sangat bingung. Pun, aku tak tahu mereka pergi ke mana, dan apa alasannya menghindar dari orang-orang yang menghadiri kenduri untuk almarhum.“Udah keluar sebentar, Bu. Mungkin nyari rokok atau apa gitu.” Aku tersenyum pada mereka. Lalu, melanjutkan aktivitasku.“Si Kalila waktu itu ad

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   59. Salman Cemburu

    Bab 59*Tubuhku terasa begitu lelah, acara tahlilan baru saja selesai. Setelah mencuci muka, aku masuk ke dalam kamar dan mendapati Salman juga tengah bersiap untuk tidur.Rumah ini terasa sangat sepi setelah kepergian Nenek. Seperti tak ada lagi nyawa di dalamnya. Kosong. Seperti kekosongan rasa dekat antara kami sekeluarga. Paklek masih di sini, tapi tak sekalipun mengurus acara tahlilan tadi. Hanya Bude dan para tetangga yang sibuk membantu. Paklek sedari siang pergi entah ke mana, dan pulang saat magrib. Aku tak bertanya, hanya merasa kecewa berkali lipat dalam dada.Aku merebahkan diri di samping Salman. Tubuhku yang lelah seolah ingin segera hanyut dalam lelapnya malam. Namun, aku merasa ada keresahan dalam diri setelah kembali bertemu dengan Udin. Seperti sesuatu yang membuatku tak nyaman.“Capek ya?” tanya Salman yang belum memejamkan mata.Aku mengangguk. Ia tersenyum padaku, tapi aku seolah bisa melihat ada sesuatu yang ingin ditanyakan.“Aku boleh nanya, nggak?” tanyanya k

  • CUCU YANG DIBEDAKAN   58. Cinta yang Terlambat

    Bab 58*Aku mengangguk, lalu mengambil benda itu dari tangannya. Ia tersenyum begitu medalinya berpindah tangan padaku. Aku tak merasa berjasa hanya dengan menyarankannya berenang dulu. Namun, aku hanya ingin menghargai usahanya menemuiku untuk memberikan medali itu.“Tadi di ujung lorong, aku melihat Kalila sama Karina, kaca mobilnya terbuka. Aku masih hapal wajah mereka. Mereka mau ke mana?” tanya Udin.Aku menatapnya sejenak, lalu menghela napas lelah. Pertanyaannya kembali mengingatkanku pada dua sepupuku itu. Tentang sikap mereka yang sama sekali tak melihat keadaanku. Mereka tak pernah bisa menepikan rasa egois yang mereka miliki.“Mereka mau pulang.” Aku menjawab dengan suara lirih.“Bukannya Nenek baru saja meninggal?”Aku mengangguk lemah. Kesedihan kembali hadir di hati.“Apa mereka masih seperti dulu?” tanya Udin hati-hati. Mungkin takut jika hatiku terluka, karena mereka saudaraku.Aku mengangguk lemah. “Mereka tidak berubah.”Udin mengangguk mengerti.“Entah kenapa juga

DMCA.com Protection Status