Bab 7
*
Setelah berbagai perbedaan yang kualami, aku masih saja menyukai nenek. Masih saja bermain bersama Kalila dan Karina. Karena bagiku saudara tetap saudara, keluarga tetap keluarga. Aku marah, aku kecewa, tapi hanya pada hari itu saja. Layaknya anak kecil yang terlalu polos untuk membenci, untuk menghakimi. Aku hanya bersikap seperti biasa.
Meskipun jika dipikir, Kalila dan Karina masih saja suka membuliku. Masih saja suka mencari gara-gara dan menyalahkanku. Seperti saat istirahat di sekolah tadi pagi, anak-anak bermain melempar kertas ke sembarang arah. Kalila dan Karina ikut bersama mereka, melempar kertas dan bersorak dengan gembira. Entah ke mana semua guru, mungkin mereka tak bisa mendengar suara riuh kami, karena kelas lumayan jauh dari kantor guru.
Tiba-tiba seorang anak lelaki datang padaku, menghampiri tempat dudukku.
“Aku nggak suka ya, kamu nulis nama aku.” Anak lelaki itu berkata. Sementara aku menatapnya bingung.
“Apa maksudnya?” tanyaku.
Bocah lelaki bernama Adit itu membuka kertas dalam genggamannya. Ia meletakkan ya di depanku. Aku bisa membaca tulisan di dalamnya.
Sekar cinta Adit.
Aku mendengkus kesal membaca tulisan itu. Menyebalkan sekali siapa pun yang menuliskan itu. Lalu, kudengar Kalila cekikikan bersama Karina di mejanya. Siapa lagi, itu pasti ulah mereka agar aku terlihat bersalah.
“Itu bukan tulisanku,” belaku untuk diri sendiri.
Tiba-tiba Farah masuk ke dalam kelas, dan melihat suasana tak enak antara aku dan Adit. Ia mendekat dan melihat kertas itu di atas meja.
“Ini bukan tulisan Sekar, Adit!”
“Ngapain belain dia?” tanya Adit bersungut.
“Karena dia sahabatku,” ucap Farah lantang.
Aku terharu mendengar jawaban Farah, ia membela sampai seperti itu. Sahabat sejati memang.
“Lagian cuma nama doang, marahnya gitu amat. Emang nama kamu bakalan ngaruh?” Farah masih menyemprot.
Adit diam. Merasa malu karena masalah kecil yang dibesar-besarkan. Pun itu bukan salahku. Aku tahu, ia sebenarnya malu karena namanya disandingkan denganku. Adit itu anak kepala desa di kampungku. Penampilannya sama seperti Kalila, bersih dan rapi dengan segala atribut sekolah yang masih baru. Sedangkan aku jauh daripadanya. Ia hanya malu jika anak-anak lain mengira yang bukan-bukan tentang kami.
Perlakuan Kalila dan Karina sudah bisa ditebak, ia menuliskan banyak nama otangtua murid, lalu mengambinghitamkan aku. Menulis tulisan-tulisan ejekan untuk teman-teman sekelas, lalu melempar ke kepalanya. Bisa ditebak, nanti ia akan menunjuk ke arahku, sebagai orang yang menuliskan ejekan itu.
Satu hal yang tak kusukai dari diriku, aku tak terbuka dengan ibu dan ayah tentang itu. Dalam pikiranku, sebagai anak-anak itu hanya permainan. Anak-anak hanya bermain.
*
Hari Jumat adalah hari libur mengaji. Minggu libur sekolah. Jadi, di hari itu kami biasa menghabiskan waktu untuk bermain.
Hari ini Kalila dan Karina membawa sepeda ke rumah nenek. Sepertinya sepeda baru. Terlihat dari buble wrap yang masih dibungkus di beberapa bagian. Keduanya telah memiliki sepeda Phoenix mini yang saat itu sedang tren. Maksudku, tren bagi orang kaya atau berduit. Bukan tren untuk orang-orang sepertiku dan Farah.
Sepeda Kalila berwarna pink, sementara milik Karina berwarna biru muda. Sesuai dengan warna favorit mereka.
Aku hanya bisa menatap dua sepupuku dengan mata yang berbinar, juga keinginan yang besar dalam hati ini. Ingin memiliki sepeda yang sama dengan keduanya. Tampilannya bagus, warnanya bagus, ada tempat bonceng di belakang dan keranjang di depan. Jika dipakai untuk ke sekolah, aku bisa memasukkan tas ke dalam keranjang, dan membonceng Farah di belakang.
Ah, indahnya berandai-andai.
Farah pun sama takjubnya denganku. Saat itu aku sedang berada di rumahnya, sedang bermain bola kerang di halaman rumah Farah. Dari tempat kami duduk, tentu saja terlihat betapa bahagianya Kalila dan Karina mengayuh sepeda baru dengan ban rodanya.
“Sepeda mereka cantik ya,” ucap Farah padaku.
Benar saja dugaanmu, Farah juga menginginkan sepeda itu.
“Iya. Kapan ya bisa punya kayak gitu?” tanyaku nelangsa.
“Entahlah, Sekar.”
Aku dan Farah melanjutkan permainan kami. Farah melempar bola ke atas dan memungut kerang yang ia letakkan di atas tanah di halamannya. Meskipun kami menyukai sepeda Kalila dan Karina, tapi kami tak berani untuk mendekat dan melihat. Takut terusir, takut tertolak.
“Sekar, sini!” panggil Karina di sela bermain sepeda dengan Kalila.
Aku menatap Farah yang juga menatapku. Ada rasa bahagia dalam hatiku mendengar bagaimana Karina begitu hangat memanggilku.
Aku dan Farah pun melewati pagar, dan melangkah ke halaman rumah nenek. Kulihat Kalila dan Karina membasuh peluh di dahinya, sepertinya mereka sudah terlalu lelah bermain dengan sepeda barunya.
Aku menatap sepeda mereka dari dekat. Cantik sekali, sangat cocok untuk perempuan. Untuk pertama kali aku melihat sepeda baru langsung di depan mata. Biasanya yang teman lain bawa ke sekolah banyakan sepeda bekas meskipun masih bagus.
“Sepedanya bagus sekali.” Aku memuji di depan Kalila dan Karina. Dengan memberanikan diri, aku mengelus permukaan besi sepeda itu. Berharap bisa ketularan beruntungnya seperti mereka.
“Iya, ini hadiah dari ayah.” Kalila menjelaskan.
Aku jadi membayangkan betapa indahnya hidup mereka, bisa mendapat hadiah semewah itu dari ayah. Namun, aku tetap bangga memiliki ayah seperti ayahku, karena ayah hanya kekurangan uang, setidaknya bukan kasih sayang.
Farah terlihat hanya diam. Aku tahu, sebenarnya ia tak terlalu suka bermain dengan Kalila atau Karina. Namun, sepertinya rasa sukanya terhadap sepeda itu yang mendorongnya kemari.
“Sini, Sekar!” Kalila menarik tanganku mendekat padanya.
Sejenak aku ragu, tapi juga penasaran Kalila mau ngapain.
“Kamu juga boleh, kok, naik sepedaku.” Kalila menatap Karina.
“Tapi, nanti kalau kita udah bosan main ya. Sekarang kalian dorong kami dulu. Sekar dorong aku, Farah dorong Kalila. Biar cepat bisa lepas ban rodanya.”
Ada binar bahagia dari mataku dan Farah. Bisa melihat dan dekat dengan sepeda itu saja senangnya luar biasa. Apalagi diberikan kesempatan untuk mendayungnya. Tak mengapa meskipun harus mendorong Kalila dan Karina terlebih dahulu. Saat itu, Aku dan Farah sangat ingin naik sepeda, sebab itu kami mengangguk dengan senyuman. Menyetujui kesepakatan dengan kedua sepupuku itu.
“Baiklah.”
Aku mulai mendorong sepeda Kalila dari belakang. Ia bersuara dengan riangnya saat sepeda mulai melaju kencang dan ia mendayung. Kadang, tanpa dilihat olehnya, aku mengelus tempat boncengan sepeda Kalila. Dalam hati berharap suatu saat bisa punya sepeda itu.
Begitupun dengan Farah. Karina tertawa riang saat ban sepedanya berguling mengikuti ban depan. Rumput-rumput kecil di rumah nenek menjadi saksi betapa keduanya bahagia.
Kalila dan Karina. Tidak dengan aku dan Farah. Karena hingga hampir satu jam, terhitung sepuluh kali putaran dari halaman depan ke halaman belakang rumah nenek, aku dan Farah masih menjadi pendorong. Sama sekali tak mendapat kesempatan untuk mendayung.
Aku lelah, doronganku tak lagi sekuat tadi, hingga Kalila protes.
“Yang kencang dong, Sekar.”
Aku mengumpulkan tenaga, mendorong kembali sepeda Kalila sambil menyeka keringat di dahi. Tiba-tiba kudengar Kalila menjerit, lalu ia terjatuh karena ban sepeda tersandung batu. Kalila jatuh ke tanah dengan sepeda yang menimpa di atasnya.
Kalila menangis, ia memegangi lututnya yang sedikit lecet dan berdarah.
Aku terdiam, tak tahu harus melakukan apa. Karina pun mendekat, dan Farah terlihat ketakutan.
Mendengar suara jeritan, nenek pun keluar dari rumah. Sementara jantung tak lagi berdetak dengan normal saat melihat mata nenek menatapku dengan tajam.
“Kamu pasti sengaja, kan?” bentak nenek.
Aku memilin ujung kaus kusam yang kukenakan. Tak bisa menjawab, karena lidahku seperti kelu saat berhadapan dengan nenek.
Kalila semakin menangis keras. Ia mengeluh lututnya sakit.
“Dasar anak nakal. Susah sekali dibilangin. Taunya nyakitin orang aja. Sengaja bikin Kalila jatuh biar bisa dayung sepedanya, kan?” Nenek tanpa henti mengomeliku.
Yang paling mengejutkan, hingga membuat mataku berair seketika, saat nenek mendekat dan memutar tangannya di kulit pinggangku. Sakit.
Kalila lututnya sakit. Sementara aku sakit di bagian pinggang. Itu bisa sembuh.
Sakit di dasar hati yang kian besar, itu susah sembuh.
Bab 8*Pagi ini aku terbangun agak malas-malasan, karena terdengar rintik hujan di atas atap sana. Aku kembali menarik selimut kumal untuk menutup tubuhku juga untuk menghangatkannya dari serangan dingin hujan di pagi hari.Aku kembali memejamkan mata seraya tubuh meringkuk membentuk angka empat. Ah, iya, aku ingat dulu ketika kelas satu saat belajar tentang angka. Bu guru selalu menyamakan angka empat dengan bentuk kursi atau bentuk orang meringkuk.“Kalau tidak bisa bayangin bentuk kursi, bayangin aja bentuk tubuh kalian kalau lagi meringkuk kedinginan pas hujan. Angka empat itu seperti itu bentuknya.” Bu Lastri menjelaskan.“Udin sering kan meringkuk narik selimut dan malas-malasan ke sekolah?” tanya Bu Lastri pada Udin yang gemar libur sekolah tanpa alasan. Sementara saat itu Udin hanya garuk-garuk kepala sambil nyengir karena semua murid melihat padanya.Kami semua tertawa dengan penjelasan Bu Lastri. Lucu saja angka empat disamakan dengan gaya tidur.Mengingat kejadian itu, aku
Bab 9*Musim hujan tak kujung berhenti di kampungku. Sudah seminggu berturut-turut kampung kami diguyur hujan. Warga mulai panik dengan tanaman dan padi di sawah. Padi baru saja ditanam bahkan belum kuat akarnya, biasanya jika hujan terus-menerus itu akan membuat siput-siput memakan batangnya. Itu sama saja musibah untuk petani desa.Petani dengan kekhawatiran sendiri. Ibu dan ayah dengan kekhawatiran mereka. Dan, aku dengan kekhawatiranku. Jika gagal panen kali ini, artinya tidak ada yang namanya ganti sepatu baru. Itu artinya aku harus memakai kembali sepatu koyak itu entah berapa lama.Awal Desember, akhirnya air sungai meluap di beberapa daerah. Sebagian kampung sudah ada kabar banjir datang menenggelamkan kampung. Kampungku belum terkena banjir, tapi air di sungai dekat rumah nenek sudah penuh terlihat mengalir ke permukaan sungai. Hujan masih belum reda.Ayah dan ibu sibuk memindahkan beberapa barang. Yang paling penting adalah padi yang masih tersisa dua karung lagi. Seharusny
Bab 10*Air mengalir dengan deras, aku yang melihatnya saja mendadak pusing karena aliran dan putaran yang begitu cepat. Melihat gelagatku, ayah tiba-tiba berhenti dan berjongkok, hingga membuat celananya basah.“Naik, sini!” Ayah memberikan punggungnya untuk kunaiki. Sementara tas yang sedari tadi kupegang, kualihkan pada ibu. Ibu memegang dua tas yang berisi keperluan kami untuk sementara selama mengungsi. Entah akan sampai berapa hari kami akan tinggal di balai desa.Seumur hidupku, ini pertama kali aku mengungsi dan merasakan banjir. Mungkin nanti akan tidur ramai-ramai, makan di dapur massal dan segala sesuatu dibagi bersama-sama.“Halah, Sekar ini! Nggak tau ayahnya capek apa? Bukannya jalan cepat-cepat.” Aku menoleh saat kudengar nenek mengomel. Namun, omelan itu serupa angin lalu, karena di hatiku rasa bahagia lebih dominan saat ini. Mungkin setelah kecil dulu, ini pertama kali aku kembali digendong ayah. Aku tahu tubuhku tak lagi ringan seperti dulu, tapi ini menunjukkan bet
Bab 11*Sudah empat hari aku berada di pengungsian. Kehidupan di sana sungguh tak menyenangkan, tapi tak juga sepenuhnya tak menyenangkan. Karena aku melihat kebersamaan warga dalam banyak hal, salah satunya memasak. Aku melihat warga yang akur dan saling berbagi, saling membantu.Hanya saja aku tak bisa tidur nyenyak saat malam, karena banyak nyamuk. Ya, meskipun sudah membakar obat nyamuk, tetap saja banyak karena di ruang yang terbuka. Suara tangisan bayi juga sering membangunkanku jika sudah terlelap. Kasihan, pasti bayi-bayi itu susah menyesuaikan diri dalam keramaian.Mau bagaimana lagi, hanya itu tempat yang paling tinggi. Ada dua tempat pengungsian di kampungku saat itu. Di balai desa tempatku kini tinggal, juga di balai pengajian tempat aku biasa mengaji. Dua tempat yang memang memiliki bangunan bentuk panggung.Hujan telah reda, air mulai surut. Awalnya air setinggi pinggang ayah, kini sudah sebatas sepahaku.Warga sudah bisa mengunjungi rumahnya masing-masing. Mengecek apa
Bab 12*Banjir telah benar-benar surut, semua warga pulang dan membersihkan rumah masing-masing. Seperti halnya aku dan orangtuaku, kami merasa rindu untuk tidur dan beraktivitas di rumah sendiri.Sepanjang jalan perkampungan, di persawahan masih menggenang air karena tentu saja tempatnya lebih rendah. Batang padi terlihat membusuk sebagian, warna hijau menjadi kuning kecokelatan. Warga sudah pasrah dengan hasil panen kali ini. Aku juga sudah pasrah, entah bisa mengganti sepatu baru atau tidak.Sekolah sudah normal seperti biasa, seminggu setelah banjir, aku dihadapkan dengan ujian kenaikan kelas. Dalam hal ini, aku juga pasrah karena di pengungsian aku sama sekali tak belajar, hanya terkadang terlintas hapalan-hapalan yang masih terjaga di kepala. Seminggu setelahnya tentu bukan waktu yang maksimal untuk belajar di ujian kenaikan kelas.Namun, aku tak menyangka dengan hasil yang kudapatkan di sekolah. Napasku sejenak berhenti saat mendengar wali kelas memanggil namaku sebagai murid
Bab 13*“Aku ganti baju dulu, ya, Farah!” Aku berlari sambil berteriak pada Farah. Ia tersenyum, lalu lekas masuk ke dalam rumah.Hari ini aku, Farah, Kalila dan Karina izin tidak mengaji karena ada acara di rumah nenek. Kami bukannya malas mengaji, tapi hanya sesekali libur kupikir tak mengapa. Pun aku sendiri masih ingat hapalan tajwid dan mad yang diajarkan ustadzah.Nenek mengadakan kenduri tahunan untuk mengingat arwah kakek yang telah lama berpulang. Menurut cerita ayah, sudah dua puluh tahun kakek meninggalkan kami. Bahkan aku sendiri belum pernah melihat wajah kakek secara langsung. Aku hanya melihat foto usang di dinding rumah nenek. Foto pernikahan nenek dengan kakek.“Kakek tuh orangnya nggak bisa diem. Semangat kerjanya tinggi banget,” kata ayah.“Dia disiplin banget.” Ayah tampak menerawang ke langit-langit atap rumah kami. Ia sedang mengingat-ingat sosok ayah yang begitu disayang, mungkin juga begitu dirindukan saat itu.“Terus, dia juga suka banget sama anak-anak. Dulu
Bab 14*Gema takbiran berkumandang dari toa masjid. Setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadhan, hari ini kami bisa merayakan lebaran idul Fitri bersama-sama.Tahun ini kebanyakan warga desa mendapatkan hasil panen yang melimpah. Termasuk ibu dan ayahku. Sebab itu aku merasa bahagia sekali karena mereka membelikanku sepasang baju baru dan sandal baru.Aku, ibu dan ayah pergi ke pasar pusat perbelanjaan di tempat kami. Aku naik ojek bersama ibu, sementara ayah sendirian. Membeli baju baru untuk menyambut lebaran adalah salah satu rutinitas yang kurindukan, karena hanya di hari itu aku dibelikan baju. Pun ayah akan berusaha keras untuk memenuhi keinginanku.Mungkin bagi anak yang beruntung, yang terlahir dari keluarga kaya seperti Kalila dan Karina, mereka akan dibelikan baju minimal sebulan satu di pasar pekan. Namun, untuk anak sepertiku, setahun sekali itu sudah jauh lebih mewah daripada tidak ada sama sekali.Aku bersyukur, karena tak hanya bisa membeli baju lebaran, tapi ayah juga
Bab 15*Aku ingat penuturan Kalila saat pengambilan rapor akhir kelas lima.“Lihat aja nanti kelas enam, aku yang akan di posisi itu. Kamu jangan pernah bermimpi.” Dengan wajah merah padam ia berkata padaku hari itu di atas sepedanya.Ternyata itu sama sekali tak terbukti. Aku berturut-turut mendapat rangking satu di kelas. Mereka berdua mendapatkan rangking dua dan tiga. Kulihat Kalila dan Karina makin kesal padaku. Ia menatapku tak pernah bersahabat, makin judes dan makin sering ia membuli. Kadang saat ada kesempatan, ia menolak punggungku dengan sengaja, menahan kaki agar aku tersandung saat masuk kelas. Perilakunya sungguh membuatku tak nyaman.Dalam berbagai kesempatan ia mencoba untuk menang. Mencoba untuk mendapatkan yang terbaik dengan cara menginjakku, dengan cara membuatku sakit hati. Namun, aku tak bisa berbuat banyak, hanya mengabaikan dan menghindar darinya. Aku masih menganggap ia saudara, dan hanya seorang anak kecil yang pikirannya belum dewasa. Tidak mungkin aku bert
Extra Part POV Kalila*Aku pulang dari rumah Nenek setelah seminggu meminta cuti. Percuma saja aku di sana, karena Nenek hanya peduli pada Sekar. Perlakuan Nenek padaku sudah berbeda, ia tak lagi memanjakanku seperti dulu. Aku merasa hanya membuang-buang waktu selama di sana, karena Nenek sama sekali mengabaikanku. Hanya Sekar dan Sekar yang ia layani layaknya ratu. Mungkin karena uangnya lebih banyak dariku, sebab itu Nenek memperlakukan Sekar begitu baik.Hanya Sekar cucu kesayangannya. Sementara aku hanyalah cucu yang tak diacuhkan.Saat Sekar mengirimkan pesan di Instagram, aku tak membalasnya. Memang tak berniat untuk pulang ke rumah Nenek. Untuk apa memangnya? Ia bahkan tak pernah menjengukku di kota ini, ia tak mengerti keadaanku yang super sibuk ini. Bahkan saat ia tinggal bersama ayah, ia tak datang ke tempatku. Aku dengar dari Ayah bahwa Nenek langsung pulang ke kampung.Aku hanya membaca pesan dari Sekar, lalu kuberitahu pada ayah. Saat itu ayah bilang bahwa ia akan pulang
Extra Part POV Karina*Aku duduk di sofa sambil memijat kening yang terasa begitu berdenyut, karena lelahnya seharian bekerja. Jam telah menunjukkan pukul lima sore, dan aku baru pulang.Aku melihat di kamar, suamiku sedang tertidur pulas. Semakin naik pitam aku melihatnya. Ia sangat pemalas, seperti benalu yang hidup dari semua uangku. Dulu, saat awal menikah, ia punya pekerjaan tetap, tapi setelah itu harus kena PHK masal karena perusahaannya bangkrut. Setelah itu, jangankan untuk bekerja, mencari pekerjaan saja ia tak mau. Seperti sudah keenakan hidup di bawah keringatku.Stres aku memikirkan keuangan keluarga. Apalagi anak-anak sudah sekolah, yang tentu akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Gajiku hanya cukup untuk membayar cicilan mobil, menggaji ART, dan biaya sekolah anak-anak. Syukurnya dulu saat Agus masih bekerja, kami mengumpulkan uang untuk membeli rumah.Aku mengambil ponsel dari dalam tas saat benda itu berbunyi. Kulihat nama ibu tertulis di layar.“Halo, Bu!” ucapku di
Extra Part POV Nenek * Aku mengakhiri masa lajangku dengan menikah dan hidup bersama suamiku. Setelah menikah, kami pindah ke Bandung, di salah satu desa di sana. Merantau dari satu kota ke kota mencari pekerjaan, hingga akhirnya kami memilih menetap di kampung. Orang Jawa yang pindah ke tanah Sunda. Kami diterima dengan baik di kampung itu, berbaur dengan orang lain. Hingga aku memiliki tiga orang anak laki-laki, Ridwan, Jamal dan Harun. Ketiganya terlahir dan menjadi anak-anak yang baik, yang akan menjagaku kelak. Namun, di tengah perjalanan hidupku, Ridwan mengecewakanku. Aku begitu membenci sikapnya. Saat kecil, ia kusayangi sepenuh jiwa, tapi ketika ia dewasa, malah mengecewakan karena menikahi perempuan tanpa nasab. Kehidupan terus berjalan, hingga Ridwan pergi untuk selamanya. Hari itu, dua anakku Jamal dan Harun pindah rumah karena mutasi pekerjaan. Keduanya ditempatkan di kota yang sama. Mereka menjual rumah di kampung dan membeli rumah di sana, berencana akan tinggal sel
Bab 63*Aku melahirkan anak pertama. Kebahagiaan semakin lengkap sejak hadirnya sang buah hati dalam rumah tangga kami. Bisnisku semakin lancar, kini aku membuka cabang pabrik lagi di daerah Bekasi. Bisnis Salman juga semakin lancar. Secara ekonomi kami sangat mapan. Aku bersyukur atas kepercayaan Tuhan menitipkan itu semua.Aku menikmati hari-hari di mana aku mengasuh putriku yang kuberi nama Talita. Sejak ia mengeluarkan tangisan pertama di dunia ini, berlanjut saat ia mulai bisa mengeja kosa kata. Aku ingat kosa kata yang pertama ia ucapkan, yaitu mama dan papa. Rasanya aku telah menjadi wanita yang begitu sempurna. Kini, Talita sudah beranjak tiga tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang ceria dan cantik.Satu kata untuk mewakili semua perasaanku saat ini, yaitu bahagia. Terlepas dari apa saja yang terjadi di masa lalu. Itu hanya sejarah di belakang hidupku.Bulan lalu, Salman juga menemukan dua orang adik kakak di jalanan yang katanya sudah tak lagi memiliki orangtua. Mereka mengamen
Bab 62*Hari itu setelah ribut dengan Paklek, aku pulang ke Jakarta. Aku kembali pada rutinitas yang telah lama kutinggalkan.Aku keluar dari rumah Nenek hari itu. Saat aku keluar, kulihat ada beberapa tetangga yang masih berdiri di depan pagar mereka dan menatap prihatin padaku. Aku terus melangkah, karena mereka melihatku menangis. Mereka terlihat kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mencampuri urusan keluarga kami. Tak perlu kuceritakan apa yang terjadi dalam keluargaku, mereka lebih tahu bagaimana kelakuan Paklekku. Mereka tahu Paklek menelantarkan Nenek sekian lamanya, karena terkadang tetangga-tetangga itu juga yang memberikan makanan untuk Nenek.Esoknya, Pak Lurah datang menemuiku di rumah Bude, lelaki paruh baya itu meminta maaf karena sudah menandatangani surat-surat untuk mengurus semuanya.Pak Lurah mengatakan bahwa mereka datang tanpa tingkah mencurigakan sama sekali. Ia sempat bertanya siapa saja yang mendapat warisan, apa aku mendapatkan warisan atau tidak.
Bab 61*“Ke mana surat-surat tanahnya, Paklek?” ulangku lagi menatap tajam keduanya yang baru saja masuk ke dalam rumah.Dua lelaki paruh baya itu saling pandang sejenak, karena melihat ekspresiku yang sedang menahan marah. Aku yakin kini wajahku merah padam, akibat luapan amarah yang sedang meledak-ledak dalam dada. Lalu, kulihat ia segera menyembunyikan tangannya di belakang. Aku melihat sebuah map berwarna cokelat ia dipegang erat oleh Paklek Harun. Aku telah mewanti map itu sejak kulihat mereka masuk ke dalam.Paklek hanya diam. Hal itu membuatku semakin naik darah. Aku lupa pada saran Salman untuk bertanya baik-baik pada mereka. Aku sudah cukup baik selama ini dengan mereka, lebih tepatnya cukup banyak diam demi tidak memperkeruh suasana.Aku diam saat kulihat Paklek mengambil uang dari dompet kecil yang ada di bawah kasur Nenek saat ia tertidur. Aku tak memasak untuk mereka, dan mereka menggunakan uang Nenek untuk membeli makanan. Padahal aku tahu, uangnya begitu banyak, tapi p
Bab 60*Tujuh hari acara tahlilan untuk almarhum Nenek berjalan dengan lancar, meskipun tanpa Paklek yang ikut andil membantu. Mereka terkesan tak mau tahu tentang apa saja yang dibutuhkan saat acara tahlilan. Saat siang, kedua Paklekku tak pernah ada di rumah, mungkin takut jika aku meminta uang untuk acara tahlilan. Padahal sepeser pun aku tak pernah menyinggung apalagi meminta.Hanya saja terkadang aku bingung menjawab pertanyaan warga kampung yang datang ke rumah. Mereka menanyakan tentang Paklek, juga Kalila dan Karina yang tak terlihat selama tujuh hari itu.“Paklekmu ke mana, Sekar?” tanya salah satu wanita paruh baya yang membantu memasak siang itu.Aku menatap Bude yang juga spontan menatapku. Sangat bingung. Pun, aku tak tahu mereka pergi ke mana, dan apa alasannya menghindar dari orang-orang yang menghadiri kenduri untuk almarhum.“Udah keluar sebentar, Bu. Mungkin nyari rokok atau apa gitu.” Aku tersenyum pada mereka. Lalu, melanjutkan aktivitasku.“Si Kalila waktu itu ad
Bab 59*Tubuhku terasa begitu lelah, acara tahlilan baru saja selesai. Setelah mencuci muka, aku masuk ke dalam kamar dan mendapati Salman juga tengah bersiap untuk tidur.Rumah ini terasa sangat sepi setelah kepergian Nenek. Seperti tak ada lagi nyawa di dalamnya. Kosong. Seperti kekosongan rasa dekat antara kami sekeluarga. Paklek masih di sini, tapi tak sekalipun mengurus acara tahlilan tadi. Hanya Bude dan para tetangga yang sibuk membantu. Paklek sedari siang pergi entah ke mana, dan pulang saat magrib. Aku tak bertanya, hanya merasa kecewa berkali lipat dalam dada.Aku merebahkan diri di samping Salman. Tubuhku yang lelah seolah ingin segera hanyut dalam lelapnya malam. Namun, aku merasa ada keresahan dalam diri setelah kembali bertemu dengan Udin. Seperti sesuatu yang membuatku tak nyaman.“Capek ya?” tanya Salman yang belum memejamkan mata.Aku mengangguk. Ia tersenyum padaku, tapi aku seolah bisa melihat ada sesuatu yang ingin ditanyakan.“Aku boleh nanya, nggak?” tanyanya k
Bab 58*Aku mengangguk, lalu mengambil benda itu dari tangannya. Ia tersenyum begitu medalinya berpindah tangan padaku. Aku tak merasa berjasa hanya dengan menyarankannya berenang dulu. Namun, aku hanya ingin menghargai usahanya menemuiku untuk memberikan medali itu.“Tadi di ujung lorong, aku melihat Kalila sama Karina, kaca mobilnya terbuka. Aku masih hapal wajah mereka. Mereka mau ke mana?” tanya Udin.Aku menatapnya sejenak, lalu menghela napas lelah. Pertanyaannya kembali mengingatkanku pada dua sepupuku itu. Tentang sikap mereka yang sama sekali tak melihat keadaanku. Mereka tak pernah bisa menepikan rasa egois yang mereka miliki.“Mereka mau pulang.” Aku menjawab dengan suara lirih.“Bukannya Nenek baru saja meninggal?”Aku mengangguk lemah. Kesedihan kembali hadir di hati.“Apa mereka masih seperti dulu?” tanya Udin hati-hati. Mungkin takut jika hatiku terluka, karena mereka saudaraku.Aku mengangguk lemah. “Mereka tidak berubah.”Udin mengangguk mengerti.“Entah kenapa juga