Bab 12*Banjir telah benar-benar surut, semua warga pulang dan membersihkan rumah masing-masing. Seperti halnya aku dan orangtuaku, kami merasa rindu untuk tidur dan beraktivitas di rumah sendiri.Sepanjang jalan perkampungan, di persawahan masih menggenang air karena tentu saja tempatnya lebih rendah. Batang padi terlihat membusuk sebagian, warna hijau menjadi kuning kecokelatan. Warga sudah pasrah dengan hasil panen kali ini. Aku juga sudah pasrah, entah bisa mengganti sepatu baru atau tidak.Sekolah sudah normal seperti biasa, seminggu setelah banjir, aku dihadapkan dengan ujian kenaikan kelas. Dalam hal ini, aku juga pasrah karena di pengungsian aku sama sekali tak belajar, hanya terkadang terlintas hapalan-hapalan yang masih terjaga di kepala. Seminggu setelahnya tentu bukan waktu yang maksimal untuk belajar di ujian kenaikan kelas.Namun, aku tak menyangka dengan hasil yang kudapatkan di sekolah. Napasku sejenak berhenti saat mendengar wali kelas memanggil namaku sebagai murid
Bab 13*“Aku ganti baju dulu, ya, Farah!” Aku berlari sambil berteriak pada Farah. Ia tersenyum, lalu lekas masuk ke dalam rumah.Hari ini aku, Farah, Kalila dan Karina izin tidak mengaji karena ada acara di rumah nenek. Kami bukannya malas mengaji, tapi hanya sesekali libur kupikir tak mengapa. Pun aku sendiri masih ingat hapalan tajwid dan mad yang diajarkan ustadzah.Nenek mengadakan kenduri tahunan untuk mengingat arwah kakek yang telah lama berpulang. Menurut cerita ayah, sudah dua puluh tahun kakek meninggalkan kami. Bahkan aku sendiri belum pernah melihat wajah kakek secara langsung. Aku hanya melihat foto usang di dinding rumah nenek. Foto pernikahan nenek dengan kakek.“Kakek tuh orangnya nggak bisa diem. Semangat kerjanya tinggi banget,” kata ayah.“Dia disiplin banget.” Ayah tampak menerawang ke langit-langit atap rumah kami. Ia sedang mengingat-ingat sosok ayah yang begitu disayang, mungkin juga begitu dirindukan saat itu.“Terus, dia juga suka banget sama anak-anak. Dulu
Bab 14*Gema takbiran berkumandang dari toa masjid. Setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadhan, hari ini kami bisa merayakan lebaran idul Fitri bersama-sama.Tahun ini kebanyakan warga desa mendapatkan hasil panen yang melimpah. Termasuk ibu dan ayahku. Sebab itu aku merasa bahagia sekali karena mereka membelikanku sepasang baju baru dan sandal baru.Aku, ibu dan ayah pergi ke pasar pusat perbelanjaan di tempat kami. Aku naik ojek bersama ibu, sementara ayah sendirian. Membeli baju baru untuk menyambut lebaran adalah salah satu rutinitas yang kurindukan, karena hanya di hari itu aku dibelikan baju. Pun ayah akan berusaha keras untuk memenuhi keinginanku.Mungkin bagi anak yang beruntung, yang terlahir dari keluarga kaya seperti Kalila dan Karina, mereka akan dibelikan baju minimal sebulan satu di pasar pekan. Namun, untuk anak sepertiku, setahun sekali itu sudah jauh lebih mewah daripada tidak ada sama sekali.Aku bersyukur, karena tak hanya bisa membeli baju lebaran, tapi ayah juga
Bab 15*Aku ingat penuturan Kalila saat pengambilan rapor akhir kelas lima.“Lihat aja nanti kelas enam, aku yang akan di posisi itu. Kamu jangan pernah bermimpi.” Dengan wajah merah padam ia berkata padaku hari itu di atas sepedanya.Ternyata itu sama sekali tak terbukti. Aku berturut-turut mendapat rangking satu di kelas. Mereka berdua mendapatkan rangking dua dan tiga. Kulihat Kalila dan Karina makin kesal padaku. Ia menatapku tak pernah bersahabat, makin judes dan makin sering ia membuli. Kadang saat ada kesempatan, ia menolak punggungku dengan sengaja, menahan kaki agar aku tersandung saat masuk kelas. Perilakunya sungguh membuatku tak nyaman.Dalam berbagai kesempatan ia mencoba untuk menang. Mencoba untuk mendapatkan yang terbaik dengan cara menginjakku, dengan cara membuatku sakit hati. Namun, aku tak bisa berbuat banyak, hanya mengabaikan dan menghindar darinya. Aku masih menganggap ia saudara, dan hanya seorang anak kecil yang pikirannya belum dewasa. Tidak mungkin aku bert
Bab 16*Sejak saat itu, aku sudah jarang bermain bersama Kalila dan Karina. Mereka juga tak lagi menggangguku seperti biasa. Hanya saling membuang pandangan saat kami tak sengaja beradu pandang, atau saat di sekolah pun di tempat mengaji kami tak saling sapa jika tak ada keperluan.Satu-satunya teman bermainku adalah Farah. Kami seolah tak bisa dipisahkan oleh apa pun. Dua bocah yang bernasib hampir sama, dengan dua mimpi yang berbeda.Sejak beberapa kali mendapat rangking satu, aku semakin rajin belajar. Selain karena memang menyukai pelajaran, juga untuk bisa mempertahankan nilai-nilaiku. Juga untuk mematahkan penilaian Kalila terhadapku. Dari dulu aku percaya bahwa menjadi lebih baik dari kemarin untuk diri sendiri, adalah balas dendam paling indah.Sayangnya, di tempat mengaji tak diadakan ujian seperti di sekolah. Hanya saja ustadzah sering bertanya pada kami secara mendadak demi menguji ingatan hapalan dan tingkat pemahaman kami. Seperti hari itu, ustadzah cantik yang masih ter
Bab 17*'Mati!’Hanya itu saja yang tersisa di otakku. Dalam beberapa saat aku memikirkan ayah dan ibu, semua kenangan tentang mereka. Setelah itu aku seolah tak punya harapan untuk kembali bernapas ke permukaan. Pandanganku gelap seluruhnya, beberapa kali meneguk air sungai yang berwarna keruh itu. Aku sungguh tak bisa bernapas sama sekali untuk mempertahankan hidup.Kembali teringat kejadian yang sama beberapa bulan yang lalu. Kenangan saat aku dan Kalila terseret arus banjir bersamaan. Lalu, saat aku tersadar, aku menyebut namanya pertama kali. Aku khawatir ia tak bisa selamat. Mungkinkah di atas sana Kalila juga sedang mencemaskanku, sedang meminta pertolongan untuk menyelamatkanku. Namun, sesekali aku seolah tersadar bahwa kaki itu sengaja menyela, menyandung kakiku hingga tubuh ini tercebur ke dalam sungai. Lalu, pergi mungkin menyembunyikan diri.Dalam air, aku benar-benar ketakutan. Takut pada kematian yang segera akan datang. Takut pada buaya yang mungkin saja ada di dalam s
Bab 18*Aku pulang bersama orangtuaku dan Farah. Setelah kejadian itu, di sungai sepi, karena semua orang langsung pulang karena takut. Para orangtua juga mencari anaknya dan menyuruh pulang, khawatir jika mereka ikut tenggelam seperti yang baru saja kualami.“Mandi, Nak!” ucap ibu begitu kami sampai di rumah. Raut wajah ibu saat itu sulit sekali kutebak, hingga kalimat tadi terdengar seperti perintah mutlak yang harus segera kulakukan.Ibu mengambilkan handuk untukku, karena kaki dan seluruh tubuhku kotor, aku tak mungkin masuk ke dalam kamar dalam keadaan seperti itu.Aku mengambil handuk dari tangan ibu, yang bahkan menoleh ke arah lain saat aku menatapnya. Sempat kulihat mata ibu berkaca-kaca, mungkin ia menangis lagi, karena merasa telah gagal menjagaku.Aku tak bertanya, hanya segera pergi ke kamar mandi di belakang rumah dan mengguyur air ke seluruh badan agar bersih. Aku melihat pada kotak yang terbuat dari kayu yang dipaku di batang pohon. Tempat itu biasanya ditaruh sabun,
Bab 19*Lonceng tanda pelajaran usai telah berbunyi. Anak-anak di kelas berhamburan keluar dan melangkah pulang. Aku sedikit tak bersemangat hari ini, karena Farah tidak datang ke sekolah. Tadi pagi saat aku ke rumahnya, ibunya bilang ia sedang sakit. Aku sempat masuk dan memeriksa keadaannya. Badannya terasa panas.“Kamu udah minum obat belum?” tanyaku pada Farah.Gadis itu mengangguk. Suaranya parau karena batuk dan juga pilek secara bersamaan.Aku menarik selimut usangnya hingga ke dada, terlihat bulunya merinding tanda ia kedinginan. Aku jadi khawatir melihat kondisi Farah. Keinginan untuk menjadi dokter kembali hadir di dalam hati. Jika aku bisa menjadi dokter, mungkin saat Farah sakit aku bisa merawatnya dengan baik. Rasanya senang sekali jika bisa merawat sahabat terbaik yang menemaniku selama ini.Aku menghela napas, mencoba untuk lebih semangat ke sekolah. Jujur saja, selain Farah, tak ada yang benar-benar dekat denganku.“Aku sekolah dulu ya.” Aku pamit pada Farah yang terl
Extra Part POV Kalila*Aku pulang dari rumah Nenek setelah seminggu meminta cuti. Percuma saja aku di sana, karena Nenek hanya peduli pada Sekar. Perlakuan Nenek padaku sudah berbeda, ia tak lagi memanjakanku seperti dulu. Aku merasa hanya membuang-buang waktu selama di sana, karena Nenek sama sekali mengabaikanku. Hanya Sekar dan Sekar yang ia layani layaknya ratu. Mungkin karena uangnya lebih banyak dariku, sebab itu Nenek memperlakukan Sekar begitu baik.Hanya Sekar cucu kesayangannya. Sementara aku hanyalah cucu yang tak diacuhkan.Saat Sekar mengirimkan pesan di Instagram, aku tak membalasnya. Memang tak berniat untuk pulang ke rumah Nenek. Untuk apa memangnya? Ia bahkan tak pernah menjengukku di kota ini, ia tak mengerti keadaanku yang super sibuk ini. Bahkan saat ia tinggal bersama ayah, ia tak datang ke tempatku. Aku dengar dari Ayah bahwa Nenek langsung pulang ke kampung.Aku hanya membaca pesan dari Sekar, lalu kuberitahu pada ayah. Saat itu ayah bilang bahwa ia akan pulang
Extra Part POV Karina*Aku duduk di sofa sambil memijat kening yang terasa begitu berdenyut, karena lelahnya seharian bekerja. Jam telah menunjukkan pukul lima sore, dan aku baru pulang.Aku melihat di kamar, suamiku sedang tertidur pulas. Semakin naik pitam aku melihatnya. Ia sangat pemalas, seperti benalu yang hidup dari semua uangku. Dulu, saat awal menikah, ia punya pekerjaan tetap, tapi setelah itu harus kena PHK masal karena perusahaannya bangkrut. Setelah itu, jangankan untuk bekerja, mencari pekerjaan saja ia tak mau. Seperti sudah keenakan hidup di bawah keringatku.Stres aku memikirkan keuangan keluarga. Apalagi anak-anak sudah sekolah, yang tentu akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Gajiku hanya cukup untuk membayar cicilan mobil, menggaji ART, dan biaya sekolah anak-anak. Syukurnya dulu saat Agus masih bekerja, kami mengumpulkan uang untuk membeli rumah.Aku mengambil ponsel dari dalam tas saat benda itu berbunyi. Kulihat nama ibu tertulis di layar.“Halo, Bu!” ucapku di
Extra Part POV Nenek * Aku mengakhiri masa lajangku dengan menikah dan hidup bersama suamiku. Setelah menikah, kami pindah ke Bandung, di salah satu desa di sana. Merantau dari satu kota ke kota mencari pekerjaan, hingga akhirnya kami memilih menetap di kampung. Orang Jawa yang pindah ke tanah Sunda. Kami diterima dengan baik di kampung itu, berbaur dengan orang lain. Hingga aku memiliki tiga orang anak laki-laki, Ridwan, Jamal dan Harun. Ketiganya terlahir dan menjadi anak-anak yang baik, yang akan menjagaku kelak. Namun, di tengah perjalanan hidupku, Ridwan mengecewakanku. Aku begitu membenci sikapnya. Saat kecil, ia kusayangi sepenuh jiwa, tapi ketika ia dewasa, malah mengecewakan karena menikahi perempuan tanpa nasab. Kehidupan terus berjalan, hingga Ridwan pergi untuk selamanya. Hari itu, dua anakku Jamal dan Harun pindah rumah karena mutasi pekerjaan. Keduanya ditempatkan di kota yang sama. Mereka menjual rumah di kampung dan membeli rumah di sana, berencana akan tinggal sel
Bab 63*Aku melahirkan anak pertama. Kebahagiaan semakin lengkap sejak hadirnya sang buah hati dalam rumah tangga kami. Bisnisku semakin lancar, kini aku membuka cabang pabrik lagi di daerah Bekasi. Bisnis Salman juga semakin lancar. Secara ekonomi kami sangat mapan. Aku bersyukur atas kepercayaan Tuhan menitipkan itu semua.Aku menikmati hari-hari di mana aku mengasuh putriku yang kuberi nama Talita. Sejak ia mengeluarkan tangisan pertama di dunia ini, berlanjut saat ia mulai bisa mengeja kosa kata. Aku ingat kosa kata yang pertama ia ucapkan, yaitu mama dan papa. Rasanya aku telah menjadi wanita yang begitu sempurna. Kini, Talita sudah beranjak tiga tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang ceria dan cantik.Satu kata untuk mewakili semua perasaanku saat ini, yaitu bahagia. Terlepas dari apa saja yang terjadi di masa lalu. Itu hanya sejarah di belakang hidupku.Bulan lalu, Salman juga menemukan dua orang adik kakak di jalanan yang katanya sudah tak lagi memiliki orangtua. Mereka mengamen
Bab 62*Hari itu setelah ribut dengan Paklek, aku pulang ke Jakarta. Aku kembali pada rutinitas yang telah lama kutinggalkan.Aku keluar dari rumah Nenek hari itu. Saat aku keluar, kulihat ada beberapa tetangga yang masih berdiri di depan pagar mereka dan menatap prihatin padaku. Aku terus melangkah, karena mereka melihatku menangis. Mereka terlihat kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mencampuri urusan keluarga kami. Tak perlu kuceritakan apa yang terjadi dalam keluargaku, mereka lebih tahu bagaimana kelakuan Paklekku. Mereka tahu Paklek menelantarkan Nenek sekian lamanya, karena terkadang tetangga-tetangga itu juga yang memberikan makanan untuk Nenek.Esoknya, Pak Lurah datang menemuiku di rumah Bude, lelaki paruh baya itu meminta maaf karena sudah menandatangani surat-surat untuk mengurus semuanya.Pak Lurah mengatakan bahwa mereka datang tanpa tingkah mencurigakan sama sekali. Ia sempat bertanya siapa saja yang mendapat warisan, apa aku mendapatkan warisan atau tidak.
Bab 61*“Ke mana surat-surat tanahnya, Paklek?” ulangku lagi menatap tajam keduanya yang baru saja masuk ke dalam rumah.Dua lelaki paruh baya itu saling pandang sejenak, karena melihat ekspresiku yang sedang menahan marah. Aku yakin kini wajahku merah padam, akibat luapan amarah yang sedang meledak-ledak dalam dada. Lalu, kulihat ia segera menyembunyikan tangannya di belakang. Aku melihat sebuah map berwarna cokelat ia dipegang erat oleh Paklek Harun. Aku telah mewanti map itu sejak kulihat mereka masuk ke dalam.Paklek hanya diam. Hal itu membuatku semakin naik darah. Aku lupa pada saran Salman untuk bertanya baik-baik pada mereka. Aku sudah cukup baik selama ini dengan mereka, lebih tepatnya cukup banyak diam demi tidak memperkeruh suasana.Aku diam saat kulihat Paklek mengambil uang dari dompet kecil yang ada di bawah kasur Nenek saat ia tertidur. Aku tak memasak untuk mereka, dan mereka menggunakan uang Nenek untuk membeli makanan. Padahal aku tahu, uangnya begitu banyak, tapi p
Bab 60*Tujuh hari acara tahlilan untuk almarhum Nenek berjalan dengan lancar, meskipun tanpa Paklek yang ikut andil membantu. Mereka terkesan tak mau tahu tentang apa saja yang dibutuhkan saat acara tahlilan. Saat siang, kedua Paklekku tak pernah ada di rumah, mungkin takut jika aku meminta uang untuk acara tahlilan. Padahal sepeser pun aku tak pernah menyinggung apalagi meminta.Hanya saja terkadang aku bingung menjawab pertanyaan warga kampung yang datang ke rumah. Mereka menanyakan tentang Paklek, juga Kalila dan Karina yang tak terlihat selama tujuh hari itu.“Paklekmu ke mana, Sekar?” tanya salah satu wanita paruh baya yang membantu memasak siang itu.Aku menatap Bude yang juga spontan menatapku. Sangat bingung. Pun, aku tak tahu mereka pergi ke mana, dan apa alasannya menghindar dari orang-orang yang menghadiri kenduri untuk almarhum.“Udah keluar sebentar, Bu. Mungkin nyari rokok atau apa gitu.” Aku tersenyum pada mereka. Lalu, melanjutkan aktivitasku.“Si Kalila waktu itu ad
Bab 59*Tubuhku terasa begitu lelah, acara tahlilan baru saja selesai. Setelah mencuci muka, aku masuk ke dalam kamar dan mendapati Salman juga tengah bersiap untuk tidur.Rumah ini terasa sangat sepi setelah kepergian Nenek. Seperti tak ada lagi nyawa di dalamnya. Kosong. Seperti kekosongan rasa dekat antara kami sekeluarga. Paklek masih di sini, tapi tak sekalipun mengurus acara tahlilan tadi. Hanya Bude dan para tetangga yang sibuk membantu. Paklek sedari siang pergi entah ke mana, dan pulang saat magrib. Aku tak bertanya, hanya merasa kecewa berkali lipat dalam dada.Aku merebahkan diri di samping Salman. Tubuhku yang lelah seolah ingin segera hanyut dalam lelapnya malam. Namun, aku merasa ada keresahan dalam diri setelah kembali bertemu dengan Udin. Seperti sesuatu yang membuatku tak nyaman.“Capek ya?” tanya Salman yang belum memejamkan mata.Aku mengangguk. Ia tersenyum padaku, tapi aku seolah bisa melihat ada sesuatu yang ingin ditanyakan.“Aku boleh nanya, nggak?” tanyanya k
Bab 58*Aku mengangguk, lalu mengambil benda itu dari tangannya. Ia tersenyum begitu medalinya berpindah tangan padaku. Aku tak merasa berjasa hanya dengan menyarankannya berenang dulu. Namun, aku hanya ingin menghargai usahanya menemuiku untuk memberikan medali itu.“Tadi di ujung lorong, aku melihat Kalila sama Karina, kaca mobilnya terbuka. Aku masih hapal wajah mereka. Mereka mau ke mana?” tanya Udin.Aku menatapnya sejenak, lalu menghela napas lelah. Pertanyaannya kembali mengingatkanku pada dua sepupuku itu. Tentang sikap mereka yang sama sekali tak melihat keadaanku. Mereka tak pernah bisa menepikan rasa egois yang mereka miliki.“Mereka mau pulang.” Aku menjawab dengan suara lirih.“Bukannya Nenek baru saja meninggal?”Aku mengangguk lemah. Kesedihan kembali hadir di hati.“Apa mereka masih seperti dulu?” tanya Udin hati-hati. Mungkin takut jika hatiku terluka, karena mereka saudaraku.Aku mengangguk lemah. “Mereka tidak berubah.”Udin mengangguk mengerti.“Entah kenapa juga