Bab 44*Aku diperlakukan dengan begitu baik di keluarga baruku. Fika juga seolah mengerti bahwa aku seringkali merasa bosan duduk di rumah. Sebab itu, hari Minggu ia sering mengajakku ke salon kecantikan langganannya. Dia melakukan banyak perawatan, luluran, perawatan wajah dan juga rambutnya. Hasilnya, setelah rutin ke salon, kulitku menjadi lebih bersih dan cerah. Wajahku juga sama sekali tak terlihat dekil seperti dulu. Rambut yang dulu ikal dan kasar, kini menjadi kurus dan lembut. Fika benar-benar mengerti dan menyulapku menjadi bidadari.Hanya saja, mataku membelalak saat mendengar jumlah yang harus dibayar oleh Fika sekali datang ke salon.“Nggak apa-apa Sekar. Duit itu dicari ya untuk dibelanjakan,” ucapnya dengan santai. Sementara aku masih syok dengan jumlah belasan juta dihabiskan hanya untuk pergi ke salon.Terkadang aku menilai mereka terlalu menghambur-hamburkan uang. Itu jika kunilai dari sudut pandangku, tapi jika dari sudut pandang Fika, itu adalah kebutuhan yang har
Bab 45 * Tak hanya Fika yang secara tak langsung mengajarkanku tentang banyak hal, khususnya tentang perempuan. Salman juga mengajarkan banyak hal. Saat tak sibuk, ia akan mengajakku makan di luar. Ia mengajarkan bagaimana sistem di restoran-restoran besar. Cara memesan makanan, cara bersikap tidak kaku di depan orang ramai. Bahkan cara makan dan meletakkan sendok setelah makan. Aku belajar banyak hal dari keluarga baruku, dan aku merasa bahagia dengan itu. Seperti beberapa hari yang lalu, ia mengajakku makan di sebuah restoran. Aku membaca menu di buku yang tersedia, lalu menatapnya bingung. Bingung mau pesan apa, karena tak satupun aku mengenali jenis makanan yang tertulis di sana.Ada satu makanan yang bisa kubayangkan seperti apa, sup jagung. Aku hanya membayangkan jagung sebagai bahan utama, terserah nanti diolah akan seperti apa. Jadi aku katakan pada suamiku bahwa aku memesan menu itu. “Sup jagung di sini juga enak, aku pesan itu juga deh,” ucapnya. Aku mengangguk saja.Tak b
Bab 46*Pagi ini aku terbangun lebih awal dari biasanya. Seperti biasa, saat ada waktu luang aku akan ke dapur dan membantu Simbok yang pastinya sedang memasak. Setelah menunaikan salat subuh, aku turun ke dapur, dan benar saja Simbok sedang sibuk menyiapkan bumbu-bumbu.“Masak apa, Mbok?” tanyaku.Simbok kaget dengan suaraku yang tiba-tiba, aku terkekeh melihatnya. Untung saja ia tidak latah, kalau tidak mungkin bisa memecahkan piring-piring ke lantai.“Semalam nyonya minta dimasakin nasi lemak sama mie goreng, udah lama nggak makan katanya.”Aku mengangguk dan melihat beberapa bumbu yang telah disiapkan Simbok.“Sekar bantu rebus mienya ya.”Simbok sudah bosan melarangku, karena sekuat apapun ia melarang, aku akan tetap membantunya. Bosan. Hitung-hitung aku juga belajar masak darinya. Pernah suatu hari saat aku sedang membantu Simbok memasak, Tante Rita datang untuk mengambil minuman karena perawatnya sedang minta izin keluar sebentar. Tante melihat aku di dapur sedang merajang bu
Bab 47*Setelah beberapa kali Salman mengajarkanku mengemudi mobil, akhirnya aku bisa dan terbiasa, meskipun awalnya masih tak berani mengemudi di jalan raya. Namun, terkadang saat Fika mengajakku keluar, ia menyuruhku untuk menyetir, agar lebih mahir katanya.Banyak hal yang sudah bisa kulakukan. Aku bertranformasi banyak hal, dari gadis desa yang tak tahu apa-apa, hingga menjadi perempuan yang lebih baik. Salman juga menawarkan untuk belajar bisnis agar bisa masuk ke perusahaan.“Kamu mau kuliah bisnis?” tanyanya suatu malam.Aku menatapnya sejenak, lalu tertawa dengan pertanyaannya.“Tau kan umurku sekarang berapa?” tanyaku.Ia mengerutkan kening. “Kenapa memangnya?”Umurku beberapa bulan lagi akan mencapai tiga puluh tahun waktu itu. Sementara Salman sudah berumur tiga puluh dua tahun, dua tahun selisih dariku. Mungkin untuk masuk universitas itu tak ada masalahnya, tapi tetap saja aku merasa sudah tua untuk itu.“Aku nggak mau sekelas sama adek-adek imut yang baru lulus SMA.” Ak
Bab 48.Setelah mendengar nasihat Tante Rita dan motivasi dari Salman, aku kembali melakukan apa yang sempat kurencanakan untuk berhenti. Aku kembali menjual keripik. Mereka masih mempromosikan seperti biasa. Pertalian promosi dari orang-orang di rumah, berlanjut ke saling promo antar pegawai.Aku juga menelepon Farah dan memberitahu bahwa aku memulai bisnis itu lagi. Aku meminta doa Bude agar usahaku lancar jaya tanpa ada kendala tertentu.Doa Bude selalu yang terbaik untukku. Ah, rindu sekali menatap wajahnya dan Farah. Namun, sayangnya Farah masih menggunakan ponsel poliponik yang sama seperti saat terakhir kami bertemu. Ingin aku membelikan ponsel android untuknya agar bisa melakukan video call, tapi aku tak mungkin meminta uang pada Salman. Terkesan terlalu manja, meskipun tak seberapa. Aku tak terbiasa seperti itu, mungkin banyak hal bisa berubah dariku, tapi tidak dengan sikap. Uang tabunganku pun hanya tersisa sedikit karena sudah kupakai untuk modal utama penjualan keripik.
Bab 49*Jam di ponselku telah menunjukkan pukul sepuluh pagi saat aku dan Farah baru saja pulang dari pasar.Semalam diam-diam aku melihat nenek menangis di ranjangnya. Ia memunggungi ke arah dinding agar aku tak melihatnya. Namun, aku merasa ada yang disembunyikan, kesedihannya ia simpan sendiri dan tak dibagi denganku. Sesekali ia batuk tercampur dengan isak yang ditahan.Hati orang tua itu rentan sekali, aku mencoba mendekat dan bertanya dengan hati-hati, karena merasa ada yang tidak beres.“Nek, ada apa?” tanyaku membelai punggung kurusnya.Ia menggeleng, lalu menghadapku.“Sudah dua tahun nenek nggak buat kenduri arwah. Nanti malam harusnya bertepatan dengan hari kakek meninggal.” Nenek berkata lirih.Aku menggigit bibir bawah, menahan air mata yang hendak keluar. Aku merasa bersalah dengan tangisannya, ia bahkan memendam sendiri untuk hal seperti itu. Mungkin karena rasa bersalah di masa lalu, ia tak berani meminta padaku.“Maaf ya, Nek. Sekar lupa.” Aku menggenggam tangan tuan
Bab 50*Acara kenduri arwah telah selesai dengan lancar. Saat berdoa, nenek tak ikut bersama, hanya mengaminkan di ranjangnya sambil tiduran. Kondisinya terlihat semakin lemah, sudah jarang sekali duduk meskipun di ranjang. Bahkan saat makan, sudah sering kusuapi sambil tidur. Sayangnya ia sama sekali tak ingin ke rumah sakit.Beberapa hari lalu, aku bahkan membeli kursi roda agar mudah jika ingin dimandikan.Acara telah selesai, setelah makan-makan, aku membereskan dapur dibantu Bude dan Farah. Mulai dari lap kompor, mencuci piring dan lain sebagainya. Tak ada yang membantu. Kalila beralasan masih lelah, sementara Karina beralasan ingin menidurkan anaknya yang masih balita itu. Aku tak memaksa, karena malas berbicara banyak dengan mereka. Hanya Paklek yang ikut berdoa bersama tamu tadi. Ia juga yang membantu menghidangkan makanan untuk tamu.Hingga setelah semuanya selesai, aku kembali bertanya pada nenek.“Mau makan lagi?”Nenek menggeleng. Tadi ia sudah makan setelah magrib. Aku b
Bab 51*“Mas, kenapa? Pasti ada sesuatu, kan?” Aku mendesak suamiku untuk menjawab. Rasa penasaranku sedang memuncak.Salman hanya menatapku.“Aku nggak bisa tidur kalau penasaran.” Aku berkata lagi. Ia malah tersenyum melihat raut wajahku yang penasaran, karena jujur aku juga merasa ada yang aneh dari suami Kalila.“Aku kenal dia, cuma sekadar diam-diam kenal,” ucap lelaki yang tidur di sampingku. “Kenal dari beberapa kenalanku, mereka cerita tentang dia.”“Maksudnya gimana? Kalian kenal, tapi kenapa seolah tak kenal?” Aku mencoba berpikir, tapi tak mendapat pemahaman. Malam itu saat Salman datang, lelaki itu hanya sejenak berdiri di dekat pintu kamar, lalu kembali masuk. Salman juga tak terlihat seperti orang yang mengenalinya.“Dia nggak kenal aku. Suami Kalila terkenal di kalangan pengusaha.”“Suami Kalila kerja di perusahaan juga? Atau punya bisnis juga.”Salman mengangguk, tapi setelah itu ia malah tersenyum miring.“Bisnis obat-obatan terlarang. Dia jualan barang terlarang itu
Extra Part POV Kalila*Aku pulang dari rumah Nenek setelah seminggu meminta cuti. Percuma saja aku di sana, karena Nenek hanya peduli pada Sekar. Perlakuan Nenek padaku sudah berbeda, ia tak lagi memanjakanku seperti dulu. Aku merasa hanya membuang-buang waktu selama di sana, karena Nenek sama sekali mengabaikanku. Hanya Sekar dan Sekar yang ia layani layaknya ratu. Mungkin karena uangnya lebih banyak dariku, sebab itu Nenek memperlakukan Sekar begitu baik.Hanya Sekar cucu kesayangannya. Sementara aku hanyalah cucu yang tak diacuhkan.Saat Sekar mengirimkan pesan di Instagram, aku tak membalasnya. Memang tak berniat untuk pulang ke rumah Nenek. Untuk apa memangnya? Ia bahkan tak pernah menjengukku di kota ini, ia tak mengerti keadaanku yang super sibuk ini. Bahkan saat ia tinggal bersama ayah, ia tak datang ke tempatku. Aku dengar dari Ayah bahwa Nenek langsung pulang ke kampung.Aku hanya membaca pesan dari Sekar, lalu kuberitahu pada ayah. Saat itu ayah bilang bahwa ia akan pulang
Extra Part POV Karina*Aku duduk di sofa sambil memijat kening yang terasa begitu berdenyut, karena lelahnya seharian bekerja. Jam telah menunjukkan pukul lima sore, dan aku baru pulang.Aku melihat di kamar, suamiku sedang tertidur pulas. Semakin naik pitam aku melihatnya. Ia sangat pemalas, seperti benalu yang hidup dari semua uangku. Dulu, saat awal menikah, ia punya pekerjaan tetap, tapi setelah itu harus kena PHK masal karena perusahaannya bangkrut. Setelah itu, jangankan untuk bekerja, mencari pekerjaan saja ia tak mau. Seperti sudah keenakan hidup di bawah keringatku.Stres aku memikirkan keuangan keluarga. Apalagi anak-anak sudah sekolah, yang tentu akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Gajiku hanya cukup untuk membayar cicilan mobil, menggaji ART, dan biaya sekolah anak-anak. Syukurnya dulu saat Agus masih bekerja, kami mengumpulkan uang untuk membeli rumah.Aku mengambil ponsel dari dalam tas saat benda itu berbunyi. Kulihat nama ibu tertulis di layar.“Halo, Bu!” ucapku di
Extra Part POV Nenek * Aku mengakhiri masa lajangku dengan menikah dan hidup bersama suamiku. Setelah menikah, kami pindah ke Bandung, di salah satu desa di sana. Merantau dari satu kota ke kota mencari pekerjaan, hingga akhirnya kami memilih menetap di kampung. Orang Jawa yang pindah ke tanah Sunda. Kami diterima dengan baik di kampung itu, berbaur dengan orang lain. Hingga aku memiliki tiga orang anak laki-laki, Ridwan, Jamal dan Harun. Ketiganya terlahir dan menjadi anak-anak yang baik, yang akan menjagaku kelak. Namun, di tengah perjalanan hidupku, Ridwan mengecewakanku. Aku begitu membenci sikapnya. Saat kecil, ia kusayangi sepenuh jiwa, tapi ketika ia dewasa, malah mengecewakan karena menikahi perempuan tanpa nasab. Kehidupan terus berjalan, hingga Ridwan pergi untuk selamanya. Hari itu, dua anakku Jamal dan Harun pindah rumah karena mutasi pekerjaan. Keduanya ditempatkan di kota yang sama. Mereka menjual rumah di kampung dan membeli rumah di sana, berencana akan tinggal sel
Bab 63*Aku melahirkan anak pertama. Kebahagiaan semakin lengkap sejak hadirnya sang buah hati dalam rumah tangga kami. Bisnisku semakin lancar, kini aku membuka cabang pabrik lagi di daerah Bekasi. Bisnis Salman juga semakin lancar. Secara ekonomi kami sangat mapan. Aku bersyukur atas kepercayaan Tuhan menitipkan itu semua.Aku menikmati hari-hari di mana aku mengasuh putriku yang kuberi nama Talita. Sejak ia mengeluarkan tangisan pertama di dunia ini, berlanjut saat ia mulai bisa mengeja kosa kata. Aku ingat kosa kata yang pertama ia ucapkan, yaitu mama dan papa. Rasanya aku telah menjadi wanita yang begitu sempurna. Kini, Talita sudah beranjak tiga tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang ceria dan cantik.Satu kata untuk mewakili semua perasaanku saat ini, yaitu bahagia. Terlepas dari apa saja yang terjadi di masa lalu. Itu hanya sejarah di belakang hidupku.Bulan lalu, Salman juga menemukan dua orang adik kakak di jalanan yang katanya sudah tak lagi memiliki orangtua. Mereka mengamen
Bab 62*Hari itu setelah ribut dengan Paklek, aku pulang ke Jakarta. Aku kembali pada rutinitas yang telah lama kutinggalkan.Aku keluar dari rumah Nenek hari itu. Saat aku keluar, kulihat ada beberapa tetangga yang masih berdiri di depan pagar mereka dan menatap prihatin padaku. Aku terus melangkah, karena mereka melihatku menangis. Mereka terlihat kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mencampuri urusan keluarga kami. Tak perlu kuceritakan apa yang terjadi dalam keluargaku, mereka lebih tahu bagaimana kelakuan Paklekku. Mereka tahu Paklek menelantarkan Nenek sekian lamanya, karena terkadang tetangga-tetangga itu juga yang memberikan makanan untuk Nenek.Esoknya, Pak Lurah datang menemuiku di rumah Bude, lelaki paruh baya itu meminta maaf karena sudah menandatangani surat-surat untuk mengurus semuanya.Pak Lurah mengatakan bahwa mereka datang tanpa tingkah mencurigakan sama sekali. Ia sempat bertanya siapa saja yang mendapat warisan, apa aku mendapatkan warisan atau tidak.
Bab 61*“Ke mana surat-surat tanahnya, Paklek?” ulangku lagi menatap tajam keduanya yang baru saja masuk ke dalam rumah.Dua lelaki paruh baya itu saling pandang sejenak, karena melihat ekspresiku yang sedang menahan marah. Aku yakin kini wajahku merah padam, akibat luapan amarah yang sedang meledak-ledak dalam dada. Lalu, kulihat ia segera menyembunyikan tangannya di belakang. Aku melihat sebuah map berwarna cokelat ia dipegang erat oleh Paklek Harun. Aku telah mewanti map itu sejak kulihat mereka masuk ke dalam.Paklek hanya diam. Hal itu membuatku semakin naik darah. Aku lupa pada saran Salman untuk bertanya baik-baik pada mereka. Aku sudah cukup baik selama ini dengan mereka, lebih tepatnya cukup banyak diam demi tidak memperkeruh suasana.Aku diam saat kulihat Paklek mengambil uang dari dompet kecil yang ada di bawah kasur Nenek saat ia tertidur. Aku tak memasak untuk mereka, dan mereka menggunakan uang Nenek untuk membeli makanan. Padahal aku tahu, uangnya begitu banyak, tapi p
Bab 60*Tujuh hari acara tahlilan untuk almarhum Nenek berjalan dengan lancar, meskipun tanpa Paklek yang ikut andil membantu. Mereka terkesan tak mau tahu tentang apa saja yang dibutuhkan saat acara tahlilan. Saat siang, kedua Paklekku tak pernah ada di rumah, mungkin takut jika aku meminta uang untuk acara tahlilan. Padahal sepeser pun aku tak pernah menyinggung apalagi meminta.Hanya saja terkadang aku bingung menjawab pertanyaan warga kampung yang datang ke rumah. Mereka menanyakan tentang Paklek, juga Kalila dan Karina yang tak terlihat selama tujuh hari itu.“Paklekmu ke mana, Sekar?” tanya salah satu wanita paruh baya yang membantu memasak siang itu.Aku menatap Bude yang juga spontan menatapku. Sangat bingung. Pun, aku tak tahu mereka pergi ke mana, dan apa alasannya menghindar dari orang-orang yang menghadiri kenduri untuk almarhum.“Udah keluar sebentar, Bu. Mungkin nyari rokok atau apa gitu.” Aku tersenyum pada mereka. Lalu, melanjutkan aktivitasku.“Si Kalila waktu itu ad
Bab 59*Tubuhku terasa begitu lelah, acara tahlilan baru saja selesai. Setelah mencuci muka, aku masuk ke dalam kamar dan mendapati Salman juga tengah bersiap untuk tidur.Rumah ini terasa sangat sepi setelah kepergian Nenek. Seperti tak ada lagi nyawa di dalamnya. Kosong. Seperti kekosongan rasa dekat antara kami sekeluarga. Paklek masih di sini, tapi tak sekalipun mengurus acara tahlilan tadi. Hanya Bude dan para tetangga yang sibuk membantu. Paklek sedari siang pergi entah ke mana, dan pulang saat magrib. Aku tak bertanya, hanya merasa kecewa berkali lipat dalam dada.Aku merebahkan diri di samping Salman. Tubuhku yang lelah seolah ingin segera hanyut dalam lelapnya malam. Namun, aku merasa ada keresahan dalam diri setelah kembali bertemu dengan Udin. Seperti sesuatu yang membuatku tak nyaman.“Capek ya?” tanya Salman yang belum memejamkan mata.Aku mengangguk. Ia tersenyum padaku, tapi aku seolah bisa melihat ada sesuatu yang ingin ditanyakan.“Aku boleh nanya, nggak?” tanyanya k
Bab 58*Aku mengangguk, lalu mengambil benda itu dari tangannya. Ia tersenyum begitu medalinya berpindah tangan padaku. Aku tak merasa berjasa hanya dengan menyarankannya berenang dulu. Namun, aku hanya ingin menghargai usahanya menemuiku untuk memberikan medali itu.“Tadi di ujung lorong, aku melihat Kalila sama Karina, kaca mobilnya terbuka. Aku masih hapal wajah mereka. Mereka mau ke mana?” tanya Udin.Aku menatapnya sejenak, lalu menghela napas lelah. Pertanyaannya kembali mengingatkanku pada dua sepupuku itu. Tentang sikap mereka yang sama sekali tak melihat keadaanku. Mereka tak pernah bisa menepikan rasa egois yang mereka miliki.“Mereka mau pulang.” Aku menjawab dengan suara lirih.“Bukannya Nenek baru saja meninggal?”Aku mengangguk lemah. Kesedihan kembali hadir di hati.“Apa mereka masih seperti dulu?” tanya Udin hati-hati. Mungkin takut jika hatiku terluka, karena mereka saudaraku.Aku mengangguk lemah. “Mereka tidak berubah.”Udin mengangguk mengerti.“Entah kenapa juga