Bab 28*Aku pulang ke rumah nenek setelah membelikan ponsel untuk Farah. Ia banyak menolak merek ponsel ini itu, karena takut kemahalan. Padahal aku tak masalah dengan itu. Nanti juga aku yang perlu jika ingin menghubungi dan ingin melihat wajahnya.“Ini berapa?” tanyaku pada pelayan toko.“Empat juta, Mba. RAM-nya lebih gede.”Aku mengangguk, sementara Farah menatapku tak enak. Ia berbisik agar tak terdengar oleh penjaga toko.“Yang murah aja, yang penting bisa video call,” bisik Farah. Aku tersenyum.“Yaudah yang ini aja, Mas.” Aku memutuskan untuk mengambil android keluaran terbaru yang harganya empat juta.Farah mendelik padaku, ia masih saja sungkan dengan keputusanku. Aku membayarkan uang sesuai harga, lalu keluar dari toko setelah mengambil barang dan mengucapkan terima kasih.“Ngapain sih beli kayak ginian. Yang dua juta tadi kan ada. Buang-buang duit.” Farah mengomeliku di dalam mobil.Aku bukannya ingin pamer uang, tapi hanya memberikan yang terbaik untuknya. Bahkan itu tid
Bab 29*Kami pernah berada di posisi hidup tenang karena bisa memiliki satu dua karung kecil beras yang akan tahan untuk beberapa waktu. Kami pernah rutin makan ikan-ikan enak, dan tak perlu memikirkan untuk masak apa hari ini. Bagi orang lain itu biasa, tapi bagi aku dan keluarga itu mewah. Saat itu bisnis kecil-kecilan keripik ibu sudah mulai dikenal hingga ke kampung-kampung tetangga, dan konsumennya sudah sampai ke orang-orang di kecamatan. Apalagi saat menjelang lebaran, aku dan ibu menerima banyak orderan. Sepertinya Tuhan memang menunjukkan jalan rezeki dari jualan keripik.Ibu menjual keripik singkong original, dan ada juga keripik pedas. Kami sangat menikmati masa-masa berjualan dan menerima orderan. Pun saat itu ayah masih bekerja di pasar, bekerja serabutan, jadi sedikit-sedikit menambah perekonomian keluarga.Meskipun tak bisa membajak sawah, tapi Tuhan memberikan jalan rezeki di bidang lain. Terkadang, aku juga menerima pesanan dari guru yang menyukai keripik ibu yang me
Bab 30*Setelah kepergian ayah, aku hidup bersama ibu. Sama-sama mengais rezeki dengan cara menjual keripik. Usaha kami masih sama larisnya seperti dulu, meskipun tidak menjadikan kami kaya, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tanpa ayah sebagai tulang punggung keluarga.Rasa kehilangan itu tetap ada, tetap menyiksa dan tak hilang sampai kapan pun. Aku dan ibu saling menguatkan, meski seringkali kulihat ibu diam-diam menangis di dalam kamar.Malam itu aku tertidur di dalam kamar, ibu juga sudah tidur di kamarnya. Namun, di kesunyian malam aku terjaga dan mendengar suara isakan dari dalam kamar ibu. Aku bangun dari ranjang, dan mengintip lewat pintu kamar ibu. Kulihat perempuan itu sedang meringkuk dalam isaknya yang terdengar pilu. Tangannya membelai lembut bagian kasur yang kosong, menyiratkan ia begitu kesepian tanpa ayah. Ibu benar-benar kehilangan sebagian dari jiwanya.Aku yang melihatnya merasa begitu sesak, lalu ikut terisak di balik pintu.Perlahan tanganku membu
Bab 31*Aku masih berjuang di sekolah untuk menjadi yang terbaik. Menjadi yang lebih baik dari diriku sebelumnya, karena lawan paling sulit dikalahkan adalah diri sendiri. Aku belajar dengan giat hingga saat ujian kenaikan kelas, aku berhasil menduduki rangking tiga dari dua puluh siswa lainnya.Hasil dari jualan keripik tak lagi membuatku harus menukar piala dengan uang bulanan. Ibu bisa membayar rutin uang bulananku, meskipun aku tahu ia mengurangi kebutuhan lainnya hanya karena ingin memperioritaskan sekolahku.Setiap hari aku melalui aktivitas yang sama. Pagi berangkat sekolah, siang sampai sore membantu ibu menggoreng keripik dan mengantar untuk pembeli. Malamnya, aku mengambil waktu untuk belajar.Seperti perputaran siang dan malam, usaha keripik ibu juga ada fase naik turun. Pernah sampai merasa lelah melakukan pekerjaan itu, juga pernah sampai rindu untuk mengulang sebanyak pekerjaan itu. Seperti saat ini, hari-hari, ibu hanya mengandalkan keripik yang dititipkan di beberapa
Bab 32*Kehidupan terus berlanjut. Kudengar Kalila sudah mengandung anak pertama. Sementara Karina belum kudengar kehamilannya. Mendengar Kalila yang sebentar lagi akan memiliki anak, membuatku ingin seperti dia. Namun, sampai saat ini tak ada lelaki yang datang melamarku. Aku juga tak pernah menjalin hubungan spesial dengan lelaki. Entahlah. Aku merasa takut. Bayangan kalimat nenek yang pernah ibu ceritakan selalu terbayang dalam pikiranku. Serupa bisikan yang terus mengintai setiap saat. Bisikan yang sangat mengerikan menghantui hidupku.'Penerus aib.’'Penerus aib.’‘Penerus aib.’Kalimat yang diucapkan nenek ketika aku lahir, karena bagi nenek menikah dengan orang seperti ibu, sama saja artinya dengan menciptakan keturunan haram.Dua kata itu sangat memengaruhi pikiranku yang enggan dekat dengan lelaki. Aku hanya tak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Aku memiliki tujuan yang sama dengan ibu, yaitu membuktikan bahwa aku bisa tumbuh dengan baik dan berada di jalan yang ben
Bab 33*Aku masih bolak balik ke rumah sakit, mendapat perawatan seadanya, karena ibu tak mau dibawa ke tempat yang lebih jauh lagi. Ia tak tega melihatku yang sendirian merawatnya, yang tak tidur demi menjaganya. Pun sebenarnya aku sudah tak memiliki buang untuk itu, tapi aku masih kuat, aku akan berusaha untuk mendapatkan uang demi kesembuhan ibu.Semua uang yang kupunya sudah dipakai untuk biaya pengobatan ibu. Uang yang tak banyak itu tentu tak cukup untuk menghidupi kami. Aku pernah berada di titik sama sekali tak memiliki beras untuk dimasak, lalu kebingungan di dekat dapur. Bingung harus memasak apa, karena ada atau tidak, aku harus memberikan makanan untuk ibu agar ia lebih bertenaga. Kadang pernah terpikirkan untuk datang ke rumah Nenek, dan meminta belas kasihan. Meminta sedikit beras untuk dimasak, dan akan kubayar saat gajian.Luka-luka di kaki ibu semakin menjalar, cairan berbau tak sedap keluar hingga membasahi perban. Sebab itu, aku seringkali menyuruh seorang perawat
Bab 34*Aku bertahan dalam kesulitan yang kuhadapi. Ibu juga bertahan semampunya, ia bahkan jarang sekali mengeluh kesakitan. Padahal tubuhnya semakin hari semakin kurus, sangat terasa saat aku memijitnya, hanya tinggal tulang yang terbungkus kulit. Dagingnya terus menyusut tak lagi berisi seperti dulu.Kehidupan saat itu benar-benar, bahkan aku kehabisan cara untuk bersedih dan meratapi nasib.Kadang ada tetangga yang datang menjenguk dan memberikan sedikit bantuan berupa uang untuk ibu, hanya tetangga-tetangga dekat yang merasa kasihan melihat aku dan ibu. Hanya orang-orang yang merasa iba pada kami. Sedangkan Nenek tak datang sama sekali. Hal itu tak lagi kupikirkan, meski tetap akan menjadi beban pikiran dan sumber kesedihan.Ketika sebuah hubungan renggang, seperti aku dan nenek, kebanyakan orang-orang akan bertanya padaku tentang sebabnya. Kenapa, ada apa, seharusnya begini, begitu.“Nggak baik marahan sama orang yang udah tua, apalagi nenek sendiri.” Nasehat berbalut penghakim
Bab 35*Aku terpuruk. Jiwaku kosong setelah kepergian ibu. Aku kehilangan dua orang yang paling berharga dalam hidupku dalam waktu yang berbeda. Luka kehilangan ayah belum sembuh sepenuhnya, ditambah ibu yang pergi untuk selamanya.Pandanganku masih sering kosong pada tempat-tempat di mana orangtuaku sering duduk. Di mana mereka sering melakukan aktivitasnya di rumah ini. Pernah suatu siang, aku terbangun dengan tergesa karena merasa sedang pagi dan telah bangun kesiangan. Aku terus keluar kamar dan bertanya seperti kebiasaanku.“Bu, Sekar tolong apa? Apa yang bisa dibantu. Maaf, Sekar kesiangan.” Aku bertanya pada Ibu yang sedang memasak di pagi hari seperti biasanya. Aku seolah mendengar suara seseorang sedang mengaduk sesuatu di dapur. Lalu, saat nyawaku terkumpul sepenuhnya, aku baru menyadari bahwa aku hanya berbicara dengan diri sendiri. Kosong. Sepi.Pernah juga aku terjaga di tengah malam, dan spontan bertanya.“Bu, mau minum? Ibu nggak bisa tidur, mana yang sakit?”Kembali s