Bab 30*Setelah kepergian ayah, aku hidup bersama ibu. Sama-sama mengais rezeki dengan cara menjual keripik. Usaha kami masih sama larisnya seperti dulu, meskipun tidak menjadikan kami kaya, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tanpa ayah sebagai tulang punggung keluarga.Rasa kehilangan itu tetap ada, tetap menyiksa dan tak hilang sampai kapan pun. Aku dan ibu saling menguatkan, meski seringkali kulihat ibu diam-diam menangis di dalam kamar.Malam itu aku tertidur di dalam kamar, ibu juga sudah tidur di kamarnya. Namun, di kesunyian malam aku terjaga dan mendengar suara isakan dari dalam kamar ibu. Aku bangun dari ranjang, dan mengintip lewat pintu kamar ibu. Kulihat perempuan itu sedang meringkuk dalam isaknya yang terdengar pilu. Tangannya membelai lembut bagian kasur yang kosong, menyiratkan ia begitu kesepian tanpa ayah. Ibu benar-benar kehilangan sebagian dari jiwanya.Aku yang melihatnya merasa begitu sesak, lalu ikut terisak di balik pintu.Perlahan tanganku membu
Bab 31*Aku masih berjuang di sekolah untuk menjadi yang terbaik. Menjadi yang lebih baik dari diriku sebelumnya, karena lawan paling sulit dikalahkan adalah diri sendiri. Aku belajar dengan giat hingga saat ujian kenaikan kelas, aku berhasil menduduki rangking tiga dari dua puluh siswa lainnya.Hasil dari jualan keripik tak lagi membuatku harus menukar piala dengan uang bulanan. Ibu bisa membayar rutin uang bulananku, meskipun aku tahu ia mengurangi kebutuhan lainnya hanya karena ingin memperioritaskan sekolahku.Setiap hari aku melalui aktivitas yang sama. Pagi berangkat sekolah, siang sampai sore membantu ibu menggoreng keripik dan mengantar untuk pembeli. Malamnya, aku mengambil waktu untuk belajar.Seperti perputaran siang dan malam, usaha keripik ibu juga ada fase naik turun. Pernah sampai merasa lelah melakukan pekerjaan itu, juga pernah sampai rindu untuk mengulang sebanyak pekerjaan itu. Seperti saat ini, hari-hari, ibu hanya mengandalkan keripik yang dititipkan di beberapa
Bab 32*Kehidupan terus berlanjut. Kudengar Kalila sudah mengandung anak pertama. Sementara Karina belum kudengar kehamilannya. Mendengar Kalila yang sebentar lagi akan memiliki anak, membuatku ingin seperti dia. Namun, sampai saat ini tak ada lelaki yang datang melamarku. Aku juga tak pernah menjalin hubungan spesial dengan lelaki. Entahlah. Aku merasa takut. Bayangan kalimat nenek yang pernah ibu ceritakan selalu terbayang dalam pikiranku. Serupa bisikan yang terus mengintai setiap saat. Bisikan yang sangat mengerikan menghantui hidupku.'Penerus aib.’'Penerus aib.’‘Penerus aib.’Kalimat yang diucapkan nenek ketika aku lahir, karena bagi nenek menikah dengan orang seperti ibu, sama saja artinya dengan menciptakan keturunan haram.Dua kata itu sangat memengaruhi pikiranku yang enggan dekat dengan lelaki. Aku hanya tak ingin kejadian yang sama terulang kembali. Aku memiliki tujuan yang sama dengan ibu, yaitu membuktikan bahwa aku bisa tumbuh dengan baik dan berada di jalan yang ben
Bab 33*Aku masih bolak balik ke rumah sakit, mendapat perawatan seadanya, karena ibu tak mau dibawa ke tempat yang lebih jauh lagi. Ia tak tega melihatku yang sendirian merawatnya, yang tak tidur demi menjaganya. Pun sebenarnya aku sudah tak memiliki buang untuk itu, tapi aku masih kuat, aku akan berusaha untuk mendapatkan uang demi kesembuhan ibu.Semua uang yang kupunya sudah dipakai untuk biaya pengobatan ibu. Uang yang tak banyak itu tentu tak cukup untuk menghidupi kami. Aku pernah berada di titik sama sekali tak memiliki beras untuk dimasak, lalu kebingungan di dekat dapur. Bingung harus memasak apa, karena ada atau tidak, aku harus memberikan makanan untuk ibu agar ia lebih bertenaga. Kadang pernah terpikirkan untuk datang ke rumah Nenek, dan meminta belas kasihan. Meminta sedikit beras untuk dimasak, dan akan kubayar saat gajian.Luka-luka di kaki ibu semakin menjalar, cairan berbau tak sedap keluar hingga membasahi perban. Sebab itu, aku seringkali menyuruh seorang perawat
Bab 34*Aku bertahan dalam kesulitan yang kuhadapi. Ibu juga bertahan semampunya, ia bahkan jarang sekali mengeluh kesakitan. Padahal tubuhnya semakin hari semakin kurus, sangat terasa saat aku memijitnya, hanya tinggal tulang yang terbungkus kulit. Dagingnya terus menyusut tak lagi berisi seperti dulu.Kehidupan saat itu benar-benar, bahkan aku kehabisan cara untuk bersedih dan meratapi nasib.Kadang ada tetangga yang datang menjenguk dan memberikan sedikit bantuan berupa uang untuk ibu, hanya tetangga-tetangga dekat yang merasa kasihan melihat aku dan ibu. Hanya orang-orang yang merasa iba pada kami. Sedangkan Nenek tak datang sama sekali. Hal itu tak lagi kupikirkan, meski tetap akan menjadi beban pikiran dan sumber kesedihan.Ketika sebuah hubungan renggang, seperti aku dan nenek, kebanyakan orang-orang akan bertanya padaku tentang sebabnya. Kenapa, ada apa, seharusnya begini, begitu.“Nggak baik marahan sama orang yang udah tua, apalagi nenek sendiri.” Nasehat berbalut penghakim
Bab 35*Aku terpuruk. Jiwaku kosong setelah kepergian ibu. Aku kehilangan dua orang yang paling berharga dalam hidupku dalam waktu yang berbeda. Luka kehilangan ayah belum sembuh sepenuhnya, ditambah ibu yang pergi untuk selamanya.Pandanganku masih sering kosong pada tempat-tempat di mana orangtuaku sering duduk. Di mana mereka sering melakukan aktivitasnya di rumah ini. Pernah suatu siang, aku terbangun dengan tergesa karena merasa sedang pagi dan telah bangun kesiangan. Aku terus keluar kamar dan bertanya seperti kebiasaanku.“Bu, Sekar tolong apa? Apa yang bisa dibantu. Maaf, Sekar kesiangan.” Aku bertanya pada Ibu yang sedang memasak di pagi hari seperti biasanya. Aku seolah mendengar suara seseorang sedang mengaduk sesuatu di dapur. Lalu, saat nyawaku terkumpul sepenuhnya, aku baru menyadari bahwa aku hanya berbicara dengan diri sendiri. Kosong. Sepi.Pernah juga aku terjaga di tengah malam, dan spontan bertanya.“Bu, mau minum? Ibu nggak bisa tidur, mana yang sakit?”Kembali s
Bab 36*Pagi itu aku bangun dengan bersemangat untuk mengantarkan keripik pesanan pelanggan. Sejak bangun subuh, aku begitu bahagia hingga Bude yang melihatnya pun ikut senang. Paling tidak, aku merasa terhibur dengan pesanan pertamanya.Semalam, Bude dan Farah juga ikut membantu untuk mengemas keripik dan siap untuk diantar.Aku pamit pada Bude dengan menenteng dua plastik besar yang di dalamnya berisi keripik. Dari rumah, aku naik ojek dan naik kendaraan umum untuk sampai di alamat tujuan.Sebuah hotel di Jl. Angkasa no. 15 Bandung menjadi tujuanku. Aku belum pernah ke sana sebelumnya, belum pernah ke hotel dan tentu tidak tahu dunia perhotelan. Namun, aku merasa tidak perlu tahu banyak hal saat ini, karena aku hanya mengantar keripik dan pelanggan sudah menunggu di sana sesuai dengan yang dijanjikan.Aku menaiki angkutan umum yang menuju ke tempat tujuan. Hanya beberapa orang di dalam angkot, sebab itu mobilnya belum jalan. Mereka menatapku penasaran. Penasaran dengan apa yang ku
Bab 37*Setelah hari itu, aku seolah terhipnotis dengan pesona lelaki itu. Bayangnya mengikuti ke mana-mana. Saat aku akan tidur, bayangan itu masih tak ingin hilang. Bahkan kadang saat membantu Bude memasak, aku tersenyum sendiri hingga membuat Bude bertanya.“Tumben sekali senyum-senyum sendiri, dapet rejeki nomplok ya?” Bude menggoda.“Iya, kan, kemarin Sekar dapet rezeki banyak,” ucapku setengah nyengir.Bude menggeleng sambil tertawa pelan, “bukan itu!”“Terus?”“Kamu lagi jatuh cinta, kan?” tembak Bude tepat sasaran.Wajahku terasa menghangat, aku menunduk agar tak begitu kentara ditebak perasaan ini. Untuk seseorang yang belum pernah jatuh cinta, lucu sekali rasanya, lucu sekali saat dilihat oleh orang lain.“Siapa?” tanya Bude lagi.Aku bingung harus menjawab apa, karena tak mungkin juga aku mengatakan jatuh cinta dengan bayangan. Orang-orang akan menganggapku gila jika seperti itu. Gila bayang.Aku sejenak merenung tentang perasaan aneh yang saat ini bersemayam dalam diri. M