Bab 24*Aku sudah tahu semua rahasia masa lalu ibu, awalnya aku masih saja menangis ketika mengingat semua itu. Atas dasar apa seseorang melarang untuk saling jatuh cinta dan menikah? Aku rasa itu hak mereka yang memiliki cinta.Tentang nasab ibu, ia juga tak pernah meminta untuk dilahirkan dari rahim siapa, dengan latar belakang apa. Ibu tak salah, sama sekali tak salah, tapi perbuatan ibunya yang salah. Namun, manusia kerap kali menyamaratakan kesalahan. Kesalahan yang akan diungkit sampai anak cucu.Lama-kelamaan aku tak menangis lagi tentang itu. Hanya rasa ikhlas dan penerimaan yang kuusahakan hadir dalam hati. Aku masih terus sekolah, letaknya juga tak jauh dari kampungku. Jika dulu hanya berjalan kaki sejauh beberapa meter dari rumah. Maka sekarang jaraknya sedikit lebih jauh lagi. Sekolah SMA berada di ujung desa tetangga. Satu-satunya sekolah SMA yang ada di kecamatan kami. Sedangkan Kalila dan Karina, mereka sekolah di kecamatan yang berbeda, yang lebih maju dari sekolah k
Bab 25*Siang itu aku pulang ke rumah. Kulihat dari pintu kamar yang terbuka, ibu sedang salat dhuhur begitu aku masuk dan membuka sepatu. Aku masuk ke dalam kamar dan mengganti baju sekolah dengan baju rumahan. Setelah keluar dari kamar, ibu juga keluar dari kamar sudah selesai salat.“Makan, Nak.” Ibu berjalan ke rak piring untuk makan siang.“Iya,” jawabku.“Ayah pulang siang tadi?” tanyaku.“Iya, tapi udah pergi lagi.” Ibu memberitahu.“Bu, Sekar ada sesuatu nih.” Aku berkata dengan riangnya.“Apa?” tanya ibu sambil mengerutkan keningnya.Aku kembali masuk ke kamar, dan mengambil sesuatu dari dalam tas sekolah. Lalu, keluar kembali menemui di mana ibu duduk dengan piring di tangannya. Ia tak jadi menyendok nasi karena ucapanku seakan menahan aktivitasnya.“Sekar tadi menang lomba nulis puisi,” ucapku dengan mata yang berbinar. Tanganku mengulurkan sertifikat ke arah ibu agar ia melihatnya.Ibu mengambil sertifikat dari tanganku, ia membaca berulang kali nama yang tertera di sana
Bab 26*Pagi.Dari dapur, aku mendengar nenek memanggilku dengan suara lirih. Bahkan aku sering tak bisa mendengar dengan jelas suara nenek jika dari jarak jauh. Seperti sekarang ini, nenek masih di ranjang di ruang tengah, mungkin ia baru terbangun.Merasa dipanggil, aku menghentikan aktivitas memasak di dapur. Ingin bertanya apa yang barusan nenek katakan. Aku mendekat, nenek sudah duduk di ranjang dan melihat aku yang mendekat.“Apa tadi, Nek?” tanyaku.Aku mengulurkan tangan untuk menyanggul rambutnya. Rambutnya tipis dan sepenuhnya telah memutih itu, aku sanggul dengan sangat tidak elegan. Ya, aku tidak bisa menyanggul rambut orang lain. Berbeda rasanya dengan menyanggul rambut sendiri, bisa dirasakan sendiri.Tiba-tiba nenek tertawa hingga terdengar di telingaku, aku menatap wajahnya dari depan. Segaris senyuman masih tersisa di wajah keriputnya.Aku jadi mengerutkan kening, lalu sadar apa yang membuat nenek tertawa. “Nenek nggak nyaman ya? Sekar nggak bisa nyanggul rambut oran
Bab 27*Setelah melihat nenek tidur kembali, aku keluar dari rumah setelah mendapat izinnya. Aku pergi menemui Farah yang entah kenapa sampai saat ini ia tak datang menemuiku. Padahal rindu sekali aku padanya. Sejak aku menikah, kami tak pernah bertemu. Hanya sesekali aku menghubungi Farah, atau sebaliknya. Aku ingin melihat wajahnya sekarang, selama kami saling berhubungan di telepon, tapi ia tak pernah melakukan video call, karena Farah masih menggunakan ponsel poliponik yang hanya bisa mengirimkan pesan dan telepon.Aku keluar rumah dan menutup pintu, lalu melangkah pelan ke rumah Farah. Rumah yang dulu sering kujadikan tempat bermain, ada banyak kenangan juga di rumah itu. Kenangan menunggu Farah saat akan ke sekolah dan mengaji. Semua kenangan masa kecil kami bermain bersama.Dari jauh kulihat pintu rumah kayu itu terbuka, halamannya bersih seperti baru saja disapu, menandakan ada orang di dalam sana. Rumah yang telah lama tak kulihat itu semakin terlihat lapuk. Kayu-kayunya sud
Bab 28*Aku pulang ke rumah nenek setelah membelikan ponsel untuk Farah. Ia banyak menolak merek ponsel ini itu, karena takut kemahalan. Padahal aku tak masalah dengan itu. Nanti juga aku yang perlu jika ingin menghubungi dan ingin melihat wajahnya.“Ini berapa?” tanyaku pada pelayan toko.“Empat juta, Mba. RAM-nya lebih gede.”Aku mengangguk, sementara Farah menatapku tak enak. Ia berbisik agar tak terdengar oleh penjaga toko.“Yang murah aja, yang penting bisa video call,” bisik Farah. Aku tersenyum.“Yaudah yang ini aja, Mas.” Aku memutuskan untuk mengambil android keluaran terbaru yang harganya empat juta.Farah mendelik padaku, ia masih saja sungkan dengan keputusanku. Aku membayarkan uang sesuai harga, lalu keluar dari toko setelah mengambil barang dan mengucapkan terima kasih.“Ngapain sih beli kayak ginian. Yang dua juta tadi kan ada. Buang-buang duit.” Farah mengomeliku di dalam mobil.Aku bukannya ingin pamer uang, tapi hanya memberikan yang terbaik untuknya. Bahkan itu tid
Bab 29*Kami pernah berada di posisi hidup tenang karena bisa memiliki satu dua karung kecil beras yang akan tahan untuk beberapa waktu. Kami pernah rutin makan ikan-ikan enak, dan tak perlu memikirkan untuk masak apa hari ini. Bagi orang lain itu biasa, tapi bagi aku dan keluarga itu mewah. Saat itu bisnis kecil-kecilan keripik ibu sudah mulai dikenal hingga ke kampung-kampung tetangga, dan konsumennya sudah sampai ke orang-orang di kecamatan. Apalagi saat menjelang lebaran, aku dan ibu menerima banyak orderan. Sepertinya Tuhan memang menunjukkan jalan rezeki dari jualan keripik.Ibu menjual keripik singkong original, dan ada juga keripik pedas. Kami sangat menikmati masa-masa berjualan dan menerima orderan. Pun saat itu ayah masih bekerja di pasar, bekerja serabutan, jadi sedikit-sedikit menambah perekonomian keluarga.Meskipun tak bisa membajak sawah, tapi Tuhan memberikan jalan rezeki di bidang lain. Terkadang, aku juga menerima pesanan dari guru yang menyukai keripik ibu yang me
Bab 30*Setelah kepergian ayah, aku hidup bersama ibu. Sama-sama mengais rezeki dengan cara menjual keripik. Usaha kami masih sama larisnya seperti dulu, meskipun tidak menjadikan kami kaya, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tanpa ayah sebagai tulang punggung keluarga.Rasa kehilangan itu tetap ada, tetap menyiksa dan tak hilang sampai kapan pun. Aku dan ibu saling menguatkan, meski seringkali kulihat ibu diam-diam menangis di dalam kamar.Malam itu aku tertidur di dalam kamar, ibu juga sudah tidur di kamarnya. Namun, di kesunyian malam aku terjaga dan mendengar suara isakan dari dalam kamar ibu. Aku bangun dari ranjang, dan mengintip lewat pintu kamar ibu. Kulihat perempuan itu sedang meringkuk dalam isaknya yang terdengar pilu. Tangannya membelai lembut bagian kasur yang kosong, menyiratkan ia begitu kesepian tanpa ayah. Ibu benar-benar kehilangan sebagian dari jiwanya.Aku yang melihatnya merasa begitu sesak, lalu ikut terisak di balik pintu.Perlahan tanganku membu
Bab 31*Aku masih berjuang di sekolah untuk menjadi yang terbaik. Menjadi yang lebih baik dari diriku sebelumnya, karena lawan paling sulit dikalahkan adalah diri sendiri. Aku belajar dengan giat hingga saat ujian kenaikan kelas, aku berhasil menduduki rangking tiga dari dua puluh siswa lainnya.Hasil dari jualan keripik tak lagi membuatku harus menukar piala dengan uang bulanan. Ibu bisa membayar rutin uang bulananku, meskipun aku tahu ia mengurangi kebutuhan lainnya hanya karena ingin memperioritaskan sekolahku.Setiap hari aku melalui aktivitas yang sama. Pagi berangkat sekolah, siang sampai sore membantu ibu menggoreng keripik dan mengantar untuk pembeli. Malamnya, aku mengambil waktu untuk belajar.Seperti perputaran siang dan malam, usaha keripik ibu juga ada fase naik turun. Pernah sampai merasa lelah melakukan pekerjaan itu, juga pernah sampai rindu untuk mengulang sebanyak pekerjaan itu. Seperti saat ini, hari-hari, ibu hanya mengandalkan keripik yang dititipkan di beberapa