Bab 21*Aku pulang bersama ibu dengan menaiki ojek. Kami sedikit berjalan kaki hingga sampai di pasar untuk menemukan ojek yang akan mengantar kami ke rumah. Sengatan matahari terlalu menambah rasa lelahku. Aku masih mengenakan seragam sekolah dan sandal jepit, sementara rambut terasa sudah bau matahari.Kira-kira lima menit perjalanan kami sampai di rumah. Dalam perjalanan aku dan ibu sama sekali tidak berbicara. Aku penuh dengan pikiranku sendiri, sementara ibu kurasa juga sama. Entah apa yang ia pikirkan lagi. Ibu hanya berbicara saat tukang ojek menanyakan akan diantar ke mana. Masuk ke mana lagi untuk sampai rumah, itu saja.“Lurus, ada kedai kopi, terus masuk lorong, Pak.” Ibu memberikan jawaban untuk tukang ojek yang umurnya terlihat lebih tua dari ayah.Sampai. Aku dan ibu sudah sampai di rumah. Dari bagian pinggang kain jarik yang ia kenakan, kulihat ia mengambil uang untuk membayar.“Makasih, Bu,” ucap bapak tukang ojek sebelum berbelok kembali ke pasar.Ibu hanya menganggu
Bab 22*Hari berlalu begitu cepat. Aku semakin tumbuh seiring usia yang bertambah. Sejak banyak kejadian yang membahayakan bagiku, aku tak lagi berteman dengan Kalila dan Karina. Aku ingat saat itu sudah masuk SMP, sekolah yang ada di sebelah Sekolah Dasar kami dulu. Kami masuk di sekolah yang sama, pun saat itu sekolah masih gratis atas dasar wajib belajar sembilan tahun.Aku benar-benar menghindari Kalila juga Karina. Begitu pun dengan mereka, syukurnya aku tak lagi sekelas dengan dua sepupuku itu. Di Sekolah Menengah sudah jauh lebih banyak kelasnya. Kelas tujuh saja ada sekitar empat kelas dengan maksimal dua puluh lima siswa.Kami benar-benar seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal. Seperti orang lain, dan bukan saudara. Aku tidak marah, aku hanya menjaga diri seperti yang ibu katakan.Hingga kami beranjak SMA, aku sudah benar-benar jarang bertemu dengan dua sepupuku itu. Mereka sekolah di SMA yang berbeda denganku. Sekolah yang tentu lebih unggul dengan biaya yang l
Bab 23*“Bu, kenapa tanah Bu Halimah, kenapa bukan punya nenek?”Aku terus mengejar ibu dengan pertanyaan. Perasaanku begitu rumit dan kalut, susah kujelaskan saat itu. Seumur hidupku aku mengira tanah yang dibajak oleh ibu dan ayah adalah tanah nenek, karena ia punya banyak tanah dan kebun.“Memang dari awal punya Bu Halimah, Sekar.” Ibu menjawab lesu. Aku tahu perasaannya kini sedang tak baik-baik saja. Terlalu banyak yang ia pikirkan ke depannya.“Tapi, kenapa? Sekar pengen tahu alasannya, Bu.”Aku menangis saat itu, karena rasa kecewa yang mendalam yang dibuat oleh entah siapa. Nenek, atau malah diriku sendiri yang terlalu berharap tinggi.Tanah yang selama ini dibajak oleh ayah dan ibu adalah milik Bu Halimah, yang saat panen akan dibagikan separuh hasilnya. Aku bahkan tak pernah tahu ayah membagi hasilnya, karena aku hanya melihat hasilnya setelah dibawa pulang ke rumah.“Duduk!” ucap ibu yang kini telah duduk di dipan. Aku mengikuti perintahnya, duduk di sebelah ibu dan menat
Bab 24*Aku sudah tahu semua rahasia masa lalu ibu, awalnya aku masih saja menangis ketika mengingat semua itu. Atas dasar apa seseorang melarang untuk saling jatuh cinta dan menikah? Aku rasa itu hak mereka yang memiliki cinta.Tentang nasab ibu, ia juga tak pernah meminta untuk dilahirkan dari rahim siapa, dengan latar belakang apa. Ibu tak salah, sama sekali tak salah, tapi perbuatan ibunya yang salah. Namun, manusia kerap kali menyamaratakan kesalahan. Kesalahan yang akan diungkit sampai anak cucu.Lama-kelamaan aku tak menangis lagi tentang itu. Hanya rasa ikhlas dan penerimaan yang kuusahakan hadir dalam hati. Aku masih terus sekolah, letaknya juga tak jauh dari kampungku. Jika dulu hanya berjalan kaki sejauh beberapa meter dari rumah. Maka sekarang jaraknya sedikit lebih jauh lagi. Sekolah SMA berada di ujung desa tetangga. Satu-satunya sekolah SMA yang ada di kecamatan kami. Sedangkan Kalila dan Karina, mereka sekolah di kecamatan yang berbeda, yang lebih maju dari sekolah k
Bab 25*Siang itu aku pulang ke rumah. Kulihat dari pintu kamar yang terbuka, ibu sedang salat dhuhur begitu aku masuk dan membuka sepatu. Aku masuk ke dalam kamar dan mengganti baju sekolah dengan baju rumahan. Setelah keluar dari kamar, ibu juga keluar dari kamar sudah selesai salat.“Makan, Nak.” Ibu berjalan ke rak piring untuk makan siang.“Iya,” jawabku.“Ayah pulang siang tadi?” tanyaku.“Iya, tapi udah pergi lagi.” Ibu memberitahu.“Bu, Sekar ada sesuatu nih.” Aku berkata dengan riangnya.“Apa?” tanya ibu sambil mengerutkan keningnya.Aku kembali masuk ke kamar, dan mengambil sesuatu dari dalam tas sekolah. Lalu, keluar kembali menemui di mana ibu duduk dengan piring di tangannya. Ia tak jadi menyendok nasi karena ucapanku seakan menahan aktivitasnya.“Sekar tadi menang lomba nulis puisi,” ucapku dengan mata yang berbinar. Tanganku mengulurkan sertifikat ke arah ibu agar ia melihatnya.Ibu mengambil sertifikat dari tanganku, ia membaca berulang kali nama yang tertera di sana
Bab 26*Pagi.Dari dapur, aku mendengar nenek memanggilku dengan suara lirih. Bahkan aku sering tak bisa mendengar dengan jelas suara nenek jika dari jarak jauh. Seperti sekarang ini, nenek masih di ranjang di ruang tengah, mungkin ia baru terbangun.Merasa dipanggil, aku menghentikan aktivitas memasak di dapur. Ingin bertanya apa yang barusan nenek katakan. Aku mendekat, nenek sudah duduk di ranjang dan melihat aku yang mendekat.“Apa tadi, Nek?” tanyaku.Aku mengulurkan tangan untuk menyanggul rambutnya. Rambutnya tipis dan sepenuhnya telah memutih itu, aku sanggul dengan sangat tidak elegan. Ya, aku tidak bisa menyanggul rambut orang lain. Berbeda rasanya dengan menyanggul rambut sendiri, bisa dirasakan sendiri.Tiba-tiba nenek tertawa hingga terdengar di telingaku, aku menatap wajahnya dari depan. Segaris senyuman masih tersisa di wajah keriputnya.Aku jadi mengerutkan kening, lalu sadar apa yang membuat nenek tertawa. “Nenek nggak nyaman ya? Sekar nggak bisa nyanggul rambut oran
Bab 27*Setelah melihat nenek tidur kembali, aku keluar dari rumah setelah mendapat izinnya. Aku pergi menemui Farah yang entah kenapa sampai saat ini ia tak datang menemuiku. Padahal rindu sekali aku padanya. Sejak aku menikah, kami tak pernah bertemu. Hanya sesekali aku menghubungi Farah, atau sebaliknya. Aku ingin melihat wajahnya sekarang, selama kami saling berhubungan di telepon, tapi ia tak pernah melakukan video call, karena Farah masih menggunakan ponsel poliponik yang hanya bisa mengirimkan pesan dan telepon.Aku keluar rumah dan menutup pintu, lalu melangkah pelan ke rumah Farah. Rumah yang dulu sering kujadikan tempat bermain, ada banyak kenangan juga di rumah itu. Kenangan menunggu Farah saat akan ke sekolah dan mengaji. Semua kenangan masa kecil kami bermain bersama.Dari jauh kulihat pintu rumah kayu itu terbuka, halamannya bersih seperti baru saja disapu, menandakan ada orang di dalam sana. Rumah yang telah lama tak kulihat itu semakin terlihat lapuk. Kayu-kayunya sud
Bab 28*Aku pulang ke rumah nenek setelah membelikan ponsel untuk Farah. Ia banyak menolak merek ponsel ini itu, karena takut kemahalan. Padahal aku tak masalah dengan itu. Nanti juga aku yang perlu jika ingin menghubungi dan ingin melihat wajahnya.“Ini berapa?” tanyaku pada pelayan toko.“Empat juta, Mba. RAM-nya lebih gede.”Aku mengangguk, sementara Farah menatapku tak enak. Ia berbisik agar tak terdengar oleh penjaga toko.“Yang murah aja, yang penting bisa video call,” bisik Farah. Aku tersenyum.“Yaudah yang ini aja, Mas.” Aku memutuskan untuk mengambil android keluaran terbaru yang harganya empat juta.Farah mendelik padaku, ia masih saja sungkan dengan keputusanku. Aku membayarkan uang sesuai harga, lalu keluar dari toko setelah mengambil barang dan mengucapkan terima kasih.“Ngapain sih beli kayak ginian. Yang dua juta tadi kan ada. Buang-buang duit.” Farah mengomeliku di dalam mobil.Aku bukannya ingin pamer uang, tapi hanya memberikan yang terbaik untuknya. Bahkan itu tid
Extra Part POV Kalila*Aku pulang dari rumah Nenek setelah seminggu meminta cuti. Percuma saja aku di sana, karena Nenek hanya peduli pada Sekar. Perlakuan Nenek padaku sudah berbeda, ia tak lagi memanjakanku seperti dulu. Aku merasa hanya membuang-buang waktu selama di sana, karena Nenek sama sekali mengabaikanku. Hanya Sekar dan Sekar yang ia layani layaknya ratu. Mungkin karena uangnya lebih banyak dariku, sebab itu Nenek memperlakukan Sekar begitu baik.Hanya Sekar cucu kesayangannya. Sementara aku hanyalah cucu yang tak diacuhkan.Saat Sekar mengirimkan pesan di Instagram, aku tak membalasnya. Memang tak berniat untuk pulang ke rumah Nenek. Untuk apa memangnya? Ia bahkan tak pernah menjengukku di kota ini, ia tak mengerti keadaanku yang super sibuk ini. Bahkan saat ia tinggal bersama ayah, ia tak datang ke tempatku. Aku dengar dari Ayah bahwa Nenek langsung pulang ke kampung.Aku hanya membaca pesan dari Sekar, lalu kuberitahu pada ayah. Saat itu ayah bilang bahwa ia akan pulang
Extra Part POV Karina*Aku duduk di sofa sambil memijat kening yang terasa begitu berdenyut, karena lelahnya seharian bekerja. Jam telah menunjukkan pukul lima sore, dan aku baru pulang.Aku melihat di kamar, suamiku sedang tertidur pulas. Semakin naik pitam aku melihatnya. Ia sangat pemalas, seperti benalu yang hidup dari semua uangku. Dulu, saat awal menikah, ia punya pekerjaan tetap, tapi setelah itu harus kena PHK masal karena perusahaannya bangkrut. Setelah itu, jangankan untuk bekerja, mencari pekerjaan saja ia tak mau. Seperti sudah keenakan hidup di bawah keringatku.Stres aku memikirkan keuangan keluarga. Apalagi anak-anak sudah sekolah, yang tentu akan mengeluarkan biaya yang tinggi. Gajiku hanya cukup untuk membayar cicilan mobil, menggaji ART, dan biaya sekolah anak-anak. Syukurnya dulu saat Agus masih bekerja, kami mengumpulkan uang untuk membeli rumah.Aku mengambil ponsel dari dalam tas saat benda itu berbunyi. Kulihat nama ibu tertulis di layar.“Halo, Bu!” ucapku di
Extra Part POV Nenek * Aku mengakhiri masa lajangku dengan menikah dan hidup bersama suamiku. Setelah menikah, kami pindah ke Bandung, di salah satu desa di sana. Merantau dari satu kota ke kota mencari pekerjaan, hingga akhirnya kami memilih menetap di kampung. Orang Jawa yang pindah ke tanah Sunda. Kami diterima dengan baik di kampung itu, berbaur dengan orang lain. Hingga aku memiliki tiga orang anak laki-laki, Ridwan, Jamal dan Harun. Ketiganya terlahir dan menjadi anak-anak yang baik, yang akan menjagaku kelak. Namun, di tengah perjalanan hidupku, Ridwan mengecewakanku. Aku begitu membenci sikapnya. Saat kecil, ia kusayangi sepenuh jiwa, tapi ketika ia dewasa, malah mengecewakan karena menikahi perempuan tanpa nasab. Kehidupan terus berjalan, hingga Ridwan pergi untuk selamanya. Hari itu, dua anakku Jamal dan Harun pindah rumah karena mutasi pekerjaan. Keduanya ditempatkan di kota yang sama. Mereka menjual rumah di kampung dan membeli rumah di sana, berencana akan tinggal sel
Bab 63*Aku melahirkan anak pertama. Kebahagiaan semakin lengkap sejak hadirnya sang buah hati dalam rumah tangga kami. Bisnisku semakin lancar, kini aku membuka cabang pabrik lagi di daerah Bekasi. Bisnis Salman juga semakin lancar. Secara ekonomi kami sangat mapan. Aku bersyukur atas kepercayaan Tuhan menitipkan itu semua.Aku menikmati hari-hari di mana aku mengasuh putriku yang kuberi nama Talita. Sejak ia mengeluarkan tangisan pertama di dunia ini, berlanjut saat ia mulai bisa mengeja kosa kata. Aku ingat kosa kata yang pertama ia ucapkan, yaitu mama dan papa. Rasanya aku telah menjadi wanita yang begitu sempurna. Kini, Talita sudah beranjak tiga tahun. Ia tumbuh menjadi anak yang ceria dan cantik.Satu kata untuk mewakili semua perasaanku saat ini, yaitu bahagia. Terlepas dari apa saja yang terjadi di masa lalu. Itu hanya sejarah di belakang hidupku.Bulan lalu, Salman juga menemukan dua orang adik kakak di jalanan yang katanya sudah tak lagi memiliki orangtua. Mereka mengamen
Bab 62*Hari itu setelah ribut dengan Paklek, aku pulang ke Jakarta. Aku kembali pada rutinitas yang telah lama kutinggalkan.Aku keluar dari rumah Nenek hari itu. Saat aku keluar, kulihat ada beberapa tetangga yang masih berdiri di depan pagar mereka dan menatap prihatin padaku. Aku terus melangkah, karena mereka melihatku menangis. Mereka terlihat kasihan, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Tak bisa mencampuri urusan keluarga kami. Tak perlu kuceritakan apa yang terjadi dalam keluargaku, mereka lebih tahu bagaimana kelakuan Paklekku. Mereka tahu Paklek menelantarkan Nenek sekian lamanya, karena terkadang tetangga-tetangga itu juga yang memberikan makanan untuk Nenek.Esoknya, Pak Lurah datang menemuiku di rumah Bude, lelaki paruh baya itu meminta maaf karena sudah menandatangani surat-surat untuk mengurus semuanya.Pak Lurah mengatakan bahwa mereka datang tanpa tingkah mencurigakan sama sekali. Ia sempat bertanya siapa saja yang mendapat warisan, apa aku mendapatkan warisan atau tidak.
Bab 61*“Ke mana surat-surat tanahnya, Paklek?” ulangku lagi menatap tajam keduanya yang baru saja masuk ke dalam rumah.Dua lelaki paruh baya itu saling pandang sejenak, karena melihat ekspresiku yang sedang menahan marah. Aku yakin kini wajahku merah padam, akibat luapan amarah yang sedang meledak-ledak dalam dada. Lalu, kulihat ia segera menyembunyikan tangannya di belakang. Aku melihat sebuah map berwarna cokelat ia dipegang erat oleh Paklek Harun. Aku telah mewanti map itu sejak kulihat mereka masuk ke dalam.Paklek hanya diam. Hal itu membuatku semakin naik darah. Aku lupa pada saran Salman untuk bertanya baik-baik pada mereka. Aku sudah cukup baik selama ini dengan mereka, lebih tepatnya cukup banyak diam demi tidak memperkeruh suasana.Aku diam saat kulihat Paklek mengambil uang dari dompet kecil yang ada di bawah kasur Nenek saat ia tertidur. Aku tak memasak untuk mereka, dan mereka menggunakan uang Nenek untuk membeli makanan. Padahal aku tahu, uangnya begitu banyak, tapi p
Bab 60*Tujuh hari acara tahlilan untuk almarhum Nenek berjalan dengan lancar, meskipun tanpa Paklek yang ikut andil membantu. Mereka terkesan tak mau tahu tentang apa saja yang dibutuhkan saat acara tahlilan. Saat siang, kedua Paklekku tak pernah ada di rumah, mungkin takut jika aku meminta uang untuk acara tahlilan. Padahal sepeser pun aku tak pernah menyinggung apalagi meminta.Hanya saja terkadang aku bingung menjawab pertanyaan warga kampung yang datang ke rumah. Mereka menanyakan tentang Paklek, juga Kalila dan Karina yang tak terlihat selama tujuh hari itu.“Paklekmu ke mana, Sekar?” tanya salah satu wanita paruh baya yang membantu memasak siang itu.Aku menatap Bude yang juga spontan menatapku. Sangat bingung. Pun, aku tak tahu mereka pergi ke mana, dan apa alasannya menghindar dari orang-orang yang menghadiri kenduri untuk almarhum.“Udah keluar sebentar, Bu. Mungkin nyari rokok atau apa gitu.” Aku tersenyum pada mereka. Lalu, melanjutkan aktivitasku.“Si Kalila waktu itu ad
Bab 59*Tubuhku terasa begitu lelah, acara tahlilan baru saja selesai. Setelah mencuci muka, aku masuk ke dalam kamar dan mendapati Salman juga tengah bersiap untuk tidur.Rumah ini terasa sangat sepi setelah kepergian Nenek. Seperti tak ada lagi nyawa di dalamnya. Kosong. Seperti kekosongan rasa dekat antara kami sekeluarga. Paklek masih di sini, tapi tak sekalipun mengurus acara tahlilan tadi. Hanya Bude dan para tetangga yang sibuk membantu. Paklek sedari siang pergi entah ke mana, dan pulang saat magrib. Aku tak bertanya, hanya merasa kecewa berkali lipat dalam dada.Aku merebahkan diri di samping Salman. Tubuhku yang lelah seolah ingin segera hanyut dalam lelapnya malam. Namun, aku merasa ada keresahan dalam diri setelah kembali bertemu dengan Udin. Seperti sesuatu yang membuatku tak nyaman.“Capek ya?” tanya Salman yang belum memejamkan mata.Aku mengangguk. Ia tersenyum padaku, tapi aku seolah bisa melihat ada sesuatu yang ingin ditanyakan.“Aku boleh nanya, nggak?” tanyanya k
Bab 58*Aku mengangguk, lalu mengambil benda itu dari tangannya. Ia tersenyum begitu medalinya berpindah tangan padaku. Aku tak merasa berjasa hanya dengan menyarankannya berenang dulu. Namun, aku hanya ingin menghargai usahanya menemuiku untuk memberikan medali itu.“Tadi di ujung lorong, aku melihat Kalila sama Karina, kaca mobilnya terbuka. Aku masih hapal wajah mereka. Mereka mau ke mana?” tanya Udin.Aku menatapnya sejenak, lalu menghela napas lelah. Pertanyaannya kembali mengingatkanku pada dua sepupuku itu. Tentang sikap mereka yang sama sekali tak melihat keadaanku. Mereka tak pernah bisa menepikan rasa egois yang mereka miliki.“Mereka mau pulang.” Aku menjawab dengan suara lirih.“Bukannya Nenek baru saja meninggal?”Aku mengangguk lemah. Kesedihan kembali hadir di hati.“Apa mereka masih seperti dulu?” tanya Udin hati-hati. Mungkin takut jika hatiku terluka, karena mereka saudaraku.Aku mengangguk lemah. “Mereka tidak berubah.”Udin mengangguk mengerti.“Entah kenapa juga