“... Hng ....”
Bibir Kirana terbuka sedikit, dia mengerang pelan di sela-sela merasakan nyeri hebat yang menyerang kepala belakang. Dia paksa mata sayunya untuk terbuka, dia berkedip-kedip lemah menyisir tempat dia terduduk lemah saat ini. Dia berada di dalam mobil keluarga serba hitam beraroma sabun mandi, sepertinya dia tahu mobil siapa yang sedang dia tumpangi.
“Kamu udah bangun, Na?”
Kirana langsung memejamkan mata sewaktu dia tangkap suara dari kursi pengemudi di sebelah, suara Akbar. “Maaf ya aku gak bangunin kamu, soalnya kamu tadi lumayan parah mabuknya, aku jadi gak enak buat ganggu.” lanjutnya.
“Hm ...” Kirana menggumam cuek. “Kita di mana, nih?”
“Di depan kos kamu, aku mau gendong ke dalam tapi kuncinya sama kamu.”
Kirana mendengus sebal sambil merogoh tas sandangnya yang berbahan kulit asli (harus banget diperjelas). “Jadi kalo gue gak bangun, lu bakal nunggu di sini sampe pagi? Jangan gila lu!” ocehnya seraya menyerahkan kunci pada Akbar. Dalam kondisi belum sepenuhnya sadar pun, Kirana masih punya banyak tenaga untuk menaikkan suara.
“Maaf ... Habis aku takut kalo aku ganggu tidur kamu, kamunya malah lebih marah.”
“Maaf! Maaf! Cukup mpok Minah aja yang dikit-dikit minta maaf, lu jangan ikutan! Gih, sono, bukain pintu.” Mentang-mentang Akbar baik hati, Kirana jadi suka melunjak, sebaiknya Kirana banyak-banyak berharap Akbar bukan psikopat kalau mau selamat.
“Iya, aku bukain bentar ya.” Akbar melempar senyum manis andalan yang sukses membuat bulu kuduk Kirana berdiri.
“Jangan senyum-senyum lu sama gue, gue males liatnya!” amuk Kirana selaras tangannya mendorong lengan Akbar agar bergegas keluar dari mobil.
Indekos Kirana berada di rumah paling pojok kanan sebuah bedeng lima. Meski dia bersebelahan dengan empat tetangga, tak satu pun dia kenali mereka. Berdasarkan pengalaman hidup Kirana selama hampir dua puluh lima tahun, tetangga tak ubahnya program rumpi no secret, radar Kirana sudah dari jauh-jauh hari memberi kode lebih baik radiasi beberapa meter dari mereka biar hidup lebih damai sentosa. Nyatanya, ilmu terapan itu sangat berguna, Kirana memang bisa tinggal bebas pulang-pergi semaunya tanpa memikirkan apa kata tetangga.
Seusai membuka pintu dan menyalakan lampu ruang tamu, tugas Akbar selanjutnya adalah menggotong tubuh Kirana masuk ke dalam, tepatnya, cukup membantu memegangi satu tangan Kirana supaya dia tidak terjerembap ke dalam comberan seperti yang sudah-sudah.
Pandangan Kirana lumayan berputar, indekosnya dari depan tampak seolah sedang goyang dombret. Untung dia berhasil sampai di ruang tamu dengan selamat berkat Akbar. Ruang berukuran sepetak kecil yang hanya muat menampung beberapa orang itu diisi sebuah kasur lantai dan TV tabung 21 inch, dibanding disebut ruang tamu memang lebih cocok disebut ruang menonton.
“Hadeuh ... Pegel banget badan gue,” erang Kirana. Dia nyalakan TV setelah berbaring biar suasana tidak terlalu sunyi. “Lu belum pulang?” Sampai dia sadar bahwa Akbar masih bengong di hadapannya.
“Aku bikinin susu buat kamu, ya? Biar sisa mabuk kamu hilang.” Akbar tidak menjawab pertanyaan Kirana, malah menawarkan bantuan lagi.
“Terserah lu, deh,” sahut Kirana cuek.
Akbar beranjak ke dapur yang tak kalah sempit dari ruang tamu. Satu gelas susu hangat dia seduh. Kirana habiskan hanya dalam tiga teguk. “Lu masih belum pulang? Apa lagi, sih?” tanya Kirana makin dongkol, empet juga lama-lama melihat muka lugu Akbar.
Akbar meremas-remas jemari lentiknya di atas paha, dia jilati bibir untuk mengusir rasa gugup. “Ada yang mau aku omongin, Na.” lirihnya cemas-cemas basah(maksudnya bibirnya yang basah).
“Hm. Apaan?” tanya Kirana ogah-ogahan. Tentu dia sudah bisa membaca gelagat Akbar. Metode lawas ini sudah sering dia jumpai.
“Aku sayang sama kamu.”
Tuh, kan. Basi. Kirana langsung mendengus. Hari naas baginya ternyata tiba hari ini. Padahal dari sejak kapan tahu dia sudah wanti-wanti Akbar akan men-dor dirinya, rupanya sekarang lah dia lakukan. Kirana jadi makin malas menanggapi kalau begini, Akbar minim effort, ya masa mengajak jadian tengah malam sehabis klubbing? Apa tidak bisa sedikit lebih berkelas, gitu?
“Gue juga sayang kok sama lu, Bar. Tapi gue lebih sayang sama jam tidur gue. Lu pulang aja ya, gue ngantuk banget.” Tolakan halus dilontarkan Kirana. Untuk ukuran manusia sejenis Kirana, itu sudah versi yang paling halus.
Sebelum Kirana kembali berbaring karena masih sedikit gelayaran, Akbar tangkas menggapai jemarinya. Malam dingin tapi keringat Akbar tampak bercucuran saking gugupnya mendera, jantungnya berdebar kencang seperti bom siap meledak.
“Please, Na. Kasih aku satu kesempatan, cuma sekali ini aja. Kalau nanti ternyata aku gagal membahagiakan kamu, kamu boleh meninggalkan aku. Aku tau cinta gak boleh dipaksa, tapi tolong sekali aja, Na.”
Amboi. Sedap betul bahasa pujangga si Akbar. Kalau saja Kirana adalah gadis lemah lembut, tentu dirinya sudah meleleh mendengar rayuan itu. Sejujurnya dalam lubuk hati terdalam, Kirana cukup menghargai usaha Akbar, tapi masih ada satu nama yang belum bisa dia hapus dari hatinya. Hubungan itu berakhir menggantung, Kirana masih merasa diikat oleh sesuatu yang tak terlihat.
“Na?” panggil Akbar, menyadarkan Kirana dari buai lamunan. “Aku gak maksa, kok.” Dia mempertegas kalimatnya.
“Oke kalo lu minta satu kesempatan. Mungkin memang hanya itu yang bisa gue kasih.” Kirana terdengar lembut dan serius.
Mata Akbar langsung terbuka lebar, gayung bersambut pikirnya. Jemari Kirana dia remas lebih kuat sambil menatap Kirana lebih lekat, lebih cocok disebut melotot, sih. “Makasih Na! Aku gak akan menyia-nyiakan kesempatan yang kamu kasih. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk kamu!” serunya mengumbar janji.
“Iya ... Iya ... Sana pulang lu, udah mau tengah malam, nih. Entar ada kuntilanak lewat gangguin lu di jalan.” Kirana menarik tangannya.
Akbar mengangguk mantap. Dia bergegas keluar setelah membelai lembut puncak kepala Kirana. Mobilnya melaju pelan menjauh disusul Kirana mengunci pintu indekos. Mata Kirana menatap kosong pada layar TV, terbayang lagi wajah Panji. Sakit. Masih teramat membekas luka yang pernah ditorehkan Panji.
Ingatan Kirana kembali pada delapan tahun yang lalu. Waktu dia masih duduk di bangku kelas dua belas, waktu dia masih culun—ya sekarang juga masih culun, sih—dan masih bau matahari. Panji bukan cowok super ganteng seperti gambaran cowok dalam teenlit populer, dia juga bukan yang paling pintar atau yang paling keren. Tapi dia punya daya magis yang sanggup menyedot perhatian Kirana.
Tubuhnya tinggi proporsional agak berisi dengan kulit coklat cenderung gelap. Kepalanya besar, hal ini pernah dibuktikan Kirana sewaktu mereka berfoto bersebelahan, kepala Panji terlihat dua kali lebih besar dari kepala Kirana. Nasib baik ukuran mata, hidung dan bibirnya ikut mengimbangi, akan sangat tak lazim tentunya kalau kepalanya besar tapi matanya kecil seperti karikatur. Bagian tubuh paling disukai Kirana dari Panji adalah bulu matanya yang super panjang dan lentik yang selalu bikin cewek-cewek iri.
Kalau tertawa, Panji hampir tidak pernah terbahak-bahak, paling-paling hanya tawa pendek bernada mengejek. Kirana yang waktu itu duduk di belakang Panji memulai aksi dengan memberi perhatian, misalnya membagi bekal yang dibawa dari rumah atau mengajak menonton film bersama, yang paling ekstrem ya memberi contekan saat ulangan.
Setelah dua bulan PDKT, Kirana yang sejatinya memang agresif langsung menyatakan perasaan, dan tanpa babibu Panji menerima. Bahkan sampai detik ini, Kirana masih tidak tahu apa alasan Panji menerima perasaannya, satu kata “sayang” atau minimal “suka” pun belum pernah dia dapat dari Panji. Dalam benak Kirana, Panji bersikap begitu karena dia adalah cowok progresif yang sudah anti pada kata-kata manis, dan cuma berorientasi pada perlakuan. Kirana tidak sadar waktu itu dia sangat delusional.
Ciri khas Panji yang paling membekas di ingatan Kirana adalah kebiasaannya yang mudah tersulut api amarah alias gampang nge-gas. Ini adalah pemicu hampir seluruh pertengkaran mereka, di luar dari sifat Kirana yang juga mau menang sendiri tentunya. Marah pada Kirana bisa dia maklum (namanya juga cinta buta), tapi marah pada orang lain dan Kirana harus jadi penengah, bagaimana Kirana tidak frustrasi? Sebagai contoh, mereka berdua sedang berjalan di pasar, dan tidak sengaja seorang pria menabrak atau menyenggol lengan Panji. Sudah bisa ditebak seterusnya apa yang akan terjadi, kalau bukan saling tonjok, minimal adu mulut setengah jam yang biasa ujung-ujungnya diselesaikan dengan adu jotos. Pokoknya paling tidak, ada setetes darah yang tumpah. Kirana mana mungkin diam saja, namun tiap kali dia mencoba melerai, dia juga tak lepas dari dampratan Panji,
“Kamu gak usah ikut campur! Orang rese kaya dia emang harus dikasih pelajaran, Ran!”
Nah kalau sudah begitu, biasanya sifat cengeng Kirana akan keluar. Dia akan memilih pergi lalu menangis, kemudian ngambek dengan cara mogok bicara setidaknya seminggu. Babak selanjutnya, Panji akan meminta maaf dan berjanji tidak mengulangi sikap sok jagonya, sudah pasti janji itu selalu dia langgar. Kirana yang bucin edan level mithic sudah tentu akan memaafkan, dan berakhir mereka berpelukan.
Kisah mereka persis skenario FTV azab dengan metode sama berulang-ulang. Hubungan lima bulan itu pada akhirnya selesai menggantung setelah acara kelulusan. Panji tidak tahu ke mana rimbanya, dia menghilang begitu saja, kalau bahasa bekennya sih dia meng-ghosting Kirana. Tapi dasar Kirana terlanjur semaput asmara, sampai sekarang Kirana masih hidup dalam bayang-bayang Panji. Dia masih berkeyakinan Panji akan kembali.
Jarum pendek jam dinding bergambar Spongebob yang tergantung di atas kepala Welas menunjuk angka 5. Kirana celingak-celinguk mengamati satu per satu rekan kerjanya yang masih sibuk bekerja. Pelan-pelan dia memadamkan komputer lalu memasukkan printilannya ke dalam tas. Dia celingak-celinguk sekali lagi, memastikan tak ada yang memperhatikan dirinya sekaligus memantapkan niat. Setelah yakin benar, Kirana mengendap-endap menuju pintu keluar. Sebelum sampai di pintu kaca tersebut, Kirana sekali lagi mengecek ke belakang, untung seluruh rekan sedivisinya masih sibuk berjibaku dengan komputer.“E-HEM!”Kirana langsung memejamkan mata dan meringis lebar. Dia tertangkap basah Pak Yayuk yang sedari tadi terus memantau gerak-geriknya dari CCTV.“Sore, Pak Yayuk~” Kirana memasang tampang polos, berharap tidak kena sembur api maut Pak Yayuk yang maha sakti.“Udah kerja bulan ini paling gampang, mau pulang paling cepat, lagi!”
"Panji?!"Tangan Kirana menepuk bahu pria yang memunggunginya. Panji berbalik, kepalanya sedikit tertunduk untuk melihat wajah perempuan setinggi dadanya. Mata mereka bertemu. Waktu dipaksa untuk berhenti, orang-orang seolah tak ada, hanya ada mereka berdua sedang saling memandang satu sama lain. Kirana menitikkan air mata, tidak salah lagi, memang pria semrawut beraroma kayu di hadapannya ini adalah Panji. Panji mantan kekasih masa SMA yang delapan tahun menghilang tanpa jejak. Mata Panji berkedip-kedip, mereka berdua ditarik kembali pada kenyataan. Tangan Kirana terbuka hendak memeluk Panji, tapi Panji terlihat jelas menghindar, dan malah menjulurkan tangan kanannya."Lama gak ketemu, Ran," ucap Panji kikuk.Wajah bulat Kirana yang sudah banjir air mata tampakplonga-plongokebingungan, suasana yang tadi dirasa haru berubah menjadi canggung. Kirana menyeka air matanya lalu menyalami tangan besar Panji, dia sempat kaget lantaran telapak tanga
Seminggu lamanya Kirana mengurung diri di indekos. Dia mengajukan cuti, untungnya Pak Yayuk sedang berbaik hati untuk memberinya kelonggaran (kalau dipikir-pikir, Pak Yayuk kurang baik apa coba sama Kirana?). Sudah tiga hari juga Kirana jatuh sakit, dia menghabiskan waktu hanya dengan golekan di kasur, tidak memiliki motivasi untuk melakukan apapun, badannya jadi demam, dan kepalanya pusing. Nafsu makannya pun hilang, paling hanya sekali sehari memesan makanan cepat saji. Siapa lagi penyebab ini semua kalau bukan Panji. Gara-gara pertemuan dengan Panji minggu lalu, tak sedetik pun pikiran Kirana tenang. Ada banyak tentang Panji yang berseliwer silih berganti di otaknya, ada banyak pertanyaan yang sebetulnya ingin dia ajukan pada Panji. Rasa sesal setelah kemarin memaki Panji sekaligus bilang tak mau berjumpa lagi hanya membuat lukanya kembali bernanah.Tok! Tok! Tok!Pintu indekos digedor ketika Kirana sedang menonton TV dengan tenaga tersisa 5 watt. Mat
Pohon jambu air sedang berbuah lebat di halaman depan sebuah rumah tua berpagar rendah. Halaman yang cukup luas dikotori daun-daun dan jambu-jambu air yang jatuh dan telah membusuk, jauh dari kata rapi apalagi bersih. Rumah bercat putih pudar itu mengingatkan Kirana pada rumah-rumah yang dia lihat di film-film Warkop DKI, rumah era 80'an. Dengan pintu besi berukuran besar, jendela pun besarnya hampir menyamai sebagian tembok, berada di muka dan sisi samping rumah, serta berlantai teraso. Kalau saja diberi sedikit polesan dan dirawat benar-benar, tentu rumah lawas itu akan terlihat indah dan menawan. Sayangnya ini malah terlihat suram seperti rumah hantu, Kirana jadi ragu untuk masuk. Ada apa gerangan Panji menempati rumah seseram ini? pikir Kirana heran."Nji ...! Panji ... !" Kirana memutuskan berseru memanggil dari luar pagar yang juga telah berkarat di sana-sini.Belum ada tanda-tanda yang menunjukkan rumah itu berpenghuni, masa iya Panji memberi alamat palsu? Emang
Bibir Kirana maju lima senti, tangan kirinya yang selama hampir tiga puluh menit menopang dagunya juga mulai kesemutan karena pegal, berkali-kali matanya melawan rasa kantuk yang menyerang. Keterlaluan sekali Panji, dia asyik memilih buku sampai mengabaikan Kirana. Ngapain ngajak kalo gini, anjrit! semprot Kirana dalam hati. Mereka tadinya memang ketemuan di toko buku bekas di depan kafenya Akbar, tapi karena Kirana tidak ingin Akbar tahu, dia mengajak Panji ke toko buku bekas lain dengan iming-iming dia tahu toko buku yang menyediakan lebih banyak pilihan buku tua.Sial, iming-iming asal bunyi itu malah jadi kenyataan. Panji sungguh berjumpa banyak buku-buku yang sudah lama dia cari. Kurang tega apa lagi si Panji, sudah membiarkan Kirana menunggu sekian tahun, seakan tidak cukup, sekarang dia membuat Kirana harus menunggu lagi.Puk!Buku setebal tiga ruas jari telunjuk orang dewasa tepat mendarat pelan di atas kepala Kirana. Rupanya Panji. "Kamu ngantu
Mari selisik sebentar, apa yang istimewa dari Panji? Sampai bikin Kirana cinta mati kewer-kewer padanya. Semua bermula di kelas 12 yang sebelumnya sudah dibahas. Tapi lebih tepatnya di akhir semester pertama. Hari jadwal piket Kirana jatuh di hari selasa. Memang sial, hari selasa diisi orang-orang malas. Bayu dan Raka duo tukang onar, sebelum bel pulang berbunyi, batang hidung keduanya sudah lenyap.Rasman cuma membersihkan papan tulis, setetes keringat saja tidak keluar dari pori-pori tapi dia sebut itu termasuk piket. Sisanya tinggal Ayudia dan Laksmi, Ayudia beralasan ada les piano yang mendadak, dan teramat sayang kalau dilewatkan. Nah, kalau Laksmi sedang absen. tersisalah Kirana satu-satunya hari itu untuk menyapu sekaligus mengepel seluruh kelas dan teras.Kirana yang sejatinya memang super lambat selambat keong bisa butuh waktu berjam-jam untuk menyelesaikan semua pekerjaan. Alhasil dia pulang sendirian lewat pukul 3, hanya tersisa beberapa adik kelas yang seda
“... Na! Kirana!” panggil Akbar. Berhubung Kirana terlalu larut berkutat dengan hape barunya, Akbar tidak punya pilihan selain menepuk bahunya.“Aposeh?” tanya Kirana agak sebal, arah matanya tidak bergeser dari layar hape.“Malam ini film yang kamu tunggu-tunggu udah rilis, loh.” Akbar duduk di hadapan Kirana lalu menopang dagu di atas meja, memasang tampang manis sebagai isyarat untuk mengajak nonton.“Film apaan ya, yang lagi gue tunggu-tunggu?” Kirana mengingat-ingat, alangkah banyak daftar film yang ingin dia tonton bulan ini. “Oh!” Dia berseru setelah menangkap satu judul. “Dua Garis Polisi! Yang itu, kan? Gue emang nungguin banget tuh film, udah rilis beneran?” Hape dia buka kembali untuk mengecek jadwal tayang bioskop di laman mbahgugel.“Bener, kan? Gimana kalo kita ajak Mila sama Adam? Kita kencan ganda?” usul Akbar yang langsung bikin Kir
Komputer di meja kerja Kirana masih memutar salah satu video dariyoutuberfavoritnya, Otto Gledek. Meski video itu seharusnya membuat penonton tertawa minimal mesem-mesem, Kirana malah bengong, matanya kosong. Welas yang baru kembali dari toilet mencuil pipi Kirana gemas. "Oi, kenapa lu? Kayak orang patah hati aja. Habis diputusin pacar lu yang punya kafe itu?" Dia menyelidik sambil menggoda."Hah! Kampret lu, Las," senggak Kirana, "lagi bingung nih gue. Udah seminggu gue dianggurin, cuma gara-gara gue ngajak mantan buat nonton bareng," bebernya curhat.Welas duduk anteng di kursinya, ingin tahu lebih lanjut, jarang-jarang Kirana mau cerita soal masalah pribadi. "Trus? Trus? Lu dicuekin pacar lu itu?" Sesekali Welas menyedot kopi dinginnya, menyiapkan diri untuk mendengar drama."Iya! Gue juga dicuekin sama mantan gue, itu yang paling bikin gue stres. Masa seminggu inichatgue kagak dibaca, padahal cuma hal sepele doang."
Gending manten kebo giro mengisi aula tempat berlangsungnya resepsi pernikahan Kirana dan Panji. Acara dilaksanakan secara sederhana dan tertutup hanya untuk keluarga dan sahabat terdekat. Kirana tidak bosan-bosan menoleh pada Panji yang tampak gagah mengenakan Solo Basahan. Senyum simpul terus merekah di bibir mereka berdua. Siapa sangka bahwa akhirnya mereka meraih akhir bahagia? (setidaknya sampai saat ini)."Keren! Jadi kawin juga lu! Emang jodoh gak ke mana, ya!" seru Mila yang baru datang bersama pacarnya, Adam. "Gue yang duluan pacaran, eh elu yang duluan kawin!" tambahnya sambil mencubit pipi Kirana."ish, nanti bedak gue cemong!" Kirana pura-pura ngambek."Tapi kalo lagi galau, ingat ... party dugem in the house, yo!" Adam mengekek. Dia sadar Panji langsung melempar lirikan tajam, dia segera berdalih, " Hehe ... canda ah, bro! Kirana udah gak main dugem lagi sekarang.""Ya gak papa juga sih
Suasana rumah Panji menjadi sangat kelabu dan kelam selama penyembuhan Kirana usai kehilangan calon jabang bayinya. Kirana diam total, sama sekali tak menyahut tiap kali diajak bicara. Rencana pernikahan pun batal, Kirana yang meminta untuk dibatalkan meski Panji bersedia untuk melanjutkan. Belum pernah Kirana merasa sekosong dan semenyesal ini, dia ingin tinggal bersama ibunya, hanya itu permintaan darinya. Setelah seminggu lebih pemulihan, Kirana pamit pulang, dia juga telah mengirim surat pengunduran diri ke tempat magang, dia berniat menyepi untuk waktu yang lama."Kamu pasti balik ke rumah kan, Ran?" tanya Panji sebelum Kirana menyeret kopernya masuk ke Bandara. Kirana diam, Panji mendesak lagi, "jawab aku, Rana! Kita masih bersama, kan?" Panji meminta janji Kirana. Begitulah manusia, kalau sudah tahu akan kehilangan, baru ketakutan sendiri (selama ini ke mana saja, Panji?)."Aku gak bisa janji." Suara Kirana datar.
Tidak semenakutkan bayangan Kirana, pihak keluarganya justru menyambut baik rencana pernikahannya dengan Panji. Ayahnya yang masih berada di Malaysia berjanji akan datang di hari pernikahan. Sikap sinis malah datang dari ibunya Panji. Setelah yakin akan menikah, Panji memboyong Kirana ke Malang untuk bertemu orang tuanya dan membahas persiapan pernikahan. Perempuan kepala 6 itu selayaknya calon mertua menerima kedatangan Kirana ke rumah tapi wajah pahitnya tidak bisa dia sembunyikan. Terlebih lagi Panji adalah anak laki-laki satu-satunya dan tertua, dia punya 2 adik perempuan kembar yang masih duduk di bangku SMA. Seorang ibu akan memasang benteng tertinggi bila ada perempuan lain yang siap menggeser posisinya, itulah yang dilakukan ibu Panji, Kirana menerima masalah baru: mertua."Bukan gitu caranya, begini!""Panji itu anaknya bebas, kebebasannya mutlak, kamu harus mengerti itu.""Kamu juga mesti tau dia itu alergi uda
Kirana turun dari mobil Akbar. Adegan mengantar romantis ini juga bagian dari rencana mereka. Sesuai harapan, Panji yang tengah bekerja di halaman belakang melongok dan melihat kekasihnya diantar Akbar, mereka berdua bahkan menyempatkan diri untuk mengobrol beberapa menit. Sebelum pergi, Akbar sengaja pula mengelus kepala Kirana, Panji diam-diam mengintip cemberut.“Keren, diantar mantan pacar sekarang. Bukannya kamu bete banget sama dia?” singgung Panji setelah Kirana berada di dapur. Gurat cemburu sama sekali tidak bisa dia tutupi.“Aku pikir itu bukan urusan kamu lagi.” Kirana memanfaatkan momen ini untuk menunjukkan taringnya, sekalian saja dia membeberkan niatnya dengan Akbar, niatnya yang palsu itu. “Dia siap untuk menikahi aku supaya anakku punya bapak resmi.”Panji terbelalak, napasnya tercekat. “Yang bener aja kamu!” Panji berdiri, protes tanpa basa-basi. &ld
Aroma obat yang dibenci Panji menyerang dari tiap sudut lorong ruang tunggu rumah sakit. Kalau bukan karena Kirana pingsan, Panji sudah sejak tadi kabur dari sana. Rumah sakit adalah salah satu tempat yang paling dia benci. Dia cemas, berharap Kirana baik-baik saja. Dia sedikit banyak sudah bisa menebak kalau akhir dari touring ini akan buruk. Fisik Kirana memang tidak terlalu fit, di atas motor berjam-jam tentu lumayan berat baginya.“Keluarga ibu Kirana?” Suster melongok dari pintu ruangan Dokter, Panji langsung berdiri dan ikut masuk.Sekilas dia menengok Kirana yang sedang berbaring di atas kasur pasien, dia sudah siuman tapi matanya masih tampak sayu. Panji duduk di hadapan Dokter, keduanya siap mendengar hasil pemeriksaan.“Ibu Kirana hanya kelelahan, efek dari sengatan matahari,” ucap Dokter sesuai dugaan Panji. Baik Panji maupun Kirana sama-sama lega, untuk sesaat mereka bisa menarik napas
“Lusa aku mau pergi touring, Ran,” ujar Panji pada saat mereka sedang menyantap makanan pada suatu malam.“Ke mana? Sama siapa?! Berapa lama?!” Kirana langsung mencecar dengan muka panik akan ditinggal kekasih hati.“Cuma ke Bandung, kok. Paling juga dua hari satu malam, di Bandung nginep dulu semalam trus balik lagi.”“Kalo gitu aku ikut! Kan lusa hari sabtu itu, sore minggu udah balik, aku bisa ikut!” Kirana menggenggam erat punggung tangan Panji, memohon supaya diajak serta.“Jangan ngaco ah, kamu. Itu kan khusus anggota komunitas motoran aja.” Panji menolak.“Jangan kamu kira aku gak tau ya kalo temen-temen komunitas kamu juga suka bawa cewek mereka! Masa aku gak boleh ikut?! Nji~ Please~” Kirana bergelayut manja.“Soalnya kalo kamu ikut, nanti berantakan acaranya, R
Sejak kejadian malam pertama itu, Panji dan Kirana semakin menempel seperti kertas diberi lem nasi. Api cinta mereka membara kuat-kuatnya seperti tak ada lagi yang bisa memisahkan mereka. Kirana rutin diantar jemput oleh Panji setiap hari, pun Kirana aktif mendukung dalam berbagai kegiatan pameran patung yang diikuti Panji. Pelan tapi pasti hubungan mereka kian membaik, dan terlihat arahnya akan ke mana. Kirana tak menyesal sama sekali telah membuat keputusan gila waktu itu, dia percaya hal itulah yang membuat Panji takluk.Setelah bertahun-tahun berkarier sebagai seniman topeng tanah liat, akhirnya impian Panji terwujud, dirinya terpilih menjadi salah satu pengisi pameran topeng di salah satu galeri kenamaan. Acara nya berlangsung sukses, Panji sendiri mendapat begitu banyak pujian. Topeng-topengnya laku keras, terjual dengan harga mahal.Tak hentinya Kirana memandangi Panji dengan muka super kagum.Usai pameran bergengsi itu terlaksan
Gantian sekarang malah Panji yang ngambek. Kirana mencoba mengajaknya bicara baik-baik tapi Panji tak menggubris. "Kamu udah makan?" Kirana terus berusaha membuka topik tapi Panji masih diam. Duh! Nih orang udah kayak cewek ABG lagi mens aja! Kirana menggerutu dalam hati. "Nji~ Dia itu tadi cuma teman kerjaku aja. Bener, kok!" Kirana menjelaskan meski Panji tak bertanya."Kamu bilang tadi ngantuk, ya udah sana tidur, aku masih mau bikin vas bunga pesanan Raras!" Kijang menyahut meski masih dongkol. Nampaknya juga dia sengaja menyebut nama Raras supaya Kirana balik cemburu.Kirana berbalik hendak masuk ke kamar, saat itulah terbit sebuah ide brilian. Obat dari Fitri belum juga dia pakai! Kirana memicingkan matanya penuh arti. Mereka tinggal berdua tanpa gangguan, sedang ngambek-ngambekan, oh! Inilah waktu yang paling tepat untuk melancarkan jurus pil biru! Kirana menelan sukar salivanya. Deg-degan, apa iya dia harus memakai cara nekat begitu?
Kilat menyambar-nyambar di atas kepala Kirana tatkala dia saksikan dengan kedua bola mata hitamnya, Panji sedang duduk berdua bersama seorang perempuan muda yang tak dia kenal. Bajingan betul si Panji, barupergi sebentar menemani Ladia ke Mol, eh dia di rumah sendiri malah asyik-asyik dengan perempuan lain! Kirana meracau dalam hati. Tangan sudah dilipat Kirana di dada, menyiapkan diri untuk aksi cekcok telenovela jilid ke sekian. Tapi perempuan itu malah berdiri dan tersenyum sok ramah pada Kirana.“Ran, ini Raras, temenku dari Malang.” Panji memperkenalkan cewek berambut keriting kriwil itu.Raras?! Itu kan nama mantan yang disebut Ladia tadi! Pekik Kirana dalam hati. Level toleransinya makin berkurang. “Temen?! Atau mantan?!” sambar Kirana.Mata Panji terbelalak. “Kok kamu ...” Kalimatnya menggantung, dia sudah langsung tahu, pasti Ladia yang telah memberi tahu. “L