Bibir Kirana maju lima senti, tangan kirinya yang selama hampir tiga puluh menit menopang dagunya juga mulai kesemutan karena pegal, berkali-kali matanya melawan rasa kantuk yang menyerang. Keterlaluan sekali Panji, dia asyik memilih buku sampai mengabaikan Kirana. Ngapain ngajak kalo gini, anjrit! semprot Kirana dalam hati. Mereka tadinya memang ketemuan di toko buku bekas di depan kafenya Akbar, tapi karena Kirana tidak ingin Akbar tahu, dia mengajak Panji ke toko buku bekas lain dengan iming-iming dia tahu toko buku yang menyediakan lebih banyak pilihan buku tua.
Sial, iming-iming asal bunyi itu malah jadi kenyataan. Panji sungguh berjumpa banyak buku-buku yang sudah lama dia cari. Kurang tega apa lagi si Panji, sudah membiarkan Kirana menunggu sekian tahun, seakan tidak cukup, sekarang dia membuat Kirana harus menunggu lagi.
Puk!
Buku setebal tiga ruas jari telunjuk orang dewasa tepat mendarat pelan di atas kepala Kirana. Rupanya Panji. "Kamu ngantuk? Maaf, ya, udah bikin kamu nunggu."
Kirana masih menggerutu dalam hati, berharap kata "maaf" dihapuskan saja dari dunia, mendengar kata itu terus berulang-ulang keluar dari mulut dua pria membuatnya jadi makin muak. "Udah selesai? Boleh kita pergi sekarang?"
"Udah, nih! Kamu gak ikut nyari buku?" tanya Panji sambil memamerkan buku hasil buruannya.
"Boro-boro, baca w*****n aja kadang suka kadang enggak, apalagi buku kaya gitu, mumet aku!"
Panji hanya bisa mengekeh, tidak bisa juga memaksa cewek seperti Kirana. Baca komik saja kepalanya sudah cukup pusing. "Kita mau langsung pulang?" Panji bertanya lagi.
"Jangan, dong! Masa aku ke sini cuma buat nemenin kamu beli buku?" protes Kirana, "sekarang giliran aku. Kamu harus ikut aku, kita makan malam! Bentar lagi jam tujuh nih, pasar malam udah buka."
"Aku benci tempat rame kaya gitu, padat banget."
"Jam tujuh belum rame, Nji! Ayolah~" Kirana melancarkan aksi bergelayut manja yang berhasil membuat Panji luluh dan mengangguk setuju. "Yes!! Asyik~" Kirana bersorak layaknya cewek baru pubertas. Mulai lupa usia nih, Kirana.
Mari mengintip sedikit ke masa lalu Kirana. Sejak SMA dia ingin sekali mengajak Panji ke pasar malam. Kirana memang bukan tipe orang yang lebih memilih restoran mewah atau tempat-tempat mahal untuk berkencan, dia selalu suka kesederhanaan. Waktu dia kecil dulu, bersama papa dan mama, dia sering dibawa ke pasar malam tiap akhir pekan. Kebiasaan itu berhenti setelah papa dan mama bercerai karena satu hal, papa Kirana menikah lagi dan pindah ke Malaysia.
Setelah dia duduk di bangku SMP, mamanya juga menikah lagi, tapi Kirana membenci keluarga baru mama, Kirana merasa kasih sayang mama terpecah belah. Sedari kecil pun, Kirana dijaga ketat layaknya perhiasan, hal itu salah satu penyebab kenapa Kirana susah dapat pacar. Meski di penghujung sekolah akhirnya dia punya pacar yaitu Panji, tapi mereka hampir tak pernah menghabiskan waktu di luar. Mama selalu mengawasi Kirana. Untunglah setelah Kirana lulus kuliah, dia diperbolehkan hidup sendiri. Justru setelah hidup sendiri, hubungan Kirana dengan mama-papanya membaik. Kembali ke? Lap-Kirana, dong!
Betul kata Kirana, pukul 7 pasar malam memang belum ramai, masih ada sebagian lapak yang bahkan sedang bersiap-siap untuk buka. Baru semenit sampai, masalah baru muncul. Panji ingin makan sate ayam, Kirana ingin makan bakso. Ini mungkin sepele untuk manusia pada umumnya, dan biasa bisa diselesaikan secara damai. Tapi, ini Kirana dan Panji!
“Kamu tau gak kalo bakso itu gak bagus buat kesehatan? Itu memicu kanker.” Satu poin dari Panji.
“Hah? Nji, let me tell you, yeah ...” Ok siap, Kirana versi jaksel, “kanker itu dipicu sama daging yang dibakar2, artinya, no sate-satean!” Poin balasan dari Kirana.
“Oke oke, tapi kamu tau gak micin di bakso itu seberapa banyak?”
“Kamu kira bumbu sate gak ada micinnya?”
“Tapi lebih banyak di bakso! Bakso juga menjalani proses perebusan berkali-kali, itu bikin lebih banyak buruknya ketimbang bagusnya!”
“Oh ya?! Jadi daging yang mau dibakar itu gak melewati proses yang lain dulu?!”
“Prosesnya gak direbus!”
Blablabla.
Jangankan soal memilih makanan, soal sesepele minum air hangat atau dingin saja bisa memicu perdebatan tujuh hari tujuh malam. Begitu lah Kirana dan Panji. Akhirnya, seperti dulu, Kirana keluar sebagai pemenang. Panji ikut makan bakso. Kalau tahu endingnya selalu sama, semestinya mereka tak perlu gontok-gontokan lebih dulu.
Habis perkara soal bakso, lanjut ke perkara berikutnya. Kirana ingin coba wahana A, Panji ingin coba wahana B. Kurang lebih perdebatan mereka sama, hanya konteksnya yang berganti.
“Ya udah kita misah aja! Kamu coba itu, aku main yang aku mau!” Kali ini Panji tidak mengalah.
“Terus apa gunanya kita datang berdua kalo pisah-pisah mainnya? Barengan, dong!” kekeuh Kirana.
“Mau barengan? Ya udah gantian aja, kita coba yang kamu mau, baru yang aku mau. Gimana?” Panji bernegosiasi.
“Gak, ah! Wahana yang kamu mau serem-serem, Nji. Itu besinya keliatan berkarat, gak aman!”
Panji menarik nafas panjang dan dalam, lalu meledak. “JADI GIMANA?! AKU BILANG MAU SENDIRI AJA KAMU GAK MAU!”
Duar!!!
Sifat lama Panji akhirnya sukses keluar tanpa hambatan, malah dijembatani Kirana. Sebentar lagi pasti Kirana playing victim dan berurai air mata karena habis disenggak. Untuk kasus ini, wajar sih Panji meledak. Tapi rupanya tidak, kali ini Kirana hanya bengong. Mereka canggung sekian menit.
“Kenapa ya, Nji? Kok kayanya kita gak akan bisa jalan bareng,” ucap Kirana pelan. “Aku benar-benar gak ngerti apa yang salah sama kita.” Kirana sedih betulan, tak rela kalau jalan-jalan malam mereka hanya akan berakhir jadi pertengkaran tanpa ujung.
“Maksud kamu? Kita sebagai ....”
“Apapun, sebatas teman pun kita ribut.”
Alam barangkali memang bisa mendengar keresahan Kirana, saat itu sebuah lapak peramal baru dibuka. Sewaktu Kirana dan Panji mencoba bicara baik-baik, ketika itu juga lah ekor mata Kirana melihat tenda yang baru dibuka itu. Tenda peramal! Kirana memekik dalam hati. Tenda itu kecil, serba hitam seperti yang biasa dilihat di acara-acara TV penuh gimik. Ada bola lampu dengan warna-warni kilat petir menyambar ala-ala, kartu tarot juga berjejer di atas meja. Tante dukun dengan gaya nyentrik menggerak-gerakkan tangan di atas bola lampu. Mulutnya komat-kamit beraksi untuk mencuri perhatian orang sekitar.
Kirana menatap lapak dukun cukup lama, berganti menatap Panji. Maksud Kirana bisa ditangkap Panji melalui matanya, langsung cowok itu menggeleng keras. “Aku gak mau ikutan yang ini, jangan ngaco.” Panji bisa membaca niat hati Kirana.
“Ayo lah, please~ Kita harus cari tau apa yang salah sama kita.”
“Buat apa, sih? Emangnya ada apa sama kita?”
“Jadi kamu gak mau jadi temen aku? Kamu gak pingin memperbaiki hubungan kita?”
“Ya, mau sih. Tapi-,”
Belum sampai habis kalimat Panji, Kirana langsung mendorong tubuh besarnya ke depan meja Tante dukun. Panji dan Kirana terdiam membisu, takut mengganggu ritual Tante dukun yang masih bergaya membaca mantra-mantra.
“Hm ...” gumam Tante dukun seperti sedang mencium kehadiran Panji dan Kirana. “... Cinta masa lalu, cinta pertama, romansa anak muda,” sebutnya masih dengan mata terpejam.
Kirana dan Panji saling lempar pandang, sepertinya Tante dukun bisa dipercaya. Belum apa-apa, dia sudah bisa menebar benar hubungan Kirana dan Panji. “Tan, tante, kira-kira apa ya yang membuat kami gak cocok?” tanya Kirana terbata-bata.
Tante dukun menggerak-gerakkan tangannya seolah sedang menghirup aroma angin (ini Tante dukun apa Roy Kiyoshi?) “Cewek Leo dan cowok Sagitarius.” Akhirnya mata Tante dukun terbuka, dia menunjuk Kirana dan Panji bergantian.
Kirana bersorak lagi, benar sekali bahwa zodiaknya adalah Leo, sedang Panji adalah Sagitarius. Mereka berada di bawah naungan elemen yang sama, yaitu api. “Kamu terlalu mengekang, terlalu bossy, terlalu mau enak sendiri!” Tante dukun menunjuk Kirana, alhasil cewek itu menelan ludah berat. Betul sih yang dikatakan Tante dukun. Kirana membatin. “Kamu Sagitarius, mau kebebasan, freedom! Kamu gak akan bisa berkomitmen sama satu perempuan, ha ...” Tante dukun menghela nafas.
Mendengar penilaian si Tante, darah Kirana mendidih lagi. Kampret betul nih Panji, jangan-jangan waktu SMA dulu, dia juga selingkuh? pikir Kirana. Panji hanya bisa garuk-garuk pelipis, serasa dia sedang diadili di meja hijau. “Jadi gimana, Tante? Apa kami bisa untuk bali- maksud saya, jadi temen? Atau kami bakal berantem dan berselisih terus?”
“Ada beberapa hal yang harus kalian lakukan,” ujar Tante dukun serius. Kirana memajukan kepalanya, ingin mendengar saksama. Panji juga sebenarnya kepo, tapi dia berlagak stay cool. “Kalian harus balikan,” tutupnya.
Sekujur tubuh Kirana berdesir. Kalau saja dia punya segepok uang sepuluh juta, dia akan langsung memberikannya pada Tante dukun. Lu denger itu, Nji?! Kita mesti balikan! Teriak Kirana dalam hati. Sekuat mungkin dia menahan diri supaya tidak cengengesan.
“Kenapa harus balikan, Mbah? Eh, Tante?” Didorong rasa kepo lebih besar, Panji ikut bertanya. Seumur hidup, baru sekali ini dia bertanya pada peramal.
“Kalian harus mencoba lagi dari awal. Kalian hanya butuh sedikit waktu untuk memulai kembali. Saya liat, keberuntungan kalian sangat baik kalo kalian bersama, tapi ego kalian sama-sama besar, lebih besar dari keinginan untuk bersama. Yang satu ingin mengikat, yang satu gak suka diikat. Biar waktu dan alam nanti yang memutuskan gimana akhirnya.” Tante dukun menguraikan lebih lanjut.
Panji mencuil lengan Kirana, mengajaknya bergegas pergi. Ocehan Tante dukun bisa menjalar ke mana-mana kalau mereka tidak menyudahi. Dia tidak lupa membayar upah jasa Tante dukun lebih dulu. Sial, rutuknya dalam hati, untuk sesi dukun sekian menit begitu saja dia merogoh kocek hampir cepek.
Sepanjang jalan pulang di atas motor, Panji dan Kirana sibuk melamun, memikirkan apa yang tadi dikatakan Tante dukun. Apa yang dia katakan ada benarnya, sepertinya dia bukan kaleng-kaleng alias bukan dukun gadungan. Tapi masa iya mereka mesti balikan?
“Soal tante tadi ...” Kirana membuka suara lagi setelah sepeda motor tua Panji sampai di depan indekos Kirana.
“Jangan dipikirin, Ran. Ngaco banget tuh orang, hari gini masa percaya apa kata dukun?” potong Panji.
“Jadi kamu gak percaya apa yang dibilang tante dukun tadi?”
“Ngapain juga percaya, sih? Itu kan cara mereka biar meraup untung aja dari orang-orang awam kaya kita.”
“Tapi tadi kita belum ngomong apa-apa loh, si Tante bisa bener nebaknya kalo aku Leo, kamu Sagitarius.”
“Halah, itu bisa aja kebetulan, Ran.”
“Kebetulan kok seakurat itu? Yang dibilangnya juga benar, kok. Aku terlalu mau menang sendiri, kamunya gak suka dikekang.” Kirana mengulum bibirnya, gugup untuk melanjutkan. “Kamu yakin gak mau nyoba yang tadi dibilang tante itu?” Bola matanya melirik Panji yang masih duduk di atas jok motor.
“Buat apa sih?”
“Ya buat jadi temen!” sambar Kirana gengsi kalau harus jujur dia kepingin berat balikan dengan Panji. “Bukannya kamu juga heran kenapa kita melulu berantem? Berdebat? Mungkin udah waktunya kita evaluasi diri, supaya kita bisa jadi pribadi yang lebih baik.” Omong kosong, Kirana. Dia murni hanya kepingin balikan sama Panji! Titik.
Panji mengangguk-angguk. “Kita coba pelan-pelan, ya? Aku juga gak mau nantinya malah bikin masalah buat kamu sama pacar baru kamu.” Lalu dia elus lembut puncak kepala Kirana. Mata keduanya lekat saling pandang, Kirana makin yakin kalau sebetulnya Panji juga menyimpan rasa kangen padanya. Cewek Leo selalu begitu, selalu merasa dirinya dicintai dan diinginkan. Padahal belum tentu.
Kencan kw 3 malam itu memang tidak berjalan mulus, tapi juga tidak terlalu buruk. Setidaknya ada secercah harapan yang membuat Kirana makin kesengsem pada Panji. Balikan sepertinya tidak mustahil. Kirana hanya butuh sedikit waktu.
Mari selisik sebentar, apa yang istimewa dari Panji? Sampai bikin Kirana cinta mati kewer-kewer padanya. Semua bermula di kelas 12 yang sebelumnya sudah dibahas. Tapi lebih tepatnya di akhir semester pertama. Hari jadwal piket Kirana jatuh di hari selasa. Memang sial, hari selasa diisi orang-orang malas. Bayu dan Raka duo tukang onar, sebelum bel pulang berbunyi, batang hidung keduanya sudah lenyap.Rasman cuma membersihkan papan tulis, setetes keringat saja tidak keluar dari pori-pori tapi dia sebut itu termasuk piket. Sisanya tinggal Ayudia dan Laksmi, Ayudia beralasan ada les piano yang mendadak, dan teramat sayang kalau dilewatkan. Nah, kalau Laksmi sedang absen. tersisalah Kirana satu-satunya hari itu untuk menyapu sekaligus mengepel seluruh kelas dan teras.Kirana yang sejatinya memang super lambat selambat keong bisa butuh waktu berjam-jam untuk menyelesaikan semua pekerjaan. Alhasil dia pulang sendirian lewat pukul 3, hanya tersisa beberapa adik kelas yang seda
“... Na! Kirana!” panggil Akbar. Berhubung Kirana terlalu larut berkutat dengan hape barunya, Akbar tidak punya pilihan selain menepuk bahunya.“Aposeh?” tanya Kirana agak sebal, arah matanya tidak bergeser dari layar hape.“Malam ini film yang kamu tunggu-tunggu udah rilis, loh.” Akbar duduk di hadapan Kirana lalu menopang dagu di atas meja, memasang tampang manis sebagai isyarat untuk mengajak nonton.“Film apaan ya, yang lagi gue tunggu-tunggu?” Kirana mengingat-ingat, alangkah banyak daftar film yang ingin dia tonton bulan ini. “Oh!” Dia berseru setelah menangkap satu judul. “Dua Garis Polisi! Yang itu, kan? Gue emang nungguin banget tuh film, udah rilis beneran?” Hape dia buka kembali untuk mengecek jadwal tayang bioskop di laman mbahgugel.“Bener, kan? Gimana kalo kita ajak Mila sama Adam? Kita kencan ganda?” usul Akbar yang langsung bikin Kir
Komputer di meja kerja Kirana masih memutar salah satu video dariyoutuberfavoritnya, Otto Gledek. Meski video itu seharusnya membuat penonton tertawa minimal mesem-mesem, Kirana malah bengong, matanya kosong. Welas yang baru kembali dari toilet mencuil pipi Kirana gemas. "Oi, kenapa lu? Kayak orang patah hati aja. Habis diputusin pacar lu yang punya kafe itu?" Dia menyelidik sambil menggoda."Hah! Kampret lu, Las," senggak Kirana, "lagi bingung nih gue. Udah seminggu gue dianggurin, cuma gara-gara gue ngajak mantan buat nonton bareng," bebernya curhat.Welas duduk anteng di kursinya, ingin tahu lebih lanjut, jarang-jarang Kirana mau cerita soal masalah pribadi. "Trus? Trus? Lu dicuekin pacar lu itu?" Sesekali Welas menyedot kopi dinginnya, menyiapkan diri untuk mendengar drama."Iya! Gue juga dicuekin sama mantan gue, itu yang paling bikin gue stres. Masa seminggu inichatgue kagak dibaca, padahal cuma hal sepele doang."
Mulut Kirana mengakak lebar menertawakan humor yang dilempar Welas sejak keluar dari lift tadi, gara-gara curhat kemarin sekarang mereka jadi mendadak bestfriend. Makan bareng, ngopi bareng, ke toilet bareng, pulang juga bareng seperti saat ini. Baru saja kaki Welas keluar dari pintu, tangannya lekas menyikut Kirana, lalu menunjuk sesuatu dengan bibirnya. Kirana mengikuti arah pandang Welas.Rupanya Akbar. Pria itu melipat tangan di depan dada, menunggu Kirana tidak jauh dari pintu keluar gedung tempat Kirana kerja. “Lu pulang duluan, ya. Biar gue selesaikan masalah gue,” kata Kirana sudah siap amunisi.“Good luckya, Na.See ya!” Welas beranjak, menyetop taksi.Kirana mendekati Akbar yang sedang memandangi jalan dengan muka gelisah. “E-hem! Lagi nunggu gue?” tanya Kirana dingin. Akbar menoleh cepat, wajah kagetnya berubah semringah setelah melihat sosok Kirana.“Iya! Kamu belum juga ba
Kekhawatiran Panji bukan tanpa alasan. Baru sehari pindah, Kirana sudah berulah. Seisi rumah Panji dia isi macam-macam perabot warna-warni. Kirana bohong waktu bilang dia hanya membawa sedikit barang. Nyatanya, dia bahkan rela menghabiskan separuh uang tabungan untuk membeli perabot-perabot modern dari IKEA. Diam-diam dia sudah merancang rumah impian di otak dan rumah Panji jadi korban pertama. Alasannya cukup masuk akal sih, biar suasana rumah terasa lebih berpenghuni, tapi mata Panji sakit, rata-rata Kirana memilih warna yang terlalu cerah, seperti merah muda dan ungu.Sofa tua dia singkirkan, kasur Panji yang sepreinya sudah buluk pun dia ganti dengan seprei baru bermotif bunga mawar. Peralatan masak, makan, semua satu set berwarna pastel. Dinding tak luput diberi sentuhan, jam dinding konyol berbentuk kandang burung, serta hiasan-hiasan dinding norak bertuliskan kutipan motivas(h)i(t) menjadi pilihan Kirana.“Tadah ...!&rdquo
Rencana busuk Kirana mesti dia tunda dulu. Pertengkaran soal interior rumah dengan Panji membuat mereka berada dalam situasi saling diam. Panji tidur di sofa beberapa malam, Kirana membiarkan pintu kamar terbuka supaya dirinya tidak dibayangi-bayangi hantu penghuni rumah, mau mengajak Panji tidur bareng juga dia gengsi. Terpaksalah hampir seminggu mereka mogok bicara. Tapi Kirana tetap melaksanakan tugas sesuai janjinya. Dia bersih-bersih, mulai dari menyedot debu, mengepel lantai, menyapu halaman. Setiap pagi dia juga menyiapkan sarapan, roti tawar selai cokelat kacang kesukaan Panji, dia letakkan begitu saja di atas meja bersama segelas susu hangat sebagai pendorong. Bahkan pakaian di keranjang kotor pun selalu dia cuci setiap dua kali sehari. Badannya lumayan gempor, sebab saat tinggal sendiri dia lebih cuek dan pemalas. Tampaknya semua pekerjaan itu dia lakukan hanya demi merebut perhatian Panji, cuma ingin membuatnya terkesan.Usaha Kirana tidak sia-sia. Ke
Bolak-balik Kirana mengecek jam dinding. Panji pergi sejam yang lalu untuk menjemput Ladia, belum pulang juga. Apa jangan-jangan mereka nongkrong dulu? Atau mereka nostalgia ke rumah lama Panji? Prasangka-prasangka aneh merasuki otak Kirana. Satu hal yang pasti paling mengusik ketenteraman Kirana adalah: Ladia bukan lagi bocah, dia sudah dewasa sekarang, sudah 18 tahun. Bagaimanapun juga, Panji dan Ladia tidak punya hubungan darah, sah-sah saja kalau mereka saling suka. Kirana insyekur, takut kecemasannya jadi kenyataan, takut posisinya digeser daun muda, bunga yang baru merekah.Ketika Kirana sedang gundah gulana sembari menggigiti bibir, sepeda motor tua Panji masuk ke dalam halaman. Bergegas Kirana lari ke luar untuk menyambut pangerannya. Bibir Kirana langsung monyong beberapa senti, Ladia sungguh mekar sempurna. Cewek puber itu sekarang tinggi proporsional, lebih tinggi dari Kirana. Kulitnya kuning langsat, dua bola mata sayu menghias wajah tirusnya, dileng
Viagra bermanfaat untuk mengatasi disfungsi ereksi atau impotensi pada pria dewasa. Oleh karena itu, Viagra atau juga dikenal dengan pil biru sering dianggap sebagai “obat kuat”.Kirana buru-buru menutup laman web yang baru dia baca, selekas orang yang ketahuan kencing di pinggir jalan, malu dan panik. Dia menjerit dalam hati, rupanya Fitri memberi dia obat kuat! Walau tempo hari saat Fitri memberikan obat itu dia sudah memberi kisi-kisi, tetap saja Kirana belum paham sepenuhnya, sekarang dia baru ngeh, tidak dia sangka Fitri memiliki benda seperti itu. Kirana menoleh pada tas sandangnya di atas meja lampu tidur, di situlah tersimpan kunci kesuksesan, sebuah harta karun yang bisa bikin Panji klepek-klepek.Samar-samar suara tawa Panji dan Ladia masuk ke dalam kamar, Kirana bangkit dari ranjang lalu menengok ke luar, tampak Panji dan Ladia sedang membuat vas bunga bersama di halaman belakang. Kirana mengumpat beribu-ribu kal
Gending manten kebo giro mengisi aula tempat berlangsungnya resepsi pernikahan Kirana dan Panji. Acara dilaksanakan secara sederhana dan tertutup hanya untuk keluarga dan sahabat terdekat. Kirana tidak bosan-bosan menoleh pada Panji yang tampak gagah mengenakan Solo Basahan. Senyum simpul terus merekah di bibir mereka berdua. Siapa sangka bahwa akhirnya mereka meraih akhir bahagia? (setidaknya sampai saat ini)."Keren! Jadi kawin juga lu! Emang jodoh gak ke mana, ya!" seru Mila yang baru datang bersama pacarnya, Adam. "Gue yang duluan pacaran, eh elu yang duluan kawin!" tambahnya sambil mencubit pipi Kirana."ish, nanti bedak gue cemong!" Kirana pura-pura ngambek."Tapi kalo lagi galau, ingat ... party dugem in the house, yo!" Adam mengekek. Dia sadar Panji langsung melempar lirikan tajam, dia segera berdalih, " Hehe ... canda ah, bro! Kirana udah gak main dugem lagi sekarang.""Ya gak papa juga sih
Suasana rumah Panji menjadi sangat kelabu dan kelam selama penyembuhan Kirana usai kehilangan calon jabang bayinya. Kirana diam total, sama sekali tak menyahut tiap kali diajak bicara. Rencana pernikahan pun batal, Kirana yang meminta untuk dibatalkan meski Panji bersedia untuk melanjutkan. Belum pernah Kirana merasa sekosong dan semenyesal ini, dia ingin tinggal bersama ibunya, hanya itu permintaan darinya. Setelah seminggu lebih pemulihan, Kirana pamit pulang, dia juga telah mengirim surat pengunduran diri ke tempat magang, dia berniat menyepi untuk waktu yang lama."Kamu pasti balik ke rumah kan, Ran?" tanya Panji sebelum Kirana menyeret kopernya masuk ke Bandara. Kirana diam, Panji mendesak lagi, "jawab aku, Rana! Kita masih bersama, kan?" Panji meminta janji Kirana. Begitulah manusia, kalau sudah tahu akan kehilangan, baru ketakutan sendiri (selama ini ke mana saja, Panji?)."Aku gak bisa janji." Suara Kirana datar.
Tidak semenakutkan bayangan Kirana, pihak keluarganya justru menyambut baik rencana pernikahannya dengan Panji. Ayahnya yang masih berada di Malaysia berjanji akan datang di hari pernikahan. Sikap sinis malah datang dari ibunya Panji. Setelah yakin akan menikah, Panji memboyong Kirana ke Malang untuk bertemu orang tuanya dan membahas persiapan pernikahan. Perempuan kepala 6 itu selayaknya calon mertua menerima kedatangan Kirana ke rumah tapi wajah pahitnya tidak bisa dia sembunyikan. Terlebih lagi Panji adalah anak laki-laki satu-satunya dan tertua, dia punya 2 adik perempuan kembar yang masih duduk di bangku SMA. Seorang ibu akan memasang benteng tertinggi bila ada perempuan lain yang siap menggeser posisinya, itulah yang dilakukan ibu Panji, Kirana menerima masalah baru: mertua."Bukan gitu caranya, begini!""Panji itu anaknya bebas, kebebasannya mutlak, kamu harus mengerti itu.""Kamu juga mesti tau dia itu alergi uda
Kirana turun dari mobil Akbar. Adegan mengantar romantis ini juga bagian dari rencana mereka. Sesuai harapan, Panji yang tengah bekerja di halaman belakang melongok dan melihat kekasihnya diantar Akbar, mereka berdua bahkan menyempatkan diri untuk mengobrol beberapa menit. Sebelum pergi, Akbar sengaja pula mengelus kepala Kirana, Panji diam-diam mengintip cemberut.“Keren, diantar mantan pacar sekarang. Bukannya kamu bete banget sama dia?” singgung Panji setelah Kirana berada di dapur. Gurat cemburu sama sekali tidak bisa dia tutupi.“Aku pikir itu bukan urusan kamu lagi.” Kirana memanfaatkan momen ini untuk menunjukkan taringnya, sekalian saja dia membeberkan niatnya dengan Akbar, niatnya yang palsu itu. “Dia siap untuk menikahi aku supaya anakku punya bapak resmi.”Panji terbelalak, napasnya tercekat. “Yang bener aja kamu!” Panji berdiri, protes tanpa basa-basi. &ld
Aroma obat yang dibenci Panji menyerang dari tiap sudut lorong ruang tunggu rumah sakit. Kalau bukan karena Kirana pingsan, Panji sudah sejak tadi kabur dari sana. Rumah sakit adalah salah satu tempat yang paling dia benci. Dia cemas, berharap Kirana baik-baik saja. Dia sedikit banyak sudah bisa menebak kalau akhir dari touring ini akan buruk. Fisik Kirana memang tidak terlalu fit, di atas motor berjam-jam tentu lumayan berat baginya.“Keluarga ibu Kirana?” Suster melongok dari pintu ruangan Dokter, Panji langsung berdiri dan ikut masuk.Sekilas dia menengok Kirana yang sedang berbaring di atas kasur pasien, dia sudah siuman tapi matanya masih tampak sayu. Panji duduk di hadapan Dokter, keduanya siap mendengar hasil pemeriksaan.“Ibu Kirana hanya kelelahan, efek dari sengatan matahari,” ucap Dokter sesuai dugaan Panji. Baik Panji maupun Kirana sama-sama lega, untuk sesaat mereka bisa menarik napas
“Lusa aku mau pergi touring, Ran,” ujar Panji pada saat mereka sedang menyantap makanan pada suatu malam.“Ke mana? Sama siapa?! Berapa lama?!” Kirana langsung mencecar dengan muka panik akan ditinggal kekasih hati.“Cuma ke Bandung, kok. Paling juga dua hari satu malam, di Bandung nginep dulu semalam trus balik lagi.”“Kalo gitu aku ikut! Kan lusa hari sabtu itu, sore minggu udah balik, aku bisa ikut!” Kirana menggenggam erat punggung tangan Panji, memohon supaya diajak serta.“Jangan ngaco ah, kamu. Itu kan khusus anggota komunitas motoran aja.” Panji menolak.“Jangan kamu kira aku gak tau ya kalo temen-temen komunitas kamu juga suka bawa cewek mereka! Masa aku gak boleh ikut?! Nji~ Please~” Kirana bergelayut manja.“Soalnya kalo kamu ikut, nanti berantakan acaranya, R
Sejak kejadian malam pertama itu, Panji dan Kirana semakin menempel seperti kertas diberi lem nasi. Api cinta mereka membara kuat-kuatnya seperti tak ada lagi yang bisa memisahkan mereka. Kirana rutin diantar jemput oleh Panji setiap hari, pun Kirana aktif mendukung dalam berbagai kegiatan pameran patung yang diikuti Panji. Pelan tapi pasti hubungan mereka kian membaik, dan terlihat arahnya akan ke mana. Kirana tak menyesal sama sekali telah membuat keputusan gila waktu itu, dia percaya hal itulah yang membuat Panji takluk.Setelah bertahun-tahun berkarier sebagai seniman topeng tanah liat, akhirnya impian Panji terwujud, dirinya terpilih menjadi salah satu pengisi pameran topeng di salah satu galeri kenamaan. Acara nya berlangsung sukses, Panji sendiri mendapat begitu banyak pujian. Topeng-topengnya laku keras, terjual dengan harga mahal.Tak hentinya Kirana memandangi Panji dengan muka super kagum.Usai pameran bergengsi itu terlaksan
Gantian sekarang malah Panji yang ngambek. Kirana mencoba mengajaknya bicara baik-baik tapi Panji tak menggubris. "Kamu udah makan?" Kirana terus berusaha membuka topik tapi Panji masih diam. Duh! Nih orang udah kayak cewek ABG lagi mens aja! Kirana menggerutu dalam hati. "Nji~ Dia itu tadi cuma teman kerjaku aja. Bener, kok!" Kirana menjelaskan meski Panji tak bertanya."Kamu bilang tadi ngantuk, ya udah sana tidur, aku masih mau bikin vas bunga pesanan Raras!" Kijang menyahut meski masih dongkol. Nampaknya juga dia sengaja menyebut nama Raras supaya Kirana balik cemburu.Kirana berbalik hendak masuk ke kamar, saat itulah terbit sebuah ide brilian. Obat dari Fitri belum juga dia pakai! Kirana memicingkan matanya penuh arti. Mereka tinggal berdua tanpa gangguan, sedang ngambek-ngambekan, oh! Inilah waktu yang paling tepat untuk melancarkan jurus pil biru! Kirana menelan sukar salivanya. Deg-degan, apa iya dia harus memakai cara nekat begitu?
Kilat menyambar-nyambar di atas kepala Kirana tatkala dia saksikan dengan kedua bola mata hitamnya, Panji sedang duduk berdua bersama seorang perempuan muda yang tak dia kenal. Bajingan betul si Panji, barupergi sebentar menemani Ladia ke Mol, eh dia di rumah sendiri malah asyik-asyik dengan perempuan lain! Kirana meracau dalam hati. Tangan sudah dilipat Kirana di dada, menyiapkan diri untuk aksi cekcok telenovela jilid ke sekian. Tapi perempuan itu malah berdiri dan tersenyum sok ramah pada Kirana.“Ran, ini Raras, temenku dari Malang.” Panji memperkenalkan cewek berambut keriting kriwil itu.Raras?! Itu kan nama mantan yang disebut Ladia tadi! Pekik Kirana dalam hati. Level toleransinya makin berkurang. “Temen?! Atau mantan?!” sambar Kirana.Mata Panji terbelalak. “Kok kamu ...” Kalimatnya menggantung, dia sudah langsung tahu, pasti Ladia yang telah memberi tahu. “L