Seminggu lamanya Kirana mengurung diri di indekos. Dia mengajukan cuti, untungnya Pak Yayuk sedang berbaik hati untuk memberinya kelonggaran (kalau dipikir-pikir, Pak Yayuk kurang baik apa coba sama Kirana?). Sudah tiga hari juga Kirana jatuh sakit, dia menghabiskan waktu hanya dengan golekan di kasur, tidak memiliki motivasi untuk melakukan apapun, badannya jadi demam, dan kepalanya pusing. Nafsu makannya pun hilang, paling hanya sekali sehari memesan makanan cepat saji. Siapa lagi penyebab ini semua kalau bukan Panji. Gara-gara pertemuan dengan Panji minggu lalu, tak sedetik pun pikiran Kirana tenang. Ada banyak tentang Panji yang berseliwer silih berganti di otaknya, ada banyak pertanyaan yang sebetulnya ingin dia ajukan pada Panji. Rasa sesal setelah kemarin memaki Panji sekaligus bilang tak mau berjumpa lagi hanya membuat lukanya kembali bernanah.
Tok! Tok! Tok!
Pintu indekos digedor ketika Kirana sedang menonton TV dengan tenaga tersisa 5 watt. Mata Kirana berkedip lemah menonton TV yang sedang menayangkan acara Brownies yang penuh gimik. Dia tidak membalas ketukan pintu sebab sudah yakin benar dia kalau yang datang adalah Mila.
“Woi, Kirana! Lu di dalam, kan?! Gue dobrak, nih!” ancam Mila tak main-main. “Jangan lu pancing-pancing sabuk hitam gue keluar!” Mila berteriak lagi.
“Iya .... ! Masuk aja, gak gue kunci pintunya,” sahut Kirana akhirnya pasrah. Mana mungkin menang kalau melawan Mila binti Suparna.
“Bilang dari tadi, kek!” oceh Mila sambil memutar dan mendorong knop pintu. Dia segera disambut bau pengap lantaran nyaris tak ada sirkulasi udara. Mila membiarkan pintu terbuka supaya ada udara segar yang masuk. “Lu kenapa sih jadi kaya orang depresi begini? Lu dipecat apa gimana?” Mila mulai menginterogasi sambil berjalan ke dapur. Dia ambil mangkok besar, lalu menuang sop ikan yang dibawanya. “Nih, gue bawa sop ikan buatan nyokap gue, ya. Jangan lupa entar lu makan.” Soal perhatian, memang Mila juara. “Jadi, lu kenapa sih, Na?!” Fokusnya kembali ke topik semula yang jauh lebih penting.
“Gue minggu lalu ...” Kalimat Kirana menggantung. Menyebut nama Panji saja berat betul lidahnya. Dia memutuskan untuk duduk agar bisa lebih rileks, ditariknya nafas panjang. Mila telah kembali dari dapur, mereka duduk berhadapan. Muka Mila melongo, menunggu kelanjutan cerita sahabatnya. “... Gue ketemu Panji.”
“Panji milenium?” Sempat-sempatnya Mila berkelakar.
“Bukan!”
“Panji petualang?”
“Serah lu deh, Mil! Bete gue!” Kirana tidak jadi menangis sedih, malah sebal karena tingkah Mila yang usil.
“Iya sorry, hehe. Maksud lu si Panji mantan lu, kan? Yang badannya kaya raksasa? Dih, bukannya lu bilang lu udah move-on dari dia? Waktu itu cuma cinta monyet? Cinta gorila lu!” Mila menepuk pelan pipi bulat Kirana.
Kirana hening. Matanya kosong menatap ubin. Mila jadi merasa bersalah sudah usil pada Kirana, padahal dia tahu seberapa besar rasa cinta Kirana pada Panji, dan seberapa besar luka yang ditinggalkan. Kirana tentu malu jika ujungnya mesti mengaku lagi kalau dia sudah hancur hanya karena Panji (jadi, Panji ini manusia apa banjir rob? Kerjanya meluluh lantakan hati orang).
“Jadi gimana, Na? Dia bilang gak dia ke mana aja?” Setelah semenit sunyi, Mila bertanya lagi, tapi dia jaga volume suaranya.
“Belum sampe sana obrolan kami.”
“Trus?”
“Ya gak ada apa-apa, bentar doang, kok. Dia bilang dia ada niat buat mutusin gue dulu, makanya gue ngamuk trus gue bilang aja jangan pernah lagi dia muncul di hidup gue!” Kirana menekankan suaranya pada ujung kalimat.
“Pasti lu sekarang nyesel? Gara-gara itu lu jadi uring-uringan? Syudah kuduga~” Mila tersenyum pahit.
“Jadi gue mesti gimana, Mil? Sakit hati banget gue, ternyata cuma gue doang yang hidup dalam penantian. Dianya santai-santai aja, malah ternyata udah ada keinginan mau putus!” kecam Kirana.
“Saran gue, nih ...”
Kirana mendengarkan baik-baik, barangkali ada petuah bijak yang akan menetas dari mulut kecil Mila. “... Malam ini kita party sampe pagi!”
Gubrak!
Buat apa lagian Kirana mengambil serius omongan tukang mabuk seperti Mila? Minum atau tidak minum, cewek itu selalu dalam keadaan “tidak sadar”.
“Yang serius dikit dong, Mila! Pusing banget nih gue!”
“Hehe, sorry. Habisnya lu juga payah, sih. Kalo gue bilang lu fokus aja ke Akbar, emang bakal lu denger? Gak, kan? Pasti juga ujung-ujungnya lu ngejar si Panji! Mesti deh nanti lu bakal nyariin dia lagi, jadi apa pentingnya saran gue? Lu hanya butuh validasi atas keinginan goblok lu, Na!” Boleh juga nih centong nasi kalau nalarnya lagi bagus.
“Iya, sih~” Kirana tidak menepis.
“Biar tenang damai otak lu, sono cari dia, mumpung belum jauh perginya,” usul Mila.
“Tapi gue gak tau dia tinggal di mana. Waktu itu kami ketemu di toko buku bekas depan kafenya Akbar.”
“Ya lu ke sana aja! Cariin! Atau tungguin, pasti dia balik deh ke sana.”
“Kalo ketauan Akbar gue ngintilin Panji gimana?”
“Oh, jadi sekarang lu udah mikirin gimana perasaan Akbar? Udah mulai sayang, nih? Aciat-ciat~” Mila menggoda.
“Bukan gitu, pekok! Gimana pun juga, gue gak enak hati aja udah nerima perasaan dia tapi gue nya masih mikirin Panji. Mana hanya selisih sehari, lagi! Jangan-jangan ini memang cara alam bekerja, buat meyakinkan gue kalo Panji adalah jodoh sejati gue.”
Kumat deh khayalan Kirana yang mendekati delusi. Semua kebetulan yang menyangkut Panji mesti disebutnya disebabkan oleh alam.
“Ter-se-rah lu! Lu kejar aja terus tuh si raksasa, apa kerennya coba dia? Masih gantengan juga Akbar.” Mila bersungut-sungut.
“Lu kan sahabat gue! Support gue, dong!”
“Iye! Iye! Demi bumi dan langit, gue dukung lu, Na! Sekalipun itu pilihan paling tolol yang bisa menjerumuskan lu ke dalam lembah penderitaan, tetap gue dukung!” gerutu Mila hiperbola.
***
Satu hari.
Dua hari.
Tiga hari.
Setiap sepulang kerja Kirana menunggu di kafe milik Akbar. Hari pertama sampai ketiga sih masih ada semangat membara dengan harapan menggebu-gebu untuk bertemu Panji lagi, tapi di hari ke-empat, antusiasme Kirana mulai kedodoran. Tak ada tanda-tanda kemunculan batang hidung Panji. Kalau sampai kesempatan kecil ini pun akan pupus, entah jadi apa Kirana selanjutnya.
Kedua tangan Kirana dilipat di atas meja, dijadikan bantal untuk menopang dagunya. Wajahnya terus mengarah ke toko buku, tak sedetik pun dia lengah. Akbar mulai mencium ada sesuatu yang tidak beres. Seperti ada rempeyek di balik udang, eh, udang di balik rempeyek (padahal kan udang diselimuti tepung jadilah rempeyek bukannya dibalik. Terserah deh bodo amat, emangnya ini acara resep bikin rempeyek).
“Kamu lagi nunggu siapa, Na?” tanya Akbar seraya meletakkan segelas kopi panas untuk Kirana.
“Gak ada.” Kirana berbohong.
“Jangan-jangan kamu nunggu mantan kamu itu, ya?” tebak Akbar.
“Oh! Cowok gede yang kemaren-kemaren datang ke sini itu, Bos?!” Tiba-tiba Mamut ikut nimbrung, suaranya menggelegar sampai bikin Kirana terlonjak.
Muka Akbar pucat sambil melotot pada Mamut, sedang Mamut langsung pura-pura tidak mengucapkan apa-apa, tangannya kembali sok sibuk me-lap gelas-gelas yang baru dicuci Fitri.
“Cowok gede?! Datang ke sini?! Kapan?! Kok lu gak ngasih tau gue, Bar?!” Suara Kirana meninggi. Tidak salah lagi, pasti itu Panji, untuk apa dia datang ke kafenya Akbar?
Tidak ada jawaban. Suasana keburu senyap. “Jawab gue, Mut!” Karena Akbar tidak mungkin menjawab, Kirana mendesak Mamut. Tapi Mamut juga kepalang takut. Akhirnya Fitri yang buka suara,
“Iya, Na. Sehari setelah lu pergi pas sore itu, ada cowok berbadan gede datang ke sini, nanyain lu ada atau gak. Dia juga mastiin nama lu, Kirana. Tapi bos gak mau ngasih tau,” terang Fitri panjang lebar. Dia menilik Akbar seolah sedang menyalahkannya. Akbar mematung tak berkutik. “Tapi tenang aja, gue dikasih alamatnya, kok.” Sebelum Kirana meletus, ada angin segar yang cukup membuatnya menarik nafas lega.
Akbar tidak bisa mencegah, Fitri menyerahkan secarik kertas berisi alamat Panji pada Kirana. “Keterlaluan ya lu, Bar! Lu biarin gue nunggu kaya orang blo’on di sini! Padahal lu udah tau kalo gue dicariin!” sergah Kirana.
“Kamu pikir dulu, ini adil gak buat aku?!” Akbar balik emosi.
Untungnya sore itu kafe tidak ada pengunjung. Kirana, Mamut, dan Fitri sama-sama terkejut, baru kali ini si kalem Akbar naik suaranya. “Setahun ini aku yang menemani kamu, Kirana. Dia gak ada kabar 8 tahun! Lama banget itu, bayi udah jadi anak SD, tau gak? Hanya karna dia balik, kamu tega ngelupain semua usaha aku.” Sesi marah-marah berganti menjadi sesi curhat. Mata Akbar telah berkaca-kaca, rasanya ingin sekali Fitri berlari untuk memeluknya. Tapi apa daya.
“Gue kan gak bilang mau balik ke dia.” Kirana gugup dilanda rasa tak enak hati.
“Jadi buat apa lagi kamu nanya soal dia? Nungguin dia?” Akbar terus memojokkan.
“Ada sesuatu yang mau gue pastiin, itu aja,” kata Kirana melembek.
“Apa lagi yang harus dipastikan, Na? Masa lalu ya masa lalu.”
Perdebatan harus disudahi. Beberapa pengunjung baru saja masuk, Mamut dan Fitri kembali bertugas. Akbar pun tak mau lagi memperpanjang masalah, sebetulnya bertengkar di depan karyawan pun sudah cukup memalukan. Kirana diam, dipeluknya kertas bertuliskan alamat Panji. Debar jantungnya makin keras. Tidak lama lagi, dia kan bertemu pujaan hatinya lagi. Malam cepat lah tidur agar pagi segera datang, desis Kirana dalam hati. Kenapa mendadak jadi puitis begini Kirana? Orang kalau sudah terlalu cinta memang begitu, suka sedeng. Dan untuk Kirana, kasusnya lebih unik, lebih ekstrem levelnya, dia sudah gila!
Pohon jambu air sedang berbuah lebat di halaman depan sebuah rumah tua berpagar rendah. Halaman yang cukup luas dikotori daun-daun dan jambu-jambu air yang jatuh dan telah membusuk, jauh dari kata rapi apalagi bersih. Rumah bercat putih pudar itu mengingatkan Kirana pada rumah-rumah yang dia lihat di film-film Warkop DKI, rumah era 80'an. Dengan pintu besi berukuran besar, jendela pun besarnya hampir menyamai sebagian tembok, berada di muka dan sisi samping rumah, serta berlantai teraso. Kalau saja diberi sedikit polesan dan dirawat benar-benar, tentu rumah lawas itu akan terlihat indah dan menawan. Sayangnya ini malah terlihat suram seperti rumah hantu, Kirana jadi ragu untuk masuk. Ada apa gerangan Panji menempati rumah seseram ini? pikir Kirana heran."Nji ...! Panji ... !" Kirana memutuskan berseru memanggil dari luar pagar yang juga telah berkarat di sana-sini.Belum ada tanda-tanda yang menunjukkan rumah itu berpenghuni, masa iya Panji memberi alamat palsu? Emang
Bibir Kirana maju lima senti, tangan kirinya yang selama hampir tiga puluh menit menopang dagunya juga mulai kesemutan karena pegal, berkali-kali matanya melawan rasa kantuk yang menyerang. Keterlaluan sekali Panji, dia asyik memilih buku sampai mengabaikan Kirana. Ngapain ngajak kalo gini, anjrit! semprot Kirana dalam hati. Mereka tadinya memang ketemuan di toko buku bekas di depan kafenya Akbar, tapi karena Kirana tidak ingin Akbar tahu, dia mengajak Panji ke toko buku bekas lain dengan iming-iming dia tahu toko buku yang menyediakan lebih banyak pilihan buku tua.Sial, iming-iming asal bunyi itu malah jadi kenyataan. Panji sungguh berjumpa banyak buku-buku yang sudah lama dia cari. Kurang tega apa lagi si Panji, sudah membiarkan Kirana menunggu sekian tahun, seakan tidak cukup, sekarang dia membuat Kirana harus menunggu lagi.Puk!Buku setebal tiga ruas jari telunjuk orang dewasa tepat mendarat pelan di atas kepala Kirana. Rupanya Panji. "Kamu ngantu
Mari selisik sebentar, apa yang istimewa dari Panji? Sampai bikin Kirana cinta mati kewer-kewer padanya. Semua bermula di kelas 12 yang sebelumnya sudah dibahas. Tapi lebih tepatnya di akhir semester pertama. Hari jadwal piket Kirana jatuh di hari selasa. Memang sial, hari selasa diisi orang-orang malas. Bayu dan Raka duo tukang onar, sebelum bel pulang berbunyi, batang hidung keduanya sudah lenyap.Rasman cuma membersihkan papan tulis, setetes keringat saja tidak keluar dari pori-pori tapi dia sebut itu termasuk piket. Sisanya tinggal Ayudia dan Laksmi, Ayudia beralasan ada les piano yang mendadak, dan teramat sayang kalau dilewatkan. Nah, kalau Laksmi sedang absen. tersisalah Kirana satu-satunya hari itu untuk menyapu sekaligus mengepel seluruh kelas dan teras.Kirana yang sejatinya memang super lambat selambat keong bisa butuh waktu berjam-jam untuk menyelesaikan semua pekerjaan. Alhasil dia pulang sendirian lewat pukul 3, hanya tersisa beberapa adik kelas yang seda
“... Na! Kirana!” panggil Akbar. Berhubung Kirana terlalu larut berkutat dengan hape barunya, Akbar tidak punya pilihan selain menepuk bahunya.“Aposeh?” tanya Kirana agak sebal, arah matanya tidak bergeser dari layar hape.“Malam ini film yang kamu tunggu-tunggu udah rilis, loh.” Akbar duduk di hadapan Kirana lalu menopang dagu di atas meja, memasang tampang manis sebagai isyarat untuk mengajak nonton.“Film apaan ya, yang lagi gue tunggu-tunggu?” Kirana mengingat-ingat, alangkah banyak daftar film yang ingin dia tonton bulan ini. “Oh!” Dia berseru setelah menangkap satu judul. “Dua Garis Polisi! Yang itu, kan? Gue emang nungguin banget tuh film, udah rilis beneran?” Hape dia buka kembali untuk mengecek jadwal tayang bioskop di laman mbahgugel.“Bener, kan? Gimana kalo kita ajak Mila sama Adam? Kita kencan ganda?” usul Akbar yang langsung bikin Kir
Komputer di meja kerja Kirana masih memutar salah satu video dariyoutuberfavoritnya, Otto Gledek. Meski video itu seharusnya membuat penonton tertawa minimal mesem-mesem, Kirana malah bengong, matanya kosong. Welas yang baru kembali dari toilet mencuil pipi Kirana gemas. "Oi, kenapa lu? Kayak orang patah hati aja. Habis diputusin pacar lu yang punya kafe itu?" Dia menyelidik sambil menggoda."Hah! Kampret lu, Las," senggak Kirana, "lagi bingung nih gue. Udah seminggu gue dianggurin, cuma gara-gara gue ngajak mantan buat nonton bareng," bebernya curhat.Welas duduk anteng di kursinya, ingin tahu lebih lanjut, jarang-jarang Kirana mau cerita soal masalah pribadi. "Trus? Trus? Lu dicuekin pacar lu itu?" Sesekali Welas menyedot kopi dinginnya, menyiapkan diri untuk mendengar drama."Iya! Gue juga dicuekin sama mantan gue, itu yang paling bikin gue stres. Masa seminggu inichatgue kagak dibaca, padahal cuma hal sepele doang."
Mulut Kirana mengakak lebar menertawakan humor yang dilempar Welas sejak keluar dari lift tadi, gara-gara curhat kemarin sekarang mereka jadi mendadak bestfriend. Makan bareng, ngopi bareng, ke toilet bareng, pulang juga bareng seperti saat ini. Baru saja kaki Welas keluar dari pintu, tangannya lekas menyikut Kirana, lalu menunjuk sesuatu dengan bibirnya. Kirana mengikuti arah pandang Welas.Rupanya Akbar. Pria itu melipat tangan di depan dada, menunggu Kirana tidak jauh dari pintu keluar gedung tempat Kirana kerja. “Lu pulang duluan, ya. Biar gue selesaikan masalah gue,” kata Kirana sudah siap amunisi.“Good luckya, Na.See ya!” Welas beranjak, menyetop taksi.Kirana mendekati Akbar yang sedang memandangi jalan dengan muka gelisah. “E-hem! Lagi nunggu gue?” tanya Kirana dingin. Akbar menoleh cepat, wajah kagetnya berubah semringah setelah melihat sosok Kirana.“Iya! Kamu belum juga ba
Kekhawatiran Panji bukan tanpa alasan. Baru sehari pindah, Kirana sudah berulah. Seisi rumah Panji dia isi macam-macam perabot warna-warni. Kirana bohong waktu bilang dia hanya membawa sedikit barang. Nyatanya, dia bahkan rela menghabiskan separuh uang tabungan untuk membeli perabot-perabot modern dari IKEA. Diam-diam dia sudah merancang rumah impian di otak dan rumah Panji jadi korban pertama. Alasannya cukup masuk akal sih, biar suasana rumah terasa lebih berpenghuni, tapi mata Panji sakit, rata-rata Kirana memilih warna yang terlalu cerah, seperti merah muda dan ungu.Sofa tua dia singkirkan, kasur Panji yang sepreinya sudah buluk pun dia ganti dengan seprei baru bermotif bunga mawar. Peralatan masak, makan, semua satu set berwarna pastel. Dinding tak luput diberi sentuhan, jam dinding konyol berbentuk kandang burung, serta hiasan-hiasan dinding norak bertuliskan kutipan motivas(h)i(t) menjadi pilihan Kirana.“Tadah ...!&rdquo
Rencana busuk Kirana mesti dia tunda dulu. Pertengkaran soal interior rumah dengan Panji membuat mereka berada dalam situasi saling diam. Panji tidur di sofa beberapa malam, Kirana membiarkan pintu kamar terbuka supaya dirinya tidak dibayangi-bayangi hantu penghuni rumah, mau mengajak Panji tidur bareng juga dia gengsi. Terpaksalah hampir seminggu mereka mogok bicara. Tapi Kirana tetap melaksanakan tugas sesuai janjinya. Dia bersih-bersih, mulai dari menyedot debu, mengepel lantai, menyapu halaman. Setiap pagi dia juga menyiapkan sarapan, roti tawar selai cokelat kacang kesukaan Panji, dia letakkan begitu saja di atas meja bersama segelas susu hangat sebagai pendorong. Bahkan pakaian di keranjang kotor pun selalu dia cuci setiap dua kali sehari. Badannya lumayan gempor, sebab saat tinggal sendiri dia lebih cuek dan pemalas. Tampaknya semua pekerjaan itu dia lakukan hanya demi merebut perhatian Panji, cuma ingin membuatnya terkesan.Usaha Kirana tidak sia-sia. Ke
Gending manten kebo giro mengisi aula tempat berlangsungnya resepsi pernikahan Kirana dan Panji. Acara dilaksanakan secara sederhana dan tertutup hanya untuk keluarga dan sahabat terdekat. Kirana tidak bosan-bosan menoleh pada Panji yang tampak gagah mengenakan Solo Basahan. Senyum simpul terus merekah di bibir mereka berdua. Siapa sangka bahwa akhirnya mereka meraih akhir bahagia? (setidaknya sampai saat ini)."Keren! Jadi kawin juga lu! Emang jodoh gak ke mana, ya!" seru Mila yang baru datang bersama pacarnya, Adam. "Gue yang duluan pacaran, eh elu yang duluan kawin!" tambahnya sambil mencubit pipi Kirana."ish, nanti bedak gue cemong!" Kirana pura-pura ngambek."Tapi kalo lagi galau, ingat ... party dugem in the house, yo!" Adam mengekek. Dia sadar Panji langsung melempar lirikan tajam, dia segera berdalih, " Hehe ... canda ah, bro! Kirana udah gak main dugem lagi sekarang.""Ya gak papa juga sih
Suasana rumah Panji menjadi sangat kelabu dan kelam selama penyembuhan Kirana usai kehilangan calon jabang bayinya. Kirana diam total, sama sekali tak menyahut tiap kali diajak bicara. Rencana pernikahan pun batal, Kirana yang meminta untuk dibatalkan meski Panji bersedia untuk melanjutkan. Belum pernah Kirana merasa sekosong dan semenyesal ini, dia ingin tinggal bersama ibunya, hanya itu permintaan darinya. Setelah seminggu lebih pemulihan, Kirana pamit pulang, dia juga telah mengirim surat pengunduran diri ke tempat magang, dia berniat menyepi untuk waktu yang lama."Kamu pasti balik ke rumah kan, Ran?" tanya Panji sebelum Kirana menyeret kopernya masuk ke Bandara. Kirana diam, Panji mendesak lagi, "jawab aku, Rana! Kita masih bersama, kan?" Panji meminta janji Kirana. Begitulah manusia, kalau sudah tahu akan kehilangan, baru ketakutan sendiri (selama ini ke mana saja, Panji?)."Aku gak bisa janji." Suara Kirana datar.
Tidak semenakutkan bayangan Kirana, pihak keluarganya justru menyambut baik rencana pernikahannya dengan Panji. Ayahnya yang masih berada di Malaysia berjanji akan datang di hari pernikahan. Sikap sinis malah datang dari ibunya Panji. Setelah yakin akan menikah, Panji memboyong Kirana ke Malang untuk bertemu orang tuanya dan membahas persiapan pernikahan. Perempuan kepala 6 itu selayaknya calon mertua menerima kedatangan Kirana ke rumah tapi wajah pahitnya tidak bisa dia sembunyikan. Terlebih lagi Panji adalah anak laki-laki satu-satunya dan tertua, dia punya 2 adik perempuan kembar yang masih duduk di bangku SMA. Seorang ibu akan memasang benteng tertinggi bila ada perempuan lain yang siap menggeser posisinya, itulah yang dilakukan ibu Panji, Kirana menerima masalah baru: mertua."Bukan gitu caranya, begini!""Panji itu anaknya bebas, kebebasannya mutlak, kamu harus mengerti itu.""Kamu juga mesti tau dia itu alergi uda
Kirana turun dari mobil Akbar. Adegan mengantar romantis ini juga bagian dari rencana mereka. Sesuai harapan, Panji yang tengah bekerja di halaman belakang melongok dan melihat kekasihnya diantar Akbar, mereka berdua bahkan menyempatkan diri untuk mengobrol beberapa menit. Sebelum pergi, Akbar sengaja pula mengelus kepala Kirana, Panji diam-diam mengintip cemberut.“Keren, diantar mantan pacar sekarang. Bukannya kamu bete banget sama dia?” singgung Panji setelah Kirana berada di dapur. Gurat cemburu sama sekali tidak bisa dia tutupi.“Aku pikir itu bukan urusan kamu lagi.” Kirana memanfaatkan momen ini untuk menunjukkan taringnya, sekalian saja dia membeberkan niatnya dengan Akbar, niatnya yang palsu itu. “Dia siap untuk menikahi aku supaya anakku punya bapak resmi.”Panji terbelalak, napasnya tercekat. “Yang bener aja kamu!” Panji berdiri, protes tanpa basa-basi. &ld
Aroma obat yang dibenci Panji menyerang dari tiap sudut lorong ruang tunggu rumah sakit. Kalau bukan karena Kirana pingsan, Panji sudah sejak tadi kabur dari sana. Rumah sakit adalah salah satu tempat yang paling dia benci. Dia cemas, berharap Kirana baik-baik saja. Dia sedikit banyak sudah bisa menebak kalau akhir dari touring ini akan buruk. Fisik Kirana memang tidak terlalu fit, di atas motor berjam-jam tentu lumayan berat baginya.“Keluarga ibu Kirana?” Suster melongok dari pintu ruangan Dokter, Panji langsung berdiri dan ikut masuk.Sekilas dia menengok Kirana yang sedang berbaring di atas kasur pasien, dia sudah siuman tapi matanya masih tampak sayu. Panji duduk di hadapan Dokter, keduanya siap mendengar hasil pemeriksaan.“Ibu Kirana hanya kelelahan, efek dari sengatan matahari,” ucap Dokter sesuai dugaan Panji. Baik Panji maupun Kirana sama-sama lega, untuk sesaat mereka bisa menarik napas
“Lusa aku mau pergi touring, Ran,” ujar Panji pada saat mereka sedang menyantap makanan pada suatu malam.“Ke mana? Sama siapa?! Berapa lama?!” Kirana langsung mencecar dengan muka panik akan ditinggal kekasih hati.“Cuma ke Bandung, kok. Paling juga dua hari satu malam, di Bandung nginep dulu semalam trus balik lagi.”“Kalo gitu aku ikut! Kan lusa hari sabtu itu, sore minggu udah balik, aku bisa ikut!” Kirana menggenggam erat punggung tangan Panji, memohon supaya diajak serta.“Jangan ngaco ah, kamu. Itu kan khusus anggota komunitas motoran aja.” Panji menolak.“Jangan kamu kira aku gak tau ya kalo temen-temen komunitas kamu juga suka bawa cewek mereka! Masa aku gak boleh ikut?! Nji~ Please~” Kirana bergelayut manja.“Soalnya kalo kamu ikut, nanti berantakan acaranya, R
Sejak kejadian malam pertama itu, Panji dan Kirana semakin menempel seperti kertas diberi lem nasi. Api cinta mereka membara kuat-kuatnya seperti tak ada lagi yang bisa memisahkan mereka. Kirana rutin diantar jemput oleh Panji setiap hari, pun Kirana aktif mendukung dalam berbagai kegiatan pameran patung yang diikuti Panji. Pelan tapi pasti hubungan mereka kian membaik, dan terlihat arahnya akan ke mana. Kirana tak menyesal sama sekali telah membuat keputusan gila waktu itu, dia percaya hal itulah yang membuat Panji takluk.Setelah bertahun-tahun berkarier sebagai seniman topeng tanah liat, akhirnya impian Panji terwujud, dirinya terpilih menjadi salah satu pengisi pameran topeng di salah satu galeri kenamaan. Acara nya berlangsung sukses, Panji sendiri mendapat begitu banyak pujian. Topeng-topengnya laku keras, terjual dengan harga mahal.Tak hentinya Kirana memandangi Panji dengan muka super kagum.Usai pameran bergengsi itu terlaksan
Gantian sekarang malah Panji yang ngambek. Kirana mencoba mengajaknya bicara baik-baik tapi Panji tak menggubris. "Kamu udah makan?" Kirana terus berusaha membuka topik tapi Panji masih diam. Duh! Nih orang udah kayak cewek ABG lagi mens aja! Kirana menggerutu dalam hati. "Nji~ Dia itu tadi cuma teman kerjaku aja. Bener, kok!" Kirana menjelaskan meski Panji tak bertanya."Kamu bilang tadi ngantuk, ya udah sana tidur, aku masih mau bikin vas bunga pesanan Raras!" Kijang menyahut meski masih dongkol. Nampaknya juga dia sengaja menyebut nama Raras supaya Kirana balik cemburu.Kirana berbalik hendak masuk ke kamar, saat itulah terbit sebuah ide brilian. Obat dari Fitri belum juga dia pakai! Kirana memicingkan matanya penuh arti. Mereka tinggal berdua tanpa gangguan, sedang ngambek-ngambekan, oh! Inilah waktu yang paling tepat untuk melancarkan jurus pil biru! Kirana menelan sukar salivanya. Deg-degan, apa iya dia harus memakai cara nekat begitu?
Kilat menyambar-nyambar di atas kepala Kirana tatkala dia saksikan dengan kedua bola mata hitamnya, Panji sedang duduk berdua bersama seorang perempuan muda yang tak dia kenal. Bajingan betul si Panji, barupergi sebentar menemani Ladia ke Mol, eh dia di rumah sendiri malah asyik-asyik dengan perempuan lain! Kirana meracau dalam hati. Tangan sudah dilipat Kirana di dada, menyiapkan diri untuk aksi cekcok telenovela jilid ke sekian. Tapi perempuan itu malah berdiri dan tersenyum sok ramah pada Kirana.“Ran, ini Raras, temenku dari Malang.” Panji memperkenalkan cewek berambut keriting kriwil itu.Raras?! Itu kan nama mantan yang disebut Ladia tadi! Pekik Kirana dalam hati. Level toleransinya makin berkurang. “Temen?! Atau mantan?!” sambar Kirana.Mata Panji terbelalak. “Kok kamu ...” Kalimatnya menggantung, dia sudah langsung tahu, pasti Ladia yang telah memberi tahu. “L