Udara sore ini cukup bersahabat. Tak panas, juga tak mendung. Cocok untuk menyeduh segelas americano panas juga menyesap cappuccino dingin. Perpaduan aroma yang menenangkan dan menyegarkan di atas meja persegi di sebuah restoran. Langit jingga turut melengkapi kehangatan suasana dalam obrolan dua orang di pojok restoran tersebut. Mereka adalah Syila dan Arfan.Syila batal menemani Alyaa mengajar les bukan disebabkan ada acara keluarga, melainkan ia menemui Arfan di sebuah restoran cepat saji. Sengaja ia mengajak Arfan bertemu di jam sore agar memiliki alasan untuk menolak ajakan Alyaa. Lagipula siang tadi ia baru tiba di rumah dan harus menadahi sambutan selamat dari keluarganya. Ia tentu butuh istirahat untuk menghemat energi dan baterai sosialnya. Ditambah lagi, Arfan baru bisa menemuinya ketika jam kerja selesai."Selamat ya, Syila. Adik Kak Arfan yang manis ini akhirnya hampir lulus juga.” Arfan tersenyum lebar, matanya berbinar penuh kebanggaan saat mengucapkan kalimat itu.“Teri
Arfan tengah berbincang akrab dengan Marsya, seorang perempuan yang baru dikenalnya kemarin. Marsya muncul beberapa saat setelah Syila pamit ke toilet. Ia mampir ke restoran setelah berbelanja kebutuhan wisudanya, tanpa disangka, ternyata restoran itu juga menjadi tempat yang sama di mana Arfan berada.Marsya langsung berseri-seri begitu melihat Arfan. Dengan santai, ia menghampiri dan menyapa tanpa ragu. Arfan pun menyambut kehadiran Marsya dengan senyuman hangat, merasa nyaman dengan obrolan ringan yang mulai mengalir di antara mereka. Marsya kemudian duduk di kursi yang sebelumnya ditempati oleh Syila, seolah semuanya sudah menjadi kebetulan yang menyenangkan.“Kamu bawa apa saja, Sya?” tanya Arfan seraya melongok dua kantong yang dibawa Marsya.“Oh, ini!” Marsya tersenyum anggun sambil meletakkan belanjaannya di atas meja. Satu per satu isi kantongnya ia keluarkan secara bergiliran. Terpancar antusias yang tinggi ketika menunjukkan berbagai barang seperti skincare, kosmetik, headp
Syila seketika terkesiap saat mendadak suara yang dikenalinya memanggilnya. Ia bangkit dari kursinya dan menghadap ke asal suara. Wajahnya mendadak pucat, guratan kegugupan terlihat jelas di raut wajahnya. Di sana, tak jauh darinya, Arfan berdiri dengan ekspresi serius. Kehadirannya begitu tiba-tiba, membuat pikiran Syila penuh tanda tanya.Apakah dia telah memantaunya sejak tadi? Apakah Arfan sudah menantinya di belakang sedari lama? Apakah Arfan mendengar obrolannya tadi? Deretan pertanyaan penuh kegugupan mencecar batin dan pikiran Syila."Kamu dari tadi di sini? Kakak dari tadi nunggu kamu, loh,” ujar Arfan dengan nada yang sedikit menegur, alisnya mengerut menandakan kekecewaan.Syila tersentak, bola matanya menggelandang tak tentu arah. Ia mencoba mencari alasan yang masuk akal dan tak menambah kekecewaan Arfan. "M-maaf, Kak. Dari tadi—aku tunggu toilet sepi—lama banget antrenya." Syila tergagap. Ia tidak mungkin mengatakan ia menghabiskan waktu bersama Rendi, seorang lelaki ya
Cling! Cling!Nama “Mas Rendi” terpampang nyata di layar ponsel Syila saat dering telepon memanggil. Keringat dingin mulai menyelimuti Syila. Jika ia angkat panggilan tersebut ia akan gugup. Tapi jika ia biarkan, bisa-bisa ia akan diteror oleh orang itu. “Sekian pertemuan dengannya sudah cukup membuatku tahu kalau dia memang manusia menyebalkan,” pikir Syila, seraya menimbang pilihan.Dengan segala keberanian yang tersisa dan mengusir pikiran negatif, Syila akhirnya menerima panggilan itu."Anda siapa? Anda kurang kerjaan ya teror saya? Saya nggak suka Anda teror seperti ini. Kalau kita ada masalah mainnya pakai cara yang gentle, dong," sergah Rendi di ujung sana dengan nada tajam dan menohok. Bentakan itu sontak mengusir sisa ketenangan di hati Syila. Tangannya bergetar, tapi ia mencoba menjawab."Eh, enggak enggak!" ucap Syila secara spontan. Ia sangat gugup.Rendi pun terkejut mendengar suara perempuan di speaker ponselnya. Ia seperti mengenal suara perempuan itu. Tapi siapa, piki
Waktu bergulir cepat hingga kalender telah menunjuk akhir Februari 2022. Waktu kian mendekati jadwal wisuda UNICILA. Para mahasiswa yang telah menyelesaikan administrasi dan yudisium bersiap menghadapi momen istimewa itu. Syila termasuk di antara mereka, kini sibuk mempersiapkan kebutuhan wisudanya.Siang ini, Syila berada di supermarket ternama di Cilacap. Dua tas belanjaan tergantung di tangannya. Sebelum naik ke lantai tiga, ia menitipkan barang bawaannya pada petugas. Setiba di sana, rak-rak besar penuh boneka berjejer memikat perhatiannya. Matanya langsung tertuju pada boneka-boneka beruang kecil lengkap dengan topi wisuda. Senyum sumringah terpancar di wajahnya."Mereka pasti senang kalau aku kasih kejutan ini," gumamnya sambil memandangi deretan teddy bear.Hari-hari sebelumnya, Syila telah berdamai dengan rasa cemburunya pada Marsya. Ia memutuskan untuk melupakan prasangka tak beralasannya. Persahabatannya jauh lebih penting daripada ego pribadi. Ia bahkan berencana memberi ha
"Terima kasih, Kak." Syila menerima kembalian dari total bayaran belanjaannya di lantai tiga. Satu kantong besar berisi dua boneka beruang mini dan perlengkapan untuk membuat buket. Di sampingnya, masih berdiri lelaki yang sejak tadi setia menemaninya belanja. Rendi belum bosan membersamai gadis yang dijulukinya perempuan pemarah. Dengan percaya diri, dia menawarkan untuk membawakan belanjaan Syila."Enggak usah!" Syila menyingkirkan tangan Rendi tanpa ragu, tatapannya tajam, seolah mengukuhkan penolakan. Rendi pun berdecak kesal. Dia mengikuti langkah Syila menuruni eskalator ke lantai dua."Alyaa pasti terharu kalau tahu sahabatnya sangat perhatian," celetuk Rendi lantas merogoh ponsel di saku kemejanya, berpura-pura hendak memotret. Syila menatap tajam wajah Rendi sembari mengepalkan tangan ke sisi tubuh dan mengancam, "Awas kalau sampai macam-macam!" Namun, ancamannya tak menjadi persoalan bagi Rendi. Lelaki itu justru tertawa cekikikan karena mendapati wajah masam gadis di sebel
Rendi dan Shinta duduk di sebuah meja sudut restoran dekat supermarket. Suasana di antara mereka penuh keheningan yang aneh. Rendi tampak canggung, jemarinya terus memainkan gelas air mineral di depannya. Di sisi lain, Shinta menatap ke arah jendela dengan wajah sendu, seolah sedang menata pikirannya sebelum berkata.“Kenapa, Ren?” Shinta akhirnya memecah keheningan. Suaranya pelan, tapi sarat emosi. “Kenapa kamu nggak pernah kasih kabar? Teleponku nggak kamu angkat, pesan-pesanku nggak satu pun dibalas.”Sembari menarik napas berat Shinta lanjut mengeluh, “Aku rasa dua minggu adalah waktu yang cukup untuk kamu menenangkan diri. Aku rindu.” Shinta memandang kekasihnya dengan manik mata yang nanar.Rendi terdiam, berusaha merangkai jawaban yang tak terlalu menyakitkan. “Maaf ya, Shin. Aku memang udah tenang, tapi pekerjaan di kantor lagi padat banget.”Shinta mengangguk kecil, meski jelas raut wajahnya menyiratkan kecewa. “Aku mengerti. Tapi, aku cuma ingin tahu kamu baik-baik aja. Aku
Beberapa hari telah berlalu. Hari yang dinanti tiba. Sabtu, 5 Maret 2022, adalah hari wisuda kelulusan Syila dan sahabat-sahabatnya. Ia sudah tidak sabar naik ke panggung, menuntaskan pendidikan strata satunya, dan mulai merangkai mimpi besarnya sebagai seorang PNS guru.Pagi itu, mentari mengintip malu-malu dari celah jendela kamar Syila. Sinar keemasan menyapu perlahan meja belajar yang penuh dengan buku catatan dan tumpukan kertas ujian yang kini hanya menjadi kenangan. Syila menguap kecil, lalu beranjak membuka lemari pakaian dengan semangat. Toga yang telah lama tersimpan rapi di dalamnya menunggu untuk dipakai. Namun, saat membuka lemari, sebuah kain biru wardah terjatuh ke lantai.Syila memungut kain itu perlahan, memandanginya dengan tatapan yang berubah sendu. Kain tersebut adalah hadiah dari ibunya saat ulang tahunnya yang ke-20. Sebuah simbol harapan dari sang ibu agar Syila mulai mengenakan kerudung, sesuatu yang telah lama menjadi keinginan ibunya.“Ya Allah, aku udah ban
Pukul 19.45, Arfan masih belum juga muncul di halaman rumah Rendi. Situasi kian mengguncang kesabaran Syila. Baru saja ia melakukan dua panggilan. Namun, benar-benar tak ada jawaban. Sedikit pesan pun tak diterima dari sahabatnya.Mata Syila mulai panas menahan emosi. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Pandangannya beralih ke jalan depan rumah Rendi, berharap menemukan siluet Avanza yang dikenalnya. Angin malam berembus menusuk kulit, membawa aroma petrikor yang samar tercium. Jemarinya meremas kuat rok panjangnya, menyalurkan kekesalan yang kian memuncak.“Masih belum datang, Syil?”Suara Rendi membuat Syila menoleh. Lelaki itu baru saja keluar dari rumah setelah memastikan adiknya sudah makan malam. Syila hanya menggeleng pelan, tanda pasrah.Tanpa banyak kata, Rendi menyodorkan sebuah jaket berwarna army kepadanya. "Kamu nggak mau saya antar pulang aja?" tawarnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.Syila menatap jaket itu sekilas, lalu mengabaikannya begitu saja
Adzan Maghrib telah berkumandang sejak lima belas menit yang lalu. Gerombolan burung telah terbang kembali ke sarang. Binatang-binatang malam mulai memamerkan suaranya, menyongsong terbitnya bulan. Langit malam ini tampak cerah, walaupun embusan dingin menusuk kulit.Syila masih duduk tenang di ruang tamu rumah Rendi sambil memainkan ponselnya. Baris teratas dari kolom pesannya menunjukkan nama “Kak Arfan || SMP.” Ia baru saja mengabari sahabatnya bahwa pelajaran telah selesai, ia siap dijemput. Balasan pesannya juga memperlihatkan kalau Arfan sudah sedang meluncur ke lokasi.Tak berselang lama, Rendi muncul dari kamarnya. Dia baru selesai melaksanakan shalat Maghrib.Sambil terus berjalan, Rendi menegur, “Arfan udah di jalan?”Syila berdiri—menyambut, “Udah.”Rendi mengangguk. Dia menawarkan agar Syila tetap menunggu penjemputnya di ruang tamu. Akan tetapi, Syila tak berkenan dan lebih nyaman menunggu di bangku teras. “Lagipula, kalau di sana kan saya bisa langsung tahu kalau Kak Ar
Hari mulai menuju senja. Semburat jingga telah melambaikan sinarnya, mengisyaratkan malam segera berlayar. Saat ini, Syila sudah menyelesaikan tugasnya untuk mengajar Lisa. Ia senang bisa mentransfer pengetahuan yang dipelajarinya selama kuliah kepada orang lain. Apalagi Lisa sebenarnya anak yang cerdas. Dia mudah belajar hal-hal baru. Gadis kecil itu hanya kurang pendampingan dari orang-orang di sekitarnya.“Terima kasih ya, Kak. Kak Syila baiiiiikkk banget. Aku suka sama Kakak,” seru Lisa, matanya berbinar saat memeluk erat buku-bukunya.Syila tersenyum, meraih kepala Lisa dan mengusapnya lembut. “Sama-sama. Kakak juga suka. Semangat terus, ya!” pesannya."Kalau begitu Lisa ke kamar dulu ya. Daaah!" Lisa berlari ke kamarnya membawa buku pelajarannya tadi. Syila tersenyum melihat kepergian gadis kecil itu, lalu merapikan beberapa buku di meja. Syila melepas napas ringan, lalu menoleh ke arah Rendi yang duduk di sofa seberang. Sejak tadi, lelaki itu ikut menemani mereka belajar, ses
Pikiran Syila masih berputar perihal menerka gelagat tak biasa dari sahabat laki-lakinya. Bahkan setelah panggilan berakhir pun, logikanya tak dapat menemukan jawaban atas keheranannya. Oleh karena itu, ia memutuskan tak mengambil pusing percakapan tersebut dan fokus pada agendanya saat ini. Namun, alangkah terkejutnya saat dia berbalik badan, Rendi sudah berada di belakangnya."Arfan cemburu ya kamu ke sini?" tanya Rendi dengan ekspresi yang dingin.“Mas Rendi?!” Mata Syila membulat. “Dari tadi menguping?” tuduhnya kesal."Hmm... mungkin," jawab Rendi santai.Syila mendengus pelan, ekspresinya semakin muram."Udah, saya nggak bakal tanya macam-macam. Ayo masuk!" ajak Rendi, setengah menyeret langkahnya.Syila akhirnya menurut.Begitu masuk, Rendi kembali memperkenalkan Syila kepada Lisa. Ia menjelaskan bahwa mulai sekarang, Syila akan menggantikan Alyaa sebagai guru privat Lisa. Alyaa mengangguk membenarkan.Lisa tampak senang. Setidaknya, ia masih bisa belajar di rumah dengan seseor
Waktu seolah bergulir tanpa henti. Siang yang terik menggantikan sejuknya pagi, lalu berangsur meredup menuju sore. Jalanan disesaki kendaraan pribadi yang bergegas pulang dari kantor, sedangkan angkutan umum berdesakan dengan para penumpang yang ingin segera sampai ke tujuan. Hiruk-pikuk kota seolah menjadi irama rutin yang menemani kepulangan banyak orang.Di dalam sebuah taksi yang melaju perlahan di antara padatnya lalu lintas, Syila duduk berdampingan dengan Alyaa. Mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Rendi, menyelesaikan sebuah urusan yang tak bisa ditunda. Suasana dalam taksi terasa nyaman meski laju kendaraan sesekali tersendat akibat kepadatan jalanan. Untuk mengusir kejenuhan, mereka mulai bercakap-cakap."Aku masih heran, kamu bisa berubah pikiran dan akhirnya terima tawaran aku," ujar Alyaa tiba-tiba, memecah keheningan.Syila menoleh, menatap sahabatnya sejenak sebelum tersenyum tipis. "Aku juga nggak menyangka akan setuju. Tapi ada satu hal yang bikin aku akhirnya
Keesokan harinya, matahari tak malu-malu menampakkan sinar kuningnya di pagi hari. Gerombolan awan menghiasi langit, melukiskan suasana pagi yang lebih sejuk. Kicauan burung bersahutan, menambah syahdu pesona pagi yang perlahan menggeliat dari kantuknya.Di tengah pagi yang cerah itu, Rendi baru saja mengantarkan adiknya ke sekolah. Ia berdiri di sisi kanan gerbang, mengawasi Lisa yang bersiap memasuki area sekolah."Sekolah yang benar! Dengarkan kata Bu Guru," pesan Rendi lembut, memastikan adiknya benar-benar siap menjalani hari."Iya, Kak. Nanti Kakak nggak usah jemput Lisa. Biar Bi Sumi aja yang ke sini. Kakak fokus kerja aja ya," balas Lisa. Ia menyambar lembut tas gendong yang sejak tadi ditenteng kakaknya.Awalnya Rendi tampak ragu. Lisa jarang sekali berkata seperti itu. Namun, tatapan mata bulat adiknya yang penuh keyakinan membuatnya luluh. Dengan senyum tipis, ia akhirnya mengangguk.Lisa pun mencium punggung tangan kakaknya dengan penuh hormat. Sebelum berbaur dengan gerom
Arfan terus mengikuti langkah Syila menuju tempat mobilnya terparkir. Dia tak hanya menemani, tetapi juga memastikan sahabatnya sampai di sisi pintu dengan aman. Sesampainya di sana, dia menyerahkan tas selempang kecil milik Syila.“Terima kasih ya, Kak,” ucap Syila seraya menerima tasnya.“Ayo pulang!” titah Arfan singkat. Ekspresinya dingin, tetapi menyimpan kesan protektif yang hanya bisa diterka oleh Syila.Saat Arfan hendak membuka pintu untuknya, Syila buru-buru menahan gerakan tangannya. “Aku bisa buka sendiri, Kak,” tegur Syila dengan ramah.Arfan tidak memberi jawaban—hanya mengangguk singkat sebelum berbalik menuju sisi kemudinya. Namun, langkahnya terhenti begitu melihat Syila merogoh tas dan mengambil ponselnya. Seketika, gadis itu tersenyum kecil saat membaca pesan di layar.Arfan menyipitkan mata, rasa penasaran berkelebat dalam benaknya. Siapa yang mengirimi Syila pesan sampai membuatnya tersenyum seperti itu?Sementara itu, Syila masih terpaku pada layar ponselnya. Sen
Kini Rendi dan Syila sudah duduk bersisian di bangku taman rumah sakit. Bangku yang baru saja ditempati Syila beberapa saat lalu. Saat ini Rendi duduk di sebelahnya, dengan pandangan kosong yang tak beranjak dari lorong lobi rumah sakit. Ia terlihat gelisah, jemarinya terus mengusap-usap telapak tangannya sendiri, seolah mencari ketenangan dari kegelisahan yang tak terlihat.Syila meliriknya sekilas, tapi tak berkata apa-apa. Ia tahu ada yang ingin disampaikan Rendi, tapi lelaki itu tampaknya masih ragu untuk memulai. Suasana di sekitar mereka terasa sunyi meskipun di kejauhan terdengar sesekali suara langkah orang-orang yang berlalu lalang di lobi.“Saya nggak tahu, Syil,” akhirnya Rendi membuka suara, pelan dan berat. “Apakah langkah saya hari ini sudah bijak atau justru ceroboh.”Syila tak segera menanggapi. Ia memilih diam, membiarkan Rendi mengutarakan apa yang mengganjal di pikirannya tanpa tergesa-gesa.“Saya bertengkar hebat dengan pacar saya siang tadi,” lanjut Rendi, masih d
“Non Shinta kecelakaan.” Suara itu masih menggema di telinga Rendi yang baru saja tiba di teras rumahnya. Kabar itu seolah petasan yang memekakkan telinganya. “Shinta celaka? Hah?” Rendi masih terperangah, tak percaya. Sore ini ia baru saja melepas kepergiannya dengan hati yang dipenuhi amarah, dan kini mendengar kabar bahwa Shinta kecelakaan—sesingkat itu? Sekujur tubuhnya mendadak memanas. Bi Sumi berdiri di hadapannya, wajahnya cemas. “Dia ada di Rumah Sakit Azzahro. Keluarganya bilang, Non Shinta sakit gara-gara Nak Rendi.” Guncangan menghantam dada Rendi, membuatnya terdiam sesaat. "Gara-gara Rendi? Kok bisa?" tanyanya, masih kebingungan. Tangannya otomatis mulai melepas kancing lengan kemeja panjangnya. Bi Sumi menggeleng, matanya tak lepas dari wajah Rendi yang mulai tampak tertekan. “Bibi juga nggak tahu pasti. Mungkin Nak Rendi lebih baik ke rumah sakit sekarang.” Rendi menatap Bi Sumi dengan tajam, berusaha menenangkan dirinya yang bergejolak. Tanpa berkata banyak, ia