Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengusik tidurku, terpaksa aku membuka mata yang sebenarnya masih sangat mengantuk ini. Ternyata hari sudah pagi. Entah mengapa aku merasa malamku sangat singkat. Bagaimana tidak? Aku sama sekali tidak bisa tidur dengan nyenyak karena ulah ayah dan kakakku yang suka mengajak teman-temannya datang ke rumah untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Aku sangat benci kebiasaan yang mereka lakukan itu. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Aku hanya bisa diam dan menyaksikan semua itu. Rumahku memang berada di pelosok desa dan melewati gang sempit, sangat aman digunakan untuk segala sesuatu yang melanggar hukum. Itulah mengapa rumahku menjadi tempat favorit untuk judi dan mabuk-mabukan. Aku sempat berpikir untuk pergi dari sini, tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Hanya akan membuat ayah dan kakakku semakin leluasa dan terjerumus dalam hal yang tidak baik. Setidaknya, keberadaanku di sini untuk menasihati mereka. Meskipun nasihat itu sama sekali tak pernah didengarkan oleh mereka.
Aku melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Aku segera keluar dari kamar untuk mandi dan bersiap berangkat ke sekolah. Hari ini, aku libur kerja. Ya, biasanya setiap habis subuh aku selalu pergi ke pasar untuk bekerja sebagai kuli panggul. Dari sana aku bisa mendapatkan uang untuk makan sehari-hari. Sejak duduk di kelas 5 SD, aku sudah dibiarkan oleh ayah dan kakakku. Mereka bilang aku harus mandiri dan tidak boleh terlalu bergantung pada siapa pun. Itulah yang membuatku terbiasa mencari uang sendiri. Banyak pekerjaan yang pernah aku jalani, menjadi tukang kebun di rumah tetangga yang kaya raya, membantu mencuci piring di warung makan, sampai akhirnya menjadi kuli panggul di pasar. Sedangkan ayah dan kakakku setiap hari hanya sibuk berjudi dan mabuk-mabukan.
Namaku Ardan Rakha Wisesa, dilahirkan oleh wanita cantik yang bernama Hana Pradipta. Perempuan yang bahkan tidak pernah kulihat sama sekali dalam hidupku. Ya, dia meninggal tepat setelah aku lahir ke dunia ini. Itulah yang menyebabkan ayah dan kakakku tidak begitu peduli padaku. Mereka bilang, hidupnya berubah 180° semenjak aku lahir dan menjadi bagian dari keluarga mereka. Ayahku, Dedi Sanjaya dulu adalah seorang petani yang sangat sukses. Hampir semua tanah persawahan di kampung itu adalah miliknya. Hidup dalam keadaan yang mewah dan bergelimang harta. Kakakku, Edwin Abraham masih bisa menikmati semua kekayaan itu. Hingga ia menjadi anak yang manja. Namun semua itu hanya bertahan sampai ia berusia sembilan tahun, tepat ketika aku lahir ke dunia. Ibuku meninggal dan ayahku menjadi frustasi sehingga tidak mampu menangani semua usahanya dan diserahkan kepada seseorang yang sudah dipercaya menjadi tangan kanannya. Namun justru ia ditipu oleh orang tersebut dan kehilangan semua kekayaan yang dimilikinya. Ayah bilang semua itu adalah kesalahanku, aku dilahirkan ke dunia ini hanya untuk memberikan kesialan yang bertubi-tubi bagi keluarga ini. Aku hanya bisa diam dan menerima semua ucapan buruk yang ditujukan padaku itu.
“Kalah lagi. Kapan kita akan beruntung lagi, Ayah?” tanya Edwin pada Ayah. Pasti mereka sedang membahas tentang judi.
Aku yang baru keluar dari kamar mandi dan hendak kembali ke kamar tidak begitu memedulikan mereka. Namun lagi-lagi aku mendengar kata-kata yang sangat menyakitkan hati.
“Kita hanya akan beruntung jika anak pembawa sial itu enyah dari muka bumi ini.” Jawab Ayah terdengar sangat santai. Seperti ia mengatakan hal yang biasa dan tidak menyakiti hati orang lain.
Edwin yang mengerti maksud perkataan Ayah, memandangku dengan tatapan penuh kebencian. Aku sempat melirik sekilas, namun kembali memilih untuk mengabaikan mereka. Aku segera menuju ke kamar dan bergegas berangkat ke sekolah.
Ketika hendak berangkat pun, kembali kudengar mereka menyinggungku.
“Sekolah tinggi-tinggi buat apa? Anak orang susah ya sudah pasti hidupnya akan susah juga. Tidak usah bermimpi terlalu tinggi.” Kata Edwin yang memang memilih untuk putus sekolah, bahkan ijazah SMP pun dia tidak punya. Sedangkan aku? Aku masih terus bersekolah karena otakku yang pintar sehingga mendapat beasiswa dan bahkan bisa bersekolah di sekolah yang elite.
Membahas tentang sekolah, juga bukan tempat yang nyaman bagiku. Di sana, aku hanya dijadikan sebagai sumber contekan dan juga target bullying. Namun tak apa, setidaknya aku bisa lepas dari bau alkohol di rumah yang selalu membuatku pusing.
“Dia sama sekali tidak mendengarkan kita, biarkan saja dia. Biar dia cari hidupnya sendiri.” Kata Ayah.
Aku memilih untuk diam dan bergegas pergi ke sekolah. Jarak sekolah dari rumahku cukup jauh. Aku menempuhnya dengan naik angkot atau menumpang teman yang searah. Aku berjalan santai menuju angkot yang memang biasa mangkal di depan gang. Aku segera masuk ke dalam angkot yang sudah hampir penuh itu. Tak kudapati satu pun dari mereka yang mengenakan seragam sekolah sepertiku. Kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu yang hendak berangkat ke pasar.
“Ardan.” Panggil seseorang berhasil mengagetkanku.
Ternyata itu adalah Darwin. Teman sekolahku semasa SMP. Dia juga hendak berangkat sekolah, namun sekolahnya berbeda denganku. Dia bersekolah di sekolah swasta yang berjarak tak jauh dari sekolahku.
“Darwin, tumben naik angkot. Di mana motormu?” tanyaku pada Darwin.
“Sebenarnya aku juga malas sekali berdesak-desakan seperti ini. Tapi apa boleh buat, motorku rusak parah akibat balapan malam tadi. Masih untung aku tidak apa-apa.” Jawabnya.
Tak perlu kaget, selain judi dan mabuk-mabukan, anak-anak muda di kampungku juga suka sekali balapan liar di jalanan dekat hutan. Tentu saja dengan taruhan yang besar.
“Masih rame balapan liar itu? Bukannya pernah ketahuan pihak kepolisian?” tanyaku karena aku pernah mendengar tentang balapan liar yang didatangi banyak aparat kepolisian.
“Tak akan ada yang peduli dengan polisi. Lagi pula juga tidak setiap hari mereka beroperasi di daerah ini.” Kata Darwin terdengar sangat santai seperti tak takut akan hal apa pun.
Aku tidak menanggapi ucapannya. Aku tahu hal itu. Warga kampungnya memang terkenal sangat suka membuat kerusuhan. Beberapa menit kemudian angkot itu berangkat, karena memang penumpangnya pun sudah penuh. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai di sekolah. Aku mengisi kejenuhan duduk di angkot dengan membaca buku pelajaran yang terjadwal di hari ini. Ya, aku memang terkenal sebagai Kutu Buku.
Angkot berhenti tepat di depan sekolahku. Aku menepuk bahu Darwin. Dia mengangguk. Seperti biasa, setiap turun dari angkot aku selalu menjadi pusat perhatian. Bagaimana tidak? Aku yang naik angkot sangat berbeda dengan mereka yang bawa mobil pribadi atau antar jemput kendaraan mewah, bahkan yang naik motor pun jarang. Maklum, orang-orang kaya.
“Ih, bau apa nih?” tanya salah satu perempuan yang memang terkenal paling suka membully, namanya Citra Devana. Ia dan kedua pengawalnya satu kelas denganku. Kelas XI IPA 3.
“Bau angkot lah, Cit.” Jawab dua pengawal setianya, Rachel Graciela dan Divya Helena.
Seperti biasa, setelah itu mereka tertawa terbahak-bahak dan lalu pergi. Aku tak pernah begitu memedulikan mereka. Bisa sekolah saja aku sudah sangat beruntung.
Baru saja aku hendak melangkahkan kaki menuju kelas, sudah ada seseorang yang memanggilku. Indira Jovanka, dia adalah satu-satunya sahabat yang kumiliki. Dia sama sepertiku, berkacamata dan Kutu Buku. Dia juga target bullying.
“Ardan, kamu dipanggil pemilik yayasan. Sudah sejak tadi, tapi aku baru melihatmu sekarang.” Kata Indi terlihat panik. Entah apa yang terjadi sehingga aku dipanggil oleh pemilik yayasan sekolah ini. Dipanggil oleh orang yang memberiku beasiswa.
“Ada apa, Indi? Mengapa aku dipanggil.” Tanyaku penasaran.
Bukannya menjawab, Indi justru menarik tanganku menuju ke ruangan pemilik yayasan. Ada beberapa orang di sana. Termasuk salah satunya adalah anak perempuan yang memakai seragam sama denganku, anak perempuan yang tak pernah kulihat sebelumnya.
“Kamu Ardan?” Tanya Pak Adam Ivander, pemilik yayasan dari sekolah ini.
Aku hanya mengangguk. Pikiranku kacau, aku takut beasiswaku dicabut dan aku harus berhenti sekolah. Namun ternyata aku terlalu berpikir secara berlebihan. Justru hal baik yang terjadi padaku, hal yang tidak pernah aku bayangkan.
“Perkenalkan, dia anakku. Namanya Vanda Valeria Ivander. Aku ingin kamu membimbingnya, menjadi guru les privat untuknya. Aku dengar kamu adalah siswa paling pintar di sekolah ini.
Aku hanya mengangguk, hampir pingsan mendengarnya. Itu artinya aku akan sering bertemu dengan perempuan cantik itu. Jujur saja, aku merasakan detak jantungku berdetak berkali lipat lebih cepat saat menatapnya dan saat tatapan kami bertemu. Apa ini yang namanya cinta pada pandangan pertama?
“Ardan, Ardan.” Panggil Indi.Aku mendengar panggilan itu, namun aku masih saja terpaku pada gadis pemilik nama Vanda itu. Entah mengapa aku sangat tertarik padanya. Bahkan dia pun tidak memandangku sebagaimana gadis-gadis sombong di sekolah ini memandangku. Vanda menatapku dengan tatapan menghargai, bahkan dengan sekilas senyum yang menambah elok parasnya.“Kamu keberatan, Ardan?” tanya Pak Adam padaku.Kali ini aku mencoba kembali fokus. Dan satu-satunya jalan adalah dengan berhenti memandangi Vanda.“Ti-tidak, Pak. Saya bersedia.” Jawabku gugup.“Baiklah, kamu bisa mulai mengajarinya mulai besok setiap pulang dari sekolah selama 2 jam. Masalah gaji bisa kita bicarakan nanti. Sekarang, ajak Vanda masuk kelas. Saya sengaja menempatkan Vanda untuk satu kelas dengan kamu dan juga Indi. Semoga dia tidak salah pergaulan.” Kata Pak Adam membuat hatiku semakin berbunga-bunga. Aku menganggap hari ini adalah
Bel masuk sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu tapi belum juga ada guru yang masuk ke dalam kelas. Aku sebagai ketua kelas hendak melapor ke ruang guru tapi seperti biasa selalu mendapat respons tidak baik dari teman-teman sekelasku“Mau ke mana kamu, Cupu?” tanya seorang teman sekelas laki-laki yang bernama Andre, dia satu geng dengan Alex. Sama-sama suka membully diriku“Sejak tadi bel sudah berbunyi tapi Bu Agnes belum masuk juga. Aku harus melapor ke ruang guru. Mungkin ada tugas untuk kita.” Kataku menjelaskan.“Seperti biasa, mau cari muka dia. Kita lempar pakai kertas saja wajah polos itu.” Imbuh Roy, juga masuk kelompok Alex.Satu kelas kompak menyobek kertas dan membentuknya bulat lalu melempariku yang masih berdiri di depan kelas.“Dasar kampungan, jadi seperti ini perilaku anak-anak di sekolah ini? Benar-benar kekanak-kanakan. Seharusnya kalian kembali saja ke taman kanak-kanak.” U
Aku berjalan terburu-buru menuju kelas, sepanjang jalan aku terus saja mengumpat. Aku menyesal sekali harus melihat adegan seperti tadi. Sesampainya di kelas, Vanda dan Indi memandangiku dengan tatapan yang aneh. Mungkin mereka menangkap ada yang aneh dari diriku. Tentu saja, napasku terengah-engah. Bagaimana tidak? Aku belum pernah menyaksikan adegan seperti itu sebelumnya bahkan di video seperti yang anak-anak lain bicarakan. Dan hari ini aku harus menyaksikannya secara langsung.“Ada apa, Ardan?” tanya Indi padaku. Aku masih diam saja, belum sanggup menjawab. Masih berusaha menetralkan napasku. Bahkan jika aku mampu menjawab pun, aku tidak mungkin menceritakan apa yang tadi aku lihat. Apa lagi dengan kenyataan bahwa Vanda pernah menjalin kasih dengan Alex, pasti hal yang baru saja aku lihat akan menyakiti hatinya.Indi masih penasaran ingin mendengar jawaban dariku, sedangkan Vanda terlihat acuh dan sibuk dengan ponselnya. Pekerjaan kelompok kami kulihat
Hari ini, aku pulang sekolah seperti biasa. Mungkin mulai besok, aku akan pulang telat karena sudah mulai menjadi guru les privat Vanda. Vanda, mengingat nama itu lagi-lagi membuat jantungku berdetak berkali lipat lebih kencang. Baru hari pertama bertemu saja dia sudah meluluh lantahkan hatiku, apa yang akan terjadi jika aku hampir setiap hati bertemu dengannya? Ah, aku harus bisa menetralkan perasaanku. Lagi pula, berharap terlalu berlebihan hanya akan membuatku sakit. Toh kami juga berasal dari kasta yang berbeda. Ibarat pungguk merindukan rembulan jika aku terlalu menaruh harapan padanya.“Heh, Ardan.” Panggil seseorang dari arah belakangku yang tak lain adalah Indi. Dia berlari tergopoh-gopoh menghampiriku.“Ada apa? Mengapa lari-lari?” tanyaku santai saat dia sudah berdiri di sebelahku.“Sejak kapan kamu tuli, hah? Tanya Indi lagi, “aku memanggilmu sejak tadi, sejak kamu keluar dari gerbang sekolah. Dan lihat, kamu baru m
Aku sudah sampai di halaman rumah sekarang, bahkan bisa kucium bau alkohol dari jarak beberapa meter. Tuhan, sampai kapan aku harus terus hidup dalam keadaan yang sebenarnya sangat aku benci? Siapa lagi yang bisa mengubah nasibku selain diriku sendiri dengan bantuan dari Tuhan. Aku berjalan memasuki ruang tamu, ada banyak orang di sana. Sedang duduk melingkar main domino sambil menikmati minuman beralkohol. Ck, pemandangan yang sangat membosankan. Saat aku masuk, semua mata tertuju padaku. Beberapa orang dari mereka sudah mengenalku, namun rupanya ada beberapa orang baru yang turut bergabung. Bukannya semakin habis justru anggotanya semakin banyak. Jadi memang benar bahwa mencari teman dalam dosa itu lebih mudah daripada mencari teman untuk diajak dalam kebaikan.“Wih, calon presiden sudah pulang rupanya. Ck, kenapa wujudmu mengerikan sekali? Katanya anak sekolah, pulang bukannya bersih namun justru banyak kotoran di seragammu. Kamu habis berenang di got atau bagaimana,
Aku sudah sampai di halaman rumah sekarang, bahkan bisa kucium bau alkohol dari jarak beberapa meter. Tuhan, sampai kapan aku harus terus hidup dalam keadaan yang sebenarnya sangat aku benci? Siapa lagi yang bisa mengubah nasibku selain diriku sendiri dengan bantuan dari Tuhan. Aku berjalan memasuki ruang tamu, ada banyak orang di sana. Sedang duduk melingkar main domino sambil menikmati minuman beralkohol. Ck, pemandangan yang sangat membosankan. Saat aku masuk, semua mata tertuju padaku. Beberapa orang dari mereka sudah mengenalku, namun rupanya ada beberapa orang baru yang turut bergabung. Bukannya semakin habis justru anggotanya semakin banyak. Jadi memang benar bahwa mencari teman dalam dosa itu lebih mudah daripada mencari teman untuk diajak dalam kebaikan.“Wih, calon presiden sudah pulang rupanya. Ck, kenapa wujudmu mengerikan sekali? Katanya anak sekolah, pulang bukannya bersih namun justru banyak kotoran di seragammu. Kamu habis berenang di got atau bagaimana,
Hari ini, aku pulang sekolah seperti biasa. Mungkin mulai besok, aku akan pulang telat karena sudah mulai menjadi guru les privat Vanda. Vanda, mengingat nama itu lagi-lagi membuat jantungku berdetak berkali lipat lebih kencang. Baru hari pertama bertemu saja dia sudah meluluh lantahkan hatiku, apa yang akan terjadi jika aku hampir setiap hati bertemu dengannya? Ah, aku harus bisa menetralkan perasaanku. Lagi pula, berharap terlalu berlebihan hanya akan membuatku sakit. Toh kami juga berasal dari kasta yang berbeda. Ibarat pungguk merindukan rembulan jika aku terlalu menaruh harapan padanya.“Heh, Ardan.” Panggil seseorang dari arah belakangku yang tak lain adalah Indi. Dia berlari tergopoh-gopoh menghampiriku.“Ada apa? Mengapa lari-lari?” tanyaku santai saat dia sudah berdiri di sebelahku.“Sejak kapan kamu tuli, hah? Tanya Indi lagi, “aku memanggilmu sejak tadi, sejak kamu keluar dari gerbang sekolah. Dan lihat, kamu baru m
Aku berjalan terburu-buru menuju kelas, sepanjang jalan aku terus saja mengumpat. Aku menyesal sekali harus melihat adegan seperti tadi. Sesampainya di kelas, Vanda dan Indi memandangiku dengan tatapan yang aneh. Mungkin mereka menangkap ada yang aneh dari diriku. Tentu saja, napasku terengah-engah. Bagaimana tidak? Aku belum pernah menyaksikan adegan seperti itu sebelumnya bahkan di video seperti yang anak-anak lain bicarakan. Dan hari ini aku harus menyaksikannya secara langsung.“Ada apa, Ardan?” tanya Indi padaku. Aku masih diam saja, belum sanggup menjawab. Masih berusaha menetralkan napasku. Bahkan jika aku mampu menjawab pun, aku tidak mungkin menceritakan apa yang tadi aku lihat. Apa lagi dengan kenyataan bahwa Vanda pernah menjalin kasih dengan Alex, pasti hal yang baru saja aku lihat akan menyakiti hatinya.Indi masih penasaran ingin mendengar jawaban dariku, sedangkan Vanda terlihat acuh dan sibuk dengan ponselnya. Pekerjaan kelompok kami kulihat
Bel masuk sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu tapi belum juga ada guru yang masuk ke dalam kelas. Aku sebagai ketua kelas hendak melapor ke ruang guru tapi seperti biasa selalu mendapat respons tidak baik dari teman-teman sekelasku“Mau ke mana kamu, Cupu?” tanya seorang teman sekelas laki-laki yang bernama Andre, dia satu geng dengan Alex. Sama-sama suka membully diriku“Sejak tadi bel sudah berbunyi tapi Bu Agnes belum masuk juga. Aku harus melapor ke ruang guru. Mungkin ada tugas untuk kita.” Kataku menjelaskan.“Seperti biasa, mau cari muka dia. Kita lempar pakai kertas saja wajah polos itu.” Imbuh Roy, juga masuk kelompok Alex.Satu kelas kompak menyobek kertas dan membentuknya bulat lalu melempariku yang masih berdiri di depan kelas.“Dasar kampungan, jadi seperti ini perilaku anak-anak di sekolah ini? Benar-benar kekanak-kanakan. Seharusnya kalian kembali saja ke taman kanak-kanak.” U
“Ardan, Ardan.” Panggil Indi.Aku mendengar panggilan itu, namun aku masih saja terpaku pada gadis pemilik nama Vanda itu. Entah mengapa aku sangat tertarik padanya. Bahkan dia pun tidak memandangku sebagaimana gadis-gadis sombong di sekolah ini memandangku. Vanda menatapku dengan tatapan menghargai, bahkan dengan sekilas senyum yang menambah elok parasnya.“Kamu keberatan, Ardan?” tanya Pak Adam padaku.Kali ini aku mencoba kembali fokus. Dan satu-satunya jalan adalah dengan berhenti memandangi Vanda.“Ti-tidak, Pak. Saya bersedia.” Jawabku gugup.“Baiklah, kamu bisa mulai mengajarinya mulai besok setiap pulang dari sekolah selama 2 jam. Masalah gaji bisa kita bicarakan nanti. Sekarang, ajak Vanda masuk kelas. Saya sengaja menempatkan Vanda untuk satu kelas dengan kamu dan juga Indi. Semoga dia tidak salah pergaulan.” Kata Pak Adam membuat hatiku semakin berbunga-bunga. Aku menganggap hari ini adalah
Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengusik tidurku, terpaksa aku membuka mata yang sebenarnya masih sangat mengantuk ini. Ternyata hari sudah pagi. Entah mengapa aku merasa malamku sangat singkat. Bagaimana tidak? Aku sama sekali tidak bisa tidur dengan nyenyak karena ulah ayah dan kakakku yang suka mengajak teman-temannya datang ke rumah untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Aku sangat benci kebiasaan yang mereka lakukan itu. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Aku hanya bisa diam dan menyaksikan semua itu. Rumahku memang berada di pelosok desa dan melewati gang sempit, sangat aman digunakan untuk segala sesuatu yang melanggar hukum. Itulah mengapa rumahku menjadi tempat favorit untuk judi dan mabuk-mabukan. Aku sempat berpikir untuk pergi dari sini, tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Hanya akan membuat ayah dan kakakku semakin leluasa dan terjerumus dalam hal yang tidak baik. Setidaknya, keberadaanku di sini untuk menasihati mereka. Meskipun nasihat itu sama sekali tak pernah