Bel masuk sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu tapi belum juga ada guru yang masuk ke dalam kelas. Aku sebagai ketua kelas hendak melapor ke ruang guru tapi seperti biasa selalu mendapat respons tidak baik dari teman-teman sekelasku
“Mau ke mana kamu, Cupu?” tanya seorang teman sekelas laki-laki yang bernama Andre, dia satu geng dengan Alex. Sama-sama suka membully diriku
“Sejak tadi bel sudah berbunyi tapi Bu Agnes belum masuk juga. Aku harus melapor ke ruang guru. Mungkin ada tugas untuk kita.” Kataku menjelaskan.
“Seperti biasa, mau cari muka dia. Kita lempar pakai kertas saja wajah polos itu.” Imbuh Roy, juga masuk kelompok Alex.
Satu kelas kompak menyobek kertas dan membentuknya bulat lalu melempariku yang masih berdiri di depan kelas.
“Dasar kampungan, jadi seperti ini perilaku anak-anak di sekolah ini? Benar-benar kekanak-kanakan. Seharusnya kalian kembali saja ke taman kanak-kanak.” Ucap Vanda dengan suaranya yang garang dan tegas. Bahkan dia tidak perlu berdiri untuk membuat semua orang berhenti melempariku degan kertas. “Dan kalian berdua, Divya dan Rachel. Saya tidak menyangka kalian ternyata juga seperti itu. Apa semenjak ketua geng kalian adalah Citra? Hem, kampungan sekali.” Lanjut Vanda sambil tersenyum sinis ke arah Citra yang terlihat mengepalkan tangannya.
Semua anak di kelas diam. Tidak ada lagi yang berani melempariku.
“Silakan pergi ke ruang guru, Ardan. Jangan hiraukan manusia-manusia kampungan ini.” Kata Vanda padaku.
Anak-anak yang lain terdengar menggerutu, kurang suka dengan sikap Vanda yang membelaku. Aku segera menuju ke ruang guru, dan benar saja. Bu Agnes berhalangan untuk hadir dan meninggalkan tugas untuk kelas kami. Aku segera membawa tugas itu ke kelas.
Sesampainya di kelas aku segera menyampaikan tugas itu pada semua anak-anak di kelas.
“Bu Agnes berhalangan untuk hadir hari ini. Ada tugas untuk kita dan harus dikumpulkan hari ini juga. Tugasnya adalah membuat drama dalam bahasa inggris. Tugas ini berkelompok, satu kelompok terdiri dari tiga orang. Bisa pilih sendiri mau satu kelompok dengan siapa. Bisa ditulis di kertas yang akan saya bagikan ini. Jika sudah selesai, bisa membuat salinannya karena yang ini akan dikumpulkan. Sedangkan salinan yang kita buat nantinya harus kita pelajari karena minggu depan drama itu akan dipraktikkan.” Jelasku kemudian membagikan kertas dari Bu Agnes.
Mereka semua terdengar menggerutu lagi tapi tak berani mengutarakannya karena takut dengan keberadaan Vanda. Vanda duduk sendirian di bangku yang berada tepat di belakangku dengan Indi. Ya, Indi adalah teman sebangkuku.
“Vanda, mau jadi kelompok kami?” tanya Indi antusias.
“Boleh.” Jawab Vanda singkat sambil memperlihatkan senyum manisnya.
Aku merutuki Indi dalam hatiku. Bagaimana tidak? Bisa-bisa aku tidak fokus mengerjakan tugas ini karena satu kelompok dengan Vanda. Apalagi dengan Vanda yang selalu menunjukkan senyum manisnya. Aduh Indi, bagaimana ini?
“Mengapa diam, Ardan? Kamu tidak setuju aku bergabung dalam kelompokmu?” Tanya Vanda padaku tiba-tiba membuatku semakin gugup.
“Bu-bukan begitu, Vanda. Justru aku akan merasa senang jika kamu bersedia bergabung dengan kelompokku.” Jawabku terlihat sekali sangat gugup. Bahkan keringat dingin mulai keluar dari tubuhku.
Semoga Vanda tidak menyadari bahwa aku gugup sekali dekat dengannya, doaku dalam hati.
“Vanda, sebelum ini sepertinya kamu sudah mengenal Citra, Rachel dan juga Divya. Kapan kamu bertemu mereka?” tanya Indi tiba-tiba.
“Ya, mereka dulu adalah sahabatku. Aku sangat dekat dengan mereka sampai pengkhianatan itu terjadi.” Jawab Vanda. Aku sama sekali tidak mengerti maksud ucapan Vanda. Namun menurut perkataannya, aku dapat menangkap bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara mereka yang membuat Vanda sakit hati. Sesuatu yang tadi ia sebut pengkhianatan.
“Pengkhianatan? Siapa yang mengkhianatimu?” tanya Indi lagi, aku merasa Indi kali ini sudah terlalu jauh ingin tahu mengenai Vanda.
“Sudahlah, Indi. Tidak baik terlalu mencampuri urusan orang lain. Kita fokus saja mengerjakan tugas ini.” Kataku menyahut. Aku melihat Vanda juga tidak begitu suka ditanyai mengenai hal pribadi seperti itu.
“Santai saja, Ardan. Aku tidak keberatan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh Indi. Kamu tidak perlu kaku seperti ini. Apa memang kamu orangnya kaku? Iya Indi?” tanya Vanda yang justru menertawakanku. Indi juga ikut menertawakanku. Sial, pipiku pasti memerah karena menahan malu.
“Ada satu di antara mereka yang menjadi pengkhianat. Bagaimana kalau kamu ada di posisiku? Pergi tidak sampai dua tahun, namun kekasihku tiba-tiba sudah mempunyai hubungan dengan sahabatku sendiri. Atau mungkin mereka memang sudah berhubungan di belakangku. Tapi aku tidak terlalu memusingkan hal itu. Sampah memang harus dibuang di tempat yang tepat.” Tiba-tiba Vanda berkata seperti itu dengan suara yang seperti sengaja dikeraskan agar didengar oleh banyak orang.
Semua anak-anak di kelas saling berbisik, saling menanyakan siapa yang dimaksud oleh Vanda. Sementara Vanda terlihat melemparkan tatapan tajam pada Citra dan dua temannya.
Entah mengapa Citra mendadak berdiri dari tempat duduknya dan menggebrak meja, membuat kami semua sangat terkejut. Wajah Citra terlihat merah padam, sepertinya ia menahan amarah.
“Apa maksud kamu bicara seperti itu? Aku tahu kalau kamu sangat membenci hubunganku dengan Alex. Tapi yang perku kamu ingat, kisah kamu dengan Alex sudah lama berakhir. Seharusnya kamu menyadari hal itu dan tidak mengatakan hal buruk seperti tadi.” Kata Citra, Rachel dan Divya berusaha menenangkannya namun justru Citra semakin marah. Bahkan sedetik kemudian dia menghampiri Vanda yang masih duduk santai tanpa sedikit pun menghiraukan ucapan Citra tadi.
“Kamu pura-pura tuli atau bagaimana, hah?” tanya Citra, napasnya tak beraturan.
Vanda masih meladeninya dengan santai, bahkan ia terlihat memainkan pena miliknya. Aku dan Indi bahkan sudah berdiri sejak tadi.
“Jangan mentang-mentang kamu anak pemilik yayasan sekolah ini lalu kamu bisa bertingkah semaumu.” Lanjut Citra lagi.
Tidak ada yang berani melerai, karena kami semua tidak ada yang tahu duduk permasalahannya. Teman-teman yang lain hanya saling berbisik menanyakan tentang hal yang mereka saksikan sekarang. Apalagi setelah mendengar tentang perkataan Citra bahwa Vanda adalah anak pemilik yayasan, mereka menjadi heboh.
Mendengar Citra yang menyebut tentang ayahnya, rupanya itu berhasil memancing Vanda. Vanda berdiri, mendekat ke arah Citra, “ Jangan pernah menyamakan aku dengan kalian semua. Aku tidak pernah membanggakan kekuasaan orang tuaku, beda dengan kalian yang selalu membanggakan kuasa kedua orang tua kalian. Kamu pikir aku takut melihatmu marah seperti ini? Lagi pula, coba pikir baik-baik, apa aku tadi menyebut nama? Aku sama sekali tidak menyebutkan nama, Citra sayang. Jadi kamu merasa bahwa yang aku maksud adalah kamu? Sudah sadar kamu wanita penggoda?” balas Vanda.
Mendengar Vanda berkata demikian, Citra terlihat hanya diam dan menelan ludah. Lagi pula benar yang dikatakan oleh Vanda, ia bahkan tak menyebutkan nama sama sekali tadi. Citra seperti kebingungan ingin menjawab apa, sekarang dia benar-benar terdesak. Hingga akhirnya dia memilih untuk pergi keluar dari kelas dengan langkah yang cepat namun terlihat gemetar. Melihat itu, Rachel dan Divya segera mengikuti Citra. Aku bingung harus berbuat apa. Bahkan aku sendiri hanya bisa ikut menyaksikan kejadian tadi.
“Kembali ke tempat masing-masing. Lanjutkan pekerjaannya, 15 menit lagi dikumpulkan.” Kataku mendapat sorakan dari teman-teman sekelas.
Rupanya kejadian itu benar-benar membuat fokus kami teralihkan. Bahkan aku sendiri pun hampir kehilangan fokus.
“Kamu dan Vanda tolong selesaikan ini, ya. Aku harus memeriksa keadaan Citra serta mengingatkan mereka bahwa pekerjaan ini harus segera dikumpulkan.” Ucapku berpamitan pada Indi dan Vanda berpamitan.
“Iya, Ardan. Aku dan Vanda bisa menyelesaikannya. Kamu pergi saja.” Jawab Indi, sedangkan Vanda hanya diam saja. Entah mengapa Vanda terlihat sangat santai, seerti tak pernah terjadi apa-apa padanya.
Aku bergegas menelusuri sekolah, bahkan aku pun tidak tahu harus mencari Citra ke mana. Tapi kemudian aku mendengar suara, saat kulihat rupanya itu suara Rachel dan Divya. Lalu di mana Citra? Aku mencoba mencari di tempat parkir sekolah, sangat mengejutkan. Siapa pun tidak akan percaya dengan yang aku lihat bahkan aku sendiri pun hampir tidak percaya. Aku melihat Citra tengah bermesraan dengan Alex, bahkan kemudian kulihat mereka kemudian saling berpelukan dan saling memberikan kecupan bibir satu sama lain. Aku bertambah bingung, aku memilih untuk menutup mata dan buru-buru kembali ke kelas.
“Sial, seharusnya aku tidak mencarinya sampai ke sana. Seharusnya aku ingat cerita anak-anak tentang tempat parkir yang menjadi tempat pacaran itu. Sial sekali.” Umpatku buru-buru kembali ke kelas.
Di tengah jalan aku bertemu dengan Rachel dan Divya, mereka sepertinya curiga padaku. Tapi aku tidak memedulikan mereka. Aku hanya mengingatkan mereka agar segera mengumpulkan tugas, bahkan aku mengingatkan mereka sambil lalu.
“Sial, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki di tempat itu lagi.” Umpatku lagi.
Aku berjalan terburu-buru menuju kelas, sepanjang jalan aku terus saja mengumpat. Aku menyesal sekali harus melihat adegan seperti tadi. Sesampainya di kelas, Vanda dan Indi memandangiku dengan tatapan yang aneh. Mungkin mereka menangkap ada yang aneh dari diriku. Tentu saja, napasku terengah-engah. Bagaimana tidak? Aku belum pernah menyaksikan adegan seperti itu sebelumnya bahkan di video seperti yang anak-anak lain bicarakan. Dan hari ini aku harus menyaksikannya secara langsung.“Ada apa, Ardan?” tanya Indi padaku. Aku masih diam saja, belum sanggup menjawab. Masih berusaha menetralkan napasku. Bahkan jika aku mampu menjawab pun, aku tidak mungkin menceritakan apa yang tadi aku lihat. Apa lagi dengan kenyataan bahwa Vanda pernah menjalin kasih dengan Alex, pasti hal yang baru saja aku lihat akan menyakiti hatinya.Indi masih penasaran ingin mendengar jawaban dariku, sedangkan Vanda terlihat acuh dan sibuk dengan ponselnya. Pekerjaan kelompok kami kulihat
Hari ini, aku pulang sekolah seperti biasa. Mungkin mulai besok, aku akan pulang telat karena sudah mulai menjadi guru les privat Vanda. Vanda, mengingat nama itu lagi-lagi membuat jantungku berdetak berkali lipat lebih kencang. Baru hari pertama bertemu saja dia sudah meluluh lantahkan hatiku, apa yang akan terjadi jika aku hampir setiap hati bertemu dengannya? Ah, aku harus bisa menetralkan perasaanku. Lagi pula, berharap terlalu berlebihan hanya akan membuatku sakit. Toh kami juga berasal dari kasta yang berbeda. Ibarat pungguk merindukan rembulan jika aku terlalu menaruh harapan padanya.“Heh, Ardan.” Panggil seseorang dari arah belakangku yang tak lain adalah Indi. Dia berlari tergopoh-gopoh menghampiriku.“Ada apa? Mengapa lari-lari?” tanyaku santai saat dia sudah berdiri di sebelahku.“Sejak kapan kamu tuli, hah? Tanya Indi lagi, “aku memanggilmu sejak tadi, sejak kamu keluar dari gerbang sekolah. Dan lihat, kamu baru m
Aku sudah sampai di halaman rumah sekarang, bahkan bisa kucium bau alkohol dari jarak beberapa meter. Tuhan, sampai kapan aku harus terus hidup dalam keadaan yang sebenarnya sangat aku benci? Siapa lagi yang bisa mengubah nasibku selain diriku sendiri dengan bantuan dari Tuhan. Aku berjalan memasuki ruang tamu, ada banyak orang di sana. Sedang duduk melingkar main domino sambil menikmati minuman beralkohol. Ck, pemandangan yang sangat membosankan. Saat aku masuk, semua mata tertuju padaku. Beberapa orang dari mereka sudah mengenalku, namun rupanya ada beberapa orang baru yang turut bergabung. Bukannya semakin habis justru anggotanya semakin banyak. Jadi memang benar bahwa mencari teman dalam dosa itu lebih mudah daripada mencari teman untuk diajak dalam kebaikan.“Wih, calon presiden sudah pulang rupanya. Ck, kenapa wujudmu mengerikan sekali? Katanya anak sekolah, pulang bukannya bersih namun justru banyak kotoran di seragammu. Kamu habis berenang di got atau bagaimana,
Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengusik tidurku, terpaksa aku membuka mata yang sebenarnya masih sangat mengantuk ini. Ternyata hari sudah pagi. Entah mengapa aku merasa malamku sangat singkat. Bagaimana tidak? Aku sama sekali tidak bisa tidur dengan nyenyak karena ulah ayah dan kakakku yang suka mengajak teman-temannya datang ke rumah untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Aku sangat benci kebiasaan yang mereka lakukan itu. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Aku hanya bisa diam dan menyaksikan semua itu. Rumahku memang berada di pelosok desa dan melewati gang sempit, sangat aman digunakan untuk segala sesuatu yang melanggar hukum. Itulah mengapa rumahku menjadi tempat favorit untuk judi dan mabuk-mabukan. Aku sempat berpikir untuk pergi dari sini, tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Hanya akan membuat ayah dan kakakku semakin leluasa dan terjerumus dalam hal yang tidak baik. Setidaknya, keberadaanku di sini untuk menasihati mereka. Meskipun nasihat itu sama sekali tak pernah
“Ardan, Ardan.” Panggil Indi.Aku mendengar panggilan itu, namun aku masih saja terpaku pada gadis pemilik nama Vanda itu. Entah mengapa aku sangat tertarik padanya. Bahkan dia pun tidak memandangku sebagaimana gadis-gadis sombong di sekolah ini memandangku. Vanda menatapku dengan tatapan menghargai, bahkan dengan sekilas senyum yang menambah elok parasnya.“Kamu keberatan, Ardan?” tanya Pak Adam padaku.Kali ini aku mencoba kembali fokus. Dan satu-satunya jalan adalah dengan berhenti memandangi Vanda.“Ti-tidak, Pak. Saya bersedia.” Jawabku gugup.“Baiklah, kamu bisa mulai mengajarinya mulai besok setiap pulang dari sekolah selama 2 jam. Masalah gaji bisa kita bicarakan nanti. Sekarang, ajak Vanda masuk kelas. Saya sengaja menempatkan Vanda untuk satu kelas dengan kamu dan juga Indi. Semoga dia tidak salah pergaulan.” Kata Pak Adam membuat hatiku semakin berbunga-bunga. Aku menganggap hari ini adalah
Aku sudah sampai di halaman rumah sekarang, bahkan bisa kucium bau alkohol dari jarak beberapa meter. Tuhan, sampai kapan aku harus terus hidup dalam keadaan yang sebenarnya sangat aku benci? Siapa lagi yang bisa mengubah nasibku selain diriku sendiri dengan bantuan dari Tuhan. Aku berjalan memasuki ruang tamu, ada banyak orang di sana. Sedang duduk melingkar main domino sambil menikmati minuman beralkohol. Ck, pemandangan yang sangat membosankan. Saat aku masuk, semua mata tertuju padaku. Beberapa orang dari mereka sudah mengenalku, namun rupanya ada beberapa orang baru yang turut bergabung. Bukannya semakin habis justru anggotanya semakin banyak. Jadi memang benar bahwa mencari teman dalam dosa itu lebih mudah daripada mencari teman untuk diajak dalam kebaikan.“Wih, calon presiden sudah pulang rupanya. Ck, kenapa wujudmu mengerikan sekali? Katanya anak sekolah, pulang bukannya bersih namun justru banyak kotoran di seragammu. Kamu habis berenang di got atau bagaimana,
Hari ini, aku pulang sekolah seperti biasa. Mungkin mulai besok, aku akan pulang telat karena sudah mulai menjadi guru les privat Vanda. Vanda, mengingat nama itu lagi-lagi membuat jantungku berdetak berkali lipat lebih kencang. Baru hari pertama bertemu saja dia sudah meluluh lantahkan hatiku, apa yang akan terjadi jika aku hampir setiap hati bertemu dengannya? Ah, aku harus bisa menetralkan perasaanku. Lagi pula, berharap terlalu berlebihan hanya akan membuatku sakit. Toh kami juga berasal dari kasta yang berbeda. Ibarat pungguk merindukan rembulan jika aku terlalu menaruh harapan padanya.“Heh, Ardan.” Panggil seseorang dari arah belakangku yang tak lain adalah Indi. Dia berlari tergopoh-gopoh menghampiriku.“Ada apa? Mengapa lari-lari?” tanyaku santai saat dia sudah berdiri di sebelahku.“Sejak kapan kamu tuli, hah? Tanya Indi lagi, “aku memanggilmu sejak tadi, sejak kamu keluar dari gerbang sekolah. Dan lihat, kamu baru m
Aku berjalan terburu-buru menuju kelas, sepanjang jalan aku terus saja mengumpat. Aku menyesal sekali harus melihat adegan seperti tadi. Sesampainya di kelas, Vanda dan Indi memandangiku dengan tatapan yang aneh. Mungkin mereka menangkap ada yang aneh dari diriku. Tentu saja, napasku terengah-engah. Bagaimana tidak? Aku belum pernah menyaksikan adegan seperti itu sebelumnya bahkan di video seperti yang anak-anak lain bicarakan. Dan hari ini aku harus menyaksikannya secara langsung.“Ada apa, Ardan?” tanya Indi padaku. Aku masih diam saja, belum sanggup menjawab. Masih berusaha menetralkan napasku. Bahkan jika aku mampu menjawab pun, aku tidak mungkin menceritakan apa yang tadi aku lihat. Apa lagi dengan kenyataan bahwa Vanda pernah menjalin kasih dengan Alex, pasti hal yang baru saja aku lihat akan menyakiti hatinya.Indi masih penasaran ingin mendengar jawaban dariku, sedangkan Vanda terlihat acuh dan sibuk dengan ponselnya. Pekerjaan kelompok kami kulihat
Bel masuk sudah berbunyi sejak beberapa menit yang lalu tapi belum juga ada guru yang masuk ke dalam kelas. Aku sebagai ketua kelas hendak melapor ke ruang guru tapi seperti biasa selalu mendapat respons tidak baik dari teman-teman sekelasku“Mau ke mana kamu, Cupu?” tanya seorang teman sekelas laki-laki yang bernama Andre, dia satu geng dengan Alex. Sama-sama suka membully diriku“Sejak tadi bel sudah berbunyi tapi Bu Agnes belum masuk juga. Aku harus melapor ke ruang guru. Mungkin ada tugas untuk kita.” Kataku menjelaskan.“Seperti biasa, mau cari muka dia. Kita lempar pakai kertas saja wajah polos itu.” Imbuh Roy, juga masuk kelompok Alex.Satu kelas kompak menyobek kertas dan membentuknya bulat lalu melempariku yang masih berdiri di depan kelas.“Dasar kampungan, jadi seperti ini perilaku anak-anak di sekolah ini? Benar-benar kekanak-kanakan. Seharusnya kalian kembali saja ke taman kanak-kanak.” U
“Ardan, Ardan.” Panggil Indi.Aku mendengar panggilan itu, namun aku masih saja terpaku pada gadis pemilik nama Vanda itu. Entah mengapa aku sangat tertarik padanya. Bahkan dia pun tidak memandangku sebagaimana gadis-gadis sombong di sekolah ini memandangku. Vanda menatapku dengan tatapan menghargai, bahkan dengan sekilas senyum yang menambah elok parasnya.“Kamu keberatan, Ardan?” tanya Pak Adam padaku.Kali ini aku mencoba kembali fokus. Dan satu-satunya jalan adalah dengan berhenti memandangi Vanda.“Ti-tidak, Pak. Saya bersedia.” Jawabku gugup.“Baiklah, kamu bisa mulai mengajarinya mulai besok setiap pulang dari sekolah selama 2 jam. Masalah gaji bisa kita bicarakan nanti. Sekarang, ajak Vanda masuk kelas. Saya sengaja menempatkan Vanda untuk satu kelas dengan kamu dan juga Indi. Semoga dia tidak salah pergaulan.” Kata Pak Adam membuat hatiku semakin berbunga-bunga. Aku menganggap hari ini adalah
Suara ayam berkokok bersahut-sahutan berhasil mengusik tidurku, terpaksa aku membuka mata yang sebenarnya masih sangat mengantuk ini. Ternyata hari sudah pagi. Entah mengapa aku merasa malamku sangat singkat. Bagaimana tidak? Aku sama sekali tidak bisa tidur dengan nyenyak karena ulah ayah dan kakakku yang suka mengajak teman-temannya datang ke rumah untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Aku sangat benci kebiasaan yang mereka lakukan itu. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Aku hanya bisa diam dan menyaksikan semua itu. Rumahku memang berada di pelosok desa dan melewati gang sempit, sangat aman digunakan untuk segala sesuatu yang melanggar hukum. Itulah mengapa rumahku menjadi tempat favorit untuk judi dan mabuk-mabukan. Aku sempat berpikir untuk pergi dari sini, tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Hanya akan membuat ayah dan kakakku semakin leluasa dan terjerumus dalam hal yang tidak baik. Setidaknya, keberadaanku di sini untuk menasihati mereka. Meskipun nasihat itu sama sekali tak pernah