"Emma?"
Emma menelan ludah dan berdeham untuk membersihkan tenggorokannya. Dia kembali tersenyum lalu menyerahkan buku menu kepada masing-masing tamu.
"Emma apa kau bekerja disini?"
Emma menanggukkan kepalanya dengan sopan.
"Silakan memilih menu yang diinginkan, saya akan datang lagi untuk mencatat pesanannya," ucap Emma lembut.
"Emma, kita harus bicara."
"Paman, aku sedang bekerja. Tolong jangan mempermalukan aku," ucap Emma hampir berbisik.
"Baik, setelah kami selesai makan. Minta izin kepada bos mu untuk keluar sebentar dan berbicara dengan paman!" tegas Mike Palaru dengan tatapan tajam.
Emma benar-benar tidak menyangka pamannya akan datang ke restoran ini. Dia tahu pamannya memiliki kehidupan yang baik di ibukota. Tapi dia juga tahu pamannya bukanlah konglomerat atau orang dengan kekayaan berlimpah. Bertemu dengan pamannya benar-benar mengubah suasana hati Emma.
"Ada apa?" tanya Alice yang mengamati Emma sejak tadi.
"Pamanku. Dia ingin bicara denganku setelah selesai makan," ucap Emma dengan suara pelan.
"Minta izin saja pada manajer, lagipula sudah tidak terlalu banyak tamu. Kalau hanya berbicara lima sampai sepuluh menit, harusnya diizinkan," bisik Alice sambil mengambil buku menu.
Emma kembali ke meja pamannya dan mulai mencatat menu yang mereka pesan.
"Setelah selesai makan. Paman menunggumu di depan," ucap Mike Palaru sambil menyerahkan buku menunya.
Emma hanya menggangguk.
Sambil melayani tamu yang lain, Emma sesekali melirik ke meja pamannya. Setelah pamannya selesai makan dan keluar dari restoran, Emma segera mengikuti keluar.
"Emma, paman tidak percaya kau bekerja sebagai pramusaji," omel Mike Palaru begitu mereka sampai di teras restoran.
"Memangnya kenapa paman? Aku rasa tidak ada yang salah dengan pekerjaan ini," jawab Emma sopan.
"Kau adalah lulusan terbaik di Universitas Calamba. Selain itu kau masih memiliki paman yang sehat dan sanggup membiayaimu. Apa kau pikir ibumu akan tenang di atas sana kalau tahu putri kebanggaannya bekerja sebagai pramusaji di ibukota?"
Emma diam. Dia hanya menundukkan kepala dan tidak mampu berkata apa-apa. Setiap kali orang menyebutkan ibunya, hati Emma selalu terasa nyeri. Mengapa mereka suka sekali memanggil ibunya yang sudah tenang disana.
"Dengar! Paman tidak peduli dengan pendapatmu. Besok kau harus menemui paman dan paman akan memberikan pekerjaan yang jauh lebih baik dari ini. Pekerjaan ini akan membuatmu menjadi gadis kaya. Kau bisa memiliki apapun yang dimiliki oleh para artis bila kau melakukan pekerjaan yang paman tawarkan ini."
"Tapi paman-"
"Tidak ada tapi! Paman akan mengirimkan alamatnya ke telepon genggammu. Apakah kau bisa datang menggunakan pakaian ini?" tanya Mike Palaru sambil menatap Emma dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Tidak paman. Ini adalah milik restoran, aku hanya boleh memakainya di dalam restoran," jawab Emma pelan.
"Sayang sekali, padahal kau terlihat sangat cantik dan menarik dengan pakaian ini. Baiklah, tidak apa-apa, datang saja dengan pakaian biasa. Ingat, aku menunggumu besok. Jangan sampai tidak datang!" ancam Mike Palaru lalu segera pergi.
Emma menghembuskan napas dengan keras. Dia benar-benar tidak menyukai pamannya. Caranya memandang, caranya bicara bahkan caranya memuji membuat Emma merinding ketakutan.
"Kira-kira pekerjaan apa yang akan dia tawarkan kepadamu?" tanya Alice setelah mendengar cerita Emma dalam perjalanan pulang.
"Entahlah, tapi aku pasti akan menolaknya. Aku tidak mau menambah hutang kepada pamanku," jawab Emma acuh.
"Tapi apakah kau akan tetap menemui pamanmu besok?"
Emma mengangguk dengan lemah.
"Setidaknya aku harus menolak secara langsung. Dia pasti akan sangat kecewa kalau aku mengatakannya di telepon."
"Hmm, andai pamanmu membutuhkan orang lain untuk menggantikan posisimu-"
"Alice, aku sudah katakan tidak mau berhutang apapun lagi pada pamanku. Termasuk membiarkan dia membantu temanku. Kalau kau mau, silakan mendatanginya dan meminta pekerjaan kepadanya," tegas Emma sambil menutup matanya dan menyenderkan tubuhnya ke sandaran kursi bus.
"Baiklah, aku mengerti," jawab Alice sambil memajukan bibirnya.
***
"Alice apakah kau tahu kendaraan apa yang harus kau gunakan untuk menuju ke tempat ini?" tanya Emma begitu menerima alamat tempat pertemuan besok dari pamannya.
"Sini aku lihat," jawab Alice sambil mengambil telepon genggam Emma.
"Untuk apa bertemu disini? Apakah kau akan dijadikan pegawai hotel?" tanya Alice bingung.
"Apa maksudmu?"
"Empire adalah nama sebuah hotel mewah yang berada di tengah kota. Kau bisa naik kereta bawah tanah kesana. Aku akan menuliskan rutenya. Dari stasiun kereta kau bisa lanjut dengan berjalan kaki, hotel ini tidak terlalu jauh dari stasiun kereta bawah tanah," jelas Alice sambil mengetik rute kereta bawah tanah yang harus ditumpangi Emma.
"Baiklah, terima kasih."
"Apakah kau tahu proyek pembangunan pusat perbelanjaan dan hotel yang rencananya akan dibangun di Calamba?"
Emma mengangguk.
"Pemilik Empire adalah orang yang memiliki proyek itu."
"Bagaimana kau tahu?" tanya Emma takjub dengan pengetahuan sahabatnya.
"Berita," jawab Alice singkat lalu kembali mengurus keperluannya.
Emma kembali membaca nama lokasi yang dikirim pamannya.
'Hotel? Mengapa harus bertemu di hotel?' batin Emma dengan perasaan terganggu.
"Alice, apa mungkin orang di ibukota suka melakukan pertemuan di hotel?" tanya Emma mencoba meruntuhkan keraguannya sendiri.
"Mungkin saja. Aku juga baru disini, aku masih susah mengerti kebiasaan orang-orang yang berada di ibukota ini. Di Calamba orang-orang pasti menduga kau akan berbuat mesum bila bertemu di hotel."
Emma setuju dengan Alice. Bertemu di hotel bukanlah hal yang lazim di kota kecil tempat mereka tinggal.
Emma bersiap-siap untuk berangkat. Alice akan mengantarnya ke stasiun kereta bawah tanah terdekat, lalu berangkat ke tempat kerja paruh waktunya. Mereka sengaja berangkat lebih awal agar dapat berjalan dengan santai.
"Alice, apakah kau suka kehidupan seperti ini?" tanya Emma sambil memandangi sekelilingnya.
"Di Calamba pekerjaanmu hanya bermain. Kau bahkan tidak suka belajar, tapi sekarang kau harus bekerja paruh waktu di dua tempat demi hidup."
Alice menghela napas.
"Dan aku menyesalinya. Andai saja dulu aku belajar dengan giat, pasti sekarang aku sedang bekerja di salah satu gedung tinggi itu," sahut Alice sambil menujuk salah satu gedung perkantoran.
"Apa kau menyindirku?" tanya Emma dengan tatapan tajam.
"Tidak, aku sungguh-sungguh menyesalinya. Kau baru saja tiba di kota ini, tapi kau sudah mencuri hati manajer karena kecerdasanmu. Aku yakin cepat atau lambat kau akan berhasil. Nasibmu tidak akan berakhir sepertiku," jawab Alice sambil tersenyum lembut.
"Alice, aku-"
"Kita sudah sampai. Masuklah, aku harus melanjutkan perjalananku. Sampai nanti," ucap Alice cepat lalu segera meninggalkan Emma.
Emma masuk ke dalam stasiun bawah tanah dengan ragu. Ini adalah kali pertamanya menaiki kereta bawah tanah. Calamba tidak memiliki moda transportasi ini. Mereka hanya memiliki kereta api untuk menghubungkan Calamba dengan kota lain.
Setelah duduk dengan tegang sambil terus memperhatikan setiap pemberhentian, akhirnya Emma tiba di tempat yang dia tuju. Dia kembali membaca petunjuk yang ditulis oleh Alice lalu berjalan mengikuti petunjuk itu.
Emma berdiri dengan gugup di depan lobi hotel Empire. Dia kagum dengan kemewahan hotel yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Dia lalu menghubungi pamannya untuk memberitahu kalau dia sudah sampai.
"Emma, ayo ikut paman," sapa Mike Palaru begitu bertemu Emma di lobi.
"Maaf paman tapi aku datang hanya untuk mengatakan kalau aku tidak bisa menerima pekerjaan yang paman tawarkan," ucap Emma cepat.
"Jadi maksudmu kau akan tetap bekerja sebagai pramusaji?"
"Itu hanya pekerjaan sementara sampai aku menemukan pekerjaan yang lebih baik, paman."
"Untuk apa mencari lagi? Aku sudah menemukan pekerjaan yang cocok denganmu. Sebelum kau menolak, paling tidak lihat dulu saja pekerjaan apa yang paman tawarkan. Ayo, ikut paman," paksa Mike Palaru sambil merangkul pundak Emma.
Namun Emma berkelit dan segera menjaga jarak dari pamannya agar dia tidak kembali merangkulnya. Mereka masuk ke dalam lift menuju lantai 29. Emma merasa khawatir tapi dia percaya pamannya tidak akan melakukan sesuatu yang akan menyakitinya.
Sementara itu seorang pria sedang mengamati Emma dan Mike Palaru. Pria itu segera mengikuti Emma dan pamannya.
"Kita mau kemana, paman?" tanya Emma mulai khawatir begitu mereka keluar dari lift. Semua tampak seperti pintu kamar dan tidak ada satu ruanganpun yang tampak seperti ruang pertemuan."Seseorang sedang menunggumu di kamar VVIP. Dia adalah teman paman yang makan bersama paman semalam. Apa kau tahu bahwa dia adalah seorang konglomerat? Dia sangat menyukaimu. Layani dia dengan baik, maka kau pasti akan mendapatkan uang yang banyak."Emma terbelalak. Dia mundur dan menatap Mike Palaru dengan bingung."Apa maksud paman? Mengapa aku harus melayaninya? Bukankah hotel ini punya pegawai yang siap melayani setiap tamu?" tanya Emma dengan suara bergetar."Emma, dia menginginkanmu. Apa kau tahu betapa sulitnya mencari wanita yang sesuai dengan seleranya? Dia bersedia membayarmu puluhan juta demi melayaninya. Lagipula ini kan juga pekerjaanmu," paksa Mike sambil menarik lengan Emma."Paman aku mohon, aku tidak mau masuk ke sana. Aku sudah katakan, aku tidak mau menerima pekerjaan yang paman tawar
"Tuan, proyek kita di Calamba mengalami masalah. Sebagian warga terprovokasi oleh beberapa orang yang meyakinkan mereka bahwa kita akan menghancurkan kota mereka," lapor Tony, asisten Ethan begitu pria itu tiba di kantor."Lalu?" tanya Ethan sambil berjalan dengan cepat. Hari masih pagi, tapi berita pertama yang dia dapatkan adalah berita buruk. Suasana hati Ethan memburuk mendengar berita itu, belum lagi dia masih kesal memikirkan apa yang terjadi terhadap Emma di hotel miliknya kemarin. "Mereka menolak pembangunan hotel dan pusat perbelanjaan.""Aku akan kesana hari ini dan memeriksanya langsung. Siapkan saja semua berkasnya!""Baik, Tuan. Berapa orang yang anda butuhkan untuk mengantar anda, Tuan?""Aku akan kesana sendirian, siapkan saja mobilku. Aku akan menghubungimu bila membutuhkan bantuan,""Baik. Tuan," jawab Tony cepat. Dia baru saja akan keluar dari ruangan Ethan ketika Ethan kembali memanggilnya."Bagaimana dengan Mike Palaru?" "Sudah saya bereskan, Tuan.""Baik, ingat
"Sudah berapa lama kau bekerja sebagai asisten?" tanya Emma lagi."Belum lama," jawab Ethan asal-asalan.Emma berhenti bertanya dan mulai sibuk dengan telepon genggamnya. Ethan merasa lega karena akhirnya dia lolos dari pertanyaan-pertanyaan Emma yang menyudutkan."Aku sedang mencari pemilik Empire, ternyata Empire adalah bagian dari Atlantis Grup dan aku tidak menduga kalau ternyata perusahaan ini sangat besar. Pantas saja kau diperbolehkan membawa mobil sebagus ini. Siapa nama bosmu?"Pertanyaan Emma membuat tenggorokan Ethan tercekat. Dia pikir Emma sudah tidak tertarik dengan latar belakangnya, ternyata sebaliknya."Ngomong-ngomong aku lupa menanyakan namamu, Nona ....""Emma. Namaku Emma Cruz. Jadi siapa nama bosmu?" jawab Emma lalu melanjutkan pertanyaannya."Namanya Tuan Francis Lucero," jawab Ethan cepat.Francis Lucero adalah nama paman Ethan, adik ibunya. Tadinya dia ingin menyebutkan nama ayahnya, tapi jika Emma mencari tahu tentang ayahnya maka kebohongan Ethan pasti ketah
"Membersihkan rumahmu?" ulang Ethan masih tidak percaya dengan apa yang di dengarnya."Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir. Aku tahu kau kelaparan. Ayo," ajak Emma sambil menarik tangan Ethan.Ethan mengikuti Emma dengan patuh, dia benar-benar tidak menyangka kebohongannya akan membuat keadaannya memburuk. Dia datang hanya untuk memeriksa proyek yang dia buat dan berakhir membersihkan rumah seorang gadis asing yang akan membayarnya dengan makanan."Ayo masuk."Ethan masuk perlahan, dia melihat sekelilingnya. Rumah sederhana namun sangat apik. Halamannya terlihat tidak terlalu kotor, hanya beberapa tanaman yang tampak layu karena tidak disiram dan beberapa rumput liar yang tidak terlalu mengganggu pemandangan. Ethan merasa tidak akan terlalu masalah membersihkan rumah yang sedikit kotor.Memasuki rumah barulah Ethan melihat debu yang cukup tebal. Ethan adalah penggila kebersihan dan semua orang disekitarnya tahu itu. Dia tidak tahan melihat debu yang memenuhi rumah Emma. Dia mulai
Emma menatap Ethan dengan mata membesar. Ethan membalas tatapan Emma dengan senyum lembut. "Wah, kekasihmu tampan sekali!" seru wanita lain sambil tertawa senang. Emma benar-benar putus asa karena tahu kali ini dia tidak akan lolos dari gerombolan pemangsa gosip ini. 'Ethan bodoh!' maki Emma dalam hati. "Anak muda, dari mana asalmu? Apa kau seorang mahasiswa di Universitas Calamba?" tanya wanita termuda di antara mereka. "Apa wajahku terlihat seperti mahasiswa?" tanya Ethan sambil tersenyum manis. "Ya, kau terlihat sangat tampan dan muda. Aku menduga kau berumur 22 tahun," jawab wanita itu malu-malu. "Nyonya, anda benar-benar berlebihan. 22 tahun? Apa anda tidak melihat keriput di wajahnya? Aku hampir memanggilnya paman, ketika kami baru pertama kali bertemu," sahut Emma yang merasa tersinggung karena para wanita itu menduga dirinya lebih tua dari Ethan. Mendengar kata-kata Emma semua orang tertawa mereka pikir Emma hanya bercanda. "Apa kalian mau makan?" tanya salah satu wan
"Mengapa kau harus melakukan itu, Emma?" tanya Ethan mulai marah."Ini adalah tanah kelahiranku. Kewajibanku melindunginya dari orang-orang yang akan merusaknya!" tegas Emma tidak peduli dengan nada suara Ethan."Lalu apa kau tidak peduli dengan keuntungan yang akan didapat oleh tanah kelahiranmu ini? Oleh orang-orang yang kesejahteraannya akan meningkat karena pembangunan itu?" tanya Ethan mencoba mempengaruhi Emma."Keuntungan? Apa menurutmu mereka mau, tanah tempat mereka hidup dijadikan tempat perzinahan?" "Darimana kau tahu hotel itu akan dijadikan tempat perzinahan? Kalau orang mau melakukan hal itu, maka hotel bukan satu-satunya tempat! Apa di Calamba tidak ada prostitusi? Apa tidak ada yang berzinah disini? Apa hanya orang-orang suci yang hidup disini?" bentak Ethan tidak tahan lagi dengan Emma yang sangat keras kepala.Emma menatap Ethan dengan tajam. Dia tidak suka dengan kata-kata Ethan tapi tidak dapat membantahnya."Kau benar-benar anjing penjaga yang setia. Pantas saja
Emma dan Ethan baru saja tiba di alun-alun ketika sekelompok wanita meneriaki mereka."Itu Emma dan kekasihnya!""Hei, kalian berdua, cepat ke sini!" panggil wanita keriting yang tadi mereka temui di rumah makan.Emma dan Ethan segera berjalan ke arah para wanita itu."Selamat malam nyonya. Kami mau menemui kepala desa, tadi dia meminta bantuan kami," ucap Emma sopan."Dia sudah memberitahu kalau kalian akan datang membantu. Sekarang kalian berdua tolong bantu kami untuk membereskan semua meja ini. Acaranya akan mulai setengah jam lagi," perintah Nyonya pemilik rumah makan.Mereka segera bergerak dengan cepat. Ethan lega karena sebenarnya tidak terlalu banyak hal yang harus mereka lakukan, sebagian besar sudah dibereskan oleh para warga. Dia masih tidak mengerti mengapa Emma merasa sangat tertekan datang ke acara ini, padahal Ethan merasa baik-baik saja.Kepala desa mulai menyalakan mikrofon dan memberitahu semua warga yang hadir bahwa acara akan segera dimulai."Bersiaplah!" ucap Emm
"Sepertinya anda menerima laporan palsu, Tuan," jawab Emma sambil tersenyum sinis, lalu menarik Ethan untuk meninggalkan pria tua yang tampak marah itu."Emma!" bentak pria itu dengan suara menggelegar.Emma membalikkan badannya lalu menatap pria tua itu tanpa minat."Aku bersyukur kau dan Oliver putus, karena kau benar-benar tidak memiliki sopan santun!" hina pria tua itu sambil menatap Emma dengan kebencian."Saya juga bersyukur karena tidak jadi memiliki mertua seperti anda," balas Emma lalu segera meninggalkan tempat itu dengan cepat."Apa dia ayah dari mantan pacarmu?" tanya Ethan setelah mereka berjalan dengan santai dan Emma tampak lebih tenang.Emma menggangguk pelan sambil terus menatap ke depan. Dia adalah wanita yang berani dan menggebu-gebu. Meski begitu dia selalu menghormati warga senior dan tidak pernah memiliki keberanian untuk melawan mereka. Tapi entah bagaimana, setiap kali Ethan ada di sisinya, Emma seperti memiliki keberanian yang ajaib untuk membalas orang-orang
Emma kembali ke rumah sakit saat malam. Dia benar, keadaan sekarang sudah sepi jadi Emma bisa dengan leluasa menemui Ethan. Dia masuk ke dalam kamar Ethan dan sangat bahagia begitu melihat Ethan yang sedang duduk sambil bersandar tersenyum padanya."Apa kau benar baik-baik saja?" tanya Emma sambil berlari ke arah Ethan."Aku baik-baik saja, tapi aku merindukanmu. Mengapa kau baru datang sekarang?""Tadi banyak sekali orang yang ingin menemuimu. Karena itu aku menunggu mereka pulang, agar bisa berduaan denganmu," jawab Emma sambil tersenyum menggoda.Emma melihat sekelilingnya."Mengapa kau sendirian? Apa tidak ada orang yang menjagamu di sini?" "Aku akan pindah malam ini, Tony sedang mengurusnya dan kedua orangtuaku menunggu di rumah sakit Atlantis.""Malam ini?" tanya Emma terkejut."Ya, kau cukup beruntung karena masih sempat bertemu denganku," goda Ethan.Tidak lama kemudian Tony masuk bersama rombongan paramedis. Mereka memindahkan Ethan ke kursi roda dan membawanya."Tuan Tony,
"Keluarga pasien Ethan," panggil perawat dari pintu masuk UGD.Emma segera berdiri dan mendekati perawat, karena kedua orangtua Ethan belum datang. Hazel sudah pulang duluan agar dapat mengistirahatkan kakinya dan Tony sedang menghubungi rumah sakit milik Atlantis meminta mereka untuk mengurus kepindahan Ethan kesana."Ya, saya," jawab Emma."Ada beberapa tindakan yang harus kami lakukan namun membutuhkan izin dari dari keluarga. Apakah anda istrinya?" tanya sang perawat.Emma menggelengkan kepala."Adiknya?"Emma kembali menggeleng."Sepupu? Ibu? Tante?" tanya perawat lagi.Emma terus menggeleng sambil menangis."Kalau begitu anda tidak bisa menandatangani surat ini. Saya mohon, tolong hubungi keluarganya dan minta mereka datang untuk menandatanganinya, kami akan menunggu," ucap sang perawat kepada Emma.Emma benar-benar putus asa dia sedang berbalik ketika melihat ayah dan ibu Ethan berlari ke arahnya."Itu! Itu ayah dan ibunya!" seru Emma senang.Jonathan dan Vivi segera mendekati
[Aku harus kembali ke ibukota karena ada hal mendesak yang harus aku kerjakan. Aku sudah meminta Tony untuk mengurus kalian berdua.]Emma membaca pesan yang dikirimkan Ethan kepadanya. Dia bisa merasakan ada yang berubah dari cara Ethan bicara dengannya meski hanya melalui pesan. Meski berusaha tetap memberikan perhatiannya, tapi seperti ada jarak yang diciptakan oleh pria itu."Ada apa?" tanya Hazel melihat perubahan wajah Emma."Ethan pulang duluan ke ibukota, karena ada pekerjaan mendesak," jawab Emma berpura-pura baik-baik saja."Apa benar karena pekerjaan, atau dia menghindarimu karena kejadian semalam?""Tidak mungkin. Kami bicara baik-baik dan dia sangat bisa menerima penjelasanku. Aku yakin dia benar-benar bekerja," jawab Emma yang sebenarnya juga tidak yakin.Sebenarnya Emma ingin tetap berada di Calamba dan berencana membiarkan Tony dan Hazel pulang berdua saja. Namun Hazel mengancam tidak akan ke rumah sakit kalau bukan Emma yang menemaninya. Gadis itu sangat takut disuntik
Ethan berdiri mematung dengan tangan yang masih menggenggam sebuah cincin berlian di dalam kantongnya."Apa maksudmu?" tanya Ethan bingung dan berusaha keras mencerna maksud perkataan Emma."Mengapa kau tidak mau menikah denganku? Apa kau tidak mencintaiku?" lanjut Ethan mulai sedikit kecewa.Emma menghela napas dalam sambil menatap Ethan sungguh-sungguh."Aku sangat mencintaimu dan kau tahu itu. Tapi ... pernikahan adalah hal lain, dan aku belum siap untuk menjalaninya," jawab Emma sambil berdiri hingga berhadapan dengan Ethan."Apa kau ragu kepadaku? Kau takut tidak akan bahagia bila menikah denganku?""Ethan, ini sama sekali tidak seperti yang kau duga. Bukannya aku tidak percaya kepadamu, aku hanya belum siap menjalani pernikahan," jawab Emma hampir putus asa karena melihat wajah kecewa Ethan."Bagaimana kalau aku memberimu pilihan menikah atau kita putus?" tanya Ethan dengan wajah serius.Emma menatap Ethan dengan tatapan tidak percaya, lalu kembali duduk. Dia tidak menyangka Eth
Tony berdiri mematung begitu pintu dibanting oleh Hazel."Apa? Apa yang sudah aku lakukan?" gumamnya pelan. Dia meremas rambutnya dengan keras, karena menyesali kebodohannya. Dia sangat menyukai Hazel, bahkan dia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada gadis itu.Dia mencari tahu semua tentang Hazel dan itu membuatnya semakin menyukai gadis itu. Tapi dia juga sadar akan kedudukannya dan merasa tidak percaya diri mendekati Hazel.Pada saat Hazel mengatakan kalau dia menyukai Tony, pria itu hampir pingsan. Dia tidak menyangka kalau Hazel juga akan menyukainya. Tapi sistem pertahanan diri yang dia miliki, membuatnya mengeluarkan reaksi yang bertolak belakang dengan yang dia rasakan.Kini, dia mengulanginya lagi. Dia kembali mengatakan hal yang tidak dia maksud karena ketakutan. "Aku harus bagaimana sekarang?" Tony menghela napas dalam dengan penuh penyesalan, lalu tiba-tiba teringat kalau Emma dan Ethan belum kembali, jadi Hazel pasti tidak punya tempat menginap. Tony segera keluar
Tony menatap Hazel yang berlari begitu cepat. Dia tidak mengerti mengapa Hazel tiba-tiba mengamuk dan meninggalkannya. Setelah beberapa saat, Tony menyadari gadis itu berlari tanpa tujuan dan dia pasti akan tersesat.Tony segera mengejar Hazel, tapi dia sudah menghilang. Tony mulai merasa khawatir dan mencari Hazel dengan panik. Tiba-tiba dia mendengar suara minta tolong dan segera berlari ke arah suara itu. Tony terkejut ketika melihat Hazel duduk di tanah sambil menangis."Nona Hazel, anda tidak apa-apa?" tanya Tony khawatir dan langsung berjongkok mendekati Hazel.Hazel yang ketakutan dan kesakitan langsung memeluk Tony dan menangis dengan kuat."Ayo, kita kembali ke penginapan," ajak Tony sambil melepaskan dekapan Hazel yang masih menangis."Kakiku sakit, aku tidak bisa berdiri," jawab Hazel sambil menangis.Tony kembali berjongkok."Letakkan tangan anda di leher saya," perintah Tony lalu langsung mengangkat tubuh Hazel seperti mengangkat seorang bayi.Hazel begitu terkejut hingga
"Maksudmu kau akan berpisah dengan Ethan?" tanya Hazel kaget. Emma tersenyum lalu menjawab dengan tenang."Tentu saja tidak. Aku sudah katakan aku sangat mencintainya dan tidak mungkin hidup tanpa dirinya.""Lalu apa maksudmu kau akan pindah ke Calamba? Sementara sudah jelas kehidupan Ethan ada di ibukota."Emma menghela napas panjang, lalu mengembuskannya. Dia tidak menjawab Hazel dan malah mengalihkan pembicaraan."Sudahlah, itu hanya rencanaku. Sekarang katakan padaku, bagaimana dengan kau dan Tony?"Hazel mendengus lalu memajukan bibirnya begitu mendengar nama Tony. Emma tersenyum, dia lega karena pembicaraan tentang dia dan Ethan akhirnya berhenti."Entahlah, aku tidak peduli. Aku sedang berusaha melupakannya.""Mengapa? Kalian bahkan belum memulai apa-apa, kenapa langsung berakhir?" "Emma, kau tahu aku menurunkan harga diriku hingga ke tanah dengan menyatakan perasaanku kepadanya. Tapi dia malah mengkritikku karena mengungkapkan rasa sukaku kepadanya, dan hingga hari ini dia sa
Emma menghela napas sambil menatap punggung Lea. Dia yang dulunya adalah penggemar berat Lea, berubah menjadi musuh sang diva dan berakhir menjadi orang asing yang saling memaafkan kemudian melupakan.Setelah menunggu beberapa saat, Emma bangkit dan keluar dari kafe itu. Kini dia tidak punya tujuan. Pulang ke rumah hanya akan membuatnya meringkuk kembali di atas tempat tidur, tapi dia tidak punya tujuan lain, selain pulang atau ke Calamba."Emma!" teriak Hazel yang sangat terkejut karena bertemu Emma di tempat yang tidak dia duga."Hazel, apa yang kau lakukan disini? Bukankah ini masih jam kerja?""Aku baru selesai menemui klien di restoran itu," jawab Hazel sambil menunjuk sebuah restorang yang tidak begitu jauh."Kau sendiri apa yang kau lakukan disini?""Aku baru saja bertemu Lea.""Apa? Untuk apa kau menemui wanita itu? Apa yang dia katakan? Apa dia mengatakan hal-hal yang buruk kepadamu?" cecar Hazel yang tidak suka kepada Lea."Jangan khawatir, kami hanya menyelesaikan apa yang
"Lea? Ada apa?" tanya Emma sambil duduk dengan wajah tegang."Apa kita bisa bertemu?" tanya Lea pelan."Sekarang?" "Ya, kalau kau tidak keberatan. Kalau kau sibuk aku bisa menemuimu siang, sore atau malam hari nanti," jawab Lea membuat Emma mengernyitkan dahi."Mengapa kau ingin bertemu? Setahuku tidak ada urusan apapun lagi diantara kita.""Ada yang ingin aku bicarakan. Jangan khawatir aku tidak akan menyerangmu. Kau tentukan saja dimana tempat yang membuatmu nyaman untuk kita bertemu," jawab Lea tenang."Aku ... Aku akan menghubungimu," sahut Emma lalu segera mematikan teleponnya.Emma menatap layar teleponnya sambil menyipitkan mata."Aku hanya ingin tidur seharian dan menenangkan tubuhku. Mengapa hal itupun tidak bisa kudapatkan? Mengapa kau harus bertemu denganku? Dan bodohnya, mengapa aku tidak langsung menolakmu?" gumam Emma sambil meletakkan teleponnya dan menutup wajahnya dengan kedua tangan.Emma memikirkan beberapa saat lalu mengirimkan pesan kepada Lea.[Mari bertemu sian