Sudah terlalu terlambat, terlalu terlambat, dan Citra tak dapat memahaminya.Mengapa Anggara menegaskan sebuah hubungan yang sudah berakhir?Mata gadis itu menyipit sedikit dan tangannya terlepas dari lengan Anggara. "Ah. Aku yakin kalian berdua punya banyak hal untuk dibicarakan." Sambil tersenyum ke arah Citra yang dengan jelas menyatakan, Aku bisa menunggu sampai kau pergi, gadis itu menjauh untuk berbicara pada pria lainnya, yang tertawa di ujung teras."Kau lihat?" Suara Anggara terdengar kasar. "Aku bisa bersikap sensitif." Itu pernyataan yang mengingatkan Citra pada kejadian saat ia kehilangan kesabaran, kesal dengan banyaknya wanita yang sepertinya menganggap istri bukanlah penghalang untuk menggoda Anggara. Ia menuduh Anggara bersikap tidak sensitif. Pria itu menuduhnya bersikap berlebihan.Fakta bahwa Anggara akhirnya mengakui perasaanku mengenai masalah itu hanya ketika kami sudah hampir bercerai membuktikan sikap tidak sensitif pria itu, pikir Citra kaku. Semua yang dilaku
Citral tidak tahu berapa lama ia duduk di sana sambil menatap menembus kabut air mata, tapi ia menyadari saat dirinya tak lagi sendirian.Ia marah karena Anggara tidak memiliki kepekaan untuk membiarkannya sendirian. Bahunya menegang. "Kembalilah ke pesta, Anggara. Tak ada lagi yang perlu kita bicarakan." Rembulan memancarkan secercah cahaya di balik pepohonan, menyinari wajah keras dan maskulin pria itu."Aku ingin membicarakan bayi kita."Jadi, Anggara menyimpan yang terburuk untuk saatterakhir. "Aku tidak.""Aku tahu, dan itulah sebabnya kita berada dalam ma- salah ini. Karena kau menolak membicarakannya."Kata-kata yang tidak adil itu membuat napas Citra tersendat.Bahkan sekarang pun, saat kembali menyinggung ma- salah paling sensitif ini, bahasa tubuh Anggara terlihat bagaikan salah satu dari banyak penjajah yang telah menjajah indonesia selama tiga ratus lima puluh tahun.Kedua kaki Anggara terbuka lebar, satu tangan di da- lam saku, tidak memedulikan pengaruh rumput yang basa
Dua tahun menjauhkan diri dari Anggara masih tetap membuat Citra lemah, dan alih-alih mendorong Anggara menjauh, jemarinya mencengkeram kemeja pria itu. Ia tak berdaya saat kepala Anggara turun ke arahnya, hal yang jelas tak terelakkan itu meluluhkan perlawanannya.Ia sangat siap untuk ciuman Anggara, begitu mendambakannya, sehingga rasanya begitu mengejutkan ketika pria itu tiba-tiba melepaskannya.Dengan gerakan mulus Anggara melepaskan jemari Citra dari kemejanya seakan-akan wanita itu serangga yang tak ia inginkan untuk menyentuh kulitnya. "Kau benar..." ia mengucapkannya dengan suara yang dipenuhi cemoohan dan perasaan jijik sambil mendorong Citra menjauh "...pembicaraan ini tak ada gunanya. Tak ada, tak ada, yang membenarkan tindakanmu saat meninggalkan kita. Kau menyangka dirimu begitu tangguh dan mandiri, tapi kau pengecut yang lebih memilih melarikan diri dari- pada tinggal dan berjuang."Dan Citra memang melarikan diri. Saat itu juga, de- ngan kaki telanjang dan perasaan ter
"Kamu wanita paling menjengkelkan yang pernah kutemui, kamu tahu itu, kan?""Kamu bicara tentang menjengkelkan padaku?" Citra tak tahu harus tertawa atau menangis. "Di saat aku paling membutuhkanmu kamu tak terlihat dan sekarang saat aku tak membutuhkanmu aku tak bisa mengusirmu. Itu menjengkelkan. Kembalilah pada teman wanitamu di pesta, Anggara." "Yang mana? Menurutmu, aku punya banyak pacar.""Aku yakin salah satu dari mereka akan mencurahimu perhatian yang kaubutuhkan." Citra merasakan kehangatan kukuh lengan Anggara menekan tubuhnya. Aromanya harum, pikir Citra dengan kepala yang serasa berputar. Indranya semakin tajam, kulitnya menggelenyar, dan sarafnya berdengung. Ia mengenali tanda-tanda berbahaya tersebut, merasakan tusukan kewaspadaan. Ia butuh Anggara untuk meninggalkannya. Pria itu atau ia yang harus pergi, namun ia tak punya tenaga lagi untuk melakukannya. Atau tempat tujuan. "Masalahmu adalah kamu selalu menganggap semua wanita kelompok yang homogen. Kau menganggap kami
"Butuh dan ingin adalah dua hal yang berbeda,Citra." Anggara menatap mata Citra yang terlihat tidak fokus. "Jadi, serangan panikmu karena tegang. Menarik. Kamu tidak tegang ketika kita masih bersama." "Sudah kubilang, itu karena aku tak pernah melihatmu," balas Citra manis. "Aku lebih sering melihatmu dalam 24 jam terakhir daripada selama kita hidup bersama dalam pernikahan kita. Mungkin itulah sebabnya aku tegang." "Aku juga tegang. Kamu bisa membuat seorang pria gila." Geraman pelan Anggara memengaruhi Citra dan tiba- tiba perasaan lemah di tubuhnya muncul kembali. "Kamu hanya harus menerima kehadiranku sampai hari Minggu. Penerbanganku berangkat besok paginya, pagi- pagi sekali." "Besok pagi kita punya pertemuan dengan para pengacara yang akan mengurus perceraian kita." "Aku tak perlu berbicara pada mereka. Sepakati saja apa pun yang kamu inginkan dan aku akan setuju." Kasur berderak saat Anggara duduk di dekatnya. "Jika kamu semarah itu padaku, maka inilah kesempatanmu untuk
"Anggara, apa kamu mendengarkanku?"Anggara menoleh, malu karena menyadari ia tak mendengarkan sepatah kata pun yang telah di ucapan oleh pengacaranya.Ia meninggalkan rumah saat matahari terbit, berusaha meredakan ketegangan yang memuncak dengan berlama- lama joging sebelum kehangatan hari yang baru berubah menjadi panas terik. Setelah itu ia membersihkan tubuhnya daru keringat. Kemudian ia memeriksa e-mail.Tak ada yang mampu menghapus pikiran tentang Citra dari benaknya.Ia ingin memandang Citra sebagai wanita tak berperasaan yang memperlakukan janji pernikahan mereka sebagai hal yang tak berharga, tapi sebaliknya ia terus melihat Citra, pucat dan rentan saat berjuang untuk bernapas, begitu tertekan karena kembali bersamanya. Karena terbiasa menangani berbagai keadaan darurat setiap hari, Anggara terkejut dengan kepanikan yang mencengkeramnya saat menyaksikan Citra berjuang untuk bernapas. Ia hampir saja memanggil semua dokter yang ada di kota itu.Semua dokter kecuali Dokter Mila
Citra sedikit lega karena pesta pernikahan ini akan sangat berbeda dari pada pernikahannya. Takkan ada hal yang akan memicu kenangan-kenangan tak menyenangkan. Takkan ada nostalgia. Ia hanya perlu melewatinya dan pulang ke rumah. Untunglah Anggara telah meninggalkan rumah sebelum ia terjaga, yang menghindarkan mereka berdua dari pertemuan yang canggung itu. Tapi sekarang ia takut menghadapi saat bertemu kembali dengan Anggara. Pria itu sepertinya bertekad untuk menggali kembali masa lalu sementara Citra tak berminat melakukan hal itu.Sementara dengan ciuman itu...Pria itu memang jago mencium. Itu tak mengubah apa pun.Sebuah ciuman bukanlah cintaDengan tangan yang masih gemetar, Citra merapikan penutup wajah Lilie. "Apa kamu sudah siap?""Oh ya tentu saja. bagaimana denganmu?"Takkan pernah. Citra tersenyum. "Tentu. Ayo kita lakukan." Ayo kita selesaikan upacara pernikahan ini, lalu aku bisa pulang. Ia sudah memesan penerbangan untuk besok. Yang harus ia lakukan hanyalah mengikuti
Citra berpikir mungkin memang dirinyalah yang pergi, tapi Anggaralah yang menghancurkannya. Saat pasangan itu mencondongkan tubuh ke depan untuk berciuman, Citra menyadari bulu romanya berdiri. Apa yang dimulai sebagai getaran berubah menjadi guncangan. Perutnya mual dan ia merasakan wajahnya memucat saat menyaksikan pernyataan cinta Lilie dan David yang sepenuh hati. Dengan emosi yang terlihat jelas, Citra menggenggam karangan bunga dan berusaha mengendalikan diri. Sisa upacara itu mengabur menjadi siksaan besar. Ujian pengendalian diri yang sulit. Samar-samar ia menyadari Lilie melepaskan lengan dari suami barunya-desahan- desahan para tamu yang berkumpul dan kenyataan bahwa ia merasa semakin kedinginan. Entah bagaimana caranya ia berhasil tersenyum, menghadapi sesi pemotretan yang tiada akhir, mengucapkan apa yang perlu diucapkan selamat, senang sekali, ya, dia terlihat cantik, sangat bahagia bersama-sambil menyadari Anggara memegang kendali dan memastikan adik perempuan satu
"Maksudmu, ini bukan pertama kalinya?" seru Anggara dengan wajah panik, membuka ponsel untuk menghubungi dokter Mila dan gusar karena selama ini tidak diberitahu. "Kenapa kamu tidak cerita padaku?""Oh, pergilah dan jangan ribut, Anggara," erang Citra sambil mendekati wastafel untuk mencuci wajah sehabis muntah-muntah yang tadi membuatnya melompat dari tempat tidur dan langsung menuju kamar mandi. Saat ini, ia betul-betul tak butuh penonton. "Ini hanya gangguan perut biasa... mungkin karena menu makananku berubah. Aku terlalu banyak makan makanan pedas."ujar Citra yang terus menahan rasa mualnya"Aku akan mempekerjakan koki baru jika begini akibatnya. Sudah berapa kali ini terjadi?" desak Anggara, bicara cepat dalam bahasa inggris kepada seorang pelayan yang berdiri di dekat mereka. Kemudian, ia mengangguk dan mengatupkan bibir sensualnya saat mendengar jawaban yang membenarkan kecurigaan terburuknya. Wajah tampannya berubah suram mengiringi suasana hatinya. "Kamu harus kembali ke tem
Anggara masuk ke kamar setelah larut malam dan berbaring di sisi tempat tidurnya sementara Citra berpura-pura terlelap. Ia malu atas kenyataan yang Anggara sodorkan ke hadapannya dan amat menyesali pilihannya sekarang. Pagi hari saat ia terjaga, Anggara sudah pergi, dan itulah awal dari tiga minggu yang amat sepi ketika Citra jarang sekali melihatnya. Anggara makan pagi sebelum Citra turun dari tempat tidur, yang justru membuat wanita itu lega karena pada minggu ketiga ia merasa perutnya tidak nyaman, yang ia duga akibat kehamilan yang masih ia sembunyikan. Ia terkadang mual pada pagi hari, bahkan muntah beberapa kali, tetapi kemudian baik-baik saja saat siang dan malam.Tanpa menyadari penderitaan Citra pada pagi hari, Anggara kerap muncul saat makan siang, mengajaknya berbincang dengan amat sopan, tetapi Citra hanya menerima tanggapan dingin. Anggara kembali pada kebiasaannya makan malam bersama Citra. Dan suatu pagi, pria itu mengumumkan sekilas akan terbang ke Singapura untuk men
Citra masih tersenyum-senyum sendiri saat kembali masuk ke tempat tidurnya. Ia tidak sabar memberitahu kepada Anggara tentang kabar bahagia ini. Dengan tatapan penuh harap ia mengeluarkan ponsel dan membaca pesan masuk pada ponselnya.Pesan itu dari Andi. AKU KEHABISAN UANG. BUTUH UANG 500 JUTA. Citra membaca pesan itu dengan mata membelalak kecewa serta mulut mengatup. Ada apa dengan Andi?Ia betul-betul tidak tahu malu. Ia bergegas mengetik pesan balasan. AKU TIDAK AKAN MEMBERIMU UANG UANG SEBANYAK ITU. DIA HARUS MEMBERIKU UANG JIKA TIDAK INGIN FOTO FOTONYA BERSAMA GADIS GADIS DI SURABAYA TEREKSPOS KE MEDIA. Dengan perasaan terpukul bercampur ngeri, Citra duduk tertegun sambil menatap layar ponsel. Mereka telah tiba di pusat kota saat akhirnya ia bisa menenangkan perasaan yang campur aduk. Ia mengangkat telepon untuk bicara dengan Lilir yang duduk di samping sopir. "Aku ingin pulang ke rumah. Aku terlalu capek untuk belanja sore ini," ujarnya. Gadis-gadis? Di Surabaya? Perutnya
Selama beberapa hari ini Laurel lebih terbuka dibandingkan yang terjadi selama pernikahan mereka, namun Anggara tidak akan tertipu. Ketika Citra merasa terancam, dia menutup diri. Itulah cara wanita itu melindungi dirinya sendiri. Di sini, Anggarq tidak bersedia membiarkan Citra bersembunyi tapi ia cukup realistis untuk tahu bahwa ketika mereka kembali ke dunia sibuk tempat mereka tinggal, segalanya akan berubah. "Seminggu," janjinya di bibir Citra, "kita akan kembali selama seminggu. Dan kita akan bersama-sama pada awal dan akhir setiap hari. Sarapan setiap pagi dan makan malam setiap malam. Sendang tidak jauh dari Brakseng. Aku takkan pergi lama. Aku berjanji." Citra mengawasi saat Anggara mengirimkan e-mail dengan satu tangan sambil mengikat simpul dasi sutranya dengan tangan yang satu lagi. Secangkir kopi dingin tergeletak tak tersentuh di meja karena ia tak sempat meminumnya. Sejak mereka tiba kembali di Brakseng, rumah yang dimiliki keluarga Anggara selama beberapa generasi,A
Anggara mendekatkan wajahnya menatap wajah Citra,Matanya menyipit . "Kamu tak mau aku melakukannya?" Citra bisa saja berbohong. Ia bisa saja membiarkan hubungan mereka berjalan tanpa memberitahu Anggara hal sebenarnya, tapi mereka sudah menghadapi cukup banyak hambatan dalam pernikahan mereka tanpa ia menciptakan hambatan baru. "Tidak." Citra menggeleng perlahan, tahu bahwa apa yang akan ia katakan bisa menghancurkan masa depan mereka. "Tidak, aku tidak mau. Ada sesuatu yang belum kuberitahukan padamu. Sesuatu yang belum kukatakan dengan sejujurnya." Anggara terdiam, wajahnya dibayangi cahaya yang semakin temaram. "Katakanlah." Bagaimana Citra bisa menjelaskannya? Dari mana ia memulainya? "Kehilangan bayi kita adalah hal terburuk yang pernah kualami. Ketika merasakan rasa sakit pertama itu aku berpikir, Jangan, tolonglah, jangan sampai ini terjadi. Aku panik. Tak ada, benar-benar tak ada, yang paling kuinginkan di dunia ini seperti aku menginginkan anak kita." Mata Citra basah k
Citra sangat gemetar sehingga tak yakin kedua kakinya mampu menopang tubuh. "Kupikir aku tak boleh melihat rumah." "Tidak lagi. Aku punya kejutan untukmu. Hadiah." Saat mereka menuruni tangga taman itu, Anggara memegang tangan Citra dengan erat dan mengernyit. "Tanganmu dingin. Apa kamu baik-baik saja?" "Aku tak apa-apa." Citra ingin memberitahu Anggara bahwa ia tak membutuhkan hadiah-hadiah besar dari pria itu, bahwa hadiah-hadiah bukanlah alasan ia bersama Anggara. Tapi satu-satunya yang bisa ia pikiran adalah kenyataan bahwa Anggara akan membuat janji untuk menemui dokter padahal itulah hal terakhir yang ia inginkan.Anggara memperpanjang langkah-langkahnya. "Aku tak sabar menunggumu melihatnya." "Dokter itu?" Anggara melirik lembut. "Aku sedang membicarakan hadiahku untukmu." "Oh. Aku yakin aku akan menyukainya," ucap Citra parau, tahu ia harus mengatakan yang sebenarnya pada Anggara.Mereka tiba kembali di rumah dan Anggata segera melangkah menuju ruang kerja, salah sat
"Jika kita melakukan ini..." Citra membiarkan kata itu menggantung "...bagaimana dengan anak yang selalu kamu impikan?" "Kamulah keluarga yang kuimpikan dan untuk yang lainnya..." Anggara mengabaikan anjing-anjing itu, mencondongkan tubuh ke depan, menyingkirkan kuas dari tangan Citra dan menarik wanita itu berdiri "...kita akan menemukan cara untuk mengatasinya. Tapi kita akan menemukannya bersama-sama, bukan sendiri-sendiri. Apa pun yang kamu pikirkan, kamu harus memberitahuku dan kali ini aku akan mendengarkan dengan teliti. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu." Anggara menangkup wajah Citra dengan kedua tangan, merasakan kelembutan kulit Citra di telapak tangannya. "Pada saat aku selesai membuktikan padamu tidak akan ada ruang bagi keraguan dalam benakmu." Keheningan mencekam dan Anggara menyadari makna sebenarnya dari kata ketegangan. Ia bertanya-tanya apa yang harus ia lakukan jika Citra menjauhkan diri karena ia tahu ia tidak akan pernah menerima kata tidak. Kedua mata hit
Citra berharap bisa menerimanya dengan mudah dan bagi jutaan wanita lain mungkin demikian. Mendengarkan Anggara Dobson mengatakan "Aku mencintaimu" telah menjadi puncak ambisi banyak wanita. Untuk Citra, itu sekadar ucapan biasa. Citra frustrasi dengan dirinya sendiri, turun dari ranjang, mengenakan jubah kamar dan melangkah menuju teras. Kenyataan bahwa Anggara membiarkannya pergi dengan begitu mudah memberitahunya banyak hal tentang perasaan pria itu sekarang, saat sedalam apa perasaan tidak amannya yang terungkap. Ketakutan dalam bentuk sensasi dingin merayap di sekujur tubuhnya yang panas ketika akhirnya ia menyadari masa depan pernikahan mereka bukan bergantung pada kemampuannya untuk memiliki anak, tapi kemampuannya untuk memercayai Anggara supaya tidak melukainya. Apa maksud Citra, ia tidak pernah memberi wanita itu tanda apa pun? Anggara berbaring telentang di ranjang, kedua tangannya diletakkan di belakang kepala, memikirkan kembali pernikahan mereka selama dua tah
Anggara menginginkan Citra menceritakan kegundahannya . Dan dia layak mendapatkannya. "Dari kecil aku menginginkan seorang saudara,baik itu laki laki maupun perempuan. Aku selalu kesepian saat ayahku bekerja.Aku tidak punya siapa siapa yang dapat di ajak bicara. Dan ketika ayahku meninggal aku benar benar menjadi sendiri dan merasa sebatang kara. Ini membuat aku mengalami gangguan kecemasan yang akut.Citra berbaring telentang, menjauhkan diri dari Anggara. Citra mengubah suaranya menjadi santai sambil menoleh memandang Anggara. "Jadi sekarang kamu tahu mengapa aku benar- benar kacau." Dan tak ada keluarga, tapi Citra tidak menyebutkan bagian itu. Tidak menyebutkan mengenai kesedihan dan perasaan di sendiri yang mengikuti pengalaman traumatis tersebut. "Mungkin jika aku membaca beberapa cerita dongeng, aku tidak akan menjadi separah ini. Masalahnya, aku tidak akan tahu akhir yang bahagia bahkan jika aku mengalaminya sendiri." Keheningan terasa di antara mereka dan Aggara bersandar d