Thalita masih berdiri di ambang pintu. Ia terlalu takut memasuki kamar hunian yang amat pribadi untuknya. Saat ini ada pria asing yang mencoba menguasai tempat tinggalnya dan mulai mendominasi.
“Pak Baskara, tolong keluar dari flat saya! Saya tidak mau menjadi bahan gunjingan orang-orang sekitar. Kalau Bapak ingin bicara, kita bisa membahasnya besok di kantor. Tapi tolong jangan di sini, Pak,” tegas Thalita menghadapi atasan yang selama ini ia hormati yang kini bermetamorfosa menjadi pria aneh yang sangat terobsesi dengan dirinya. Thalita berulangkali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia tak mau tetangga yang satu lantai dengannya menganggap dirinya sebagai wanita murahan yang membawa masuk pria yang bukan suami ke dalam kamar hunian sewaannya. Dengan banyak pemikiran di kepalanya, Thalita terus menatap intens sang atasan yang dengan bossy tetap berada di dalam apartemen studio sewaannya seolah tak takut apa pun. “Pak Baskara, saya mohon,” pinta Thalita super tegas melebihi ucapannya beberapa detik lalu. Baskara memiringkan senyumnya. Sepertinya ia menikmati ekspresi kepanikan yang bercampur aduk dengan ketakutan tak berdasar di wajah Thalita. Baskara bangun dari sofa single yang ada di dalam kamar sempit itu dan berjalan mendekati sekretaris cantik di hadapannya. Tak lupa, Baskara meletakkan tangannya di bahu Thalita sembari berbisik mesra. “Sampai jumpa besok, sekretarisku yang cantik. Aku tidak bisa melupakan apa yang terjadi di antara kita. Ingat, kamu wanitaku! Tubuh dan hatimu hanya milikku.” Usai mengatakan hal itu, Baskara tersenyum penuh misteri sebelum akhirnya ia mengecup singkat kening Thalita. “Pas Baskara—” Thalita mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Ia benar-benar bingung dengan apa yang terjadi barusan padanya. Seharusnya ia melawan atau marah pada pria itu, yang terjadi malah ia hanya diam dengan kedua bola mata membola sempurna. ~~~~ “Dari mana kamu, Bas? Kenapa teleponku nggak diangkat? Terlalu sibukkah kamu untuk mengangkat panggilan telepon dari istrimu?” Yola melancarkan serangan pertanyaan ketika pria yang telah menikahinya selama dua tahun lebih itu memasuki kamar mereka. Blamm Baskara membanting pintu dan melesat cepat menuju kamar mandi yang ada di kamar huniannya tersebut. Ia mengabaikan keberadaan sekaligus pertanyaan yang ditujukan padanya dari bibir Yola. “Bas–” Panggilan Yola terhenti. Percuma untuknya melemparkan pertanyaan di saat seperti ini. Bukan jawaban yang ia dapatkan, perseteruanlah yang akan terjadi setelahnya jika dirinya kekeuh mengejar jawaban dari pria tampan yang berprofesi sebagai pengusaha sukses tersebut. “Sampai kapan kita akan seperti ini, Bas?” gumam Yola sambil memegangi kepalanya yang terasa pening. ~~~~ Malam harinya di kediaman mewah Baskara… “Baskara, sudah dua tahun kalian menikah, lalu kapan kalian akan memberiku seorang cicit? Aku sudah terlalu tua, bagaimana kalau cicitku lahir sebelum aku bisa melihatnya?” Seruni bertanya pada sang cucu tepat di hadapan pasangan suami istri muda di ruang makan usai mereka semua menyudahi makan malam bersama. Baskara dengan santainya mengelap bibirnya dengan tisu kering seolah tak pernah menganggap pertanyaan itu ada. Walau seseorang yang melemparkan pertanyaan padanya adalah orang yang sangat ia sayangi. Pria itu hanya tersenyum dengan pembawaan tenang. “Nenek, ini sudah malam, aku harus segera mengurus pekerjaan. Kalau masalah cicit, Nenek bisa menanyakan hal itu sama Yola. Sekarang aku ke atas dulu ya, Nek. Pekerjaanku masih banyak yang harus diurus secepatnya. Selamat malam, Nek,” ucap Baskara tenang lalu mengecup kening sang nenek dengan penuh kasih. Tanpa membawa serta sang istri ke atas menuju kamar mereka, Baskara berjalan cepat meninggalkan ruangan itu. Yola menatap kecewa. “Bagaimana ini, Nek? Baskara masih tetap dingin padaku. Apa yang harus Yola lakukan?” “Sabarlah, dia pasti memiliki alasan tersendiri untuk tidak membahas masalah anak di depan Nenek. Nenek yakin cepat atau lambat kamu dan Baskara akan segera rukun dan setelah itu Nenek yakin akan ada suara tangis cicit Nenek di sini.” “Iya, Nek.” Yola tersenyum kecut. Harapan satu-satunya hanya Seruni, Nenek Baskara, untuk membuatnya bisa memiliki anak dari pria itu. Jika dirinya bisa memiliki anak dari Baskara, besar kemungkinannya pria itu akan mencintainya seperti dulu dan anak mereka akan menjadi pengikat mereka berdua sampai akhir hayat. ‘Sialan! Nenek tua ini nggak membantu sama sekali. Aku harus segera menemukan jalan keluar dari masalahku ini. Aku harus bisa membuat Baskara kembali mencintaiku seperti dulu. Aku nggak akan menyerah!’ ~~~~ “Apa yang harus aku lakukan sekarang? Pas Baskara kenapa jadi seperti ini? Selama ini dia baik dan bertanggung jawab, di mataku dia selalu bekerja dengan baik nggak terlihat seperti hidung belang. Tapi kenapa? Kenapa dia tega melakukan semua ini sama aku? Bagaimana kalau Bu Yola tahu? Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?” Thalita berjalan mondar-mandir dengan perasaan campur aduk. Wanita itu menggigit ibu jarinya. Ia tak pernah sefrustasi ini sebelumnya gara-gara pria bernama Baskara. Tak hanya frustasi, kesucian yang telah ia jaga selama 24 tahun juga telah raib karena pria itu. Nada dering ponselnya mengejutkan wanita yang masih kebingungan dan pening memikirkan banyak hal di dalam hidupnya. Thalita menyambar ponselnya dan menempelkan benda pipih canggih tersebut ke salah satu daun telinganya. “Halo, Ta,” sapa seseorang pada Thalita di ujung sana. “Halo, Junior, ada apa?” balas Thalita dalam mood yang kurang baik. “Kamu sudah makan apa belum? Kebetulan tadi aku lewat restoran kesukaan kamu dan aku pesan tom yam udang. Gerimis-gerimis begini makan yang berkuah kayaknya seger deh,” kata Junior dengan godaan yang membuat Thalita dilema. Ini sudah malam. Sudah terlalu malam kalau dikatakan untuk makan malam. Tapi makanan favoritnya enggan untuk dilewatkan. Beralih ke… Gerimis? Apakah di luar sana sedang gerimis? Thalita membuka jendela dan melihat ke luar. Ternyata benar, di luar sedang hujan rintik-rintik. Jangan-jangan Junior ada di sini?! “Tunggu dulu, kamu ada di mana sekarang? Apa jangan-jangan kamu ada di—” “Coba tebak!” Junior mematikan panggilan secara sepihak usai menantang lawan bicaranya. Thalita berbalik badan dan segera membuka pintu kamar huniannya tersebut. “Junior, kamu kok ada di sini? Ini sudah malam, bagaimana kalau ada tetangga yang lihat kamu di sini? Aku nggak mau kena gosip,” cecar tanya Thalita pada Junior tepat di depan pintu. Junior terkekeh geli. “Kan aku juga berhak atas kamar apartemen yang kamu huni sekarang. Memangnya mereka berani bilang apa?” tantang Junior tak memedulikan hal remeh semacam itu. Junior adalah pemilik kamar apartemen yang saat ini dihuni oleh Thalita. Awalnya Thalita diminta Junior untuk menghuni apartemen tersebut tanpa bayaran sepeser pun. Tapi Thalita kekeuh untuk tetap membayar walau mereka adalah sahabat. Thalita tak mau berutang budi pada siapa pun. Apartemen yang dihuni Thalita sangat memudahkan wanita itu untuk mencapai kantor tempatnya bekerja dengan sangat cepat, hanya butuh lima atau paling lama sepuluh menit sampai di tempat kerja. Sangat efektif, bukan? “Ini, makanlah! Kamu pasti lapar,” Junior mengulurkan bungkusan pada Thalita dan memaksa wanita itu untuk menerimanya. “Tapi aku sudah makan di tempat Ibu, Junior,” ucap Thalita tak enak hati. “Tapi kamu belum makan di sini. Memangnya nggak sayang menolak rejeki? Ini kan makanan kesukaan kamu. Masa ditolak? Kalau nggak mau—” Junior belum melanjutkan kata-katanya, ia sengaja menjeda ucapannya, ia memancing pergerakan dan tindakan Thalita. “Eh iya, oke. Aku nggak akan menolak kok. Thanks banget ya, Jun,” ucap Thalita. “Kamu baik banget. Siapa pun yang jadi pasangan kamu nanti pasti bakalan bahagia banget karena punya kamu yang super baik dan perhatian,” puji Thalita tulus tanpa maksud menjilat. “Jangan melebih-lebihkan, Ta. Tadi kan aku sudah bilang, nggak sengaja lewat restoran kesukaan kamu. Jadinya ya mampir sekalian. Ya sudah berhubung ini sudah malam, aku balik, ya. Jangan lupa dimakan, mumpung masih hangat, kalau perlu dipanasin lagi biar tambah enak,” tanggap Junior seraya memberi saran. Thalita mengangguk setuju. Bukannya bergegas pergi, Junior mengusap lembut pucuk kepala Thalita sembari tersenyum penuh arti. “Jangan sampai tersedak dan jangan makan terburu-buru! Oke? Selamat malam,” ucap Junior sebelum benar-benar meninggalkan apartemen Thalita. Sepeninggal Junior, Thalita segera menutup pintu dan meletakkan bungkusan makanan kesukaannya di meja kotak kecil di kamar huniannya tersebut. Belum sempat menuangkan tom yam ke dalam mangkuk, seseorang menghubunginya lagi melalui panggilan telepon seluler. Menjengkelkan! Thalita kesal. Siapa lagi yang menghubunginya malam-malam begini? Tidak mungkin Junior yang melakukannya. Thalita bangkit dari posisinya lalu mencari keberadaan ponselnya. Benar saja, bukan Junior yang menghubunginya melainkan… “Pak Baskara, mau apa lagi dia? Dia lagi, dia lagi! Apa sih maunya orang ini? Angkat nggak, ya?” gumam Thalita seraya memutar otak mencari solusi terbaik. To be continue…. ~~~~Tak ada alasan untuk menolak panggilan dari sang atasan. Bagaimana kalau pria itu menghubunginya untuk mempertanyakan masalah pekerjaan? Tapi.. setelah apa yang terjadi, apakah mungkin alasan itu yang akan pria itu gunakan?Terlepas apa yang terjadi pada mereka berdua kemarin, Thalita mengesampingkan segalanya. Ia memilih menyudahi kebimbangannya dan kemudian menekan tombol hijau lalu ia letakkan ponsel tersebut ke daun telinganya.“Ada yang bisa saya bantu, Pak Baskara?” tanya Thalita profesional.“Siapa yang barusan datang? Kenapa dia malam-malam datang ke apartemen kamu? Buang makanan itu!” hardik Baskara di ujung telepon.Dari mana Baskara tahu apa yang terjadi di sekelilingnya barusan? Apakah pria itu masih ada di apartemen ini? Buru-buru Thalita membuka pintu lalu mengedarkan pandangannya ke segala arah mencoba mencari tahu di mana keberadaan sang atasan posesif tersebut. Nihil. Tak ada tanda-tanda bahwa pria itu ada di sekitar kamar huniannya. Lalu di mana dia sekarang? Tak
“Stop, Pak! Jangan lanjutkan lagi!” Thalita mengangkat telapak tangannya dan menghentikan upaya Baskara melanjutkan hitungan. Baskara tersenyum penuh kemenangan. “Maka kemari dan duduklah di atas pangkuanku! Jadilah anak yang baik dan penurut!”Thalita menguatkan hati dan pikirannya. Ia meraup udara sebanyak mungkin guna menetralkan pikirannya yang penuh gejolak gara-gara ucapan Baskara.Menoleh ke belakang memperhatikan pintu adalah hal yang pertama kali Thalita lakukan sebelum melangkah mendekat ke arah sang atasan. Ia tak punya pilihan lain. Lebih baik baginya mengalah dan melakukan apa yang diminta Baskara daripada pria itu melakukan apa yang baru saja ia katakan beberapa saat sebelumnya. Jadilah Thalita duduk di pangkuan Baskara dengan rasa sungkan dan keraguan. Harga dirinya telah hancur gara-gara perbuatan pria ini. Lalu apa lagi yang harus ditutupinya? Tubuhnya telah menjadi santapan malam yang panas untuk sang presdir tampan. Ia seperti tak memiliki harga diri dan martabat
Degub jantung Thalita semakin kencang. Wanita itu merasakan takut dan juga panik ketika pria di hadapannya semakin mendekat ke arahnya. Tubuh pria itu seperti busur yang siap memanah lawan. “Pak–” Thalita mencoba mengangkat tangannya untuk mendorong dada bidang Baskara yang ditutupi jas mahal menjauh darinya. Namun, hal itu tak mungkin terjadi karena kalah cepat dengan pergerakan Baskara. Pemilik Banyu Biru Grup tersebut meraih buket bunga yang ada di atas meja dan menyerahkannya pada Thalita masih dengan posisi terakhir.“Bunga cantik untuk wanita yang cantik, sangat cocok sekali,” puji Baskara pada Thalita saat ia menyerahkan buket bunga. Thalita sesaat merasa terkesima ketika mendapatkan buket bunga tersebut. “Untuk saya, Pak?”“Kalau bukan untuk kamu lalu untuk siapa lagi? Di ruangan ini hanya ada aku dan kamu. Tidak mungkin aku membeli bunga ini untuk diriku sendiri, kan?” balas Baskara cepat dengan tatapan matanya yang seksi.Thalita tak tahu harus bagaimana. Hatinya kembali
“Bisa-bisa apa, Thalita? Kenapa mendadak kamu nggak bisa bicara? Apa jangan-jangan kamu mau menjelek-jelekkan saya, ya?” tantang Baskara dengan sengaja. Tidak ada ‘aku’ saat pria itu berbicara dengan Thalita di depan orang-orang. Pembicaraan formal. Tak mengandung nada kemesraan sedikit pun. Pintar sekali pria ini bertindak di depan orang-orang tentang tabiat aslinya! Thalita hanya mampu membatin tanpa bisa mengungkap hal itu secara langsung di depan seluruh karyawan yang berada di bawah naungan Banyu Biru Grup.“Mana mungkin saya berani menjelek-jelekkan Bapak. Saya tidak berani, Pak.” Thalita mengaku. Ia jujur walau sebenarnya jika ia memiliki kesempatan, ia juga ingin melakukan apa yang dituduhkan padanya. “Oh begitu,” Baskara tersenyum penuh misteri dengan sembunyi-sembunyi. “Satu jam lagi ke ruangan saya! Saya mau laporan yang saya minta dibawa ke ruangan saya satu jam lagi. Ingat, hanya satu jam! Tidak boleh terlambat. Paham?!” lanjutnya seperti biasa dengan nada tegas tanpa
“Eh i-itu, Pak,” Thalita terbata-bata. Haruskah ia jujur dan tak boleh menutupi sesuatu di hadapan sang atasan yang amat posesif ini? Thalita berada di dalam persimpangan. “Itu apa?” desak Baskara tak sabar.“Saskia mengira saya memiliki hubungan dengan Pak Rico,” ungkap Thalita pada akhirnya.Tak ada keinginan di dalam diri Thalita untuk mengutarakan hal semacam ini di hadapan Baskara. Ia bukan seorang pengadu. Tapi kali ini ia dipaksa untuk jujur dan tak diperkenankan menutupi sesuatu. Ia yakin Baskara adalah orang yang tak mudah percaya pada ucapan seseorang dengan mudahnya. Pria itu pasti menginginkan kejujuran dan penjelasan nyata. Dan itu menjadi tugasnya saat ini. “Bagaimana bisa Saskia mengira kamu memiliki hubungan dengan Rico?” Kernyitan jelas berada di kening Baskara.Pertanyaan macam apa ini? Bukankah semua ini terjadi gara-gara ulah Baskara si bos menyebalkan? Bagaimana bisa pria itu bersikap tak tahu apa-apa dan bertanya dengan entengnya? Sialan!“Kalau bukan karena
“Aku nggak tahu bisa atau nggaknya. Aku benar-benar sibuk,” kata Baskara dengan ekspresi tak suka. Pria itu menyalakan mode loud speaker agar tidak perlu repot-repot menempelkan benda pipih canggih tersebut ke daun telinganya. “Baskara, bagaimanapun juga aku adalah istri kamu. Apa salah seorang istri meminta haknya pada suaminya sendiri? Nggak, kan? Di saat aku butuh kamu, kamu nggak selalu ada di sisiku. Lalu aku ini kamu anggap apa, Baskara? Mau sampai kapan kamu tega memperlakukan aku seperti ini? Sampai kapan?” ungkap Yola meminta penjelasan dengan suara yang terdengar serak seolah menahan tangis.“Cukup, Yola! Kamu nggak usah membahas hal ini lagi. Aku malas debat sekarang. Kerjaanku banyak dan aku nggak punya waktu untuk membahas hal yang nggak penting semacam ini. Kalau nggak ada hal lain, aku matikan sekarang teleponnya. Aku sibuk.” Baskara mengambil sikap tegas dan tak menginginkan ada yang berani membantahnya.Tak mau ada perdebatan lagi, Baskara mematikan panggilan lebih
Baskara mencondongkan tubuhnya ke depan agar ia dengan mudah melakukan apa yang didiktekan kepalanya. Pria itu meraih dagu Thalita lalu mengecup bibir merekah di hadapannya, yang terlihat jelas bahwa sang sekretaris cantik belum siap dengan aksinya. Kedua bibir saling bertemu. Saling merasakan sensasi satu sama lain yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.Hingga tak sengaja pelayan yang telah siap menyajikan makanan pesanan mereka menangkap basah kejadian tersebut.“Oh maaf, Pak–” kata pelayan itu dengan ekspresi tak enak hati karena datang di situasi yang tidak tepat. Di dalam benak sang pelayan, ia benar-benar merutuki perbuatannya. Ia tahu jelas siapa pria di hadapannya yang sangat disegani oleh semua karyawan di restoran ini. Pria itu adalah seorang bos besar dan tentu saja sangat kaya. Bagaimana kalau pria di hadapannya itu mengadukan perbuatannya pada pemilik restoran dan berujung memecat dirinya? Ketakutan tampak jelas di wajah pelayan itu. Tangan yang memegang nampan b
“Wanita mana pun yang melihat Pak Baskara pasti akan dengan mudahnya menjatuhkan hati mereka pada Bapak. Itu akan terjadi jika mereka tahu kalau Bapak belum memiliki pasangan. Sama seperti saya saat ini. Andai Bapak adalah pria yang masih single, mungkin saya akan memberikan kesempatan pada Bapak untuk mendapatkan hati saya. Tapi Bapak sadar dengan jelas bahwa ada perbedaan jauh di antara kita. Selain status sosial, Bapak adalah pria beristri, dan saya adalah wanita single. Tidak mungkin bagi kita melanjutkan hubungan melebihi batas. Saya sadar posisi saya saat ini, Pak.” Thalita memberikan argumentasi.Baskara tersenyum sinis. “Mulutmu manis sekali, Thalita. Bagaimana bisa kamu mengatakan hal itu padaku? Aku tahu jelas kamu memiliki perasaan yang sama denganku. Kenapa kamu harus menutupi hal itu dariku? Kenapa? Apa kamu menemukan pria lain setelah kamu melewati malam panas denganku saat itu? Atau saat itu aku tidak bisa memuaskanmu?” Pria itu memberikan sindiran halus pada wanita yan
Rico masih belum bisa mengatasi rasa heran yang menggelayut di dalam pikirannya. Sang bos mengajaknya check in di hotel hanya untuk…Mandi?Yang benar saja?! Apakah ada lelucon yang tak segaring ini? Akal sehatnya terus mempertanyakan. “Kalau kamu mau pesan makanan, pesan saja, nanti billnya masukkan ke dalam tagihanku,” kata Baskara yang secara tidak langsung mengembalikan kesadaran Rico ke dunia nyata. Rico tersentak kaget mendengar ucapan sang bos padanya sebelum mengambil jubah mandi dan menghilang ke dalam kamar mandi hotel yang dilengkapi fasilitas mewah. “Apa ini bedanya orang yang terlahir kaya dan orang miskin? Cuma mau mandi saja harus ke hotel. Kenapa nggak pulang ke rumah saja? Ck!” gumam Rico sembari geleng-geleng kepala. Nada dering Baskara yang ada di atas tempat tidur membuat fokus Rico terpecah. Ia menengok sekilas ke arah pintu kamar mandi dan ponsel tuannya secara silih berganti. “Nyonya Yola telepon, bagaimana ini? Haruskah aku memberitahu Pak Baskara kalau N
“Kamu akan tahu hubungan seperti apa yang aku maksud!” tegas Baskara yang tanpa aba-aba langsung membopong tubuh Thalita ke atas ranjang.Pria itu bergerak mendominasi. Ia mencium Thalita tanpa perlawanan berarti dari wanita itu. Sekuat apa pun Thalita melawan, tak akan sanggup mengalahkan dirinya. Baskara yang diselimuti amarah segera melucuti pakaian Thalita walau wanita itu terus berusaha mendorong tubuhnya agar bergerak menjauh.“Kamu benar-benar membuatku marah, Sayang,” ucap Baskara ketika tubuh wanita itu tak lagi tertutup selembar kain pun.“Pak Baskara–” Tak ada gunanya melawan. Pria itu benar-benar menunjukkan kemarahannya pada Thalita yang telah ia anggap sebagai wanitanya.Baskara menjelajah ke setiap inci tubuh Thalita. Ia membuat Thalita yang awalnya menolak dan terus menolak kini mau tak mau memberinya celah untuk masuk ke dalam inti tubuhnya. “Aku tahu kamu juga menginginkanku, Thalita. Aku akan memuaskanmu,” bisik Baskara di daun telinga Thalita. Pria itu menekan s
Rico terlihat kebingungan ketika menenteng paperbag yang di dalamnya terisi beberapa harta karun milik Baskara sebelum memasuki mobil mewah tuannya. Baskara mengernyit heran. Ia pun segera meminta Rico untuk menyalakan mesin mobil agar secepatnya membawa dirinya ke apartemen Thalita. “Apa yang sedang kamu perhatikan, Rico? Kamu masih ingin bekerja denganku atau sudah bosan dan ingin mencari pekerjaan lain?”“Ah, begini Pak… bukan maksud saya seperti itu, Pak. Saya hanya merasa heran saja kenapa Bapak membeli barang-barang semacam ini? Saya masih tetap ingin bekerja dengan Bapak. Saya tidak memiliki keinginan untuk bekerja dengan orang lain, Pak,” aku Rico dengan nada yang sedikit terbata-bata.“Bagus kalau begitu. Lebih baik kamu segera mengantarku ke apartemen Thalita dan jangan banyak bertanya!” titah Baskara pada anak buah sekaligus kepercayaannya. ‘Ke apartemen Thalita? Ada urusan apa Pak Baskara semalam ini datang ke sana? Sebenarnya apa yang terjadi di antara mereka?’ Kerutan
Kenapa yang ada di hadapannya saat ini adalah Junior? Kenapa bukan Baskara? Thalita merasa munafik sekarang. Bukankah seharusnya ia lega jika pria yang ada di hadapannya saat ini bukanlah Baskara. Tapi anehnya kenapa ia malah merasa kecewa? Junior kembali mengetuk pintu setelah menekan bel namun belum juga dibukakan oleh sang penghuni kamar. Thalita yang ada di dalam sana segera mempersiapkan diri agar dirinya bisa terlihat biasa-biasa saja di depan Junior. CeklekPintu terbuka lebar. Thalita mengulas senyum manis pada sang sahabat. “Maaf nunggu lama, oh ya ada apa kamu ke sini, Jun?” “Aku nggak dipersilakan masuk, nih? Kamu tega membiarkan seorang tamu tetap berdiri di depan pintu? Tega sekali kamu, Ta,” rajuk Junior menggoda si pemilik kamar. “Apaan sih, Jun. Ya sudah ayo masuk! Oh by the way, kamu sudah makan belum? Aku barusan masak, tapi cuma masak sop ayam, mau?” “Mau banget dong. Kebetulan aku belum makan. Habis dari lokasi pemotretan, aku langsung ke sini,” lapor Junior
Malam harinya…Thalita memainkan ujung rambutnya sembari menatap ke luar jendela kamar apartemennya. Tatapannya memang benar ke arah depan tapi saat ini fokusnya tak ada di sana. Pikiran Thalita tak tentu arah usai membaca pesan Baskara tadi sore di kantor. Pria itu mengatakan akan….Ah apa yang sebenarnya dipikirkan Baskara di dalam kepalanya? Entahlah…Nada dering ponselnya berbunyi. Thalita buru-buru melangkah mendekati benda pipih canggih miliknya di atas meja kecil di dekat tempat tidur. “Tante Jani? Tumben malam-malam begini menghubungi aku? Apa ada kaitannya sama Ibu, ya?” gumam Thalita dengan pikiran menerka-nerka. Thalita segera menekan tombol hijau miliknya, panggilan antara Tante dan keponakan pun tersambung. Wanita muda itu sengaja meletakkan ponselnya dalam mode loud speaker di atas meja.“Assalamualaikum, Thalita,” sapa hangat sang tante. Thalita tersenyum senang, sepertinya tantenya akan memberitahu dirinya informasi yang baik alih-alih hal yang membuatnya khawatir.
Baskara segera memasang wajah tenang usai membentak sang adik di depan Thalita. “Ini ruang kerjaku. Dan ditambah lagi Thalita masih banyak yang harus dikerjakan. Tidak bisakah kamu mencari waktu lain untuk membicarakan hal seperti itu? Ini bukan biro jodoh, jadi kamu nggak perlu mencarikan cowok untuk Thalita. Dia sudah ada yang punya,” tegas Baskara yang tetap tampil santai dengan ucapannya barusan. “Tapi barusan Mbak Thalita bilang kalau dia belum punya pacar. Ya wajar aja dong kalau aku mau kenalin Mbak Thalita sama cowok. Siapa tahu mereka cocok. Lagipula aku sadar kok, Mas, ini di kantor bukan biro jodoh. Mas Ibas kenapa, sih? Dih, Mas Ibas sok tahu, ah! Mana mungkin juga Mbak Thalita bohong sama aku, niat aku juga baik kok, cuma pengen wanita secantik Mbak Thalita punya pacar syukur-syukur malah bisa jadi jodohnya, nggak macam-macam,” bela Vivian terhadap ujaran Baskara mengenai Thalita padanya. “Yang bilang mau macam-macam juga siapa? Kamu pikirannya malah ke mana-mana. Hais
“Memangnya memastikan keselamatan adik sendiri nggak boleh?” balas Baskara sekenanya. Kening Vivian berkerut. “Memastikan keselamatan? Mas Ibas jangan bikin aku ketawa ngakak deh, nggak lucu tahu! Bilang aja kalau Mas Ibas kangen sama adiknya yang cantik ini, pasti aku bakal percaya,” canda Vivian sembari terkekeh geli. Ck!“Iya, aku kangen sama adikku yang cantik tiada duanya ini. Sekarang percaya?” Baskara kembali mengecoh sang adik dengan jebakan yang sama seperti celetukan Vivian sebelumnya.“Nggak asyik ah, Mas! Nggak seru!” Vivian bersungut-sungut. “Yang bilang seru juga siapa?” tanggap Baskara cepat. Mendadak ia teringat sesuatu. “Ini cuma alasan kamu, kan? Sebenarnya kamu ke sini karena ada alasan lain selain menanyakan apa alasan Mas tadi siang, kan? Hayo ngaku! Kalau kamu pulang lebih awal, kenapa juga kamu mampir ke sini? Kenapa nggak langsung pulang aja? Kenapa mesti repot-repot datang ke sini cuma mau nanyain perkara nggak penting kayak barusan?” cecar Baskara mendomi
‘Siapa yang nggak takut sama aku di perusahaan ini? Beraninya dia datang dan mengusik kesenanganku! Aku akan memberi hukuman pada orang itu,’ gerutu Baskara merutuki perbuatan seseorang di depan pintu ruangannya. “Kamu beruntung ada orang yang rela dihukum demi kamu, Thalita. Tapi jangan senang dulu, kamu tetap akan mendapatkan hukuman dariku. Ingat itu!” tegas Baskara pada Thalita. Thalita tak menyia-nyiakan kesempatan yang datang padanya. Bisa pergi dari ruangan ini secepat yang ia bisa adalah sebuah kelegaan tersendiri. Ia segera memperbaiki penampilannya yang cukup mencolok dan semua itu adalah hasil dari kenakalan sang atasan yang posesif. Entah sejak kapan dua kancing kemeja yang membalut tubuh bagian atasnya terbuka? Thalita hampir saja melupakan hal itu. Baskara menekan tombol remote di meja dan terbukalah pintu di ruangannya. Bukan karyawan perusahaan yang datang mengetuk pintu melainkan adik kandungnya, Vivian. Tentu saja hal ini mengecewakannya. Karena apa? Karena tak mu
Thalita mengumpulkan keberanian. Ia tak boleh merasa takut pada lelaki seperti Baskara. Selama ia tak melakukan kesalahan, ia tidak diijinkan untuk merasa takut. Degg degg degg degg Jantung wanita itu berdetak amat cepat. “Thalita!!” panggil Saskia yang membuat Thalita segera mengarahkan pandangannya. “Ada apa?” tanya Thalita sembari menoleh ke belakang seraya melangkahkan kaki menuju ke pintu ruangan Baskara.“Pak Baskara marah kenapa lagi? Kamu perlu aku untuk menemani kamu ke dalam apa nggak?” Saskia menunjukkan kepedulian.Yang benar saja! Bagaimana kalau nanti di dalam sana Baskara kembali melakukan hal di luar nalar padanya tepat di hadapan Saskia? Bisa-bisa kejadian tersebut menjadi trending topik dan tidak akan pernah selesai tanpa ada konfirmasi dari pihak Baskara dan juga dirinya. Tak hanya itu, bagaimana kalau Baskara melakukan hal yang tidak-tidak melebihi hanya sekedar ciuman? Oh tidak! Membayangkan hal itu saja sudah berhasil membuat keringat dingin mengucur deras