Miranti kembali mengecek pesan w******p di HP-nya. Meyakinkan sekali lagi kalau ia sudah berada di alamat yang benar.
Sekeluar dari rumah sakit, Bu Sinta mengenalkannya kepada Bu Kanti, seorang agensi penyalur wet nurse eksklusif bagi keluarga kaya.
Miranti sangat bersyukur karena ASI-nya yang melimpah bisa memberikan jalan keluar untuk masalah finansial yang kini tengah membelitnya. Asalkan tidak menjual dirinya, Miranti rela melakukan apa saja yang menghasilkan uang.
Mianti menekan tombol intercom yang terdapat di gerbang rumah mewah berlantai dua itu. Menurut Bu Kanti, Miranti harus menemui seorang bernama Maharini, yang tinggal di rumah mewah ini.
”Ya, mencari siapa?” tanya seseorang melalui intercom.
”Saya Miranti, saya ada janji dengan Ibu Maharini,” jawab Miranti.
Tak menunggu berapa lama, gerbang rumah mewah itu pun terbuka. Seorang laki-laki mengenakan seragam satpam membukakan pintu untuknya.
”Bu Rini sudah menunggu di dalam,” ujar singkat satpam itu pada Miranti.
Miranti mengikuti langkah satpam itu melintasi halaman depan yang tertutup paving. Rumah yang asri dan nyaman karena tamannya dipenuhi tanaman dan rumput yang menghijau.
Miranti menunggu beberapa saat di ruang tamu, saat seorang wanita paruh baya turun dari lantai dua dengan wajah ramah dan penuh senyum berjalan anggun ke arahnya.
”Miranti Anandari?” sapa wanita paruh baya itu sambil menjabat tangan Miranti hangat.
Miranti menyambut tangan wanita itu dan menyebutkan namanya kembali dengan hormat.
”Benar, Nyonya, saya Miranti. Saya wet nurse yang akan bekerja di sini.”
”Tidak perlu terlalu formal begitu, lagipula saya bukan Nyonya rumah ini. Panggil saja Bu Rini,” jawab wanita itu yang membuat Miranti bisa merasa nyaman.
”Kamu membawa hasil tes kesehatan dan dokumen lain seperti yang saya minta?” tanya Maharini.
Miranti mengangguk cepat, merogoh tasnya dan mengeluarkan amplop berisi hasil tes kesehatannya dan dokumen resmi dari agensinya.
”Sudah saya bawa, Bu Rini. Semua lengkap seperti yang diminta.”
Maharini menerima amplop itu dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Matanya dengan cekatan memeriksa dokumen-dokumen di dalamnya.
”Bagus sekali, semuanya lengkap. Kalau boleh tahu, kenapa kamu tertarik menjadi wet nurse, Miranti?”
”Sejujurnya, Bu, saya membutuhkan penghasilan yang memadai. Saya tidak punya pekerjaan tetap saat ini dan kebutuhan finansial saya juga tidak sedikit. Kebetulan ASI saya melimpah... sayang kalau tidak dimanfaatkan.”
”Oh, begitu,” Maharini mengangguk paham.
Maharini kembali menekuni dokumen pribadi Miranti. Sesekali ia melirik Miranti dan menganggukkan kepalanya.
”Hasil tes kesehatanmu juga bagus. Tidak ada penyakit menular dan juga bebas dari obat-obatan terlarang. Hanya saja ada keterangan kalau kamu menderita defisiansi vitamin D.”
Miranti semakin berdebar. Ia takut kalau masalah itu membuatnya kehilangan tawaran pekerjaan yang menggiurkan itu.
”Tapi itu bukan masalah besar. Asalkan ASI-mu kualitasnya bagus, itu bukan menjadi masalah besar bagi saya. Tapi kamu tahu bahwa pekerjaan ini tidak sesederhana kedengarannya, kan? Keluarga ini sangat selektif. Apalagi wet nurse untuk bayi yang umurnya baru beberapa minggu.”
”Bu Kanti sudah menjelaskan semuanya, Bu,” jawab Miranti cepat, ”Saya siap dengan semua persyaratannya.”
Bu Rini tersenyum lembut. Rasa puas terpancar dari wajahnya.
”Bagus. Bianca, bayi yang akan kamu susui, adalah cucu saya satu-satunya. Dan ayah Bianca juga sangat protektif.”
Miranti merasa tenggorokannya mengering. Ia merasa majikannya memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap dirinya. Dan itu membuat Miranti takut tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka.
”Boleh saya tahu... kenapa bayinya membutuhkan wet nurse, Bu? Apa ibunya tidak bisa menyusui?”
Ekspresi Maharini berubah sendu. Ia tersenyum samar saat mulai bercerita.
”Karina, anak saya, meninggal saat melahirkan beberapa minggu lalu. Bianca juga intoleran dengan susu formula. Selama ini kami mendapatkan suplai ASI dari rumah sakit, tapi kurang efektif karena semakin besar, Binca membutuhkan ASI lebih banyak. Makanya, aku menawarkan jasa wet nurse pada ayah Bianca. Semula ia menolak tentu saja. Tapi, demi Bianca akhirnya ia setuju.”
”Jadi, tugas kamu bukan hanya memberi ASI, tapi juga kasih sayang,” lanjut Maharini, ”Aku harap kau bisa menyayangi Bianca seperti anakmu sendiri. Oh, ya, bagaimana dengan anakmu?”
Miranti menggigit bibirnya. Kalau Bianca kehilangan ibunya, Miranti justru kehilangan bayinya.
”Bayi saya meninggal beberapa jam setelah lahir, Bu,” bisik Miranti lirih.
”Oh, maaf, aku tidak tahu. Aku turut berduka untuk anakmu, ya. Sekarang ia pasti sudah sangat bahagia di surga. Bagaimana kalau sekarang aku menunjukkan kamar dan memperkenalkanmu pada si kecil Bianca? Mari kut saya!” ajak Maharini kepada Miranti.
Maharini bangkit dari kursinya dan melangkah menuju lantai dua. Miranti mengikuti langkah Maharini menapaki tangga melingkar yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua.
Mereka kemudian menuju lorong sebelah kanan dan berhenti di depan pintu putih yang dihiasi gambar peri dan rumah jamurnya.
”Bianca baru saja tidur setelah berjam-jam digendong. Bianca selalu rewel jika waktunya tidur,” bisik Maharini sambil membuka pintu dengan hati-hati.
Tak mau bayi yang tidur itu terganggu, Miranti sampai berjinjit. Ia tak mau bayi itu terganggu dan menangis karena suara langkah kakinya.
Miranti mengikuti Maharini memasuki kamar bayi dengan hati-hati. Ruangan itu bernuansa pastel dengan warna-warna lembut. Di tengah ruangan terdapat box bayi mewah dengan kelambu tipis menggantung di atasnya.
”Ini Bianca,” bisik Maharini sambil menunjuk bayi mungil yang tertidur pulas.
Wajah Bianca terlihat damai, dengan napas teratur yang membuat dadanya naik turun perlahan.
Miranti mendekat dengan hati-hati, matanya terpaku pada sosok kecil yang cantik, tapi kelihatan rapuh. Ia memicingkan matanya, rasanya ia pernah melihat bayi mungil itu. Mungkinkah?
”Dia cantik sekali,” bisik Miranti.
”Turunan dari kedua orang tuanya yang sama-sama goodlooking,” seloroh Maharini, membuat suasana cair supaya Miranti tidak terlihat tegang.
Miranti tersenyum mendengar gurauan tipis Maharini. Perempuan setengah baya itu terlihat ramah dan suka bercanda.
Miranti menatap Bianca sekali lagi, memutar memori saat ia melihat bayi itu. Dalam sekejap Miranti langsung jatuh hati pada bayi mungil itu. Miranti sangat ingin menggendong dan menimang Bianca yang tengah pulas. Sekuat tenaga Miranti menahan keinginannya itu. Ia tak mau dianggap tak tahu tata krama.
”Wet nurse-nya sudah datang?”
Suara berat laki-laki membuat Miranti menoleh ke arah pintu. Saat Miranti melihat laki-laki tegap yang mematung di ambang pintu, ia terkesiap. Kedua matanya membola tak percaya.
”Adrian Himawan?!”
”Bu Miranti, bayi Ibu semakin kritis. Dokter meminta ibu ke ruang bayi sekarang!” ujar Suster Hayati yang membangunkan Miranti.”Kritis? Maksudnya bagaimana, Sus?” tanya Miranti panik seraya turun dari atas ranjang.Suster Hayati menggigit bibirnya, ”Maaf Bu, tapi detak jantungnya semakin melemah. Saturasi oksigennya juga turun drastis. Dokter kami sedang berusaha melakukan yang terbaik. Namun, meminta Ibu segera datang.””Ya Allah, jangan ambil anakku. Dia satu-satunya yang aku miliki,” isak Miranti sambil berpegangan pada dinding koridor.”Tenang, Bu. Mari saya bantu,” kata Suster Hayati sambil meraih lengan Miranti, ”Kita harus cepat.”Miranti masih mematung. Dadanya begitu sesak membayangkan anak semata wayangnya tersiksa karena penyakit yang ia derita.Beberapa jam lalu, Miranti baru saja menyelesaikan persalinan anaknya, sendirian tanpa ditemani oleh siapapun, bahkan oleh Rino, suaminya sendiri. Suaminya itu pergi tanpa kabar, bahkan sampai saat ini, ketika Miranti berjuang bert
Miranti duduk di halte bus yang ada di depan rumah sakit. Ia memeluk tote bag besar di depan dada untuk menutupi bekas rembesan air susunya.Miranti melirik jam tangannya, sudah lewat tengah hari. Diteguknya air mineral hingga habis setengah botol untuk membasahi kerongkongannya yang kering.Andai saja motornya masih ada, tentu ia tak harus menunggu bus yang biasanya penuh sesak siang-sing begini.Sayangnya, motor satu-satunya sudah digadaikan Rino untuk membayar utang. Sekarang pun Miranti tak tahu ke mana Rino pergi.Hampir sebulan lalu, Rino minggat setelah mereka bertengkar hebat. Miranti sudah mencarinya di tempat kerja, tapi Rino ternyata sudah tidak bekerja di sana lagi.Masalah ekonomi memang kerap membuat Miranti dan Rino bertengkar. Gaji Rino sebagai satpam di sebuah tempat karaoke tak bisa menutup semua kebutuhan. Apalagi semenjak hamil Miranti juga tidak bekerja karena selama kehamilan trimester pertama, ia kerap muntah dan lemas.Layar ponsel menyala, menampilkan nama ”Bu
Miranti menatap seisi kamar kontrakannya dengan tatapan kosong. Tasnya ia lemparkan ke atas kasur.Minggu yang lalu Miranti membawa pulang bayinya yang sudah tidak bernyawa. Saat itu Miranti tak tahu harus menguburkan bayinya di mana. Ia harus mengucapkan terima kasih pada Bu Sinta, kosbasnya yang sangat baik hati. Miranti dapat memakamkan bayinya dengan layak berkat Bu Sinta.Sekarang ia harus menerima kenyataan suaminya tak mau lagi hidup bersamanya. Rino lebih memilih bersama wanita lain daripada memperbaiki rumah tangga mereka.”Kuat, Mir. Kamu harus kuat,” bisiknya pada diri sendiri. Memberikan afirmasi positif untuk dirinya sendiri meski tidak mudah.Miranti terenyak saat ponselnya berbunyi. Ia mengira ada pesan dari Rino. Dengan malas Miranti meraih ponselnya dan membaca pesan yang baru saja masuk.Ternyata tidak seperti yang ia duga, notifikasi pesan kali ini isinya sama dengan puluhan pesan dan panggilan tak terjawab yang masuk beberapa minggu terakhir. Miranti menggigit bibi
Miranti mengeluh pelan. Kepalanya terasa berat. Miranti mendengar berbagai suara, tapi tidak bisa mencerna kata-katanya.Miranti mencoba membuka mata, tapi kelopak matanya terasa berat. Tubuhnya ringan seperti mengambang di antara sadar dan tidak, seperti terapung di permukaan air yang perlahan menariknya ke bawah.Apa aku sudah mati? Tapi kenapa aku masih bisa mendengar?Pertanyaan itu melintas dalam benaknya yang berkabut. Bukankah seharusnya semuanya sudah berakhir?”...Tidak mungkin... apa yang dipikirkannya...”Suara-suara di sekitarnya semakin jelas. Miranti melenguh pelan. Lengan kirinya berdenyut-denyut nyeri. Ia berusaha menggerakkan jari-jarinya, merasakan sensasi aneh di punggung tangannya.Dengan usaha yang luar biasa, Miranti akhirnya membuka mata. Pandangannya kabur, hanya menangkap bayangan-bayangan dan sinar lampu yang terlalu terang. Ia mengangkat tangannya yang terasa berat.Selang infus. Kalau begitu, ia masih hidup?”Sudah sadar rupanya?”Suara itu—tajam dan gemeta
Miranti kembali mengecek pesan whatsapp di HP-nya. Meyakinkan sekali lagi kalau ia sudah berada di alamat yang benar.Sekeluar dari rumah sakit, Bu Sinta mengenalkannya kepada Bu Kanti, seorang agensi penyalur wet nurse eksklusif bagi keluarga kaya.Miranti sangat bersyukur karena ASI-nya yang melimpah bisa memberikan jalan keluar untuk masalah finansial yang kini tengah membelitnya. Asalkan tidak menjual dirinya, Miranti rela melakukan apa saja yang menghasilkan uang.Mianti menekan tombol intercom yang terdapat di gerbang rumah mewah berlantai dua itu. Menurut Bu Kanti, Miranti harus menemui seorang bernama Maharini, yang tinggal di rumah mewah ini.”Ya, mencari siapa?” tanya seseorang melalui intercom.”Saya Miranti, saya ada janji dengan Ibu Maharini,” jawab Miranti.Tak menunggu berapa lama, gerbang rumah mewah itu pun terbuka. Seorang laki-laki mengenakan seragam satpam membukakan pintu untuknya.”Bu Rini sudah menunggu di dalam,” ujar singkat satpam itu pada Miranti.Miranti me
Miranti mengeluh pelan. Kepalanya terasa berat. Miranti mendengar berbagai suara, tapi tidak bisa mencerna kata-katanya.Miranti mencoba membuka mata, tapi kelopak matanya terasa berat. Tubuhnya ringan seperti mengambang di antara sadar dan tidak, seperti terapung di permukaan air yang perlahan menariknya ke bawah.Apa aku sudah mati? Tapi kenapa aku masih bisa mendengar?Pertanyaan itu melintas dalam benaknya yang berkabut. Bukankah seharusnya semuanya sudah berakhir?”...Tidak mungkin... apa yang dipikirkannya...”Suara-suara di sekitarnya semakin jelas. Miranti melenguh pelan. Lengan kirinya berdenyut-denyut nyeri. Ia berusaha menggerakkan jari-jarinya, merasakan sensasi aneh di punggung tangannya.Dengan usaha yang luar biasa, Miranti akhirnya membuka mata. Pandangannya kabur, hanya menangkap bayangan-bayangan dan sinar lampu yang terlalu terang. Ia mengangkat tangannya yang terasa berat.Selang infus. Kalau begitu, ia masih hidup?”Sudah sadar rupanya?”Suara itu—tajam dan gemeta
Miranti menatap seisi kamar kontrakannya dengan tatapan kosong. Tasnya ia lemparkan ke atas kasur.Minggu yang lalu Miranti membawa pulang bayinya yang sudah tidak bernyawa. Saat itu Miranti tak tahu harus menguburkan bayinya di mana. Ia harus mengucapkan terima kasih pada Bu Sinta, kosbasnya yang sangat baik hati. Miranti dapat memakamkan bayinya dengan layak berkat Bu Sinta.Sekarang ia harus menerima kenyataan suaminya tak mau lagi hidup bersamanya. Rino lebih memilih bersama wanita lain daripada memperbaiki rumah tangga mereka.”Kuat, Mir. Kamu harus kuat,” bisiknya pada diri sendiri. Memberikan afirmasi positif untuk dirinya sendiri meski tidak mudah.Miranti terenyak saat ponselnya berbunyi. Ia mengira ada pesan dari Rino. Dengan malas Miranti meraih ponselnya dan membaca pesan yang baru saja masuk.Ternyata tidak seperti yang ia duga, notifikasi pesan kali ini isinya sama dengan puluhan pesan dan panggilan tak terjawab yang masuk beberapa minggu terakhir. Miranti menggigit bibi
Miranti duduk di halte bus yang ada di depan rumah sakit. Ia memeluk tote bag besar di depan dada untuk menutupi bekas rembesan air susunya.Miranti melirik jam tangannya, sudah lewat tengah hari. Diteguknya air mineral hingga habis setengah botol untuk membasahi kerongkongannya yang kering.Andai saja motornya masih ada, tentu ia tak harus menunggu bus yang biasanya penuh sesak siang-sing begini.Sayangnya, motor satu-satunya sudah digadaikan Rino untuk membayar utang. Sekarang pun Miranti tak tahu ke mana Rino pergi.Hampir sebulan lalu, Rino minggat setelah mereka bertengkar hebat. Miranti sudah mencarinya di tempat kerja, tapi Rino ternyata sudah tidak bekerja di sana lagi.Masalah ekonomi memang kerap membuat Miranti dan Rino bertengkar. Gaji Rino sebagai satpam di sebuah tempat karaoke tak bisa menutup semua kebutuhan. Apalagi semenjak hamil Miranti juga tidak bekerja karena selama kehamilan trimester pertama, ia kerap muntah dan lemas.Layar ponsel menyala, menampilkan nama ”Bu
”Bu Miranti, bayi Ibu semakin kritis. Dokter meminta ibu ke ruang bayi sekarang!” ujar Suster Hayati yang membangunkan Miranti.”Kritis? Maksudnya bagaimana, Sus?” tanya Miranti panik seraya turun dari atas ranjang.Suster Hayati menggigit bibirnya, ”Maaf Bu, tapi detak jantungnya semakin melemah. Saturasi oksigennya juga turun drastis. Dokter kami sedang berusaha melakukan yang terbaik. Namun, meminta Ibu segera datang.””Ya Allah, jangan ambil anakku. Dia satu-satunya yang aku miliki,” isak Miranti sambil berpegangan pada dinding koridor.”Tenang, Bu. Mari saya bantu,” kata Suster Hayati sambil meraih lengan Miranti, ”Kita harus cepat.”Miranti masih mematung. Dadanya begitu sesak membayangkan anak semata wayangnya tersiksa karena penyakit yang ia derita.Beberapa jam lalu, Miranti baru saja menyelesaikan persalinan anaknya, sendirian tanpa ditemani oleh siapapun, bahkan oleh Rino, suaminya sendiri. Suaminya itu pergi tanpa kabar, bahkan sampai saat ini, ketika Miranti berjuang bert