"Keluarga pasien atas nama Bian Putra Galaksi," panggil petugas dari ruangan sebelah kiri."Saya suster?" Aku dan Radit tergopoh menghampiri."Ibu, Bapak diminta menemui dokter Dirga, silahkan ikut saya," pintanya."Baik suster." Kami berjalan mengikuti suster memasuki suatu ruangan yang cukup besar dan nyaman untuk ruangan seorang dokter."Silahkan masuk Bapak, Ibu." Dokter Dirga tersenyum mempersilahkan."Perkenalkan saya Dirga, dokter yang menangani anak Anda.""Iya dokter, terimakasih. Bagaimana keadaan anak saya sekarang?"Dokter Dirga tersenyum saat tangannya membuka lembaran hasil pemeriksaan medis."Bian mengalami kecelakaan yang hebat, anak itu banyak kehilangan darah, saya sangat menyayangkan ia dibawa kemari dalam keadaan kritis padahal sempat mendapat perawatan di Rumah Sakit sebelumnya. Tapi, untunglah Tuhan masih berbaik hati kepadanya. Ia masih bisa diselamatkan setelah segala cara kami lakukan untuk menolonganya. Hanya saja ...." Ucapan dokter Dirga terjeda.Aku mengatu
Ibu yang menyaksikan itu setengah berlari menghampiri ayah."Hentikan!" perintah ibu tegas."Dia telah melempari wajahku dengan kotoran?" umpat ayah tak terima."Hentikan!" perintah ibu lagi, menarik lengan ayah menjauh dari tubuh Mas Rian. Tapi, emosi ayah masih saja tersulut, berkali-kali tanganya mengenai tubuh Mas Rian, meski sudah dipegangi Radit dan ibu."Dia sudah melakukan hal yang bodoh, menyakiti anak dan istrinya sendiri demi wanita penzina itu!" Telunjuk ayah tepat mengarah pada Riana."Jaga ucapanmu! Kalau kamu dulu merestui pilihannya, hal itu tidak akan terjadi dan tidak akan ada yang terluka, termasuk Halwa dan Bian," jelas ibu keras."Karena aku tidak sudi anakku berzina selama pernikahannya," teriak ayah tidak mau kalah."Bagaimana kamu bisa berbicara seperti itu?""Karena aku tahu siapa ayah biologis Riana."Kami yang mendengar hal itu tercengang, apalagi Riana, binar mata yang selalu ia tunjukkan kini lenyap sudah. Mimpi buruknya seakan terulang kembali.Riana berja
Mas Rian masih bersikukuh untuk mengantar Riana dan Zain pulang, meminta pengertianku dan keluarganya."Hal, Mas hanya akan mengantarnya saja, habis itu segera balik lagi. Kasian Zain, dia ketakutan. Kalau dengan kendaraan umum Mas khawatir mereka sampai malam, jaraknya cukup jauh," pintanya lagi mengiba."Mas! sudah kubilang silahkan," jawabku malas menanggapinya yang ingin menang sendiri."Tapi, kamu jangan ancam-ancam aku dengan gugatan perceraian. Semua bisa dibicarakan baik-baik kok," bela Mas Rian lagi.Aku menggeleng, nggak akan masuk berbicara sama orang keras kepala yang hanya ingin menang sendiri."Aku ingin berbicara dengan Riana," Kutinggal Mas Rian yang masih meminta pengertian keluarganya.Riana melihatku dengan canggung dan kaku. Kuperhatikan dia dari ujung kepala sampai ujung kaki, tidak ada yang berbeda, hanya saja cara pandangku yang kini berubah."Aku memujimu saat pertama kita bertemu Riana, padahal hari itu aku tahu kamulah wanita yang dicintai suamiku.Kamu terli
Radit mendekatiku yang sedang membacakan buku untuk Bian, dia tersenyum sembari mengelus tubuh mungil di depannya."Apakah jagoan Om sudah mau tidur?" tanya Radit yang melihat Bian sudah menguap beberapa kali."Iya, nih Om," jawab Bian pelan. Lalu, menoleh padaku dengan tatapan wajah manja."Mamah, boleh nggak baca bukunya diteruskan besok, Bian sudah tidak kuat mendengar," pintanya dibarengi kedipan mata memohon.Aku menatapnya sesaat, memasang wajah cemberut, lalu tertawa kecil."Baiklah, sekarang pengusaha cilik Mamah harus tidur cepat agar segera pulih," jawabku menutup buku dan menyimpannya di atas nakas."Selamat malam sayang, jangan lupa baca doa." Ciumku mendarat di keningnya.Aku mematikan lampu yang menerangi Bian dan membiarkan satu lampu menyala di atas meja tempat aku menunggu."Ada apa?" tanyaku pada Radit. Aku tahu ada yang ingin dia sampaikan."Aku sudah menghubungi pengacara terbaik yang kukenal agar proses perceraian kalian bisa berjalan cepat dan tidak ada hambatan
Hari ini kami begitu bahagia setelah hampir sebulan Bian di rawat di Rumah Sakit, akhirnya ia bisa pulang dan melakukan rawat jalan.Selama sebulan pula Radit menemani, ia bahkan rela melakukan pekerjaannya secara online agar tidak meninggalkan kami.Jangan tanyakan kemana Mas Rian, karena setelah hari itu, di mana ia terpergok berbohong dan menjual nama anakku untuk mendapatkan cuti. Aku tidak pernah melihat batang hidungnya lagi."Sungguh Mah, hari ini kita bisa pulang?" teriak riang Bian sampai menggema memenuhi ruangan."Iya sayang kita bisa pulang, tapi ...." Aku mengacungkan selembar kertas yang harus ditaatinya selama di rumah, lalu membacakannya point demi point."Yah ...," jawab Bian kecewa."Kalau Bian tidak bisa keluar rumah, sama aja kaya di sini, bosen ...." Wajah Bian merengut."Demi kesehatan Bian juga, nanti kalau sudah sembuh betul Bian bisa keluar dan bermain dengan teman-teman lagi," bujukku."Mah ...," paggilnya pelan."Iya sayang ...," jawabku tanpa menolah. Sibuk
Sekali lagi Bian kehilangan kata, ia terpana dan membelalakan matanya."Mamah ...." Matanya memutar seolah tak percaya apa yang ia lihat di depannya saat ini."Ini bagus banget Maaaah," pekiknya, berbalik dan memelukku.Aku mendorong kursi rodanya masuk ke dalam kamar, Bian terlihat sangat senang dan antusias."Pesawat luar angkasa itu nampak nyata, Mah," ujarnya, spechless.Matanya disuguhi lukisan-lukisan dinding yang telah didekor menjadi pemandangan luar angkasa."Bian suka Maaaah," teriaknya nyaring. Berdiri dan meloncat dari kursi roda. Brugh!"Bian!" Aku memekik dan segera menyerbunya."Sayang kamu tidak apa-apa?" Hatiku sudah kalang kabut dibuatnya. Ia nampak lupa kalau kakinya hanya tinggal satu.Bian mengangkat kepalanya, tersenyum dan berkata, "Bian tidak apa-apa kok Mah. Lupa, kalau sekarang Bian hanya punya satu kaki," ucapnya dengan sedikit tawa."Sayang ...." Aku memeluknya, hancur hatiku sebagai seorang ibu melihatnya dalam keadaan seperti ini."Mamah, Bian sungguh tid
[Hal, kamu lagi di mana?] [Di luar Dit, kenapa?][Bu Wida ingin bertemu, berkas percerainnmu sudah selesai.][Oh ya. Tapi, aku tidak bisa keluar lama-lama, Bian sendirian di apartemen. Apakah bisa bertemu di apartemen saja?][Ok. Aku hubungi bu Wida nya ya. Kamu hati-hati.][Iya.]Aku menghela napas sebelum menyimpan ponsel itu kembali. Keputusan ini sudah bulat kupertimbangkan, pernikahan kami tidak bisa dilanjutkan. Apalagi kalau Mas Rian dan Riana sudah berbicara pernikahan, aku tidak bisa jadi istri tua yang bahkan tidak dicintai.Tak kusangka pernikahanku akan berakhir oleh kertas yang akan kuanjukan nanti.Aku menginjak gas dan mulai mengemudi, bayangan kebahagiaanku bersama Mas Rian berkali-kali terbesit, canda tawa kebahagiaan yang kukira begitu sempurna saat kelahiran Bian ternyata tidak dirasakan oleh Mas Rian."Hei! kalau mengemudi lihat-lihat!" sentak seseorang. "Astagfirullah." Aku segera menginjak rem dan celingukan. Seseorang baru saja terjatuh di trotoar. Segera kuha
Kuletakan begitu saja bunga itu, aku jadi enggan memegangnya. Sedikit takut dengan hal yang tak biasa ini."Mah ....""Iya sayang," Bian sudah duduk di kursi roda dan bergerak mendekat."Ada yang kirim bunga lagi, Mah?""Iya nih sayang, dari siapa ya?" tanyaku menggaruk ujung alis."Apa mungkin Mamah punya penggemar?" tanyanya menyelidik."Penggemar?" Aku berpikir sejenak, "ha ... ha ... ha ... mana ada sayang. Mamah udah tua, udah mau punya anak dua," jawabku sekenanya."Kata siapa? Mamah itu masih muda dan cantik. Om Radit aja sering terpesona," goda Bian sembari mengikutiku dari belakang."Hus! anak kecil udah tahu yang begituan," tegurku mencubit pipinya."Aw! sakit Mah," pekiknya, "Bian suda besar, bukan bayi lagi," protesnya."Di mata Mamah kamu masih bayi mungil yang lucuuuuu, gemes bangeeet," imbuhku memasang ekspresi gereget sembari memperagakan kedua tangan untuk mencubit."Hallo semua ...," sapa Radit sudah di depan pintu, ia baru saja membuka sepatunya. Sudah terlihat rapi