Share

Bab 3

Author: Ayu Kristin
last update Last Updated: 2021-08-08 11:11:52

    Kepalaku masih terasa sangat berat. Rasa kantuk ini menyergaku terus menerus. Aku mencoba membuka kedua mataku yang masih terasa lengket. Tetapi yang ada alam bawah sadar masih menari nari dalam pikiranku.

 

"Argh ... Sial!" decihku memegangi kepalaku yang terasa nyut nyutan. Sepertinya semalam aku terlalu banyak minum alkohol hingga membuatku seperti ini.

 

"Sudah bangun Mbak?" Suara seseorang berkata padaku memaksaku untuk tersadar. 

 

Aku mencoba membuka mataku perlahan. Sepertinya suara  itu bukan suara Riri yang sedang membangunkanku. Suara ini begitu lembut sekali. Tidak seperti suara sahabatku yang bagaikan kaleng rombeng.

 

Netraku melihat' bayangan perempuan sedang duduk di sampingku sambil meletakkan secangkir teh pada nakas. Benar saja ternyata dia bukan Riri. Gadis di depanku ini sepertinya lebih tua dariku melihat dandanannya yang begitu kuno sama sekali tidak modis.

 

"Augh!" Aku mencoba bangun namun lagi lagi kepalaku ini masih terasa berat sekali. Seperti ada benda berat yang menimpanya.

 

"Berbaring saja Mbak, kalau belum baikan istirahat saja dulu!" ucapnya begitu lembut terdengar sangat bersahabat. 

 

"Saya ada di mana?" lirihku mengedarkan pandangan ke sekeliling.

 

"Mbak lagi di pondok Nadratul salas," ucap gadis itu tersenyum ramah padaku.

 

"Hah, pondok pesantren maksudnya?" Seketika kedua mataku membulat penuh, wanita berkerudung itupun terlihat terkejut melihat ekspresiku.

 

"Bagaimana bisa aku berada di pondokan ini. Apakah aku sudah menghilang terlalu lama hingga aku bisa nyasar di tempat ini," batinku kian meronta penuh tanya.

 

Kuedarkan pandanganku ke seluruh ruangan yang didominasi dari papan kayu. Cukup luas ada 5 ranjang tingkat di sana. Tetapi di dalam ruangan ini hanya aku dan perempuan itu.

 

"Siapa nama kamu?" lirihku menatap lekat pada wanita yang berada di samping ranjang 

 

"Salma, Mbak!" sahut wanita bernama Salma itu mengulurkan tangannya padaku.

 

"Aku Desi," balasku menerima uluran tangan Salma.

 

"Ini sudah jam berapa ya?" Netraku mencoba mencari jam dinding di kamar itu namun dinding itu polos tanpa hiasan apapun.

 

"Ini udah waktu sholat ashar, Mbak!" tutur Salma.

 

"Apa? Sudah jam 3 sore!" Mataku kembali membuka lebar dengan menaikan nada suaraku.

 

"Mbak di mana tas saya, saya harus segera pulang ke rumah sekarang," ucapku tergesah-gesah. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling mencari tas jinjing yang seingatku masih kubawa pulang semalam.

 

"Oh, tas itu, sepertinya disimpan oleh Gus Al semalam. Sebentar ya saya tanyakan dulu." Perempuan memakai rok panjang berwarna coklat itu berajak dan meninggalkanku.

 

"Ya Tuhan, kenapa sial sekali nasibku ini," rutukku kesal pada diriku sendiri.

 

Tak lama kemudian Salma datang membawa tas jinjingku dan memberikannya kepadaku. Dengan gerakan cepat aku segera meraih benda pipih dari dalam tas itu. Namun sialnya ponselku justru mati.

 

"Kenapa Mbak?" Wajah Salma penasaran  melihat ekspresi wajahku yang berubah kesal. Hampir saja aku keceplosan mengumpat di depan seorang santri. Beruntungnya aku masih bisa menahannya.

 

"Mbak terimakasih sebelumnya. Tapi saya harus pulang dulu sekarang." Aku menurunkan kaki jenjangku dari ranjang hingga selimut yang menutupi paha mulusku itu pun terbuka.

 

"Astaghfirullahaladzim!" Salma membungkam mulutnya yang mengaga. Sorot matanya melihat pada hotpan yang kukenakan.

 

"Ada apa Mbak?" tanyaku keheranan.

 

"Itu celana kenapa seperti itu. Masya Allah, mana ada garis memar banyak sekali. Itu aurot Mbak, kalau umi sampai lihat nanti bisa marah besar," beo Salma menujuk hotpants yang aku kenakan dengan wajah syok.

 

"Terus saya harus bagaimana dong?" ucapku menatap wajah Salma.

 

"Mau lewat sih lewat aja. Kalau emang dasarnya jelalatan ya jelalatan aja." Aku menatap Salma yang sibuk mencari sesuatu dari dalam lemari.

 

"Nih, pakai rok saya aja Mbak. Tapi nanti balikin ya!" Salma menyodorkan rok berwarna biru laut dengan mendelikan matanya padaku.

 

"Apa!" Aku menautkan kedua alisku heran mendengar ucapan Salma.

 

"Iya Mbak, di luar ada banyak santriawan dan santriwati sedang berkebun. Maklum Mbak ini kan hari jumad bersih." Salma terus nyerocos tak henti hentinya membuatku semakin kesal.

 

Aku segera mengenak rok yang Salma berikan padaku. Rasanya aku sudah tidak ingin berlama-lama bersama wanita cerewet itu.

 

"Udah kan!" Aku menunjukan diriku pada Salma yang mengenakan rok pemberiannya.

 

"Sudah Mbak, sip!" Salma mengacungkan jempolnya padaku seraya menyunggingkan senyuman kecil. 

 

"Baiklah, terimakasih. Aku mau pulang sekarang!" Aku mengayunkan kaki jenjangku yang kini berbaluk rok Salma yang jelas rok itu terlalu pendek untukku. Karena tubuhku lebih tinggi dari pada tubuh Salma. Hingga akhirnya terpaksa aku mengangkat rok itu sampai bawah lutut agar tidak kelihatan kalau ukurannya tidak pas pada tubuhku.

 

"Mbak Desi, tunggu!" Salma Berlari mengejarku yang hampir sampai pada ambang pintu.

 

Aku mendengus kasar kemudian menoleh pada Salma. "Ada apa lagi Mbak Salma," ucapku dengan nada mengeja, kesal.

 

"Kerudungnya belum, Mbak!" Salma menyodorkan kerudung berwarna senada dengan rok yang aku pakai.

 

Aku menyambar kain panjang dari tangan Salma dan segera mengalungkannya pada leherku dan menutupi kepalaku.

 

"Sudah!" cetusku membulatkan mata pada Salma. Kemudian memutar tubuhku.

 

"Dasar nggak tau malu!" Samar-samar aku mendengar suara Salma menghardikku .

 

Ah sayangnya aku sedang tak berminat untuk berdebat. Kepalaku kini masih terasa pening sekali.

 

Aku bejalan direrumputan yang lapang dengan halaman yang lumayan luas. Aku baru tau kalau di gang Arjuna ada tempat sebagus ini. Santriwan dan santriwati sedang sibuk dengan kegiatan membersihkan lingkungan tempat meraka tinggal. Lingkungan pondok ini begitu terawat, terlihat dari tatanan tamannya yang begitu indah dan rapi. Maklum aku baru pertama kali menginjakkan kakiku di tempat ini.

 

Sebuah netra memperhatikanku dari kejauhan. Ia yang sedang sibuk memotong rumput di depan pondok santriwan. Sepertinya sih begitu, karena yang berada di depan ruangan itu semuanya lelaki.

 

Seorang lelaki memakai kaos oblong berwana putih. Bulu halusnya yang selalu mengusik rasaku. Bukankah dia adalah lelaki impianku. Duh ... Mengapa dia terus saja mengawasiku membuat jantungku berantakan saja.

 

Segera kupercepat langkah kakiku. Aku masih berjalan dengan mengakat sedikit rok yang kekecilan ini dan kerudung biru laut yang masih menutupi rambut panjangku. Meskipun tidak menutupi semua rambutku tapi setidaknya aku hampir sama dengan penghuni tempat ini.

 

****

   Pintu kontrakan masih terbuka berarti Riri masih di rumah. Ternyata berjalan dari gang Arjuna ke Sadewa itu cukup melelah juga. Tetapi lumayanlah hitung-hitung olahraga.

 

"Des, dari mana aja sih lu semalaman kagak pulang pulang?" cerocos Riri yang sedang membenarkan alisnya sesekali melirik pada kedatanganku kemudian pada cermin yang berada di depannya.

 

"Ya Tuhan, Ri aku tu habis nyasar dan hampir mati tau nggak. Gara-gara tamu gila semalam." Aku membanting tubuhku keras di kasur lantai kami. Kubuang tas jinjingku sembarang.

 

"Hahah ... yang orangnya kurus itu ya?" Riri cekikikan. Namun matanya masih memperhatikan garis horizontal pada alisnya yang belum sejajar.

 

"Kamu tau Ri." Aku mengerjap bangun mendekatkan tubuhku pada wanita yang berada di depan meja rias.

 

"Tahu lah, itu sih barang pahit. Untung kamu bisa kabur. Dulu aku di siksa, di tiduri di tinggal di pinggir jalan dan parahnya lagi kagak di bayar." Riri bersungut-sungut mengingat pengalamannya dengan lelaki gila itu.

 

Aku mendengus lega. Kembali menghempaskan tubuhku pada kasur. "Untung aku semalam kabur!" gumanku.

 

"Terus semalaman kamu tidur di mana?"

 

"Oh semalam, nggak tau bagaimana ceritanya. Tau-tau aku sudah berada di dalam pondok pesantren di gang sebelah tau Ri." Aku beranjak bangun dari tempat tidur dan duduk mendekati Riri yang kini sedang mengulaskan kuas pada bibirnya.

 

"Apa? Ketemu dong sama Gus ganteng." Riri membelalakan bola matanya memandangku penasaran.

 

"Boro-boro ketemu, yang ada malah wanita cerewet yang menjamin baju ini nih," gerutuku dengan kesal.

 

"Hahah ...ya ngak apa-apa lah, latihan jadi istri Gus muda. Bukankah kamu naksir sama Gua itu kan?" ledek Riri terkekeh.

 

"Enak saja!" balasku melemparkan bantal pada wanita yang sibuk memilah baju di dalam lemari.

 

"Udah ah, aku mau kencan sama Mas Broto," ucap Riri asal setelah menemukan baju yang cocok dari dalam lemari.

 

"Apa, Mas Broto?" sergahku. "Masa iya Ri, kamu mau kencan sama laleki yang pantas di sebut kakek kamu itu," imbuhku menautkan kedua alisku.

 

"Iya, nggak apa-apa Des. Daripada yang lain cuma mau enaknya aja dan duitnya susah." Riri mencoba dress berwarna merah marun yang membuatnya terlihat sangat cantik.

 

Aku mendengus halus, menarik sedikit senyuman. Memang menjadi perempuan malam tidak semudah dengan apa yang orang lihat. Andaikan ada pekerjaan lain, pasti mereka akan memilih pekerjaan lain itu. Begitu pun dengan diriku.

 

"Ya sudah, aku mau tidur. Hati-hati di jalan Ri!" balasku.

 

"Iya tenang aja sih Mas Broto bawa mobilnya pelan-pelan kok. Kamu mau di bawaain apa kalau aku pulang nanti?" Riri mengambil tas jinjingnya yang berada di atas meja rias.

 

"Ehm, nasi uduk aja Ri yang ada di pasar baru."

 

"Baiklah!" balas Riri berlalu meninggalkanku.

 

     Aku kembali menengelamkan tubuhku pada kasur. Perlahan rasa kantuk mulai menyerahku dan semakin membuatku terbuai.

 

Dreg! Dreg! Dreg!

 

Benda pipih yang bergetar membuyarkanku dari rasa kantuk. Dengan malas aku meraih benda pintar itu lalu menyentuhnya lembut pada layar ponsel.

 

[Siapa nama mu?]

 

[Lain kali jangan berjalan sendiri di malam hari] 

 

Tulis pesan masuk di gawaiku dengan nomor yang tidak ku kenal.

 

"Hari gini masih SMS jadul amat," ucapku menatap layar ponsel. Kemudian menekan tombol kembali dan melemparnya di samping bantal tempat kuberbaring. Aku paling tidak suka membalas pesan dari nomor tidak dikenal.

 

"Apa mungkin dia adalah lelaki itu?" 

 

Sejenak aku berpikir dengan benak yang melambung tinggi. Membayangkan jika seseorang yang mengirimiku pesan adalah Gus Al.

 

"Duh, kenapa aku jadi senyum-senyum sendiri!" 

 

 

****

 

Bersambung ...

 

 

 

 

Related chapters

  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 4

    Cekrek!Terdengar seseorang membuka knop pintu. Namun rasanya aku malas sekali untuk bangun dan melihatnya. Aku masih ingin bermalas malasan di kasurku yg empuk menyaksikan acara komedian laki laki berambut merah yang sedari tadi mengocok perutku."Desi, ih kamu ini!" sergah Riri dengan wajah kesal sambil menenteng banyak kantong kresek di tangannya menghampiriku."Apa sih Ri, Aku masih sibuk nonton TV nih," balasku tanpa menoleh sedikitpun pada Riri."Bantuin dong ih!" protes Riri."Iya, iya Ih!" Aku segera mengerjap bangun dan mengambil sebagian kantong yang ada di tangan riri dan meletakannya di atas meja makan."Lagian kamu belanja banyak banget sih Ri. Kan nyusahin diri kamu sendiri." Aku kembali menjauhkan tubuhku pada sofa yang berada di depan televisi."Heh, ini tu mu

    Last Updated : 2021-08-08
  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 5

    Aku masih duduk di tepi danau. Menikmati pemandangan beberapa orang yang sedang menghabiskan waktunya di danau ini. Terdengar tawa mereka berderai derai. Ada yang sibuk memancing, sibuk bermain dengan anak-anak mereka atau sekedar memadu kasih."Hay, Desi!" sapa seseorang yang membuatku terkejut. Aku memcoba melihat ke sekeliling. Tapi tidak siapapun yang berada di sekitarku."Apakah aku salah dengar?" Aku bermonolog dengan diriku sendiri."Tidak kok, aku di sini!" Seseorang berdiri tepat di belakang punggungku ."Kenapa lelaki itu?" batinku semakin riuh ramai saat melihat kehadiran lelaki tampan itu. Perlahan ia berjalan mendekatiku, lalu menjatuhkan tubuhnya tidak jauh dari tempatku berada. Membuatku semakin gugup saja."Desi!" panggil Gus Al meluluhkan hatiku yang se

    Last Updated : 2021-08-09
  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 6

    Ini hari pertamaku berada di pondok pesantren lelaki yang mengajaku ta'aruf. Aku masih sibuk membantu wanita paruh baya bertubuh tambun.Orangnya cukup ramah dan juga baik. Aku hanya membantu memasukan nasi ke dalam piring piring yang sudah disediakan untuk para santri yang akan sarapan pagi ini. Dari subuh buta Bik Nah sudah membangunkanku. Padahal waktu subuh adalah waktu yang paling enak untuk tidur, tapi sudahlah hidup tidak melulu begitu."Neng itu tolong piring piringnya ditata di meja sana! Biar anak-anak tidak berebut nantinya," ucap Bik Nah menujuk deratan meja panjang yang berjajar di hadapanku.Segera aku memindahkan piring piring yang sudah di isi nasi tadi ke atas meja seperti yang Bik Nah perintahkan.Segerombolan anak-anak santri menyerbu kemudian duduk rapi di kursi yang telah disediakan. Aku pun segera berjalan menuju balik meja tinggi pembatas dapur, cukup agar aku tidak terlihat siapa

    Last Updated : 2021-08-11
  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 7

    Aku masih duduk di pinggir kolam ikan yang terletak di belakang pondok pesantren. Kolam yang berbentuk persegi panjang dengan jumlah 6 petak dan dikelilingi oleh pohon mangga. Aku duduk di atas amben (ranjang yang terbuat dari bambu) yang terletak di bawah pohon mangga menghadap langsung ke arah kolam. Berkali kali kumelempar kerikil kecil ke dalam kolam sehingga menimbulkan riak riak kecil. Aku berharap kekesalan dalam hatiku akan segera menghilang. Karena ucapan Bik Nah yang terang-terangan melarangku mendekati Gus Al terus terngiang di telingaku. Aku tahu maksud Bik Nah baik, hanya saja hatiku seolah tak ingin berdamai.Kulemparkan batu yang lebih besar agar menimbulkan riak atau bahkan ombak yang mampu melegakan kegundahanku. Padahal aku tau itu tidak mungkin. Sorot kemuning senja hampir menghilang seolah malam yang gelap akan segera menenggelamkanku dalam kehancuran.

    Last Updated : 2021-08-12
  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 8

    Tok! Tok! Tok!Seseorang mengetuk pintu kamarku berkaki-kali. Aku masih meringkuk, membenamkan wajahku pada bantal bersarung hijau. Rasanya aku begitu kesal dengan lelaki yang kini tengah menghuni hatiku, begitu bodohnya aku yang terpesona dengan keluguan dan kesholehannya. Namun ternyata dia adalah seorang penipu yang ulung.TokTok! Tok!Gedoran pintu itu masih berlanjut, segera aku beranjak dari pembaringan dengan kesal menuju ke arah pintu.Cekreekkk!Aku membuka pintu kamarku. Pria dengan punggung bidang itu telah berdiri di depan pintu, menatap ke arah kantin yang terletak membelakangi kamarku. Memang kamarku terletak dekat dengan kantin, maklum kali ini aku sudah mirip sekali seperti babu, sial."Apa!" ucapku ketus kepada pria yang kini membalikan tubuhnya setelah mendengar bunyi derit pintu kamar yang terbuka."Kok sahutnya ketus gitu!"

    Last Updated : 2021-08-13
  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 9

    Aku memang suka mengajak anak santri di pondok pesantren Abah berjalan jalan keliling kompleks setiap sore hari. Selain untuk menyegarkan pikiran para santri, agar mereka juga mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar pondok pesantren. Entah kenapa ketika aku melewati sebuah jalan di gang sebelah pondok pesantren diriku ingin sekali berhenti, bukan karena hantu atau apapun yang pasti karena ada sosok wanita yang begitu cantik, yang menarik perhatianku.Sebenarnya bukan karena kecantikannya melainkan lebih dari kebaikannya. Aku sering melihat wanita bertubuh semampai itu memberikan uang atau makan kecil untuk para adik adik santri yang melintasi pagar kontrakannya. Dia pun tidak ragu menolong siapa pun yang membutuhkan bantuannya. Aku kagum pada wanita yang masih belum aku ketahui namanya itu. Entahlah, sepertinya rasa di dalam hatiku ini lebih dari rasa kagum belaka. Terkadang hati kita yang belum baik saja masih suka merendahkan orang lai

    Last Updated : 2021-08-15
  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 10

    Akad nikah itu diucapkan dengan lantang dan lancar oleh pria yang mengenakan kemeja putih berbalut jas senada. Di sambut sorak Sorai para tamu undangan dengan ucapan "Syah". Tapi aksara itu sama sekali tidak keluar dari bibirku. Kulihat pengantin wanita dengan hijab syar'i berwarna putih itu terlihat berseri-seri. Diraihnya tangan Gus Al dan kemudahan mencium punggung tangan pria kekar itu. Tidak lupa Gus Al pun menjatuhkan ciuman di pucuk kencing Wanita itu hingga wajahnya bersemu merah menahan malu. Abah dan umi yang mendampingi pun terlihat terharu mereka saling berpandangan dan tersenyum. begitu juga dengan pria yang duduk di sebelah Puspa pasti itu ayah dari pengantin wanitanya. Berkali-kali pria itu mengusap lembut sudut netranya yang basah.Sementara aku hanya mampu duduk di antara barisan para tamu undangan. Menatap pria yang menjanjikan manisnya pernikahan padaku namun itu hanyalah ceritanya belaka. Ternyata dia justru meni

    Last Updated : 2021-08-16
  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 11

    POV DESINamaku Desi Anggraini, orang-orang mengenalku dengan panggilan Desi. Aku adalah wanita keturunan Jawa. Ibuku asli orang Purwodadi dan ayah kandung asli Pacitan. Namun, ketika aku berusia empat tahun ayah kandungku meninggal dunia. Kata ibu, ayah meninggal karena serangan jantung. Semenjak itu beban kehidupan bertumpu di pundak ibuku. Beban ekonomi yang semakin mencekik membuat ibu memutuskan untuk merantau di Jakarta.Hampir tiga tahun ibu berjualan di warung kelontong yang buka selama 24 jam. Jangan bayangkan keadaan kami yang hanya tinggal di trotoar jalanan ibukota. Sudah pasti hal itu sangat memprihatikan. Hingga suatu ketika ibu kenal dengan seorang pria bertubuh tegap dangan kulit hitam legam yang membuatnya jatuh cinta.Saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar dan aku harus menerima keputusan ibu untuk menikah dengan ayah baruku. Awalnya pria yang bernama Joko itu sangat lembut padaku. Bahkan

    Last Updated : 2021-08-22

Latest chapter

  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Ekstra Part

    Enam tahun kemudianMeskipun masih berusia tujuh tahun. Tapi kemampuan Ais menjadi hafiz Alquran tidak perlu diragukan lagi. Gadis kecil itu pernah menjuarai lomba Hafiz tingkat nasional dan mendapatkan juara satu."Ais, jangan lupa beroda ya!" tuturku seraya mengusap kerudung yang Ais kenakan."Iya Bude," sahutnya dengan nada semangat.Tangan Ais menggapai-gapai ke arahku yang duduk di sampingnya."Ais mau apa?" tanyaku menyetuh tangan Ais."Aku ingin memegang perut Bude!" sahutnya.Aku tersenyum lebar pada Ais, lalu mengarahkan tangan kecilnya menyentuh perutku yang sudah membesar."Adek, doakan Kakak Ais ya!" ucap gadis kecil yang mengenakan kerudung berwarna merah muda itu.Aku tersenyum kecil, megusap perutku yang membesar. Kemungkinan beberapa hari lagi aku akan segera melahirkan.

  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 89

    Prank!Ponsel yang menempel pada telinga Bilal tiba-tiba terjatuh. Begitu juga dengan tongkat yang menyangga tubuh Bilal. Lelaki itu terhuyun jatuh bersandar dari pada dinding tembok dan terisak."Bilal!" Uma berhambur menghampiri Bilal. Begitu juga dengan aku dan Dejah. Serta beberapa orang yang sedang membantu di rumah untuk mempersiapkan pesta pertunangan adik bungsuku, Dejah."Bilal, ada apa?" Uma panik melihat keringat dingin bercucuran dari tubuh Bilal yang menangis."Abang, ada apa Bang!" Dejah yang berada di samping kanan Bilal pun terlihat panik."Mang sholeh, tolong ambilkan minum! Kalian mundur berikan udara untuk Bilal," ucapku pada beberapa orang yang mengerumuni Bilal.Beberapa saat kemudian mang Soleh menyodorkan segelas air putih kepadaku dan aku segera memberikannya kepada Bilal."Minum dulu Bilal!" ucapku membantu Bilal untuk meneguk air

  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 88

    Aku berdiri di samping ranjang Bang Arsya. Menjatuhkan tatapan lekat pada lelaki bertubuh kurus yang terbaring lemas di atas ranjang. Sementara Yuma, terus saja terisak melihat' kondisi Bang Arsya yang semakin kritis."Kata Dokter, Bang Arsya masih terpengaruh dengan obat bius. Bersabarlah dulu, nanti setelah efek dari obat bius itu habis pasti Bang Arsya akan siuman," dustaku menenangkan Yuma. Aku tidak ingin Yuma semakin menyiksa dirinya jika mengetahui keadaan Bang Arsya yang sesungguhnya.Wanita dengan gamis lusuh berwarna kecoklatan itu mengangguk lembut seraya mengusap pipinya yang basah."Makanlah dulu, pasti Ais juga lapar," ucapku mengingat Yuma pada balita yang masih menggantungkan air susunya."Tapi Bang Arsya!" Yuma menjatuhkan tatapan ragu padaku. Rasa sayang pada Bang Arsya tergambar jelas pada wajah Yuma."Tenang saja! Biar aku yang menjaga Bang Arsya," sahutku tersenyum pad

  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 87

    Keadaan Bilal masih sama seperti dulu. Seumur hidupnya ia akan menjadi seorang lelaki yang lumpuh. Tapi sedikitpun Bilal tidak pernah mengeluhkan keadaannya. Lelaki yang menjadi tongkat estafet pondok harus berganti padaku. Kini akulah yang meneruskan dakwah keluar kota setiap kali ada undangan yang datang."Kak!" Bilal yang berjalan menghampiriku menuju teras rumah."Apa Bilal!" sahutku masih berfokus pada layar ponsel. Mengecek jadwal undangan yang sudah masuk."Sepertinya kakak harus menghentikan dakwah kakak!" tutur Bilal dengan suara parau.Seketika aku mengalihkan tatapanku pada lelaki yang duduk pada bangku di sampingku."Kakak butuh seorang pendamping. Kakak adalah wanita, dan sebaik-baiknya wanita adalah berada di dalam rumah," imbuh Bilal terdengar seperti sedang menasehatiku.Aku meletakkan ponsel di atas meja yang membelah antara aku dan Bilal. "Bilal, ini buka

  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 86

    "Yuma!" Bang Arsya tercekat melihat kehadiran wanita berbadan dua yang berjalan menuju ke arah meja kami.Yuma menjatuhkan tubuh duduk pada bangku. Wajahnya terus saja menunduk tidak berani menatap kepadaku ataupun Bang Arsya."Maksud kamu apalagi, Mariyah?" Rahang Bang Arsya mengertak menatap tajam kepadaku.Aku membisu dengan membalas tatapan datar pada Bang Arsya. "Beberapa waktu lalu vonis mengejutkan datang dari Bilal. Dokter Iman mengatakan bahwa Bilal mengalami kelainan genetik. Dimana Bilal di katakan mandul seumur hidup.""Apa?" Bang Arsya mengerang menekan meja dengan kedua tangannya. Menatap padaku dan juga Arsya dengan tatapan tajam."Jangan gila kamu, Mariyah?" desis Bang Arsya bangkit dengan wajah merah menyala."Gila bagaimana, Bang?" sergahku mendongak dengan rahang menggertak."Apakah kamu saat ini sedang menuduhku?" kelakar Bang Arsya. Ur

  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 85

    Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kafe tempatku berada. Pesan yang sudah kukirimkan pada Bang Arsya masih saja bercentang satu. Apakah Bang Arsya membohongiku lagi. Aku mendengus berat, aku harap ini hanyalah rasa kekhawatiranku saja.Sebuah tangan tiba-tiba menutup kedua mataku. Aku terkejut untuk sesaat. Aroma maskulin yang bergitu akrab dengan indera penciumanku membuatku tidak kesulitan untuk menebak siapa yang berada di belakang punggungku."Abang!" ucapku."Mariyah!" Bang Arsya melepaskan tangan yang menutupi kedua mataku. "Kok kamu tahu kalau itu, Abang!" serunya memutar tubuh bejalan menuju bangku yang berada di samping kiriku. Senyuman merekah pada kedua sudut bibir Bang Arsya.Meja kafe yang berbetuk persegi memiliki empat bangku pada setiap mejanya. Dengan beberapa lampu yang menggantung di setiap atas meja. Jika malam, kafe ini akan terlihat semakin indah dengan beberapa lampu hias yang lainy

  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 84

    "Baiklah jika Kakak sudah siap untuk mendengarkan!" Ucapan Bilal terdengar bagitu aneh sekali. Membuat jantungku semakin berdebar karena penasaran."Lelaki yang sudah menghamili Yuma adalah suami Kak Mariyah, Bang Arsya!""Apa?" Aku tercekat, jantungku seperti copot dari tempurungnya. Tubuhku bergetar hebat dan lidahku pun terasa kelu. Hal ini sungguh sangat sulit untuk dipercaya.Aku kira perselingkuhan Bang Arsya dengan wanita asing itu sudah cukup mengguncang diriku. Kini sebuah fakta baru yang lebih buruk dari apa yang terlintas dalam benakku membuat aku semakin hancur.***"Bagaimana pengacara Ruhut, semua pelimpahan berkas atas nama saya sudah selesai kan?" tanyaku pada pengacara yang sudah membantuku untuk melimpahkan berkas perusahaan atas namaku. Karena, meskipun berkas-berkas itu ada di tanganku. Tapi berkas-berkas itu atas nama Bang Arsya, sesuai pemilik pertama.

  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 83

    "Untuk mendapatkan surga bagi seorang wanita itu menurutku sangat mudah. Hanya perlu taat pada suami, menjaga harta dan kehormatannya saat suami tidak ada, lalu melaksanakan salat lima waktu dan puasa." Aku melirik kepada Yuma yang mulai gelisah dengan nasehatku."Tapi pada kenyataannya masih banyak wanita yang gugur menjalankan hal ini." imbuhku tersenyum sinis, mungkin lebih menertawai diriku sendiri."Maaf Bang, mungkin aku belum bisa melakukan yang seperti Abang mau," tutur Yuma terdengar sendu."Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Yuma. Aku sudah menimbang semuanya. Aku sudah menjalankan salat istikharah agar aku tidak salah dalam melangkah dan aku sudah memutuskan semuanya dengan matang dan terbaik," ucapku dengan suara bergetar menahan tangis.Yuma menaikkan kedua alisnya menatap kepadaku. "Keputusan tentang apa, Bang!" tanya Yuma dengan sorot mata penasaran."Maaf jika beberapa wa

  • CINTA SANG KUPU-KUPU MALAM   Bab 82

    POV BILAL"Bapak sudah bisa pindah dari kursi roda! Tapi Bapak harus tetap berhati-hati ya jika menggunakan tongkat ini!" tutur suster Hani kepadaku dengan ramah.Aku mengangguk lembut. Wanita yang mengenakan seragam putih itu membantuku kembali duduk di tepi ranjang.Semenjak kejadian itu, aku kehilangan banyak hal. Aku harus kehilangan satu kakiku yang mendadak lumpuh, sebuah kenyataan bahwa aku mandul, dan kenyataan yang lebih pahit adalah bahwa wanita yang sangat aku sayangi ternyata sudah berkhianat kepada aku. Allah seperti membuka mataku, bahwa hanya pada Allah lah sebaik-baiknya tempat bergantung, bukan manusia."Baik suster Hani. Percayalah padaku, pasti aku akan sangat berhati-hati sekali," tuturku membalas ucapan suster Hani dengan senyuman."Kita tinggal menunggu kabar dari Dokter Iman. Jika beliau sudah mengizinkan Bapak Bilal pulang. Kemungkinan besok Bapak sudah diperbolehka

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status