Tok! Tok! Tok!
Seseorang mengetuk pintu kamarku berkaki-kali. Aku masih meringkuk, membenamkan wajahku pada bantal bersarung hijau. Rasanya aku begitu kesal dengan lelaki yang kini tengah menghuni hatiku, begitu bodohnya aku yang terpesona dengan keluguan dan kesholehannya. Namun ternyata dia adalah seorang penipu yang ulung.
TokTok! Tok!
Gedoran pintu itu masih berlanjut, segera aku beranjak dari pembaringan dengan kesal menuju ke arah pintu.
Cekreekkk!
Aku membuka pintu kamarku. Pria dengan punggung bidang itu telah berdiri di depan pintu, menatap ke arah kantin yang terletak membelakangi kamarku. Memang kamarku terletak dekat dengan kantin, maklum kali ini aku sudah mirip sekali seperti babu, sial.
"Apa!" ucapku ketus kepada pria yang kini membalikan tubuhnya setelah mendengar bunyi derit pintu kamar yang terbuka.
"Kok sahutnya ketus gitu!"
Aku memang suka mengajak anak santri di pondok pesantren Abah berjalan jalan keliling kompleks setiap sore hari. Selain untuk menyegarkan pikiran para santri, agar mereka juga mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar pondok pesantren. Entah kenapa ketika aku melewati sebuah jalan di gang sebelah pondok pesantren diriku ingin sekali berhenti, bukan karena hantu atau apapun yang pasti karena ada sosok wanita yang begitu cantik, yang menarik perhatianku.Sebenarnya bukan karena kecantikannya melainkan lebih dari kebaikannya. Aku sering melihat wanita bertubuh semampai itu memberikan uang atau makan kecil untuk para adik adik santri yang melintasi pagar kontrakannya. Dia pun tidak ragu menolong siapa pun yang membutuhkan bantuannya. Aku kagum pada wanita yang masih belum aku ketahui namanya itu. Entahlah, sepertinya rasa di dalam hatiku ini lebih dari rasa kagum belaka. Terkadang hati kita yang belum baik saja masih suka merendahkan orang lai
Akad nikah itu diucapkan dengan lantang dan lancar oleh pria yang mengenakan kemeja putih berbalut jas senada. Di sambut sorak Sorai para tamu undangan dengan ucapan "Syah". Tapi aksara itu sama sekali tidak keluar dari bibirku. Kulihat pengantin wanita dengan hijab syar'i berwarna putih itu terlihat berseri-seri. Diraihnya tangan Gus Al dan kemudahan mencium punggung tangan pria kekar itu. Tidak lupa Gus Al pun menjatuhkan ciuman di pucuk kencing Wanita itu hingga wajahnya bersemu merah menahan malu. Abah dan umi yang mendampingi pun terlihat terharu mereka saling berpandangan dan tersenyum. begitu juga dengan pria yang duduk di sebelah Puspa pasti itu ayah dari pengantin wanitanya. Berkali-kali pria itu mengusap lembut sudut netranya yang basah.Sementara aku hanya mampu duduk di antara barisan para tamu undangan. Menatap pria yang menjanjikan manisnya pernikahan padaku namun itu hanyalah ceritanya belaka. Ternyata dia justru meni
POV DESINamaku Desi Anggraini, orang-orang mengenalku dengan panggilan Desi. Aku adalah wanita keturunan Jawa. Ibuku asli orang Purwodadi dan ayah kandung asli Pacitan. Namun, ketika aku berusia empat tahun ayah kandungku meninggal dunia. Kata ibu, ayah meninggal karena serangan jantung. Semenjak itu beban kehidupan bertumpu di pundak ibuku. Beban ekonomi yang semakin mencekik membuat ibu memutuskan untuk merantau di Jakarta.Hampir tiga tahun ibu berjualan di warung kelontong yang buka selama 24 jam. Jangan bayangkan keadaan kami yang hanya tinggal di trotoar jalanan ibukota. Sudah pasti hal itu sangat memprihatikan. Hingga suatu ketika ibu kenal dengan seorang pria bertubuh tegap dangan kulit hitam legam yang membuatnya jatuh cinta.Saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar dan aku harus menerima keputusan ibu untuk menikah dengan ayah baruku. Awalnya pria yang bernama Joko itu sangat lembut padaku. Bahkan
POV DESI 2Aku tak hanya singgah di satu tempat hiburan saja. Banyak tempat hiburan yang paling ramai sekali pun telah aku jajaki di kota Jakarta. Hingga diriku sampai di kota Cilegon dan mengenal mami Dian dan Riri sahabat karipku itu. Dan di DINASTI inilah aku merasa nyaman menjalani lakonku sebagai seorang wanita malam. Perindustrian yang maju pesat membuat dunia hiburan di kota kecil ujung pulau Jawa itu pun memiliki omset lebih besar daripada kota lainnya.Bercinta dengan banyak pria membuatku semakin babal dan nyaman menjalani peranku tanpa harus mencintai. Namun, tak selamanya menjadi wanita malam itu selalu menyenangkan terkadang banyak juga dari kami yang tumbang karena penyakit seksual yang mematikan. Terkadang kami juga harus berebut pelanggan dengan anak kesayangan sang mucikari. Ah, Dunia malam tak selalu indah seperti yang mereka bayangkan.Indahnya polesan dan senyum yang mengembang di wajahku itu hany
Aku masih duduk di amben yang terletak di belakang gedung pondok pesantren. Beberapa amben berjajar rapi yang berhadapan langsung dengan kolam ikan milik pondok pesantren.Wanita yang sedang duduk di sampingku itu terlihat sendu. Wajah mungilnya selalu terulas senyuman setiap kali kami berpapasan.Jantungku berdebar kencang, mungkin saat ini wajah'ku terlihat pucat menunggu wanita itu menyampaikan tujuannya kepadaku.Kulihat tatapan sendu wanita itu terlihat santai. Tak terlukiskan ekspresi apapun dari wajahnya. Mungkin dia lebih pandai menyimpan rasanya dari pada aku."Des," ucap Puspa meraih punggung tanganku yang berada di pangkuanku, menjatuhkan tatapan hangat padaku yang gugup."Iya," sahutku sedikit terkejut dengan wanita yang usianya lebih tua dariku itu. Meskipun tubuh mungilnya membuatnya masih terlihat awet muda."Aku ingin melamarmu untuk
Aku masih duduk di ruang tamu kediaman Abah dan umi, pemilik pondok pesantren. Hari ini adalah jadwal yang sudah Puspa atur untukku bertemu dan memohon ridho kepada kedua orang tua Gus Al. Pria yang sampai detik ini belum juga menampakkan dirinya."Duduk dulu, Des! Aku panggil Abah dan Umi dulu," izin wanita dengan gamis tosca yang membuat kulit putihnya samakin terpancar.Aku mengangguk, dengan tersenyum kecil.Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruang tamu rumah minimalis itu. Selama aku tinggal di pondok baru kali ini aku memasuki kediaman rumah orang tua Gus Al yang terletak di sudut kompleks pesantren. Ternyata lebih tenang dari riuh suara para anak-anak santri. Apalagi di halaman depan rumah berlantai dua ini ada sedikit taman kecil yang dipenuhi tumbuhan hijau sehingga terlihat begitu asri."Des!" Puspa yang berjalan dari dalam ruangan hampir saja mengagetkanku."Iya!" Pandanganku s
"Des, kamu suka model yang mana?" tanya Puspa menunjukkan kedua baju pengantin berwarna putih itu padaku."Model yang sederhana saja, Teh," sahutku tanpa memilih satupun dari kedua model baju pengantin syar'i yang Puspa berikan padaku."Ya sudah, yang ini saja ya Des! Sepertinya cocok di badanmu." Puspa menempelkan baju pengantin dengan sedikit hiasan mutiara di bagian roknya di badanku."Sip, kamu cantik sekali Des!" ujar Puspa antusias. Seolah dia sedang mempersiapkan pesta pernikahan untuk dirinya sendiri. Ia tidak ingin ada satupun yang kurang dariku."Kalau untuk Abi, kamu suka yang mana?" Kini Puspa menunjukkan model pakaian pengantin pria yang dikenakan manekin di hadapan kami."Ehm, terserah Teteh saja, deh," ucapku tak bersemangat. Aku tidak tau bagaimana harus menjalani rumah tangga jika hati ini saja selalu terasa sakit setiap melihat Puspa dan Gus Al bermesraan.
Kujatuhkan tubuhku memeluk pria yang berdiri di hadapanku. Pria yang selalu ku lrindukan disetiap malamku. Tak perduli dia suka atau tidak, aku hanya ingin meluapkan rasa lelah dalam hidupku saat ini.Sepertinya Gus Al terkejut. Terdengar jelas detak jantungnya yang berpacu lebih cepat. Aku masih terus menempelkan wajahku pada dada bidangnya dengan menangis tersedu-sedu. Melewati kejamnya hidup ini sendiri membuatku merasa lelah dan hampir putus asa.Sejenak pria itu membiarkan aku menangis dalam pelukannya. Meskipun ia tahu bersentuhan dengan yang bukan mahramnya adalah sebuah larangan. Tapi entah mengapa pria yang telah mencukur bulu halus di sekitar rahangnya itu membiarkan aku berada dalam pelukannya."Kamu kenapa menangis?" Pria itu mengusap rambut panjangku.Segera kutarik tubuhku dari pelukannya. Kemudian menatap lekat wajah sendu pria yang memiliki tinggi hampir sama denganku itu.
Enam tahun kemudianMeskipun masih berusia tujuh tahun. Tapi kemampuan Ais menjadi hafiz Alquran tidak perlu diragukan lagi. Gadis kecil itu pernah menjuarai lomba Hafiz tingkat nasional dan mendapatkan juara satu."Ais, jangan lupa beroda ya!" tuturku seraya mengusap kerudung yang Ais kenakan."Iya Bude," sahutnya dengan nada semangat.Tangan Ais menggapai-gapai ke arahku yang duduk di sampingnya."Ais mau apa?" tanyaku menyetuh tangan Ais."Aku ingin memegang perut Bude!" sahutnya.Aku tersenyum lebar pada Ais, lalu mengarahkan tangan kecilnya menyentuh perutku yang sudah membesar."Adek, doakan Kakak Ais ya!" ucap gadis kecil yang mengenakan kerudung berwarna merah muda itu.Aku tersenyum kecil, megusap perutku yang membesar. Kemungkinan beberapa hari lagi aku akan segera melahirkan.
Prank!Ponsel yang menempel pada telinga Bilal tiba-tiba terjatuh. Begitu juga dengan tongkat yang menyangga tubuh Bilal. Lelaki itu terhuyun jatuh bersandar dari pada dinding tembok dan terisak."Bilal!" Uma berhambur menghampiri Bilal. Begitu juga dengan aku dan Dejah. Serta beberapa orang yang sedang membantu di rumah untuk mempersiapkan pesta pertunangan adik bungsuku, Dejah."Bilal, ada apa?" Uma panik melihat keringat dingin bercucuran dari tubuh Bilal yang menangis."Abang, ada apa Bang!" Dejah yang berada di samping kanan Bilal pun terlihat panik."Mang sholeh, tolong ambilkan minum! Kalian mundur berikan udara untuk Bilal," ucapku pada beberapa orang yang mengerumuni Bilal.Beberapa saat kemudian mang Soleh menyodorkan segelas air putih kepadaku dan aku segera memberikannya kepada Bilal."Minum dulu Bilal!" ucapku membantu Bilal untuk meneguk air
Aku berdiri di samping ranjang Bang Arsya. Menjatuhkan tatapan lekat pada lelaki bertubuh kurus yang terbaring lemas di atas ranjang. Sementara Yuma, terus saja terisak melihat' kondisi Bang Arsya yang semakin kritis."Kata Dokter, Bang Arsya masih terpengaruh dengan obat bius. Bersabarlah dulu, nanti setelah efek dari obat bius itu habis pasti Bang Arsya akan siuman," dustaku menenangkan Yuma. Aku tidak ingin Yuma semakin menyiksa dirinya jika mengetahui keadaan Bang Arsya yang sesungguhnya.Wanita dengan gamis lusuh berwarna kecoklatan itu mengangguk lembut seraya mengusap pipinya yang basah."Makanlah dulu, pasti Ais juga lapar," ucapku mengingat Yuma pada balita yang masih menggantungkan air susunya."Tapi Bang Arsya!" Yuma menjatuhkan tatapan ragu padaku. Rasa sayang pada Bang Arsya tergambar jelas pada wajah Yuma."Tenang saja! Biar aku yang menjaga Bang Arsya," sahutku tersenyum pad
Keadaan Bilal masih sama seperti dulu. Seumur hidupnya ia akan menjadi seorang lelaki yang lumpuh. Tapi sedikitpun Bilal tidak pernah mengeluhkan keadaannya. Lelaki yang menjadi tongkat estafet pondok harus berganti padaku. Kini akulah yang meneruskan dakwah keluar kota setiap kali ada undangan yang datang."Kak!" Bilal yang berjalan menghampiriku menuju teras rumah."Apa Bilal!" sahutku masih berfokus pada layar ponsel. Mengecek jadwal undangan yang sudah masuk."Sepertinya kakak harus menghentikan dakwah kakak!" tutur Bilal dengan suara parau.Seketika aku mengalihkan tatapanku pada lelaki yang duduk pada bangku di sampingku."Kakak butuh seorang pendamping. Kakak adalah wanita, dan sebaik-baiknya wanita adalah berada di dalam rumah," imbuh Bilal terdengar seperti sedang menasehatiku.Aku meletakkan ponsel di atas meja yang membelah antara aku dan Bilal. "Bilal, ini buka
"Yuma!" Bang Arsya tercekat melihat kehadiran wanita berbadan dua yang berjalan menuju ke arah meja kami.Yuma menjatuhkan tubuh duduk pada bangku. Wajahnya terus saja menunduk tidak berani menatap kepadaku ataupun Bang Arsya."Maksud kamu apalagi, Mariyah?" Rahang Bang Arsya mengertak menatap tajam kepadaku.Aku membisu dengan membalas tatapan datar pada Bang Arsya. "Beberapa waktu lalu vonis mengejutkan datang dari Bilal. Dokter Iman mengatakan bahwa Bilal mengalami kelainan genetik. Dimana Bilal di katakan mandul seumur hidup.""Apa?" Bang Arsya mengerang menekan meja dengan kedua tangannya. Menatap padaku dan juga Arsya dengan tatapan tajam."Jangan gila kamu, Mariyah?" desis Bang Arsya bangkit dengan wajah merah menyala."Gila bagaimana, Bang?" sergahku mendongak dengan rahang menggertak."Apakah kamu saat ini sedang menuduhku?" kelakar Bang Arsya. Ur
Kuedarkan pandanganku ke sekeliling kafe tempatku berada. Pesan yang sudah kukirimkan pada Bang Arsya masih saja bercentang satu. Apakah Bang Arsya membohongiku lagi. Aku mendengus berat, aku harap ini hanyalah rasa kekhawatiranku saja.Sebuah tangan tiba-tiba menutup kedua mataku. Aku terkejut untuk sesaat. Aroma maskulin yang bergitu akrab dengan indera penciumanku membuatku tidak kesulitan untuk menebak siapa yang berada di belakang punggungku."Abang!" ucapku."Mariyah!" Bang Arsya melepaskan tangan yang menutupi kedua mataku. "Kok kamu tahu kalau itu, Abang!" serunya memutar tubuh bejalan menuju bangku yang berada di samping kiriku. Senyuman merekah pada kedua sudut bibir Bang Arsya.Meja kafe yang berbetuk persegi memiliki empat bangku pada setiap mejanya. Dengan beberapa lampu yang menggantung di setiap atas meja. Jika malam, kafe ini akan terlihat semakin indah dengan beberapa lampu hias yang lainy
"Baiklah jika Kakak sudah siap untuk mendengarkan!" Ucapan Bilal terdengar bagitu aneh sekali. Membuat jantungku semakin berdebar karena penasaran."Lelaki yang sudah menghamili Yuma adalah suami Kak Mariyah, Bang Arsya!""Apa?" Aku tercekat, jantungku seperti copot dari tempurungnya. Tubuhku bergetar hebat dan lidahku pun terasa kelu. Hal ini sungguh sangat sulit untuk dipercaya.Aku kira perselingkuhan Bang Arsya dengan wanita asing itu sudah cukup mengguncang diriku. Kini sebuah fakta baru yang lebih buruk dari apa yang terlintas dalam benakku membuat aku semakin hancur.***"Bagaimana pengacara Ruhut, semua pelimpahan berkas atas nama saya sudah selesai kan?" tanyaku pada pengacara yang sudah membantuku untuk melimpahkan berkas perusahaan atas namaku. Karena, meskipun berkas-berkas itu ada di tanganku. Tapi berkas-berkas itu atas nama Bang Arsya, sesuai pemilik pertama.
"Untuk mendapatkan surga bagi seorang wanita itu menurutku sangat mudah. Hanya perlu taat pada suami, menjaga harta dan kehormatannya saat suami tidak ada, lalu melaksanakan salat lima waktu dan puasa." Aku melirik kepada Yuma yang mulai gelisah dengan nasehatku."Tapi pada kenyataannya masih banyak wanita yang gugur menjalankan hal ini." imbuhku tersenyum sinis, mungkin lebih menertawai diriku sendiri."Maaf Bang, mungkin aku belum bisa melakukan yang seperti Abang mau," tutur Yuma terdengar sendu."Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Yuma. Aku sudah menimbang semuanya. Aku sudah menjalankan salat istikharah agar aku tidak salah dalam melangkah dan aku sudah memutuskan semuanya dengan matang dan terbaik," ucapku dengan suara bergetar menahan tangis.Yuma menaikkan kedua alisnya menatap kepadaku. "Keputusan tentang apa, Bang!" tanya Yuma dengan sorot mata penasaran."Maaf jika beberapa wa
POV BILAL"Bapak sudah bisa pindah dari kursi roda! Tapi Bapak harus tetap berhati-hati ya jika menggunakan tongkat ini!" tutur suster Hani kepadaku dengan ramah.Aku mengangguk lembut. Wanita yang mengenakan seragam putih itu membantuku kembali duduk di tepi ranjang.Semenjak kejadian itu, aku kehilangan banyak hal. Aku harus kehilangan satu kakiku yang mendadak lumpuh, sebuah kenyataan bahwa aku mandul, dan kenyataan yang lebih pahit adalah bahwa wanita yang sangat aku sayangi ternyata sudah berkhianat kepada aku. Allah seperti membuka mataku, bahwa hanya pada Allah lah sebaik-baiknya tempat bergantung, bukan manusia."Baik suster Hani. Percayalah padaku, pasti aku akan sangat berhati-hati sekali," tuturku membalas ucapan suster Hani dengan senyuman."Kita tinggal menunggu kabar dari Dokter Iman. Jika beliau sudah mengizinkan Bapak Bilal pulang. Kemungkinan besok Bapak sudah diperbolehka