"Sejak kapan kalian dekat?""Baru," jawab Rafael sambil mengendikkan bahu.Dia mengucapkan kata 'thanks' ketika pelayan meletakkan minuman yang mereka pesan.Untuk mengurangi kegugupan yang sebenarnya tidak perlu, Rafael menyeruput minuman dingin yang dia pesan.Sesekali matanya menatap Abian yang menatap kosong ke arahnya."Dia agak susah juga di dekati bro. Dua minggu ajak dia ketemuan baru berhasil kemarin. Kemarin kami makan malam. Dan itu makanya gue mau minta izin sama loe buat deketin dia karena gue tahu loe berdua baru berakhir karena pernikahan loe. Bahkan ... Sorry bro, gue marah sama loe karena gue masih melihat kalian berdua beberapa minggu lalu tepatnya sebelum pernikahan loe terungkap."Abian menunduk. Tidak bisa menyangkal. Memang sih, dia pernah mengajak Gina keluar karena Gina selalu merengek dan bosan kencan di dalam rumah terus. Tapi, dia tidak menyangka kencan mereka ke pinggiran kota bisa di lihat oleh orang yang mereka kenal juga."Kamu bisa dekatin Gina tapi ple
Gina merasa aneh belakangan ini.Dia merasa seseorang terus saja membuntutinya ketika pulang kerja. Begitu dia belok dan berhenti di depan gerbang kosnya, motor yang mengikutinya akan langsung tancap gas.Bukan sekali dua kali lagi. Tapi dua minggu ini sepertinya rutin mengikuti Gina."Apa dia suruhan Abian atau istrinya?"batinnya ketika memikirkan siapa kira kira yang berniat padanya.Dia mengendikkan bahu tak acuh, pada akhirnya."Bodoh amatlah. Pokoknya aku serahkan hidupku padaMu ya Allah," ucapnya.Karena kejadian ini, dia jadi teringat peringatan Abian terakhir kali mereka bertemu.Tapi, ada satu harapan di dalam hatinya bahwa itu suruhan Abian untuk menjaganya dari serangan yang akan di lakukan oleh Melda, istri Abian.Namun, ada ketakutan juga, gimana kalau laki laki besar berotot itu suruhan Melda?Bulu kuduknya tiba tiba meremang membayangkan hal buruk yang akan terjadi padanya. Penculikan, diperkaos atau di bunuh dan di mutilasi."Astaga! Jangan sampai satu pun itu terjadi
Kicauan burung di pagi hari membangunkan pasangan suami istri itu. Abian meraba nakas di samping kanan kepalanya dan meraih ponsel lalu berteriak histeris seperti orang ketakutan yang baru saja melihat hantu gentayangan."Bebe, bangun! Kita kesiangan," ujarnya seraya mengguncang lengan Melda yang masih memejamkan mata.Bukannya langsung bangun, malah menarik selimut menutupi hingga separuh kepalanya karena merasa ngantuk dan dingin."Kamu shift berapa hari ini?" tanya Abian pada akhirnya."Satu. Tapi aku mau ijin aja. Badanku pegel, kamu kayak singa kelaparan tadi malam. Nggak sanggup aku berdiri," rengeknya tanpa menurunkan selimut."Ck! Kan kamu yang minta minta nambah terus, kenapa sekarang terkesan aku yang di salahkan?" gerutu Abian.Ya, malam tadi, mereka menghabiskan malam panas hingga lewat tengah malam. Melda menggila dan tidak begitu takut lagi karena dia sudah melewati trimester pertama. Abian meladeninya dengan harapan Melda bisa menganggap pengabdian Abian ini sudah se
Gina mengerutkan keningnya begitu dia melihat satu notifikasi di salah satu aplikasi yang ada di ponselnya.IM_Sri"Siapa?" ujarnya pelan begitu melihat nama akun."Bodo amatlah!" lanjutnya tanpa membuka pesan itu karena dia pikir, itu pasti akun akun yang mempromosikan suatu produk.Sementara orang yang mengirim pesan sudah mondar mandir seperti setrikaan menunggu pesannya di baca dan di balas. Tangannya bahkan masih belum di cuci dan bungkus nasi padangnya masih terpampang nyata di atas meja sofa di ruang tamu."Baca dong, Pela!" ujarnya geram ke arah ponselnya.Bolak balik buka pesan yang di kirim tetap belum terbaca. Melda sampai geram pada ponselnya sendiri sampai sampai dia ingin mencampakkan ponselnya tapi urung karena teringat ponsel baru."Kurang ajar, apa dia sengaja nggak baca yah?" gumamnya sedikit marah.****Dua hari tidak ada balasan membuat Melda uring-uringan.Karena sudah tidak sabar, dia mengirimkan pesan sekali lagi dan kali ini di sertai dengan sebuah foto.Sapu t
Aneh tapi nyata.Akhir akhir ini pandangan beberapa teman sekantor Gina sedikit berbeda. Entah karena apa, Gina tidak tahu.Kadang mereka serius sekali bergosip tapi ketika Gina mendekat, mereka langsung diam dan berdehem lalu mengganti topik.Gina bukan wanita bodoh yang tidak bisa mengerti bahasa tubuh seperti itu.Jujur saja, perasaannya tidak nyaman.Pengen labrak tapi kalau dugaan salah kan gawat. Pokoknya serba salah."Bodo amatlah. Terserah mereka mau jadiin aku bahan gosip. Menggosip lah sampai bibir kalian dower. Toh, kalau kalian gosipin aku berkahnya sama aku."Kalimat penguatan untuk diri sendiri setiap kali dia melihat rekan rekannya berkumpul dan seperti berbisik bisik apalagi saat dirinya lewat.Sebenarnya,Gina juga sedikit stress akhir akhir ini di karenakan teror yang terus menerus datang melalui akun akun tak jelas di media sosialnya. Bahkan untuk menghindari itu semua, dia sudah setting private semua akunnya.Aplikasi messenger yang sering menerima pesan kini sudah
Tetes demi tetes air mata mengalir dari mata Gina.Hari ini, dia dapat kabar berita dari Rafael kalau Melda sudah melahirkan bayi laki-laki.Walau sebenarnya dia sudah benar-benar memutuskan hubungan dan berusaha membuang perasaan pada Abian, tapi mendengar kabar ini, dia masih merasa sedih.Walau selama bersama Abian belum ada pembicaraan mereka pada hal hal pernikahan dan rumah tangga sewaktu pacaran, tapi sesekali Gina sudah membayangkan bagaimana dia menjadi istri lalu menjadi ibu dari anak anak lucu Abian.Bahkan dia sudah mengarang beberapa nama untuk anak laki-laki dan perempuan."Selamat Abian, tapi jujur, ini sangat sakit!" ucapnya seraya mengusap dadanya yang terasa sesak karena menahan kesedihan.Butuh waktu sedikit lama untuk merenungi nasibnya yang tidak jadi menjadi ibu dari anak-anak Abian.Karena lelah, dia langsung terlelap tanpa sadar belum menjawab pesan Rafael dari sejam yang lalu.****Matanya sedikit bengkak namun bisa di akali dengan mekap yang di pertebal dari
"Nggak lah, Bu. Gina senang kok," ujar Gina sambil tersenyum.Biasalah, perasaan seorang ibu. Ibunya Gina selalu saja khawatir melihat Gina yang betah di rumah selama tiga bulan ini tanpa ada penghasilan. Padahal biasanya gadis itu akan mendapat gaji bulanan. Tentu saja hal ini membuat perasaan sang ibu tidak enak dan merasa bersalah. Itu sebabnya dia selalu menanyakan apakah Gina senang atau tidak tinggal bersamanya."Gina juga udah jenuh sebenarnya kemarin itu, Bu. Lingkungan kerja Gina udah nggak menyenangkan lagi. Disana saling menjatuhkan agar bisa naik jabatan. Biasalah, jadi penjilat," ujar Gina berbohong."Mau cari kerja di tempat lain, susah. Kalau di panggil wawancara, segan sama boss mau minta ijin. mau langsung berhenti kerja, belum tentu bisa dapat kerjaan baru dnegan segera. Karena sekarang sangat susah Bu dapat kerja. Banyak bangat yang pengangguran. Teman satu kos Gina aja ada tiga atau empat ornag perempuan yang tiap hari kesana kemari cai kerja tapi nggak dapet-dapet
"Apa maksudmu?" tanya Abian dengan suara tertahan.Dia sedang menggendong anaknya Arion ketika mendengar barisan kalimat yang keluar dari mulut istrinya."Keluar kota terus kerjamu. Sengaja kau pasti kan? Mau singgah singgah juga kau di tempat mantanmu itu," jawab Melda.Benar benar wanita gila. Bisa bisanya di berpikir begitu padahal ada surat elektronik jelas yang masuk ke email Abian dan dia juga membacanya.Memang, akhir akhir ini, Abian semakin sering di tugaskan ke luar kota selama tiga atau empat hari bahkan satu minggu.Awalnya Melda senang, karena akan ada banyak pemasukan.Abian akan menagihkan biaya perjalanan dan biaya penginapan ke kantor padahal dia akan mengemudikan mobilnya sendiri dan sering menginap di tempat yang bayarannya murah.Sejak menikah, ketika dia di utus ke luar kota, dia tidak dapat menikmati fasilitas yang di berikan oleh kantor lagi karena harus memikirkan setoran yang lebih banyak ke kas negara rumah tangganya.Bahkan jika hanya dua hari satu malam, di
"Dia sengaja. Sengaja sekali mau membuat aku marah," ujar Gina pada Abian."Aku tahu kalian sering melakukannya dulu. Jelas, karena kalian suami istri. Tapi sekarang kan nggak lagi. Kalian sudah mantan, kenapa dia menciummu di depanku?"Abian datang dan memeluk Gina."Kamu tahu, seperti itu lah dia. Dia tidak akan peduli dirinya di anggap rendahan asalkan dia bisa membalas kamu dan membuat kamu marah.""Dasar l0nt3, pantas aja kamu ceraikan dia. Mungkin gitu juga dia buat ke orang lain waktu dia selingkuh, sama kayak yang sama kita dulu kan? Dia merampas kamu dari aku dengan cara kotor. Bilang kamu udah tidur sama dia dan minta pertanggung jawaban. Memang, kalau jalan di mulainya saja tidak mulus, ya nggak akan pernah mulus."Gina masih berapi-api di dalam pelukan Bian. Pikirannya benar-benar di kacaukan oleh Melda.Satu harapan Gina,"Jangan sampai dia berbuat gila lagi sama kita biar kita nggak happy as a couple."Gina menarik diri dari pelukan Abian. Dia menatap Abian yang ada di d
"Ambil ini juga!""Ini juga.""Ini, ini dan yang ini,"Abian dan Gina hanya diam terpaku hampir bersandar ke dinding rumah ketika melihat Melda berkeliling di ruang tamu seraya menunjuk satu per satu perabot rumah yang ada disana.Ibunya Arion itu datang dengan membawa sepupunya yang pernah datang ke rumah Gina dan juga beberapa pria kekar yang siap melahap Bian dan Gina jika saja mereka berani melawan.Di luar ada truk warna kuning yang siap mengangkut semua barang yang di tunjuk oleh Melda."Itu hadiah dari ibuku, kenapa di bawa juga?" tanya Abian ketika pria pria kekar itu mengangkat sofa coklat yang selama ini ada di ruang tamu.Memang, itu baru di beli menggantikan sofa lama setelah Melda menjadi istri di rumah itu dan uangnya dari orang tua Abian .Melda hanya berkontribusi memilihkan warna saja."Iya benar, tapi itu di beli untukku. Bukan untuk istri barumu," jawab Melda. "Kalau mau sofa baru, minta ke mertuamu saja, cuma aku kok kurang yakin akan di belikan, haha," lanjutnya s
"Maaf ya, aku nggak sengaja ketiduran. Aku nungguin kamu bentar eh taunya aku ketiduran," ujar Gina pada Abian.Dia berbohong!Dia sedang menutupi perasaan terbuang nya, perasaan tidak di terima dan tidak di akui."Hmm, tapi kenapa kamu nggak langsung ke kamar aja," jawab Abian.Saat ini keduanya sudah ada di kamar dan barusan Abian baru menyeret koper Gina dari ruang depan.Koper itu luput dari matanya tadi saat dia panik tidak menemukan Gina di kamar."Aku nggak enak sama mama kamu. Kan belum di persilahkan. Masa langsung masuk.""Sayaaaang! Kenapa berpikir sampai sejauh itu? Kamu kan udah pernah ke sini, udah tahu kamar aku yang mana. Kenapa harus di persilahkan lagi?"Hah!Capek ngomong sama laki yang pemikirannya lurus lurus aja. Yang tidak paham betapa rumitnya pikiran perempuan.Bagi beberapa perempuan yang baru menikah, hal ini sangat sederhana dan kalau bisa keharusan walaupun sudah pernah beberapa kali ke rumah si laki dan sudah tahu setiap sudut rumah itu. Karena dengan beg
Badai berlalu.Rumah tangga baru di mulai walau dengan pernikahan siri tapi keluarga inti Gina menerimanya dan memberikan wejangan yang lumayan banyak pada Gina sembari mengingatkan Abian agar pria itu tidak lupa mendaftarkan pernikahan mereka nanti."Kemarin kamu hanya anak Ibu. Mulai hari ini orang tuamu sudah bertambah. Ibunya suamimu adalah ibumu juga walau namanya ibu mertua. Bagaimana kamu memperlakukan Ibumu ini, begitu jugalah kamu harus memperlakukan ibu mertuamu," ujar ibunya Gina saat akan melepas Gina di bawa oleh Abian dan keluarganya."Kehormatan keluarga ibumu ada di tanganmu. Jangan berperilaku buruk yang mempermalukan keluarga suamimu agar nama baik ibumu ini tidak tercoreng."Gina mengangguk seraya menahan tangis.Dalam hati dia sadar, ibunya merestui Abian secepat ini karena dia kadung hamil. Jika tidak, butuh waktu yang lama baginya karena ibunya masih berpegang teguh pada permintaan terakhir almarhum bapaknya."Maafin Gina ya Bu. Tolong ketika ibu berdoa, tolong s
"Bu, maafin Gina yah!"Gina berlutut di kaki ibunya yang masih sesenggukan karena menahan tangis."Gina bodoh, Bu. Maaf ya. Kalau ibu nggak mau Gina menikah siri, ayo kita pergi saja. Gak apa-apa Gina nggak jadi menikah."Mendengar itu, ibunya semakin sesenggukan."Menikah saja. Siri juga nggak apa-apa. Tidak mungkin kamu hamil tanpa suami. Apa kata orang nanti."Perasaan bersalah kian besar di hati Gina. Dia mengutuk dirinya karena tidak bisa menahan godaan Abian. Dia menikmati semua itu tanpa memikirkan konsekuensinya.Sekarang, setelah dia mendapatkan hasil dari perbuatannya, dia seolah-olah tidak di terima oleh keluarga Abian yang hanya ingin menikahkan siri mereka dengan alasan masih belum bisa melakukan pesta besar karena Abian baru saja bercerai."Apa kata orang nanti. Bisa-bisa Abian yang di tuduh main perempuan makanya bercerai."Begitu kata orang tua Abian ketika mereka kumpul dua keluarga untuk membicarakan perihal pernikahan ini. Walau keluarga inti Gina tidak terima tapi
"Ibu!""Ibu tidak marah karena tidak ada guna lagi. Ibu kecewa karena kalian ternyata sudah sejauh itu. Karena itu nak Abian, sebelum Gina menjadi bahan pembicaraan orang-orang, bisakah kamu menikahi dia segera?"Gina langsung berdiri karena tidak setuju dengan perkataan ibunya. Dia tidak hamil. Dia juga dulu pernah melakukan ini bahkan sering tapi tidak pernah hamil karena Abian pakai pengaman atau nggak buang di luar.Kali ini juga mereka buang di luar kenapa dia bisa hamil?Sementara Abian, dia menunduk lesu.Menikah dengan Gina adalah impiannya tapi bukan karena Gina hamil.Dia mengepalkan tangannya karena tidak bisa mengontrol ga!rahnya. Terakhir kali dia main dengan Gina, mereka menghabiskan setengah hari di rumahnya dan melakukannya beberapa kali di berbagai sudut.Buang di luar sih, tapi dia sadar, sisa sisanya mungkin masih ada dia sudah colok lagi karena masih bergairah.Dan sekarang, mereka seperti terpaksa di restui.Abian langsung berdiri lalu bersimpuh di kaki ibunya Gin
"Loh loh, apa ini, Bu?"Gina langsung berjalan cepat ke arah kamar begitu melihat ada tas milik ibunya di samping pintu kamar.Jantungnya berdebar karena berbagai hal.Baru saja menghabiskan sisa hari bersama Abian dengan bermain di atas kasur membuat dia melayang bahagia dan tiba di rumah di kejutkan dengan aksi ibunya."Bu, tas nya buat apa? Ibu mau kemana?"Gina langsung mendekat pada ibunya yang sedang membereskan tas kecil tempat barang barang berharga.Air mata Gina langsung menetes dan dia dengan segera bersimpuh di kaki ibunya."Gina tahu, Gina sudah keterlaluan sama Ibu. Maafkan Gina. Tapi, tidak bisakah Ibu merestui Gina? Gina tahu kita menderita sebelumnya dan ada kaitannya dengan pria itu. Tapi itu bukan salahnya, Bu. Perempuan itulah yang salah."Ibunya hanya tersenyum.Gina ternyata sudah hilang akal dan dia jadi berpikir, apa yang akan terjadi pada Gina jika dia pergi? Bisa jadi anak gadisnya itu hilang arah karena mengikuti cinta yang masih membara.Sang ibu menghela d
SepiRumah yang hanya berpenghuni dua orang dan biasanya sepi kini semakin sepi dan sunyi karena keduanya sama sama mengurung diri di kamar.Sudah tiga hari sejak kejadian itu.Bahkan ketika Gina berangkat kerja, dia hanya pamit dari luar pintu kamar.Hatinya juga keras, dia tetap mempertahan cintanya bahkan setelah di tolak oleh orang tuanya.Terdengar suara motor yang menjauh. Ibunya Gina mengintip dari jendela kamar. Gerbang besi sudah di tutup dan Gina sudah pergi bekerja.Wajahnya bengkak dan matanya sembab."Pak, maafkan ibu, ibu gagal. Ibu nggak bisa mengikuti apa kata bapak. Anak bungsu kita bahkan sampai memilih tidak akan pernah menikah jika tidak dengan pria itu. Ibu takut dia nekat kalai ibu bersikeras pak. Pak ibu harus gimana?"Wanita yang sudah melalui jurang dan bukit percintaan tahu benar bahwa menyadarkan Gina yang saat ini jatuh cinta bukanlah perkara muda. Usia Gina yang sudah termasuk matang tidak bisa di jadikan patokan kedewasaan berpikirnya apalagi jaman sekara
Galau! Ya, Abian benar-benar galau beberapa hari ini. Jika orang tua Gina tidak menerimanya lalu bagaimana kelanjutan hubungan mereka ini sekarang? Berhenti sampai disini atau lanjut menerjang badai? Pria itu uring uringan selama beberapa hari dan mencoba untuk tidak menghubungi Gina untuk mengetes perasaannya. Serasa ada yang hilang. Hampa! Sementara itu, Gina juga sedang galau. Dia juga menyesal karena ucapannya pada Abian malam itu. "Kenapa aku harus mengatakannya kemarin. Seharusnya aku simpan saja dalam hati dan biarkan dia berjuang menghadapi ibu," gumam Gina. Dia memandang kebun kecil milik ibunya di belakang rumah kontrakan mereka. Matanya menatap jauh tapi kosong. "Pak, maafkan Gina yah. Permintaan terakhir bapak pun Gina tak bisa kabulkan. Tolong maafkan Gina ya pak." Gina langsung menoleh dengan mata bulat setelah mendengar, "Maksud kamu apa, Nduk?" Ibunya berdiri hanya berjarak tiga puluh senti di belakangnya dengan raut wajah tidak percaya dengan apa yang ba