Malam ini hujan baru saja reda. Aspal trotoar di sepanjang jalan Alderman Walk terlihat basah.
Seorang wanita berjalan terhuyung sambil sesekali merapatkan jaket kulitnya. Cuaca kota london di musim dingin seringkali membuatnya terserang flu. Belum lagi di saat dia harus menahan lapar setelah seharian bekerja full time di sebuah resto Nusa Dua London. Restoran khas Indonesia yang menyajikan makanan khas tanah airnya.
Biasanya dia seringkali memunguti makanan sisa dari pengunjung yang datang ke restoran tempatnya bekerja itu. Jika banyak, sebagian dia makan dan sebagian akan dia simpan untuk anaknya di rumah. Tapi hari ini restoran sedang sepi dan para pengunjung kebanyakan para pria yang jelas porsi makannya tidak sedikit. Jadi, hampir semua piring yang dia bereskan di meja hari ini seluruhnya bersih tanpa sisa.
Luwi melenguh tertahan.
Wanita itu berhenti sejenak dan duduk di tepi trotoar. Kepalanya tiba-tiba saja pusing. Perutnya keroncongan. Sejak pagi tadi dia hanya minum enam gelas air putih. Itulah sebabnya mengapa kini dia merasa tidak sanggup untuk berjalan lagi. Akhirnya Luwi memutuskan untuk beristirahat sebentar.
Dia duduk di tepi trotoar itu. Membenamkan wajahnya dalam-dalam di balik ke dua lututnya yang ditekuk. Tubuhnya semakin menggigil. Nafasnya pun terlihat berasap. Hingga setelahnya, ke dua bola mata indah milik sang wanita terpejam. Dia benar-benar lelah.
Tak lama kemudian, sebuah suara terdengar memanggil-manggil nama wanita yang terduduk di tepi trotoar itu.
"Luwi! Luwi! Bangun Luwi!"
Sayangnya, wanita bernama Luwi itu tak bergerak. Dia masih terus tertunduk dalam diam. Seperti orang yang sedang tertidur.
"Anak ini, selalu saja seperti ini. Tidur di tepi jalan," lagi-lagi suara wanita lain terdengar. Dia terus mengumpat karena kesal. Meski dalam hati, dia sebenarnya khawatir.
"Luwi, bangun! Ayo kita pulang! Luwi? Luwi?" ucap wanita bersweater coklat itu lagi.
Luwi tetap tidak merespon. Dia tetap dalam posisinya semula. Bahkan setelah Jodie menyentuh bahu sahabatnya itu. Lalu dia mengguncang pelan bahu itu, Luwi tetap tidak bangun juga. Hingga akhirnya Jodie menyadari sesuatu.
Sepertinya, Luwi pingsan.
Astaga!
Jodie mendadak panik. Dia melihat sekeliling, sepi sekali. Tak ada orang satu pun selain dirinya dan Luwi.
Hingga akhirnya mau tak mau Jodie sendiri yang harus memapah Luwi pulang. Meski dengan susah payah.
Mereka sampai di Flat milik Jodie sekitar setengah jam kemudian.
Seorang anak laki-laki berumur sekitar sepuluh tahunan terlihat berlari menuju pintu begitu bel berbunyi. Dia membuka pintu itu dengan binar matanya yang hangat. Berharap malam ini dia bisa makan enak seperti kemarin malam.
"Loh Mama kenapa Tante Jodie?" tanya Gibran khawatir. Dia segera membantu Jodie memapah Luwi menuju sofa.
"Mungkin Mamamu kelelahan, Gibran. Dia hanya butuh istirahat sebentar. Kamu sudah makan?"
Gibran menggeleng dan menundukkan kepalanya. Jodie tersenyum getir. Di elusnya rambut tebal Gibran.
"Kebetulan Tante tadi beli roti didekat kampus. Mudah-mudahan sih masih enak, nih untuk kamu. Malam ini tak apakan makan roti dulu?"
Gibran mengangguk senang seraya menerima roti coklat pemberian Jodie.
"Terima kasih, Tante." ucapnya. Gibran duduk di sebelah Luwi. Sepertinya dia tampak sedih.
"Kenapa Gibran? Ayo dimakan rotinya,"
Gibran menggeleng. Dia membereskan rambut yang menutupi mata Luwi. "Wajah Mama pucat. Pasti dia juga belum makan. Gibran mau makan rotinya bersama Mama saja, Tante."
Jodie terenyuh. Gibran sungguh anak yang baik. Meski hal itu sangat bertolak belakang dengan kelakuan laki-laki biadap yang tak lain ayah kandung Gibran. Dari apa yang telah Luwi ceritakan tentang laki-laki itu padanya, Jodie bisa langsung menebak laki-laki macam apa dia. Dan jika suatu hari nanti takdir mempertemukan Jodie dengan laki-laki itu, Jodie tidak akan sungkan-sungkan untuk menampar pipi laki-laki itu berkali-kali. Bahkan kalau bisa Jodie akan membuatnya impoten sekalian. Biar dia tahu rasa.
"Roti ini kamu makan saja sendiri. Mamamu nanti biar tante buatkan bubur,"
Gibran mengangguk patuh. Diapun langsung melahap roti itu dengan cepat. Sepertinya dia sangat kelaparan.
Kehidupan Luwi memang berubah drastis semenjak satu tahun yang lalu seluruh harta bendanya hilang saat dia hendak pulang bersama Gibran ke tanah airnya. Dan semenjak itu aliran dana yang dikucurkan sang Ayah setiap bulannya otomatis terhenti. Membuat Luwi mau tak mau mencari pekerjaan sendiri. Terlebih dengan kondisi Gibran yang sudah jelas divonis mengidap kelainan jantung. Hingga mengharuskannya meminum obat secara rutin dan harga obat-obatan itu tidaklah sedikit melainkan selangit.
Itulah sebabnya Luwi seringkali memilih untuk menahan lapar daripada dia harus menggunakan uang gajinya untuk sekedar mengisi perut. Sebab baginya tidak ada yang lebih penting daripada kesehatan Gibran. Luwi rela melakukan apapun demi memenuhi pengobatan Gibran. Dia tidak ingin anaknya harus berteriak menahan sakit jika harus telat minum obat. Sebab bagi Luwi hanya Gibranlah satu-satunya penyemangat hidupnya saat ini. Tak ada yang lain.
Dan yang menjadi pertanyaan di benak Luwi sampai saat ini, mengapa sang Ayah yang jelas-jelas memiliki kekuasaan selangit itu seolah melupakan dirinya dan tak sama sekali berniat mencarinya ke London setelah hampir satu tahun mereka tidak saling kontak.
Apa mungkin Ayahnya sudah benar-benar membuangnya sekarang?
Dan Luwi masih belum mendapatkan jawabannya.
*****
Kelas baru saja selesai.
Seorang wanita terlihat asyik bergumul dengan setumpukan buku-buku pengetahuan tentang Agama Islam di perpustakaan kampus.
Wanita itu terus membaca dan sesekali menulis sesuatu di atas sebuah buku bercover coklat
Akhir-akhir ini dia seringkali bermimpi aneh. Dalam mimpinya itu dia seperti di ajak terbang oleh seorang laki-laki bersayap yang wajahnya tidak dia kenal. Laki-laki itu terus menggenggam tangannya dan membawanya menembus langit dan melewati awan. Hingga pada langit ke tujuh, laki-laki itu melepaskan genggamannya dan berkata, "Semua hal baik ada di dalam hati dan pikiran manusia. Maka mendekatlah maka kamu akan mengetahui jawabannya, Allah SWT bersamamu."
Kata 'Allah SWT bersamamu' kian membuat hatinya damai. Padahal selama ini dia termasuk seorang yang taat terhadap agamanya. Jodie hampir tak pernah melewati ibadah di Gereja setiap hari minggu. Dia juga memasang beberapa patung Yesus dan Bunda Maria di Flatnya. Tapi entah mengapa Jodie tidak menemukan kedamaian di dalam hatinya setiap kali dia curhat pada Tuhannya mengenai nasib hidupnya yang kian hari kian runyam.
Hidup sendirian sejak kecil membuat Jodie terlatih dan kuat menghadapi apapun masalah dalam hidupnya. Meski dia masih memiliki seorang ayah tiri, tapi hal itu tak membuatnya merasa memiliki keluarga. Dan ada satu hal lain yang seringkali membuat hidupnya gelisah selain masalah keluarga, yaitu cinta.
Sampai detik ini Jodie masih belum menemukan sosok laki-laki yang mencintainya sepenuh hati. Bukan laki-laki yang hanya pura-pura mencintainya hanya demi mengambil keuntungan dari dirinya saja. Karena kebanyakan dari laki-laki yang selama ini menjalin hubungan dengannya adalah tipikal laki-laki haus akan sex, yang akhirnya lagi dan lagi akan pergi meninggalkannya di saat apa yang mereka inginkan telah mereka dapatkan.
Atau mungkin memang Jodie saja yang kelewat bodoh, mau-maunya dijadikan alat pemuas nafsu oleh para mantan-mantannya yang sialan itu!
Jodie menghela nafas berat. Tubuhnya dia jatuhkan ke sandaran kursi. Perutnya keroncongan.
Akhirnya dia bangkit dari duduknya, membereskan buku-bukunya lalu menaruh kembali buku-buku itu di rak perpustakaan. Wanita itu berjalan keluar dari perpustakaan kampusnya. Dia sadar sejak kemarin malam sampai siang ini Jodie belum mengisi kembali perutnya. Hanya satu gelas susu saja tadi pagi sebelum dia berangkat ke kampus. Dan hal itu jelas membuat cacing-cacing di dalam perutnya kian protes.
Jodie hendak memakan makanannya ketika seorang laki-laki berperawakan tinggi dengan alis tebalnya serta senyum andalannya, tiba-tiba duduk di sampingnya. Bahkan tanpa mengatakan hai, atau permisi. Dan Jodie sudah sangat paham watak laki-laki ini.
"Aku baru saja mampir ke Flatmu. Aku ingin bertemu dengan Luwi, tapi orangnya tidak ada. Lalu kata Gibran, semalam Luwi pingsan? Benar begitu Jod?" Laki-laki itu mulai bicara.
Mata Jodie mendelik. Untuk apa dia terus-menerus menanyakan Luwi padahal jelas-jelas Luwi itu sangat membencinya. Dasar laki-laki tidak tahu diri! Maki Jodie geram.
"Iya, sepertinya Luwi kelelahan karena bekerja," Jawab Jodie singkat. Dia malas meladeni laki-laki ini. Laki-laki psycho yang sudah mengganggu ketentraman hidup sahabatnya.
"Nanti sepulang dari kampus, kamu ikut denganku ya? Kita sekalian jemput Luwi di Resto. Sebab, jika aku yang datang sendiri, pasti Luwi tidak akan mau menemuiku. Tapi jika denganmu, setidaknya aku bisa memastikan keadaan Luwi baik-baik saja,"
Astaga! Sekarang dia mau memanfaatkan aku untuk menjadi pancingan supaya Luwi tidak menghindarinya. Enak saja! Jodie tidak akan sudi.
Jelas Jodie gerah melihat tingkah Maxton yang selama ini sangat terobsesi pada Luwi. Sementara di kampus Max itu terkenal sebagai laki-laki yang memiliki reputasi buruk. Dan hanya wanita bodoh yang mau menjalin hubungan dengannya.
"Aku masih ada urusan. Mungkin malam baru pulang. Jadi, sorry ya, tidak bisa." Jodie tersenyum tipis di akhir kalimatnya. Tipis sekali, itu pun tidak sampai satu detik. Akhirnya dia terpaksa berbohong.
"Kalau begitu, nanti malam aku akan datang lagi ke Flatmu. Aku harus bertemu dengan Luwi,"
"Terserah," Jodie mengangkat ke dua bahunya dan bangkit dari hadapan Maxton tanpa mengatakan apapun lagi.
Sementara itu, seorang laki-laki lain betubuh jangkung, tak jauh beda dengan Maxton, terlihat sedang memperhatikan Jodie dari kejauhan.
Dan saat Jodie mulai melangkah keluar dari restorant itu, Laki-laki bertubuh jangkung dan berkulit putih itupun bangkit dari duduknya. Dia mulai mengikuti langkah kaki Jodie beberapa meter di belakang.
Sampai akhirnya, Jodie berhenti di sebuah Flat kecil yang letaknya tak cukup jauh dari restorant tadi.
Seorang anak laki-laki menyambut kedatangan Jodie.
Jodie memeluk anak itu dengan sayang. Lalu mereka berdua masuk ke dalam flat itu dan menutup pintunya.
Laki-laki di seberang jalan itu masih memperhatikan keadaan sekitar. Dia mulai mengecek layar Handphonenya sambil sesekali menengok ke arah sisi kanan dan kiri jalan.
Dia hanya mencoba memastikan kembali apa alamat yang tertera di layar ponselnya saat ini adalah alamat yang sama dengan flat yang dihuni oleh wanita tadi.
Hingga setelahnya, sebuah senyuman mengembang di wajah laki-laki itu.
Jodie baru hendak memasak ketika suarabel pintu Flatnya berbunyi."Gibran, tolong lihat siapa yang datang?" teriak Jodie dari dapur.Gibran yang saat itu kebetulan sedang berdiri di jendela, langsung membukakan pintu di sampingnya. Gibran mendapati seorang laki-laki dengan tubuh jangkung berdiri dihadapannya. Laki-laki itu tersenyum kepadanya. Tapi, siapa dia? Gibran tidak mengenalnya."Hai, jagoan? Ibumu ada?" tanya laki-laki itu."Mama lagi kerja. Nggak ada di rumah. Cuma ada Tante Jodie," jawabnya polos. Lalu pandangan Gibran kembali beralih pada sebuah bus sekolah di seberang jalan. Juga pada beberapa anak seusianya yang terlihat berebutan turun dari dalam bus itu. Sesuatu yang sejak tadi menarik perhatiannya.Reyhan hanya ber-oh dalam hati, padahal dia berpikir kalau wanita yang masuk ke dalam rumah ini tadi adalah ibu dari anak ini."Siapa yang datang?" suara Jodie kembali terdengar. Dia berjalan menuju pintu masuk.
Reyhan yang seharian itu berada di Flat sempat meminta izin pada Jodie untuk mengajak Gibran bermain di luar. Tentu dengan syarat, Reyhan harus meninggalkan KTP, Paspor, Visa dan dompetnya pada Jodie. Sebab Jodie tidak bodoh untuk percaya begitu saja pada laki-laki asing yang baru dikenalnya."Iya kalau benar orang baik-baik, kalau nyatanya lo itu seorang penculik bagaimana?" Begitulah kiranya yang ada dipikiran Jodie saat itu.Dan hal itu cukup membuat Reyhan tersinggung. Meski pada akhirnya dia menuruti juga persyaratan itu. Reyhan hanya kasihan pada Gibran. Sepertinya bocah itu ingin sekali main di luar.Sekitar dua jam Reyhan mengajak Gibran bermain di luar, mereka kembali dengan setenteng mainan yang dibelikan Reyhan untuk bocah lelaki tampan itu.Sekembalinya Reyhan bersama Gibran, Reyhan sempat menguping pembicaraan Jodie dan seorang wanita di dapur. Sepertinya wanita itu Luwi. Sementara Gibran langsung berlari ke kamar, dia senang sekali hari ini
Reyhan baru saja mendatangi Jodie di kampusnya. Reyhan hanya ingin tahu siapa sebenarnya laki-laki yang bernama Max. Dan ada hubungan apa antara laki-laki itu dengan Luwi?Jodie pun menjelaskan semuanya pada Reyhan, tentang Max.Dan hal itu membuat Reyhan semakin mencemaskan kondisi Luwi."Berapa utang Luwi pada Max?" tanya Reyhan."Lima ribu pound sterling," jawab Jodie, cuek. Matanya kembali menatap sosok laki-laki dikejauhan yang sepertinya tengah berjalan ke arahnya.Reyhan cukup terkejut mendengar nominal itu. Kalau dirupiahkan mungkin sekitar seratus juta. Lalu, dia teringat dengan kata-kata Hardin di bandara saat mengantarnya beberapa bulan yang lalu."Kalau lo butuh sesuatu, langsung kontak gue. Jangan sungkan, gue pasti bantu,"Akhirnya Reyhan menemukan jawaban atas kesulitan adiknya sekarang."Hai Jod?" sapa seb
"Hardin pelan-pelan masukinnya! Kalau kamu kasar begitu tidak akan masuk-masuk jadinya,"Iya sabar, lubangnya kecil sekali,""Ayo cepat, nanti Yumna keburu bangun,""Sabar Trina! kamu sih enak main perintah-perintah, aku yang usaha dari tadi,""Makanya itu kacamatanya di pakai, biar kelihatan,"Hardin mengambil kacamata minusnya dan mulai berkutat kembali dengan kegiatannya."Nahkan masuk juga," ucap Hardin lega. Dia memberikan benang dan jarum yang sudah dia tautkan kepada Katrina.Katrina lan
London, Inggris.Sebuah Restoran yang letaknya di Shaftesbury Avenue London itu terlihat ramai malam ini.Letaknya yang sangat strategis yang berada di pinggir jalan raya membuat resto ini di lalui banyak kendaraan dan banyak orang yang berlalu lalang berjalan kaki di sekitarnya. Mungkin hampir ribuan orang setiap harinya yang melewati kawasan tersebut.Menu yang di hidangkan antara lain mie goreng, satay, soto lamongan, kue dadar dan banyak lagi. Di buat dengan bumbu- bumbu asli indonesia tentunya.Semua staffnya memakai baju batik, termasuk supervisornya. Saat pengunjung sedang menyantap makanan, supervisor atau managernya pasti akan datang menghampiri para pengunjung dan menanyakan review tentang makanan yang di sajikan. Apakah makanannya semuanya ok atau tidak. Seperti halnya di restoran-restoran bagus biasanya.Dan hal itu yang kini tengah di lakukan oleh Mr.William s
London, Inggris.Reyhan berlari tunggang langgang menuju restoran tempat Luwi bekerja. Dia tadi keasyikan bermain dengan Gibran di Flat sampai tidak menyadari kalau Luwi telah menghubunginya sejak tadi.Dia sangat cemas.Karena Luwi mengatakan dalam sebuah pesan singkat yang dikirimnya pada Reyhan beberapa jam tadi, wanita itu bilang, Max kini sedang ada di restorannya dan dia sudah booking restoran itu untuk satu malam. Max mau mengajaknya dinner malam ini. Tapi perasaan Luwi tidak enak. Jadilah dia meminta Reyhan untuk datang ke resto menjemputnya. Dan sialnya Reyhan baru saja membaca pesan itu. Bodoh! Rutuk Reyhan dalam hati, memaki diri sendiri.Hingga akhirnya Reyhan berlari melewati sebuah taman kota di London. Dan matanya tersita pada sesosok tubuh wanita yang sedang berjongkok di tengah taman itu. Kebetulan kondisi taman sedang sepi. Jadi, bola mata Reyhan bisa menangkap dengan jel
Sesampainya di Flat milik Reyhan, Reyhan langsung menyuruh Luwi untuk segera berkemas.Rencananya Reyhan akan langsung membawa Luwi dan Gibran pulang ke Indonesia malam ini juga.Mereka tidak mau ambil resiko lebih jauh lagi. Sebelum Max berhasil menemukan mereka, mereka harus bertindak cepat.Jadilah Luwi menuruti perintah sang Kakak. Mereka berkemas-kemas malam itu."Bangunkan Gibran. Biar aku saja yang bereskan pakaianmu, kamu siapkan keperluan Gibran." ucap Reyhan pada Luwi.Saat sedang mengemas pakaian Gibran, Luwi sempat berpikir sesuatu dan dia langsung menghentikan aktifitasnya sejenak."Tapi, Kak, akukan tidak memiliki KTP, paspor dan Visa, bagaimana aku bisa kembali le Indonesia tanpa itu semua? Sedang aku bisa melamar pekerjaan itupun karena memakai jasa orang dalam. Semua surat-surat berhargaku hilang semua,""Tenang saja. Masalah itu aku sudah
"Kita mau kemana?" tanya Jodie heran. Matanya tak lepas memandang sesosok tubuh laki-laki jangkung dengan sayap indah berwarna putih yang menyatu dengan punggungnya. Seperti seorang malaikat. Meski Jodie sendiri tidak tahu pasti bagaimana wujud asli dari malaikat itu sendiri. Tapi yang jelas Jodie yakin laki-laki ini bukan laki-laki biasa.Laki-laki itu tidak menjawab pertanyaan Jodie, dia hanya tersenyum dengan senyuman yang sangat manis, membuat Jodie terpana. Lalu Jodie merasa tangannya di genggam oleh laki-laki itu, dengan genggaman yang sangat kuat. Lagi-lagi dia mengajak Jodie terbang. Tinggi sekali. Melintasi angkasa, menembus cakrawala, menuju langit ke tujuh. Hingga setelahnya Jodie menemukan dirinya mengawang, bebas di hamparan jagat raya. Bentangannya luas tak terhingga. Bagaikan fatamorgana. Tubuh Jodie melayang di udara. Semuanya terasa ringan. Tak ada kesulitan. Seperti terbebas dari segala beban. Hingga tubuh mereka kembali berdekatan. Laki-
Bagi kalian yang ingin tahu gimana romantisnya kisah kehidupan rumah tangga Reyhan dan Katrina selepas menikah, kalian bisa baca di karya Herofah yang berjudul SANG PENGGODA ya... Dan... Bagi kalian yang mau tau gimana serunya kisah cinta Gibran anak Hardin dan Luwi setelah dewasa, bisa kalian baca juga di karya Herofah yang berjudul THE DEVIL WIFE... Selain itu, Herofah baru aja memposting dua karya On Going baru dengan Judul THE BRIDAL SHOWER DAN BURONAN... Kalau mau tau karya-karya Herofah yang lain yang tidak terposting di Good Novel, kalian bisa Follow akun I*******m @Herofah untuk tahu spoiler-spoiler karya Herofah yang lain... YUK MAMPIR, AKU TUNGGU KEHADIRAN KALIAN DI SANA... SALAM SAYANG AUTHOR...
Bandung. Perumahan Summarecon. Dua Tahun Kemudian. Mengabadikan momen bersama keluarga bagi sebagian orang itu penting. Tak cuma mengenang kebersamaan, tapi juga dijadikan dokumentasi pribadi. Sebagai bukti di masa depan bahwa dulu mereka pernah menjadi bagian terindah di dalam sebuah keluarga yang berbahagia. Seluruh sarana dan prasarana untuk melakukan sesi foto keluarga sudah dipersiapkan dan harusnya semua ini berjalan dengan lancar tanpa hambatan kalau saja penerbangan dari Amerika menuju Indonesia tidak diundur secara tiba-tiba. Harusnya, Hardin, Luwi, Gibran, Omah, Opah dan dua balita kembar anggota baru keluarga mereka sudah berada di Indonesia sejak kemarin, hanya saja tiba-tiba Reyhan m
Jakarta.Bandara Soekarno Hatta.Dua Hari Kemudian.Hari ini, Hardin, Luwi, Gibran, Omah dan Opah rencananya akan berangkat ke Amerika bersama-sama. Kepergian mereka di antar oleh Reyhan, Katrina dan Pak Hadi."Ayah, jaga diri baik-baik ya. Obat jantung Ayah jangan lupa diminum," ucap Luwi setelah melepas pelukannya dari Hadi yang terlihat agak pucat hari ini. Sepertinya dua hari belakangan ini tubuh sang Ayah terlalu di forsir untuk bekerja. Dia terlihat lelah. Wajahnya yang terlihat mulai keriput menandakan Ayahnya kini sedang banyak pikiran. Luwi yakin sang Ayah masih terus berusaha mendapatkan maaf dari Reyhan, sang kaka
"Nggak ada suara apa-apa, Pa?" ucap Gibran yang baru saja menempelkan telinganya di depan perut Luwi yang sengaja dia buka sebagian. Saat sang Papa menyuruhnya untuk mengajak adiknya bicara.Hardin tertawa melihat tampang polos Gibran. Saat ini mereka sudah berada di dalam kamar pengantin mereka. Kejadian menegangkan yang terjadi selepas makan malam tadi sudah berlalu. Kini waktunya mereka beristirahat di kamar masing-masing."Gibran mau aja dibohongin sama Papa," ucap Luwi seraya menutup kembali perutnya."Gibrankan mau cepet-cepet ajak dedenya ngobrol terus main kayak Gibran biasa ajak dede Yumna main di rumah Papa."celoteh Gibran. Dia terus berjingkrak-jingrakkan tubuhnya di atas kasur yang dianggapnya sangat empuk itu. Seperti sebuah pegas.
Terletak di kawasan kota Bandung Timur perumahan elit berdiri di sana. Dimana di dalam kawasan itu berdiri rumah megah di salah satu cluster utamanya.Btari Extension Resindence begitulah yang tertulis di pintu gerbang perumahan itu.Pintu gerbang besi berwarna putih dengan ornamen keemasan terlihat menghiasi pintu gerbang utama.Di halaman parkirnya yang luas terlihat beberapa mobil mewah yang kebanyakan mobil-mobil dinas kepemerintahan terparkir dan berjajar rapi di sana.Acara Ijab dan kabul baru saja selesai dilaksanakan dan sekarang pengantin pria terlihat sedang berdiri di atas pelaminan yang dibuat sederhana di taman belakang rumah itu sambil menunggu mempelai wanitanya berganti pakai
"Malam ini juga Ayah kembali ke Bandung. Besok Ayah ada pekerjaan keluar kota. Jaga Katrina baik-baik. Ayah berharap kamu bisa memaafkan Ayah, Reyhan. Dan Ayah sangat berharap kamu dan Katrina bisa tinggal bersama di rumah Ayah sekembalinya dari sini. Karena Luwi sudah setuju untuk kembali tinggal bersama Ayah nanti," ucap Pak Hadi saat dia meminta Reyhan menemuinya di Loby hotel malam itu."Aku sudah kredit rumah di Bandung. Aku dan Katrina akan tinggal di rumahku sendiri." jawab Reyhan jelas, singkat dan padat. Dia tidak mau berbasa-basi lagi."Tapi aku maunya kita tinggal bersama Ayah sementara waktu, Kak. Bagaimana?" tiba-tiba Katrina menyela dan dia juga datang dengan tiba-tiba, membuat Reyhan sedikit kaget, padahal tadi sewaktu Reyhan turun ke loby Katrina sedang di kamar mandi di dalam kamar hotelnya.
Luwi terus memeluk Gibran yang masih menangis. Gibran terlihat sangat kacau. Luwi jadi ikutan menangis. Sebelumnya dia tidak pernah melihat Gibran seperti ini. Sungguh dia tidak pernah bermaksud untuk melukai hati siapapun sebab sikapnya. Apalagi itu hati darah dagingnya sendiri. Luwi benar-benar menyesal."Gibran, udah ya sayang jangan menangis lagi. Mama janji nggak akan pisahin Gibran sama Papa lagi. Ini kita lagi di jalan mau susul Papa. Kalau memang Gibran mau sama Papa, Mama Luwi nggak apa-apa kok. Yang penting, Gibran bahagia. Gibran senang. Mama Luwi juga ikut senang. Mama Luwi juga ikut sedih kalau Gibran sedih terus. Udah ya sayang nangisnya. Gibran sayangkan sama Mama?" Luwi kembali mengajak Gibran bicara. Meski awalnya dia ragu untuk mengatakan hal itu, tapi apa boleh buat? Luwi tidak punya pilihan lain dibanding dia harus tetap memaksa Gibran untuk bersamanya sementara Gibran
Serang, Banten.Aula Hotel Santika.Acara Ijab Kabul Reyhan dan Katrina.Kehadiran Reyhan dalam hidup Katrina mampu merubah dunianya yang biasa menjadi seindah pelangi. Sementara kehadiran Katrina dalam hidup Reyhan mampu merubah segala-galanya. Reyhan sudah berjuang hingga titik darah penghabisan. Dan kini waktunya dia memetik hasilnya.Reyhan sudah duduk di tengah-tengah altar aula dimana dirinya akan berjanji kepada seluruh makhluk dan sang penciptanya. Dengan mengucapkan kalimat pendek sarat makna yang akan menjadi pembuka lembaran kehidupan barunya kelak bersama Katrina. Kalimat ajaib nan sakral yang kini masih terpaksa tertahan di teng
Satu kejutan luar biasa yang diperoleh Reyhan satu hari sebelum hari pernikahannya sungguh membuatnya tidak mempercayai ini semua.Ketika sore itu, beberapa mobil mewah pribadi datang dengan pengawalan sirine kepolisian. Seperti sebuah arak-arakan presiden. Mobil-mobil mewah itu kini terlihat memenuhi lapangan parkir hotel Santika yang kini menjadi destinasi utama pernikahan Reyhan dan Katrina.Mobil-mobil mewah itu datang bersama rombongan keluarga dari mempelai wanita. Yaitu keluarga Ustadz Maulana.Seorang laki-laki setengah baya berkumis tipis dengan setelan dinasnya keluar dari salah satu mobil toyota land cruiser hitam. Diikuti beberapa awak pegawainya yang juga bersetelan dinas pemerintahan. Beberapa elit politik yang cukup terkenal juga terlihat kel