Tanpa pikir panjang, Zavira segera berlari pergi saat menerima pesan dari Fabian, sesaat sebelumnya ia berganti pakaian terlebih dahulu.Ia segera mengambil kunci motor dan pergi menuju gerbang di mana satpam sedang berjaga."Pak tolong buka gerbangnya, nanti kalau ada yang nyariin aku, bilang aja ke rumah temen gitu," ucap Zavira terburu-buru membuat Satpam itu segera membuka gerbangnya.Mengendarai motor seorang diri pada jam 1 malam, Zavira hanya merasakan takut jikalau nanti ada begal. Namun, untungnya ia bisa sampai rumah Fabian dengan selamat.Kondisi rumah pria itu sangat kacau dengan lampu yang tidak menyala satu pun, bahkan ketika ia membuka pintu, barang-barang berserakan, seperti seseorang baru saja bertengkar hebat.Zavira melihat Fabian seorang diri memojok di kamar pribadinya dengan ponsel masih menyala menunjukkan roomchat Zavira."Fabian," panggilnya dengan nada rendah, berjalan menghampiri Fabian dengan wajah baru saja menangis.Sebelumnya, Zavira mendapat pesan bahwa
Aksara menarik cepat tubuh Zavira sehingga Zavira meringis kesakitan pada pergelangan kaki serta lututnya. "Aduh pe-pelan pelan, kaki aku sakit," ringis Zavira membuat Fabian menatap kesal pada Aksara."Zavira," panggil Fabian menatap lembut pada wanita itu yang kini Aksara dekap.Zavira menggelengkan kepalanya, "gak apa-apa," ujarnya lalu Aksara mengangkat tubuhnya.Tanpa banyak bicara, Aksara membawa Zavira masuk ke dalam mobil, rahangnya nampak dikeraskan dengan urat leher nampak. Alis tebalnya menekuk ke bawah tanpa adanya senyuman.Dalam mobil dengan duduk di kursi belakang berada di atas pangkuan Aksara, Zavira merasa canggung, Aksara tak melirik sedikitpun padanya.Zavira paham pria itu cemburu, tetapi ia terjatuh hingga berada di atas Fabian tanpa sengaja. Ah sungguh, mengapa ia teledor sekali! Zavira lebih memilih diam hingga sampai di dalam rumah besar bak mansion itu, Aksara membawanya menuju kamar yang berbeda, bahkan lebih tepatnya ia di bawa menuju rumah kedua yang namp
"Zavira, lebih baik pukul aku daripada mendiamkan aku," ucap Aksara menarik tangan Zavira dan ia tempelkan pada pipinya."Gak, aku mau sendiri itu lebih baik!" Zavira ingin melepaskan tangannya begitu kesulitan, pergelangan tangannya terasa sakit karena gesekan besi itu."Lepas! Sakit tahu!" Zavira menatap tajam pada Aksara, tak sedikitpun ada kelembutan pada tatapannya.Aksara menyesali perbuatannya, tak seharusnya ia mengurung Zavira dan menyerahkan pada para pembantu itu. "Maaf, aku bersalah …, Zavira, tolong maafkan aku." "Lepasin tangan aku, dan jangan temuin aku selama 3 hari kalau ingin aku maafin," ucap Zavira dengan serius membuat Aksara terkejut."T-tidak, ku mohon jangan suruh aku melakukan itu, aku tak sanggup," ungkapnya dengan nada penuh ketakutan, ia bahkan tak melepaskan genggaman tangan Zavira sedikit pun."Kalau kamu gini terus aku makin males maafinnya!" Tatapan Zavira yang menusuk itu membuat Aksara benar-benar ingin menangis. "Kumohon, aku janji gak akan menguru
Jam menunjukkan pukul 4 pagi, Zavira segera keluar kamar dan melihat Aksara tertidur di sofa ruang tamu. "Kenapa malah nggak ke rumah utama sih," gumamnya protes."Zavira?" Aksara terbangun kita mendengar suara dentingan gelas dan air mengalir. Zavira melirik ke belakang, lalu kembali menatap ke depan, dapur tanpa sekat sehingga ruang tamu terlihat jelas. "Ngapain?" Aksara berjalan mendekat dan akan memeluk Zavira. "Stop!" Zavira memundurkan langkahnya, sehingga pelukan itu tidak jadi. "Aku cuman mau minum."Aksara menatapnya dengan murung, Zavira masih menolak bersentuhan dengannya. "Kumohon, aku ingin memelukmu."Zavira menggelengkan kepalanya, ia masih belum puas karena perlakuan Aksara. Setidaknya ia ingin pria itu tidak mengulangi perbuatannya meski sudah berjanji."Ma-mau ke mana?" Aksara bertanya dengan nada takut saat Zavira berjalan menuju pintu keluar dengan membawa kunci rumah."Aku udah kasih pilihan sama kamu, tapi kamu malah tidur di sini," jelasnya dan baru saja mera
Waktu itu. "Aku titipkan dia padamu," ucap Theo dengan wajah kusutnya, terdapat mata panda begitu lekat. Theo benar-benar kacau semenjak kehilangan Renjana, mantan kekasihnya. Aksara yang kala itu berumur 12 tahun menggaruk tengkuknya dengan canggung menggendong keponakannya yang baru berumur beberapa bulan. Semenjak putus secara sepihak oleh mantan kekasihnya, Theo dijodohkan oleh sang ayah demi kepentingan bisnis. Saat itu Theo berumur 22 tahun dan setelah 1 tahun menikah, ia baru melakukan hubungan badan dengan istrinya. Ia telah memiliki anak setelah berhubungan badan dengan istrinya satu kali. Setelahnya ia tidak pernah menyentuh istrinya sedikit pun. Perasaannya penuh dengan jijik pada dirinya sendiri karena harus melakukan hal tersebut dengan wanita yang tidak ia sukai. Theo berencana bercerai karena anaknya telah lahir, untungnya sang ayah tidak menolak dan mengiyakan permintaan Theo. "Kak, apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?" tanya Aksara, wajahnya memiliki sedikit
Nathaniel tersenyum tipis, "aku kira kamu tidak memikirkan perasaanku. Tapi, terima kasih."Zavira mengangguk, "maaf kalau lancang, aku harap kedepannya kita bisa berteman biasa atau sekedar rekan bisnis."Nathaniel mengangguk mengerti, ia tidak memiliki obsesi sebegitunya seperti Aksara dan ayahnya Theo. "Mohon untuk kerjasamanya di masa yang akan datang." Ia mengulurkan tangannya.Zavira lalu menjabat tangan tersebut, "iya, mohon kerjasamanya.""Apa yang kalian lakukan?" Aksara yang sudah setengah basah menghampiri mereka begitu terburu-buru saat melihat dari kejauhan Nathaniel mengulurkan tangan.Zavira segera melepaskan genggaman dan menatap khawatir pada Aksara yang basah kuyup bagian atasnya. “Kenapa malah hujan-hujanan?"Aksara menatap cemburu, ia lalu berujar, "jawab dulu pertanyaanku tadi, sayang." Ia sengaja menegaskan panggilan sayang di akhir.Zavira mendengar itu terkejut, "jabat tangan biasa, dulu kan Nathan pernah jadi editor aku," jelas Zavira sembari tersenyum.Aksara
Zavira terbangun dari tidurnya karena merasakan sesuatu berat meliliti tubuhnya. Ketika ia membuka mata, ia melihat Aksara berada di atasnya memeluk dengan kepala berada di dadanya."Aksara, minggir." Ia mencoba mendorong kekasihnya yang tidak terbangun. Ia tahu Aksara saat ini berpura-pura sedang tertidur. Pelukan semakin erat itu yang membuat Zavira menebak demikian."… Aksara." Ia mencubit pelan pipi Aksara, tetapi itu tidak membuat Aksara bangun. "Sayang, minggir yaa," ucapnya dengan lembut.Aksara lalu membuka mata, menatap Zavira dengan berbinar-binar, "panggil lagi."Zavira mengedipkan mata berkali-kali lalu tersenyum, "Aksara," panggilnya dengan sengaja membuat Aksara kembali membaringkan kepalanya lalu menutup mata."Bercanda sayang, badan kamu berat. Biar aku tidur di atas kamu aja."Gerakan cepat dari Aksara yang semula berbaring di atasnya kini mengangkat tubuh Zavira yang tidak mengenakkan pakaian terbaring di atasnya.Aksara kembali memejamkan mata, "aku ingin pelukan le
Baru saja masuk ke dalam ruangan, ia merasa hawa di dalam begitu menyeramkan. Zavira lalu melirik pada Aksara yang terdiam menatap fokus pada layar monitor.Padahal biasanya Aksara akan menatapnya saat ia masuk, tetapi pria itu malah mengabaikannya. "Pak Aksara, ini dokumennya, tadi sekretaris baru rekan kita yang nganter, aku udah sewa gedung untuk rayain hari ulang tahun perusahaan kita."Aksara mengangguk dan menerima dokumennya. "Kenapa manggil pakai Pak?" Ia menarik pinggang Zavira sementara dokumen itu ia taruh di atas meja."Ah …." Zavira menatap ke arah lain dengan gugup. "Kamu kayak marah, apa aku ada salah?" Zavira lalu menatap kembali Aksara.Pria itu segera memijat keningnya, "maaf, nggak ada, aku cuman bersikap berlebihan saja." Ia lalu melepaskan tangannya pada pinggang ZaviraZavira memilih diam, ia ingin tahu apa yang Aksara lakukan selanjutnya. Hingga beberapa jam berlalu, meski Aksara terlihat kembali normal, ia merasa ada jarak diantara keduanya."Aksara …." Zavira
Selama dua minggu ini, Aksara sangat sibuk karena mempersiapkan pernikahannya dengan Zavira. Ia begitu tidak sabar untuk mengikat hubungannya dengan Zavira lebih dalam.Zavira yang tidak begitu banyak membantu merasa tidak enak. Ia melihat Aksara baru saja pulang padahal hari ini hari minggu, tetapi pria itu tidak beristirahat."Kenapa kamu gak minta bantuan aku?" Zavira mengusap kepala Aksara dengan lembut, menatapnya penuh kekhawatiran."Aku tak ingin istriku lelah." Ia menyembunyikan wajahnya pada perut Zavira. Mendengar itu, ia terkekeh dan mencubit gemas pipi pria itu. "Terima kasih sudah bekerja keras hari ini."Aksara mengangguk dan menarik selimut menutupi sebagian tubuh keduanya. Zaviea mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Angin malam berhembus kencang dari arah balkon. "Aku mau nutup pintu balkon," ucap Zavira mendapati penolakan dari pria itu."Biar aku saja."Zavira menahan tubuh Aksara. "Nggak boleh, kamu capek, istir
"Kamu?" Aksara memincingkan matanya. "Dipecat, tidak alasan lagi, jangan pernah merendahkan calon istriku, ini peringatan untuk kalian semua yang mendengarkan." Aksara menatap pada karyawan lainnya lalu masuk kembali ke dalam lift.Saat pintu tertutup, Zavira menghela napas berat. Ia tida memprotes, sejujurnya ia merasa sakit hati dikatakan demikian. "Ah, harusnya aku berhenti kerja aja ya secepatnya," ucap Zavira dengan perasaan berkecamuk.Aksara menatap dengan khawatir. "Sayang, aku gak mau kamu keluar kerja karena orang lain, tapi kalau kamu gak nyaman, aku bakal ikutin kemauan kamu." Aksara memegang kedua pipi Zavira, menatap lebih sendu pada Zavira yang lebih rendah darinya.Zavira terdiam sejenak lalu berujar, "ah maaf, aku plin plan banget."Aksara menggelengkan kepalanya, "nggak, jangan pikirkan itu, ikuti saja kata hatimu sayang.""Makasih banyak." Ia tersenyum lega, mencoba menghilangkan pikiran negatif dan fokus pada pekerjaannya.Beberapa saat kemudian, Zavira kini keluar
"Maaf, sejujurnya aku takut untuk hamil lagi, meskipun aku bener-bener pengen hamil dan ngandung anak aku," ucap Zavira memegang kedua pipi Aksara agar pria itu tidak mengalihkan pandangannya.Aksara terdiam sementara. "Sayang …, apa kamu pikir pernikahan selalu mengarah tentang hamil?""Menurutku begitu, aku pikir semua cowok gak akan mau sama cewek yang nunda punya anak, mungkin mereka ngerasa lebay kalau lihat istrinya trauma sama hamil." Penjelasan itu membuat Aksara mendengarnya sedih."Sayang, gak semua begitu.""Aku tahu." Kini ia melepaskan genggaman pada pipi Aksara.Aksara lalu berdiri, mengangkat tubuh Zavira dan ia bawa agar wanitanya duduk di atas paha ia. Duduk di pinggir kasur dengan Zavira di atas pahanya, Aksara memulai percakapan dengan cukup dalam."Aku akan selalu berusaha menghargai pendapatmu. Aku menikahimu karena ingin hidup selamanya denganmu. Jika kamu ingin nunda punya anak atau kehamilan, aku tak apa, kita bisa menunggu sampai kamu siap." Aksara tersenyum,
Zavira baru saja pulang dari kantor pada pukul sepuluh malam. Ia sengaja lembur karena sempat libur dua minggu saat kejadian kemarin.Pekerjaan yang menumpuk mengharuskannya menyelesaikan lebih cepat. Dan sesekali ia kelimpungan disebabkan Aksara yang rewel menyuruh Zavira pulang.Kini di parkiran sudah ada mobil Aksara dengan pria itu menyetir di dalamnya. "Lama." Satu kata lolos ketika Zavira baru saja masuk ke dalam."Berapa puluh kali kamu ngomong lama," omel Zavira, ia menarik sabuk pengaman dan menyimpan tas di tempat duduk belakang."Hmm." Aksara berdeham, ia sedikit takut jika ia mengeluh lagi pada Zavira karena keterlambatan pulangnya.Kepala Zavira di sandarkan pada kaca yang setengah terbuka, ia memejamkan mata ketika mobil di jalankan, menikmati hembusan angin malam masuk ke dalam."Mau apa?" tanya Zavira dengan mata masih tertutup.Tangan kiri Aksara yang baru saja ingin memegang rambut si empu terhenti. "Aku …, mau megang rambut kamu." Dengan nada memohon ia menjawab.Za
Masih berada di ruang tamu, Zavira telah selesai mengobati luka pada tangan Aksara. Kini ia masih duduk di atas paha kekasihnya dengan tangan pria itu merengkuh erat pinggangnya.Melirik ke arah telinga Aksara yang memerah, Zavira lalu memegang telinga kekasihnya yang sensitif. "Ah." si empu menahan tangan Zavira agar tidak mengusap sensual telinganya."Kenapa?" Ia memiringkan kepala, menatap Aksara yang menatapnya dengan tatapan aneh."Sensitif," jawab Aksara singkat, ia menarik tangan Zavira agar memegang pipinya saja."Ah aku paham." Zavira mengangguk mengerti, yang ia tahu jakun Aksara lah yang sensitif, ternyata telinga juga sama halnya.Kepala Aksara di sandarkan pada bahu Zavira, kini kedua tangannya memeluk erat pinggang ramping kekasih. "Sayang.""Hmm?" Zavira membalas dengan dehaman, mengusap belakang kepala Aksara dengan ibu jari yang mengelus pinggir matanya."Tidur di kamar bersamaku lagi, ya?" pinta Aksara, ia menatapnya dengan mata berbinar-binar."Iyaa." Zavira mengang
Malam-malam sekali, ketika melihat bulan bersinar indah. Zavira yang ingin melihatnya dari taman, hal itu membuatnya segera keluar kamar dan menuruni anak tangga.Ketika melihat Aksara sedang duduk di sofa sembari bersandar, Zavira seperti biasa akan selalu mengabaikannya. Akan tetapi, kali ini berbeda, Zavira melihat tangan Aksara yang berdarah sedang memegang bunga mawar.Secara perlahan ia mendekati pria itu yang sedang memejamkan matanya, menutup dengan pergelangan tangan kiri sementara telapak tangan telah berdarah serta tangkai mawar yang dicengkram erat.Apa ini perumpamaan? Batin Zavira bertanya. Jika di umpakan, dirinya adalah mawar, lalu duri itu adalah konfliknya.Apa kini Aksara sedang berusaha terus mendapatkan Zavira meski harus melewati konflik hingga mempertaruhkan nyawanya? Entah mengapa Zavira merasa konyol akan perumpamaannya.Ketika ia ingin pergi berlalu, Aksara yang memang tidak tidur sejak awal segera menarik Zavira membuat kekasihnya itu duduk di atasnya.Belum
Pagi-pagi sekali, Zavira keluar dari kamarnya, ia ingin menghirup udara segera setelah kemarin merasa sumpek diam di kamar serta kamar rumah sakit beberapa hari lalu.Ketika ia sedang menuruni anak tangga, Zavira melihat Aksara tanpa mengenakan pakaian hanya dengan celana tidurnya sedang menyeduh teh hangat.Memilih mengabaikan kehadiran pria itu, Zavira terus melanjutkan jalannya menuju pintu. Panggilan dari Aksara yang menyadari kehadirannya tidak membuat langkah Zavira berhenti.Terdengar suara langkah kaki cepat lalu menahan langkahnya. Aksara memeluknya dari belakang dengan wajah murung. "Kamu ingin pergi?"Zavira menggelengkan kepalanya, mendorong tubuh Aksara yang begitu mudah pelukannya terlepas. Biasanya Aksara akan memeluknya dengan erat, tetapi kini pria itu suka rela di dorong.Aksara hanya takut Zavira semakin membencinya, mengingat perkataan kemarin yang ia ketahui bahwa Zavira menyesal menolongnya.Padahal ucapan yang selanjutnya Zavira katakan, ia menyesal mengatakan i
Selama 3 hari di rumah sakit dalam masa pemulihan, Zavira akhirnya di perbolehkan pulang, selama itu pula Zavira masih marah dengan Aksara. Pintu kamar terbuka, Aksara dengan kemeja putih yang nampak berantakan. Ia mencoba membantu Zavira turun dari kasur. Namun, di tepis oleh si empu. "Aku bisa sendiri," ucapnya dengan nada dingin, berjalan mendahului Aksara yang menatap punggung Zavira dengan perasaan sedih. Sungguh ia masih merasa bingung mengapa perkataannya salah. Selama ini ia tak pernah di ajarkan untuk memahami penderitaan yang orang lain rasakan. Orang tuanya hanya melakukan kekerasan padanya. Dari belakang, Aksara membawa tas berisi barang perlengkapan Zavira, sementara kekasihnya itu masih terus berjalan ke depan tanpa melirik ke belakang. Langkah Zavira terhenti ketika di pertengahan lorong, ia meminta tas pada Aksara. "Biar aku yang bawa," ujarnya tanpa mau menatap wajah Aksara sedikit pun. Aksara mengernyitkan keningnya, ia lalu menggelengkan kepala seraya berkata
Terbangun dari pingsannya, Zavira melihat dokter serta suster yang sedang melakukan pengecekkan padanya. "Dokter?" Zavira bertanya lemas, menggerakkan kepalanya, menatap ke segala arah."Ah iya, apakah ada yang sakit?"Zavira menggelengkan kepala pelan, lalu terdiam, "bagian sini, terasa aneh," gumamnya memegang perut.Dokter itu menunjukkan ekspresi sedih, "apa Anda ingin mendengar kabar ini sekarang juga? Jika tidak, saya akan memberitahu saat kondisi Anda benar-benar pulih."Zavira menggelengkan kepalanya, "aku mau denger sekarang juga," pintanya dengan tangan memegang lemas tangan dokter tersebut.Dokter tersebut menghela napas pelan, lalu ia berkata, "Kami telah melakukan pemeriksaan dan menemukan bahwa janin Anda tidak dapat dipertahankan."Zavira terdiam, ia lalu memegang perutnya dengan wajah murungnya. Tunggu, mengapa dirinya tidak sadar bahwa telah hamil?"Sayangnya, kami telah menemukan bahwa janin Anda telah mengalami keguguran karena cedera yang Anda alami," lanjut dokte