Setelah kejadian dimana Armor memperkosa adik sepupu dari kekasihnya itu, keesokan paginya, Armor terbangun dengan kondisi sakit kepala yang luar biasa, Armor juga menemukan dirinya tengah memeluk seorang perempuan yang ternyata bukanlah Feranda. Setelah menyadari bahwa dia telah melakukan kesalahan fatal, di sinilah Armor sekarang, dimana Feranda dan keluarganya berkumpul.
Feranda menangis dipelukan Silva yang merupakan ibunda dari Armor, kekasihnya. "Bagaimana ini, Mama? apa yang harus Nda katakan pada Kakek dan Nenek di sana? Nda sudah gagal menjaga adik Nda sendiri."
Silva mengusap punggung Feranda, "Maafkan Mama, Sayang. Maafkan Mama…"
"Baguslah jika adikmu itu hamil anak Armor, dengan begitu aku akan segera mempunyai cicit."
Seorang wanita paruh baya menatap tajam ke arah Feranda seraya mengangkat jari telunjuknya, "Tidakkah kamu sadar, Feranda?! Kamu terlalu egois! Armor sudah banyak berkorban untuk kamu! bahkan dia selalu mengalah terhadap sikapmu yang keras kepala itu! Lihatlah sekarang? Jika bukan karena kamu yang berulang kali menolak Armor, mungkin adikmu tidak akan memiliki nasib seperti ini! Jadi pihak yang harus disalahkan itu kamu!"
"Cukup, Oma!" ujar Armor meninggikan nada suaranya.
"Armor! Sekali lagi kamu berkata dengan nada tinggi seperti itu, Papa tidak segan-segan untuk menghajarmu!" bentak Javier seraya menatap tajam putranya.
Armor menjambak rambutnya, "Maaf. Armor yang salah, jadi berhenti menyalahkan Feranda."
"ARMOR!" bentak Kate. “Kenapa kamu membela perempuan itu?!”
"Cukup, Oma." Armor berujar dengan nada dinginnya.
"Armor," panggil Javier menatap tajam ke arah Armor. "Ikut Papa, ada yang harus Papa bicarakan padamu."
Javier langsung melenggang pergi diikuti Armor di belakangnya, sedangkan yang lain tengah sibuk dengan pemikiran masing-masing.
Silva yang merasa keadaan mulai tenang pun kembali bertanya kepada Feranda, "Lalu bagaimana keadaan adikmu sekarang?"
Feranda masih saja menangis, namun perempuan itu tetap berusaha untuk menjawab.
"Selama tiga minggu ini… Kay lebih suka mengurung diri. Nda kira Kay marah karena Nda tidak pulang dan meninggalkan Kay sendiri di apartemen selama lima hari, nyatanya bukan karena itu, saat Kay ditanya kenapa, Kay tidak ingin menjawab dan memilih menangis.” Feranda menjeda ceritanya, “Nda mulai berpikir jika Kay mengalami stres akibat masa pembelajaran online, tapi saat Nda melihat keadaan Kay kemarin…"
Feranda mulai menangis kencang, "Kay tergeletak tak sadarkan diri di kamar mandi dengan alat test pack di genggamannya. Kay... Kay hamil dan saat Kay sadar, Kay mulai menceritakan semuanya. Ayah dari bayi itu adalah Armor, Nda… Nda harus bagaimana Ma? Nda sangat menyayangi Kay, tapi Nda juga mencintai Armor."
"Pembohong! Jika benar kamu mencintai Armor, tidak mungkin kamu berulang kali menolak ajakan Armor yang ingin menikah denganmu, Feranda! Dasar perempuan egois!" ujar Kate yang menatap Feranda dengan sorot penuh kebencian.
"Sudah, Oma," ujar Silva menengahi.
Tiga puluh menit telah berlalu. Terlihat Javier dan Armor menghampiri ketiga perempuan yang masih berada di ruang tengah, tempat tadi mereka berkumpul. Javier menghela nafas berat, lalu menatap Feranda dengan lembut.
"Nda…” panggil Javier.
Feranda menoleh dan melepaskan dirinya dari pelukan Silva. “Iya, Pa?”
“Papa tahu jika kamu mencintai Armor, begitu pun sebaliknya. Tapi menurut Papa, ini sudah menjadi keputusan terbaik untuk kalian.” Javier menjeda ucapannya, “Kamu bisa fokus pada karirmu sebagai model tanpa harus terbebani dengan tanggung jawabmu sebagai ibu rumah tangga. Sementara itu, Armor juga telah menyanggupi untuk bertanggung jawab agar kami bisa segera memiliki cucu."
"Maksud Papa?" tanya Feranda dengan suara bergetar.
"Armor akan menikahi adikmu, Nda. Papa juga akan memindahkan tugas Armor untuk memegang proyek cabang perusahaan di Bandung selama beberapa bulan ke depan. Biarkan Armor dan Kay menjalankan kehidupannya di sana," ujar Javier dengan tenang.
"Tapi Pa… Feranda mencintai Armor… ba—bagaimana bisa Papa memberi keputusan—ini… ini tidak adil untukku, Pa…"
"Dan apa kamu pikir hal ini juga adil untukku?" tanya Armor dengan nada dinginnya.
"Armor…" panggil Feranda memohon. "Kamu masih mencintaiku kan? Kenapa kamu menyetujui permintaan Papa?" tanya Feranda kepada Armor.
"Perempuan tidak tahu diri!" timpal Kate merasa marah dengan apa yang didengarnya, ia pun memutuskan pergi ke kamarnya, merasa muak dengan sandiwara kekasih dari cucunya itu.
Armor menatap Feranda dengan sorot mata dinginnya, pria itu memilih diam. Feranda yang melihat keterdiaman Armor, merasa hatinya hancur. Feranda hanya bisa menangis dipelukan Silva, sedangkan Armor memilih pergi entah kemana.
***
Armor melihat pemandangan kota dengan pandangan kosongnya, pikirannya kembali pada kejadian yang baru di alaminya tiga minggu yang lalu.
Armor mengerjapkan matanya saat sinar mentari menyilaukan pandangannya, kepalanya juga terasa sakit, mungkin akibat ia terlalu banyak minum semalam.
Saat Armor sudah bisa melihat keadaan sekitar dengan jelas, ia baru menyadari jika dirinya tengah memeluk seseorang. Armor mengedarkan pandangannya dan langsung tersadar bahwa saat ini dirinya tengah berada di apartemen Feranda.
Tapi tunggu sebentar, Armor merasa asing dengan sosok perempuan yang berada dipelukannya, saat Armor melihat siapa perempuan itu, tatapannya langsung berubah tajam, rahangnya langsung mengeras. Ternyata perempuan itu bukanlah Feranda!
Dering ponsel berbunyi, Armor langsung mengangkat telfon itu tanpa melihat siapa yang menghubunginya.
“Armor…” panggil seseorang di seberang sana.
“Hm?”
“Malam ini ya? Kamu sudah berjanji pada Mama.”
“Hm.” Armor langsung mematikan panggilan itu secara sepihak.
“Apa yang terjadi semalam?” tanya Armor dengan nada dinginnya pada sosok perempuan yang meringkuk ketakutan di atas ranjang.
Kini Armor sudah berpakaian rapih karena ia masih ingat pernah menyimpan beberapa pakaiannya di apartemen Feranda.
“Apa kamu akan terus menangis seperti itu tanpa menjelaskan apa pun, hm?”
Lagi-lagi hanya suara tangisan yang Armor dengar.
“Saya tidak tahu kamu dan jika kamu salah satu asisten pribadi Feranda, saya anggap kamu menginginkan imbalan atas apa yang terjadi semalam.” Armor berujar dingin. “Berapa harga yang harus saya bayar?”
Armor menatap tajam perempuan yang masih setia menangis itu. “Aku akan bertanggung jawab dengan membayarmu.”
Mengingat kejadian itu, Armor tidak menyangka jika perempuan yang tinggal di apartemen kekasihnya merupakan adik sepupu Feranda. Pria itu juga tidak percaya bahwa perempuan itu tengah mengandung darah dagingnya. Pasalnya mereka baru melakukannya satu kali, tapi setelah di pikir-pikir, saat itu Armor tengah mabuk berat dan besar kemungkinan ia tidak menuntaskannya dalam satu kali permainan.
Mengingat itu membuat Armor merasa marah dan entah kepada siapa ia harus melampiaskannya.
***
Malam harinya, Armor dan Silva datang ke apartemen Feranda untuk menjenguk Chayyara. Feranda meminta adiknya itu bersiap dan berdandan rapih. Setelah selesai, Chayyara keluar dari kamar, kepalanya terus menunduk, tidak ingin melihat seseorang yang ada di hadapannya saat ini.
"Kay?" panggil seseorang lembut.
Chayyara mendongakkan kepalanya, Chayyara melihat wanita paruh baya yang sangat cantik tengah tersenyum kepadanya. Lalu pandangannya tidak sengaja melihat seseorang di belakang wanita paruh baya itu, Chayyara terkejut bukan main dan langsung memundurkan langkahnya.
Melihat reaksi Chayyara, air mata Silva mulai jatuh membasahi pipinya, wanita paruh baya itu menangis kala melihat perempuan yang cantik akan tetapi lebih kentara manis dengan usia yang masih terbilang muda itu harus hancur karena ulah putranya sendiri. Silva bisa melihat sorot ketakutan dari tatapan mata berwarna cokelat manis itu.
"Jangan takut, Sayang... saya Silva, Mamanya Armor," ujar Silva memperkenalkan diri. "Mama tidak akan menyakiti Kay."
Silva berjalan mendekati Chayyara, lalu memeluknya erat. "Maafkan Mama, Sayang… Maafkan Mama yang tidak bisa mendidik Armor… Maafkan Mama yang sudah membiarkan Armor menghancurkan hidupmu…"
Mata Chayyara mulai memanas, tanpa terasa air mata pun ikut mengalir deras di pipi Chayyara. Tangis Chayyara mulai pecah saat seseorang memeluknya dengan kehangatan sosok ibu. Chayyara menangis karena tiba-tiba Chayyara merindukan mamanya.
"Maaf, Sayang… Maafkan Mama… "
Ingatan dimana Chayyara bersama mamanya tiba-tiba hadir, Chayyara kecil yang tengah tertawa lebar bersama mamanya membuat Chayyara tidak bisa menghentikan tangisnya. Tak lama dari itu, kepala Chayyara tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa, bayangan gelap langsung menghampirinya, dan setelahnya Chayyara hanya bisa mendengar suara teriakan orang-orang di sekitar yang memanggil namanya.
***
"Kondisi Kay dan kandungannya sangat lemah, hal ini sering terjadi pada seorang perempuan yang mengandung di usianya yang masih terbilang muda," ujar seorang dokter yang kerap dipanggil dengan sebutan Septi itu.
"Jadi apa yang harus kita lakukan, Ti?" tanya Silva. Septi merupakan sahabat sekaligus dokter pribadi di keluarga suaminya.
"Kay akan baik-baik saja selama pola makannya terjaga. Kay harus sering memakan buah-buahan, minum susu ibu hamil dan jangan lupa untuk tidak membuat Kay stres, karena stres memudahkan wanita yang tengah mengandung lebih cepat mengalami keguguran."
Silva mengangguk, "Baiklah, terima kasih banyak, Ti."
"Sama-sama, Sil. Kalau begitu, aku permisi," ujar Septi.
Silva mengangguk, lalu memasuki kamar yang ditempati Chayyara. Sedangkan Feranda menarik Armor ke luar unit apartemennya karena masih banyak hal yang ingin Feranda katakan kepada Armor.
"Armor..." ujar Feranda memohon. Armor hanya menunjukan wajah dinginnya.
"Maaf, aku benar-benar minta maaf jika penolakanku selama ini membuatmu sakit hati, aku-"
"Cukup. Aku tidak ingin mendengarnya, aku ke dalam." Armor jelas tidak mengizinkan Feranda menjelaskan apa pun, pria itu justru kembali memasuki unit apartemen milik Feranda.
Silva keluar dari kamar Chayyara saat sudah memastikan keadaan Chayyara di dalam.
"Armor…”
To be continued...
"Armor…” panggil Silva kepada putranya. “Ingat! Seminggu lagi. Pernikahanmu seminggu lagi."Armor menatap datar mamanya, "Hm," ujar Armor singkat.Silva tersenyum penuh haru, ia memeluk putra sulungnya itu, mengusap punggung tegap Armor, "Mama memang kecewa padamu, tapi Mama juga bangga karena kamu berani untuk bertanggung jawab." Armor terdiam untuk sesaat, setelahnya ia pun mengangguk lantas membalas pelukan mamanya itu.Di sisi lain, seseorang tengah menahan tangis setelah mendengar rencana bahwa orang yang paling dirinya cintai akan menikah dengan adik yang dirinya sayangi. Ya. Feranda. Perempuan itu memilih diam di depan pintu unit apartemennya yang memang sedikit terbuka dan membuat Feranda dapat mendengar semua percakapan itu dengan jelas.***Chayyara tidak menyangka jika semuanya akan menjadi seperti ini. Menikah dengan kekasih kakaknya bukanlah hal yang Chayyara inginkan. Bahkan Chayyara tidak bisa tidur karena terus memikirkan kakaknya, ia merasa bersalah dengan menikahi ke
Kini Armor dan Chayyara sudah pindah ke rumah baru dimana mereka akan menetap beberapa bulan ke depan di kota Bandung. Hal itu karena Armor ditugaskan papanya untuk menyelesaikan proyek yang berada di kota tersebut.Chayyara terlihat sibuk dengan aktivitasnya yang tengah membereskan pakaian hingga tidak menyadari ada seseorang di belakangnya.Saat Chayyara membalikkan tubuhnya ke arah pintu, Chayyara berjengit kaget, di sana ia melihat Armor tengah bersandar di pintu kamarnya dengan menyilangkan kedua lengan di dada. Tidak lupa wajah pria itu yang selalu menampakan ekspresi dingin membuat Chayyara merasa takut sekaligus bingung harus berbuat apa.Ya. Armor dan Chayyara memang tidur terpisah."Ini." Armor memberikan kartu persegi panjang yang berwarna hitam itu kepada Chayyara. Chayyara menerimanya lantas menatap Armor dengan ekspresi bingung."Untuk membeli kebutuhan," ujar Armor. "Dan saya punya peraturan selama kita menjalani hubungan ini," lanjut Armor yang lagi-lagi menatap dingin
Beradaptasi kurang lebih selama dua minggu dengan sikap Armor yang terkesan dingin, membuat Chayyara mulai terbiasa menjalani kesehariannya sebagai seorang istri dari seorang Armor Musa Altamiz. Sedikit demi sedikit Chayyara mencoba menghilangkan rasa takutnya. Ia mulai menerima takdirnya dan juga mulai paham bahwa Armor tidak sepenuhnya salah karena pada saat itu juga Armor tidak menyadari tindakannya, pria itu hanya tahu jika dirinya Feranda. Mungkin jika Armor tahu dirinya adalah Chayyara, adik sepupu dari Feranda, Armor tidak mungkin memperkosanya hingga hamil seperti ini. Sekilas bayangan menyakitkan itu datang kembali, Chayyara menghela nafas berat saat mengingatnya. Menelungkupkan kepalanya di lipatan tangan, menyembunyikan air matanya yang sudah mengalir deras. *** Armor berjalan menuju mobilnya, tiba-tiba muncul sosok perempuan yang sangat Armor kenali. Perempuan itu adalah Feranda. Armor bisa melihat jika perempuan itu tengah menangis, dengan wajah pucat dan penampilan
Setelah menemani kakaknya menangis, Chayyara meminta Feranda untuk membersihkan diri dan ikut sarapan bersamanya dan Armor. Kebetulan posisi dapur rumah yang ditinggalinya berada di samping kolam berenang, jadi jika Chayyara ingin ke dapur, perempuan itu harus melewati kolam berenang terlebih dahulu. Saat Chayyara tengah berjalan menuju dapur, tiba-tiba Chayyara merasakan lantainya licin hingga tubuhnya kehilangan keseimbangan, membuat Chayyara langsung jatuh ke kolam. Feranda yang baru saja selesai berganti pakaian, langsung berlari ke arah kolam bersamaan dengan Armor yang terkejut saat mendengar suara riak air kolam. "Chayyara! Chayyara! Tidak bisa berenang, Armor! Tolong Kay! Ya Tuhan!" teriak Feranda panik, membuat Armor langsung terjun ke kolam yang ke dalamannya hampir dua setengah meter. Terlihat pria itu mengangkat tubuh Chayyara dan menaikan tubuh istri kecilnya itu di pinggiran kolam. Armor langsung melakukan resusitasi jantung paru. Sesekali memeriksa apa nafas Chayyar
Chayyara baru saja menyelesaikan ritual mandinya, ia jadi teringat niatannya untuk mengingatkan Armor bahwa sudah saatnya makan malam. Chayyara mengetuk pintu ruang kerja Armor. Namun, tidak terdengar jawaban dari dalam. Chayyara pun memutuskan untuk kembali ke dapur, tetapi langkahnya terhenti saat mendengar suara Armor di pinggir kolam yang kini tengah berbicara dengan seseorang melalui telepon. Chayyara berhenti di ambang pintu, lantas secara tidak sengaja Chayyara mendengar sesuatu yang membuat hatinya berdenyut nyeri. Chayyara menutup mulutnya tidak percaya. Saat Armor akan berbalik, dengan cepat Chayyara pergi dari sana, Chayyara memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Chayyara menenangkan dirinya di dalam kamar, menghapus air matanya yang terus saja mengalir, lantas tatapannya terjatuh ke arah perutnya, ia mengusap perutnya dengan penuh kasih sayang. Setelah sesi menangisnya selesai, Chayyara memutuskan untuk kembali ke dapur dan menyiapkan makan malam untuk Armor, Chayyara
Tadi pagi Chayyara sudah bangun dari tidurnya karena perutnya terasa mual. Hampir berulang kali ia keluar masuk kamar mandi hanya untuk mengeluarkan cairan bening, tubuhnya terasa lemas, tapi waktu sudah menunjukan pukul enam pagi. Biasanya Chayyara sudah bersiap-siap memasak sarapan untuk dirinya dan Armor, tetapi sepertinya ia akan memasak sarapan nasi goreng saja untuk Armor karena suaminya itu harus berangkat kerja dengan keadaan perut terisi. Chayyara memaksakan dirinya untuk berjalan ke arah dapur, mengambil bahan-bahan di kulkas dan mulai bergelut dengan alat-alat dapur. Setelah selesai, Chayyara menghidangkannya di atas meja makan. Chayyara tidak ikut makan karena tidak merasa lapar, namun Armor pasti akan marah padanya jika ia tidak sarapan. Chayyara pun memutuskan mengambil sehelai roti dengan selai nutella kesukaannya. Tak lupa Chayyara juga membuat susu coklat khusus ibu hamil agar bayinya tetap ternutrisi. Chayyara menghela nafas saat pandangannya tertuju pada pintu k
Armor terjaga semalaman hanya untuk mengganti kompresan dan memastikan demam Chayyara turun. Di samping itu, Armor juga menyelesaikan pekerjaannya di malam hari untuk ia berikan kepada Fredy di keesokan harinya. Tanpa disadarinya, ternyata Armor tertidur di sofa, ia terbangun saat mendengar suara berisik dari arah kamar mandi. Armor menoleh ke arah ranjang, tidak ada Chayyara di sana. Ia pun bergegas menuju kamar mandi. Armor memasuki kamar mandi yang memang pintunya terbuka, ia bisa melihat Chayyara tengah memuntahkan isi perutnya di kloset. Ia menghampiri Chayyara untuk kemudian memijat pelan tekuk istri kecilnya itu. Armor juga memegangi rambut Chayyara agar tidak terkena muntahan. "Kak… Kak Armor… keluar," ujar Chayyara lemah. "Nan… nanti jijik," lanjut Chayyara. "Diam,” perintah Armor dingin. Chayyara masih menghadap kloset, ia kembali merasa mual, sambil menangis Chayyara kembali memuntahkan cairan bening dari mulutnya. Chayyara merasa kelelahan, di tambah ia juga merasaka
"Hmm tadi pagi Kay sudah makan tujuh gorengan, terus sekarang sudah delapan gorengan, berarti Kay sudah makan lima belas gorengan." Armor menatap heran ke arah Chayyara, apa tidak ada yang salah dengan istri kecilnya itu? Mengingat nafsu makan Chayyara yang semakin hari semakin membaik, membuat Armor tidak terlalu khawatir akan kondisi istri kecilnya. Meski Armor akui, ia masih sedikit khawatir saat Chayyara masih mengalami mual-mual di pagi hari. Setelah selesai sarapan, Armor melihat Chayyara tengah bersiap untuk sekolah onlinenya, sedangkan dirinya belum berangkat ke kantor karena masih mengecek beberapa berkas di iPadnya. Ketika Chayyara tengah melihat-lihat sosial media, betapa terkejutnya Chayyara melihat berita tentang kakaknya. Chayyara menoleh ke arah Armor yang masih setia duduk di sofa. Armor yang merasa di perhatikan, mengalihkan pandangannya ke arah Chayyara, kini mereka saling bertatapan. "Kenapa?" tanya Armor. Chayyara langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain,
Chayyara menghirup bau lembaran kertas yang sudah menjadi favoritnya. Matanya berbinar saat mulai memperhatikan rak-rak menjulang tinggi di depannya. Armor berdiri di sebelahnya sambil menggendong Valerio. Mereka sengaja mendatangi perpustakaan ibu kota untuk meminjam buku-buku yang dibutuhkan Chayyara. Sebenarnya Armor sudah memaksa Chayyara untuk membeli saja buku-buku yang dibutuhkannya, tetapi istrinya itu menolak dengan alasan bahwa Chayyara ingin melihat dulu isi dari buku-buku yang ada di perpustakaan. Armor pun hanya bisa mengiyakan. "Sayang, aku ke rak yang di sana ya." Chayyara menunjuk jajaran rak di sebelah kanan.Armor mengangguk. Pria itu menepuk-nepuk pelan punggung putranya yang tertidur, terdengar suara Valerio yang tengah mendengkur halus. Seharian ini mereka telah menghabiskan banyak waktu bersama, dari mulai piknik di taman, bermain sepeda, dan membacakan cerita anak untuk Valerio sambil bersantai. Langit sudah menunjukan warna senja, yang berarti siap menjemput
"Kak Armor," panggil Chayyara.Armor tidak menjawab."Kak."Tetap tidak ada jawaban."Kak Armor! Kay panggil-panggil!" Chayyara mengerucutkan bibirnya melihat Armor yang tidak meresponnya sama sekali. Pria itu tampak sibuk dengan iPadnya di meja kerja.Chayyara beranjak dari ranjang menghampiri Armor. Perempuan itu merebut iPad Armor, lantas ia mendudukkan dirinya di pangkuan Armor. Chayyara menyimpan iPad suaminya itu di atas meja kerja."Kay panggil-panggil, tidak dengar?" tanya Chayyara dengan raut wajah kesal."Panggil apa?" tanya Armor terlihat santai."Tadi Kay panggil. Kak Armor? Kak? Tapi Kakak cuek," ujar Chayyara. Kini tangan Chayyara sudah menangkup wajah suaminya itu. Menatap serius ke arah Armor, "Kak Armor marah?"Armor diam."Kay sudah bikin Kak Armor kesal?"Hening diantara keduanya. Chayyara berdecak setelah menunggu lama Armor untuk menjawab pertanyaannya."Kay sudah bikin Kakak kesal kan? Coba jelaskan, Kay akan bertanggung jawab. Kay janji." Chayyara mengangguk-ang
Setelah obrolan mereka semalam, Chayyara jadi tahu dunia perkuliahan. Armor mengizinkannya untuk kuliah. Suaminya itu juga sengaja menanyakan hal apa saja yang diminatinya selain memasak dan membaca. Chayyara sempat kebingungan, seperti remaja yang baru lulus SMA yang tidak tahu arah tujuannya akan kemana. Chayyara meminta waktu kepada Armor untuk mempertimbangkan jurusan yang akan dirinya pilih karena Chayyara tidak mau salah jurusan dan menyesal di akhir tahun, seperti pengalaman orang-orang di sosial media yang bercerita bahwa penyesalan datang di akhir karena lebih memilih jurusan yang tidak selaras dengan minat dan bakarnya hanya karena agar bisa masuk kampus impian. Begitu banyak hal yang Chayyara tanyakan kepada Armor dan syukurnya suaminya itu sangat sabar dalam menjawab segala pertanyaan-pertanyaannya. Chayyara juga terlihat antusias mendengar penjelasan Armor. Terlihat sekali jika suaminya itu pintar dan berwawasan luas. Ah, semoga Valerio memiliki kepintaran yang sama
Armor berjalan memasuki perpustakaan. Terlihat di sofa, Chayyara tengah tertidur dengan Valerio yang terlelap di dadanya. Armor berdecak melihat putranya itu yang semakin hari semakin menguasai istrinya.Armor melepas jasnya, melampirkannya di lengan sofa. Pria itu menggulung lengan kemejanya hingga siku. Pandangannya terarah ke arah meja kecil di samping sofa. Armor melihat formulir pendaftaran Universitas di sana. Satu alisnya terangkat, lalu beralih menatap istrinya yang masih nyenyak tertidur di sofa.Setelah permasalahan mereka mengenai Hyunjae mereda, Armor dibuat tanda tanya dengan tingkah laku Chayyara akhir-akhir ini. Armor menghampiri Chayyara, mengangkat pelan Valerio dari pelukan Chayyara. Chayyara yang menyadari Valerio diambil dari pelukannya pun terbangun. "Kak?""Tidur lagi saja. Aku akan memindahkan Valerio ke kamar.""Sekarang sudah jam berapa?""Jam delapan."Chayyara membulatkan matanya, "Kay belum memasak apapun!"Armor tersenyum, "Kita makan di luar. Aku sudah b
Chayyara menggembungkan pipinya. Menatap Armor dengan mata berkaca-kaca. Sedangkan Armor tengah duduk di lengan sofa yang tersedia di kamar mereka. Armor tersenyum sinis, "Hanya karena meminjamkan sebuah payung?" Chayyara mengangguk. "Kamu pasti pernah menyukainya kan?" Chayyara membelalakan matanya, lantas menggeleng cepat, "Tidak! Kay tidak pernah menyukainya!" "Lalu kenapa dia sering menyapamu?" "Kay tidak tahu." "Siapa namanya?" Chayyara diam. "Chayyara..." Armor mencoba bersabar. "Hyun...Hyunjae," jawab Chayyara pelan. Armor melangkahkan kakinya perlahan ke arah ranjang. Ia membuka kemeja kerja yang dikenakannya. Menjatuhkan kepalanya di paha Chayyara. Armor tahu jika istrinya itu mulai ketakutan, maka cara yang paling ampuh, Armor harus meredamkan amarahnya. Armor tidak mau sampai mulutnya mengatakan hal yang menyakitkan kepada Chayyara. "Kak Armor masih marah?" tanya Chayyara pelan. Armor tidak menjawab. Pria itu justru memilih memejamkan matanya. Tida
Chayyara dan Armor masih menikmati liburan mereka di Gangwon, banyak tempat-tempat yang mereka kunjungi, salah satunya museum. Chayyara sudah menduga jika Pangeran tidak terlalu menyukai tempat yang memiliki khas ala rumah tradisional di Korea. Anak kecil itu sudah jelas lebih menyukai taman bermain. Sebenarnya ini juga salahnya yang terlalu memikirkan keinginan dirinya karena meski sebelumnya Chayyara pernah tinggal di Korea Selatan, tetapi Chayyara jarang mengunjungi tempat-tempat wisata.Armor yang menyadari sikap Chayyara pun langsung mencium kepala istrinya itu. “Pangeran akan terbiasa.”Chayyara menatap ragu, namun Chayyara tetapmengangguk, melihat Valerio yang terlihat nyenyak di dalam di gendongannya. Pangeran sedari tadi hanya diam di gendongan Armor. Itu cukup membuat Chayyara merasa bersalah.***Chayyara baru selesai dari toilet, tiba-tiba terdengar suara seseorang memanggil namanya. “Yara!”“Sunbae,” ujar Chayyara pelan saat melihat seseorang tengah melambaikan tangan k
Armor mencium puncak kepala Chayyara yang terlihat sibuk mengganti pakaian Valerio. Chayyara tersenyum, “Pangeran sudah siap-siap, Kak?”Armor mengangguk, “Dia lagi sarapan roti sambil nonton youtube.”Chayyara menoleh ke arah Armor lantas melotot tajam, “Kakak sudah bilang batas waktunya kan?”Armor tersenyum, pria itu langsung menyambar bibir istrinya. “Kak!” tegur Chayyara, “Jawab dulu!”“Iya, Sayang. Sudah.” Chayyara menghela nafas lega. Pasalnya Pangeran pernah menangis hebat karena tidak ada satu pun anggota keluarga yang mengizinkannya bermain gadget. Bukannya Chayyara tega membiarkan Pangeran hidup tanpa benda-benda elektronik itu, tetapi Chayyara mendapatkan pesan dari orangtua Pangeran bahwa anak itu sudah mulai ditahap keras kepala dan sedikit susah diberitahu jika berkaitan dengan gadget. Oleh sebab itu, Chayyara dan Armor diamanahkan untuk lebih memberi batasan kepada Pangeran dalam memakai gadget. “Tampan sekali anak Mommy!” Chayyara berujar seraya mencium pipi kanan d
“Aunty Kay?” panggil suara anak kecil yang sangat Chayyara kenali.“Pangeran?” tanya Chayyara memastikan suara itu. Chayyara keluar dari walk-in closet kamarnya, dan benar saja. Chayyara melihat sosok yang dulunya masih kecil kini terlihat lebih tinggi dan pastinya dengan wajahnya yang lebih tampan.“Kamu kapan ke sini?” Chayyara bertanya seraya menghampiri Pangeran, Chayyara merendahkan tubuhnya yang membuat Pangeran langsung memeluk Chayyara erat.“Pangeran rindu Aunty Kay…”Chayyara tersenyum saat mendengar tutur kata Pangeran yang sudah tidak cadel lagi. Tidak terasa, sosok kecil ini sudah tumbuh besar.“Aunty juga… Bagaimana sekolahmu di Sydney?”Pangeran menggeleng, “Selesai lebih cepat,” ujar Pangeran dengan wajah sumringah.“Kamu akan lanjut sekolah di sana lagi?”Pangeran menggeleng, “Tentu saja tidak, Aunty,” ujar Pangeran mendelik, “Sesuai perjanjian Pangeran dengan Mama Papa, kalau Pangeran bisa mengontrol emosi dan tidak selalu merengek meminta sesuatu, Pangeran akan lanj
Setelah menemani Valerio tidur siang, Chayyara memutuskan untuk keluar dari kamar, pandangannya tak sengaja melihat ke arah balkon yang menunjukan taman belakang. Ya. Saat ini Chayyara tengah berada di rumah mertuanya karena sudah menjadi rutinitas mereka akan menginap setiap akhir pekan di sini. Meski pada awalnya, Armor, suaminya itu merasa keberatan, tetapi setelah mengetahui bahwa Silva dan Javier meminta agar Valerio tidur bersama kedua orangtuanya itu, membuat Armor pun berubah pikiran. Armor melihat itu sebagai kesempatan.Chayyara tersenyum, mengikat rambutnya lantas berjalan menuruni tangga. Mansion keluarga suaminya itu memang masih menggunakan tangga, berbeda dengan mansion yang mereka tempati yang sudah ada lift di dalamnya.***“Kay dimana?” tanya Silva kepada para pelayan.“Tadi saya melihat Nona Chayyara mengajak Tuan Kecil Valerio untuk tidur siang, Nyonya.”Silva mengerutkan keningnya. “Tadi saya habis