“Gugurkan bayi itu ....” tukas Azka dengan nada datar dan penuh penekanan. Seketika mata Safira membulat. “Tidak, Aku tidak mau menggugurkannya. Sampai kapanpun tidak mau!” dia menggeleng kuat. Azka mencengkram kuat dagu Safira, membuatnya mendongak menatap manik matanya yang tajam. “kalau begitu, aku juga sama, mau bertanggung jawab sampai kapanpun! Aku tak sudi menjadi menantu Fadil si benalu!” “A--apa mak-sudmu?” Safira tak mengerti apa yang di ucapkan oleh Azka. “Kamu tahu, Ayahmu itu meminta bantuan pada papaku. Untuk mendonasikan saham miliknya pada perusahaan Ayahmu. Aku tak menyukainya, saham perusahaan yang Papa berikan pada si Fadil itu adalah sebagian milikku!” ucapnya dengan rahang mengeras. Dengan sekuat tenaga Safira melepaskan cengkraman tangan Azka pada dagunya. Sedikit perih, mungkin meninggalkan jejak kuku Azka yang tertancap. “Itu tidak mungkin. Ayahku adalah pendiri FA group sejak muda. Dan itu dia lakukan seorang diri, sampai dia menjadi pengusaha t
Azka berbaring di atas kasur lusuh di dalam markas, menatap langit-langit yang retak. Malam telah larut, udara di sekitarnya dingin dan sunyi. Di sekelilingnya, suara dengkuran samar kawan-kawannya memenuhi ruangan, tetapi pikiran Azka terlalu gelisah untuk ikut terlelap.Di kepalanya, bayangan Safira muncul kembali, seakan mengejar tanpa henti. Gambarannya begitu jelas—tatapan mata Safira yang penuh harap dan luka ketika ia memintanya bertanggung jawab. Tapi Azka dengan tegas menolak, tanpa satu pun kata penyesalan. Safira hanya diam, tak mengerti bagaimana seseorang bisa begitu dingin, seolah tak ada rasa.Ia tahu, mungkin seharusnya ada sedikit penyesalan di hatinya. Bagaimanapun, ia telah menyebabkan Safira mengandung anak yang tidak diharapkan. Tapi Azka tak peduli. Itu bukan salahnya. Ia bahkan tidak melakukan semua itu atas kemauannya sendiri; baginya, semua hanyalah bagian dari jebakan, suatu permainan takdir yang seolah telah disiapkan untuknya.Apalagi malam itu dia dalam pe
Dua hari kemudian ....Hana tengah membersihkan majalah yang berserakan di atas meja. Dia terpaksa merapikannya seorang diri, sebab asisten rumah tangganya sedang mengambil cuti untuk beberapa hari.Gerakan tangannya begitu lihai merapikan majalah-majalah tersebut. Hana lekas membawanya ke tempat biasa dia menaruh buku. Saat melewati kamar Safira, yang celahnya sedikit terbuka, Hana mendekat untuk mengintipnya.Di sana terlihat kamar Safira yang sedikit berantakan, dia menghelan napas lalu masuk ke dalam sana. Safira sedang pergi kuliah, kondisinya sudah membaik sejak kemarin. Mungkin saja tadi pagi dia terlupa untuk mengunci pintu kamarnya. “Ah, dasar gadis itu, sama sekali seperti aku saat muda.” gumamnya.Hana meletakkan majalah-majalah yang dia bawa di atas nakas, lalu mulai merapikan ranjang Safira yang berantakan. Dia melipat selimut yang semula berantakan menjadi lebih rapi. Selalu membersihkan debu debu yang menempel di sana dengan kemoceng. Puk!Suatu benda jatuh di kakiny
Safira duduk di kursi belakang taksi, menggenggam tas di pangkuannya erat-erat. Tatapannya kosong, tertuju ke jalanan kota yang penuh keramaian, namun pikirannya melayang entah ke mana. Di dalam dadanya, perasaan cemas berputar-putar, seakan firasat buruk terus menghantuinya. Dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi, tetapi tak bisa menebak apa itu, hanya membuat hatinya gelisah.Sesekali matanya menangkap pemandangan di luar, melihat orang-orang yang berlalu-lalang, sibuk dengan dunianya masing-masing. Hingga pandangannya berhenti pada seorang wanita yang tengah duduk di bangku taman. Wanita itu tengah hamil, perutnya membuncit dengan duduk manis, dan dia mengelusnya lembut sambil tersenyum penuh cinta, seolah menyambut kehadiran bayi dalam kandungannya dengan rasa bahagia yang tak tertahankan.Safira menahan napas. Hatinya seketika terasa perih melihat pemandangan itu. Ada sebuah luka yang terbuka lebar di dalam dirinya, mengingatkannya pada kenyataan yang tak bisa ia hindari. Dirin
“Pria itu adalah ....”“Adalah, Azkara--putra Bibi Namira!”“Apa?!”Seketika Hana dan Fadil saling berpandangan. Terkejut mendengar pernyataan yang dikatakan oleh Safira.“Apa? Azkara? Putra kedua Namira ...!“Degup jantung Fadil bekerja dua kali lebih cepat. Dia memejamkan mata sebentar kemudian mengembuskan napas kasar. Kali ini, dia akan berurusan dengan keluarga Namira. “Ayah, kumohon ... jangan ke sana. Aku tidak apa-apa, Ayah. Biarkan saja aku menanggung semuanya sendiri.” Fadil membuka mata, kemudian melirik tajam ke arah Safira. Membuat gadis cantik bermata bulat itu menunduk.“Azka harus bertanggung jawab! Namun, sebelum itu, dia harus merasakan pukulan Ayah terlebih dahulu!”Fadil mengepalkan tangan, kemudian keluar dengan tergesa dari kamar Safira.Mata gadis itu membulat, kemudian menggeleng. “Tidak boleh, Bunda tolong... katakan pada Ayah, jangan lakukan itu pada Kak Azka. Aku sudah pernah meminta pertanggung jawabannya, tapi Azkara malah menghinaku, dia mengatakan bahw
Aidan menoleh padanya, lalu kembali melihat ke arah Fadil yang berdiri tak sabar di bawah sana. “Ayok, kita temui. Siapa tahu ada hal penting yang ingin Fadil katakan. Tak biasanya dia seperti itu,” ucap Aidan, mencoba tetap tenang.Namira mengangguk, mengikuti langkah Aidan menuruni tangga. Mereka berjalan mendekati Fadil yang tampak semakin tak sabar, napasnya berat dan cepat, matanya tajam menatap mereka.“Ada apa, Fadil? Kenapa datang kesini tanpa mengabari kami?” tanya Aidan dengan nada tenang, meskipun dalam hatinya ada kecemasan yang sulit dijelaskan.Fadil tidak langsung menjawab. Dia menatap Aidan dan Namira bergantian, napasnya memburu, seolah menahan diri agar tak langsung meluapkan amarahnya. Sesaat kemudian, dengan suara yang terdengar tercekik oleh emosi, Fadil bertanya, “Mana Azka?”Pertanyaan itu langsung membuat Namira dan Aidan saling memandang. Ada yang tak beres. Fadil tak mungkin marah seperti ini tanpa alasan besar. Namun, tak satupun dari mereka tahu apa yang te
Langit sore telah berangsur kelam ketika Namira dan Aidan berhenti di depan rumah besar bercat putih itu. Rumah Fadil memang tampak megah, seolah memancarkan aura prestise dan kekuatan. Namun, di balik pintu kayu mahoni yang tertutup rapat, Namira tahu bahwa ada masalah yang jauh lebih besar dan rumit daripada sekadar kemegahan rumah ini.“Apakah kamu yakin ingin melakukannya sekarang?” Aidan memecah keheningan di antara mereka, suaranya penuh keraguan. Meski hatinya dipenuhi ketakutan, Namira mengangguk mantap.“Ya, Azka harus bertanggung jawab. Kita orang tuanya, untuk itu harus menanggung tanggung jawabnya,” jawab Namira dengan penuh tekad. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Hari ini mereka akan melamar Safira, putri Fadil dan Hana, untuk menjadi istri Azka. Namun, kenyataan bahwa pernikahan ini harus segera dilangsungkan karena Safira tengah mengandung anak Azka membuat situasi ini jauh lebih rumit.Namira dan Aidan melangkah bers
Dua Minggu kemudian.... setelah membujuk Azka dan memberikannya sedikit ancaman, akhirnya pria itu mau menikah dengan Safira.Di ruang tamu yang hangat namun terasa sesak, Azka duduk dengan wajah yang gelap. Hari itu seharusnya menjadi momen sakral, penuh sukacita, namun bagi Azka, ini adalah neraka kecil yang terpaksa dijalaninya. Di depan penghulu, ia duduk dengan dada berdegup kesal. Hatinya memberontak, tetapi ia tidak berdaya, terikat dalam rantai kewajiban keluarga. Di sampingnya ada Safira dengan kebaya sederhana dan juga riasan sederhana di wajahnya.“Huh! Menyebalkan!”Azka menarik napas berat. Jika bukan karena paksaan Aidan, ayahnya, dan Namira, sang ibu, ia pasti tak akan pernah mau duduk di sini. Bahkan, untuk sekadar membicarakan pernikahan ini. Baginya, pernikahan adalah hal suci yang tak bisa disandingkan dengan rasa keterpaksaan. Dia melakukannya terpaksa, jika bukan karena Namira yang merayu, tak mungkin Azka mau. Azka menatap wajah penghulu yang menyiapkan segala s
Beberapa bulan kemudian, saat hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, Safira mengalami kontraksi yang membawa mereka berdua ke rumah sakit dengan perasaan campur aduk. Azka setia berada di sisinya, menggenggam erat tangan Safira sambil berusaha menenangkan perasaannya sendiri. Meskipun ia tahu bahwa setiap detik berlalu membawa mereka semakin dekat pada momen yang luar biasa, hatinya berdebar hebat. Sepanjang proses persalinan, Azka terus mendampingi Safira, memberi dukungan yang selama ini bahkan tak pernah ia bayangkan bisa ia berikan. Ini adalah sesuatu yang baru baginya, namun ia tahu bahwa ia ingin ada di sisi wanita yang dicintainya, di setiap detik yang berarti.Saat akhirnya bayi mereka lahir, dan tangisan kecil memenuhi ruangan, waktu seakan berhenti bagi Azka. Perasaan haru yang tak pernah ia bayangkan tiba-tiba membanjiri hatinya. Ia menatap bayi kecil yang sedang berada dalam dekapan Safira, begitu rapuh dan mungil, tetapi terasa begitu kuat menarik dirinya. Air matanya p
Masa pemulihan Azka dan Safira selesai. Hari itu, keduanya meninggalkan rumah sakit dengan perasaan yang bercampur, antara lega dan sedikit gentar. Mereka tahu, kali ini mereka akan benar-benar memulai perjalanan sebagai suami istri dengan hati yang lebih terbuka. Di perjalanan menuju rumah, Azka menggenggam tangan Safira erat, seolah-olah ingin meyakinkan dirinya bahwa ia tidak akan melepaskan wanita itu lagi.Setibanya di rumah, mereka saling menatap, lalu Safira tersenyum dan berkata dengan hangat, “Selamat datang di kehidupan kita yang baru, Azka.” Ucapan sederhana itu membuat hati Azka terasa hangat. Dia mengangguk dan membalas senyumnya, kemudian mereka pun masuk ke rumah mereka yang terasa berbeda, lebih hangat, lebih penuh harapan.Hari-hari berlalu, dan mereka mulai menjalani pernikahan dengan sepenuh hati. Azka berusaha menunjukkan kasih sayangnya dalam berbagai hal kecil—seperti membuatkan teh hangat untuk Safira saat pagi, mempersiapkan makan malam bersama, atau sekadar me
Setelah kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa mereka, Azka dan Safira sama-sama dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi luka-luka. Selama beberapa hari mereka harus menjalani masa pemulihan. Setiap hari Azka selalu bangun lebih awal untuk melihat keadaan Safira, memastikan ia baik-baik saja. Rasa sakit dari tubuhnya sendiri terasa tak ada artinya dibandingkan kekhawatiran yang ia rasakan terhadap Safira.Kecelakaan itu telah menjadi titik balik bagi Azka. Dia merenung panjang, memikirkan semua sikapnya selama ini terhadap Safira, semua penolakan dan kebekuan yang ia biarkan tumbuh di antara mereka. Dalam keheningan kamarnya, Azka mulai menyadari betapa dalam dirinya sebenarnya ada perasaan lebih dari sekadar tanggung jawab atau ikatan pernikahan.Suatu pagi, setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil, Azka memutuskan untuk mengunjungi kamar Safira. Dia membuka pintu perlahan, dan mendapati Safira yang masih berbaring lemah di ranjang. Azka duduk di kursi sampingnya, matanya men
Sesampainya di rumah orang tua Safira, Azka dan Safira turun dari mobil. Azka, yang selama ini memiliki sikap keras dan cenderung angkuh, kini tampak penuh kehormatan saat menyalami Hana dan Fadil. Dia membungkukkan badan, menatap keduanya dengan senyuman sopan. Hana dan Fadil saling berpandangan, tak menyangka bahwa Azka yang dulu mereka kenal sebagai sosok pemberontak kini terlihat penuh hormat di depan mereka.“Selamat sore, Bu Hana, Pak Fadil,” sapa Azka dengan nada hangat, tak ragu untuk memanggil Fadil dengan sebutan “Ayah” layaknya Safira.Keduanya tampak terharu dan sedikit tercengang. Hana tersenyum sambil menyilakan mereka masuk ke dalam rumah. Safira segera memeluk ibunya dengan hangat, seakan melepas rindu yang lama terpendam. Sementara itu, Azka mengobrol santai dengan Fadil, bertanya tentang keseharian dan kondisi kesehatan ayah mertuanya itu. Keakraban Azka dengan Fadil membuat Hana dan Safira tersenyum melihatnya, seakan dinding yang dulu menghalangi hubungan mereka pe
Pagi hari .... Azka duduk di meja makan dengan segelas kopi di tangan, mengenakan setelan jas rapi dan dasi yang tampak sedikit miring. Wajahnya tampak tenang, namun sorot matanya menyiratkan ketegasan—hari ini adalah hari pertamanya secara resmi menggantikan ayahnya, Aidan, untuk sementara mengelola perusahaan keluarga. Perasaan gugup dan antusias bercampur menjadi satu di dadanya.Safira memperhatikan dari ujung meja, merasa ada yang berbeda dari sosok Azka pagi ini. Ada keseriusan yang tidak biasa dalam tatapannya. Ia berjalan mendekat, menatapnya lembut, lalu berkata, "Kamu ambil cuti kuliah selama satu minggu, Azka?"Azka mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Safira. Mulai hari ini, aku akan menggantikan Papa. Dia mempercayakan perusahaan kepadaku selama dia di New York, dan aku… aku tidak mau mengecewakannya."Safira menyunggingkan senyum kecil, merasakan kebanggaan sekaligus haru. Ia paham, keputusan ini bukan hal yang mudah bagi Azka. Ia ingin mendukungnya sepenuhnya, mesk
Pagi hari ....Sinar matahari perlahan menembus tirai kamar, menciptakan pancaran lembut yang menyelimuti tubuh Safira yang masih terbungkus selimut. Azka, yang sudah lebih dulu bangun, duduk di tepi ranjang dan menatap wajah Safira yang terlelap. Ada kedamaian yang menyelimuti hati Azka saat melihat wanita yang kini menjadi istrinya terlelap di sisinya, begitu tenang, seolah semua ketegangan di antara mereka seakan larut dalam kehangatan malam tadi.Perlahan, Azka mencondongkan tubuhnya dan mengecup pucuk kepala Safira dengan lembut, membiarkan bibirnya menyentuh rambut Safira beberapa kali, seperti sebuah ungkapan kasih yang masih terasa asing baginya. Sentuhannya membuat tidur Safira terusik, dan akhirnya matanya membuka perlahan. Ketika kesadarannya mulai terkumpul, Safira terlonjak, panik, merasa bahwa dirinya mungkin sudah kesiangan. “Jam berapa sekarang?” tanyanya cepat dengan mata yang masih setengah terbuka.Azka tersenyum kecil melihat kepanikan di wajah Safira. “Jam tujuh p
Tanpa sadar, Azka mendekat, dia langsung memeluk Safira tanpa aba-aba, membuat wanita itu terkejut.Mereka berdua terdiam dalam pelukan yang hangat namun penuh beban. Azka memejamkan mata, menghirup aroma lembut rambut Safira yang entah kenapa terasa begitu menenangkan. Rasanya sudah lama ia tak merasakan kehangatan seperti ini, sesuatu yang ia butuhkan namun tak pernah ia akui.Safira, yang awalnya terkejut, perlahan-lahan meresapi pelukan Azka. Ada kehangatan yang mengalir, seolah pelukan itu membawa ketulusan yang selama ini hilang dari hubungan mereka. Ia tak tahu mengapa, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan di antara mereka, meskipun samar dan tak pasti.“Beri aku kesempatan,” bisik Azka di telinga Safira, suaranya parau namun penuh harap. Safira tak menjawab dengan kata-kata, ia hanya mengangguk perlahan. Meskipun hatinya masih terluka, ia sadar bahwa dalam dekapan Azka, ada sesuatu yang tulus, yang ia tak ingin sia-siakan begitu saja.Safira menarik napas dalam, m
Saat perjalanan pulang menuju apartemen, Azka masih merasakan hangatnya percakapan dengan sang ayah, Aidan. Di sepanjang perjalanan, ia tersenyum sendiri, merasakan perasaan yang berbeda—seperti ada semangat baru yang membara di dalam dadanya. Kepercayaan yang diberikan oleh Papanya tadi begitu berarti baginya. Ia berjanji pada diri sendiri untuk memikul tanggung jawab itu dengan baik, menunjukkan pada keluarganya bahwa ia bisa diandalkan.Langkahnya cepat saat ia memasuki gedung apartemen, mengabaikan orang-orang yang ia lewati di koridor. Namun, saat hampir tiba di depan pintu, langkahnya terhenti ketika mendengar suara Safira. Samar-samar, ia menangkap suaranya yang lembut dan terdengar sedikit manja, berbicara dengan seseorang di telepon.“Ah, kamu bisa saja.”“Aku tak secantik itu. Hahaha, ah Anton. sudahlah jangan menggombal terus.”Azka mendekatkan telinganya pada pintu, tanpa sadar menahan napas. Meskipun ia tak bisa mendengar setiap kata dengan jelas, nada suara Safira sudah
Azka duduk diam di ujung sofa, menatap kosong ke arah jendela besar yang memamerkan pemandangan malam kota yang berkilauan. Apartemen itu begitu sunyi, hanya suara detik jarum jam yang terdengar perlahan, seolah menghitung detik-detik keheningan di antara mereka. Safira duduk di seberang ruangan, sibuk dengan bukunya, atau setidaknya berusaha tampak sibuk. Sesekali ia membalik halaman, namun Azka tahu bahwa pikiran wanita itu melayang ke tempat yang jauh. Azka tidak mengerti mengapa ia merasa begitu kikuk di dekat Safira. Ia merasa tersesat dalam keheningan, dalam jarak yang seolah mustahil dijembatani. Safira selalu terlihat begitu tenang, tenang hingga membuatnya merasa seperti dirinya adalah satu-satunya yang terpenjara dalam rasa kebingungan.Dia pikir, mungkin, ini hanya masalah waktu. Mereka baru mengenal satu sama lain, dan Safira memiliki hak untuk butuh waktu. Namun, ada sesuatu dalam sikap Safira yang terasa lebih dari sekadar keengganan membuka diri. Ada kebekuan yang begi