Hari bahkan minggu telah berlalu, selama itu pula kehidupan Lyra mengalami banyak perubahan. Kehadiran Aldrich sebagai kekasih terkesan banyak mengatur, dan Lyra yang memang bucin sering kali tidak bisa menolak. Tapi sejauh ini, hubungan mereka lancar-lancar saja. Keduanya tampak menikmati waktu bersama dengan sangat baik.Meskipun begitu, sampai saat ini setelah 4 bulan menjalin hubungan, Lyra masih belum diperkenalkan pada keluarga ataupun kerabat dekat Aldrich. Tidak masalah, Lyra mengerti. Toh, hubungan mereka juga belum seberapa lama.Hari ini, pekerjaan Lyra di kantor tidak terlalu banyak, berbeda dengan Aldrich yang sibuk rapat kesana-kemari. Hal itu menyebabkan keduanya belum sempat berbicara dari pagi. Lyra merindukannya. Tidak melihat wajah Aldrich sehari saja rasanya sungguh menyiksa."I miss you." Lyra membaca ulang pesannya sebelum benar-benar dikirim pada Aldrich.Kepada: Aldrich💜|I miss you...|/Read/"Ha? Kok cuma dibaca?!" Lyra mendengus kesal, "Ngeselin banget, ck.
Aldrich berdiri di hadapan sang Ayah, Tuan besar Herdiano Wicaksana. Hubungan anak dan Ayah itu memang kurang baik, Aldrich yang ikut tinggal bersama sang Ibu setelah perceraian membuat mereka jadi jarang berhubungan. Meskipun begitu, Herdiano kerap kali pergi ke London untuk perjalanan bisnis dan mampir menemui Aldrich selagi ada di sana. Ya, jika dilihat dari jadwal kunjungannya yang sangat jarang dan selalu bertepatan dengan adanya pekerjaan, Aldrich yakin bahwa Ayahnya tidak sengaja pergi untuk bertemu dengannya.Kerajaan bisnis milik Wicaksana sangatlah besar dan butuh dedikasi tinggi agar bisa demikian. Herdiano seperti hidup hanya untuk bekerja, dia tidak peduli istrinya merasa kesepian atau tidak. Itulah yang membuat Adisti, sang istri memilih bercerai lalu menikahi pria asing dari negeri seberang. Aldrich tidak bisa menyalahkan Ibunya, dia berhak mendapatkan kebahagiaan, sama seperti Lyra."Dad, aku gak mau. Stella gadis yang baik, tapi aku gak bisa menghabiskan sisa umurku d
Aldrich berdiri diambang pintu apartemen, berhadapan dengan Lyra yang terlihat berantakan, air matanya tak mau berhenti mengalir walau sudah ia tahan sebisa mungkin. Lyra bahkan tak mampu memalingkan wajahnya dari Aldrich, dia kesal tapi juga rindu dalam waktu yang bersamaan."Kamu... Kamu bakalan berdiri terus disitu?" Lyra bertanya dengan suara bergetar."Will you be my girlfriend?" Aldrich mengungkapkan niat utamanya."Hah?"Lyra tampak kebingungan. Aldrich tersenyum samar seraya melangkah masuk apartemen, membuat Lyra refleks mundur."Maksudnya ap--apa?""Kamu udah mutusin aku dan ebelumnya kamu yang confess lebih dulu, you always bring that up tiap kali berantem. So now, giliranku. Will you be my girlfriend?" Aldrich menarik pinggang ramping Lyra hingga tubuh mereka saling bersentuhan.Hati Lyra berdebar jauh lebih cepat, mulutnya pun tak mampu untuk mengeluarkan kata-kata. Jadilah ia hanya memberi anggukan kecil sebagai jawaban.Tapi Aldrich tidak menerima jawaban seperti itu."
"Happy new year!!!"Semua orang berseru sambil mengangkat sampanye masing-masing hingga dentingan dari gelas yang beradu terdengar memenuhi ruangan, bersamaan dengan itu terdengar samar-samar ledakan kembang api yang sengaja dinyalakan untuk memeriahkan malam pergantian tahun.Club sparkle, sebuah klub malam yang terkenal tampak dipenuhi pengunjung dengan jumlah dua kali lebih banyak dari hari biasanya. Orang-orang mulai meliukkan badan mengikuti alunan musik yang Disc Jokey putarkan, semuanya terlihat sangat menikmati malam tahun baru mereka. Ada yang langsung menggiring pasangan masing-masing menuju tempat yang jauh lebih sepi dan nyaman, ada pula yang sibuk melepaskan diri dari cengkeraman seseorang dalam keadaannya yang setengah sadar.Salah satunya adalah seorang gadis dengan gaun satin berwarna abu-abu, ia tampak mendorong tubuh pria yang berusaha untuk memeluk dirinya."Lepaskan aku, bajingan!" Gadis itu mengumpat sambil berusaha mempertahankan kesadarannya agar bisa selamat da
Aldrich menatap seorang wanita cantik yang tertidur di atas ranjang kamar hotelnya dengan begitu nyenyak sampai tidak tega untuk ia bangunkan. Al menarik nafas panjang lalu menekan remot kecil dalam genggamannya, gorden pun terbuka secara otomatis.Cahaya matahari menerobos masuk dan menyinari hampir seluruh ruangan, sorotannya mulai mengusik mimpi indah si gadis, tapi kehangatan yang dipancarkan membuat matanya enggan untuk terbuka dan lebih memilih mengubah posisi jadi membelakangi sinaran mentari.Aldrich hanya meliriknya sekilas dan kembali menatap pemandangan diluar dari ketinggian lantai 10, pemandangan yang sangat berbeda dari sebelumnya.Tentu saja, sejak usia 15 tahun ia tinggal di London, Inggris dan baru kembali ke Indonesia setelah berulang tahun yang ke 29. Perpisahan kedua orang tua membuat Al harus pindah dan ikut sang Ibu, lalu kembali karena Ayahnya ingin dia mulai belajar mengurus perusahaan pusat dengan alasan usia beliau yang dirasa sudah tidak akan lama lagi. Al t
Lyra tampak mengatur nafas yang terengah, keringat di pelipisnya pun masih setia menghiasi wajah pucatnya itu. Berlari sambil diburu waktu dan rasa panik sangatlah menguras energi, itu semua karena alarmnya gagal membangunkan. Tidak, itu salah Lyra sendiri yang terlalu nyaman dalam pelukan selimut sampai tidak bisa mendengar suara alarm.Alhasil, Lyra tiba 10 menit setelah jam masuk kerja. Dan lebih sialnya lagi, hari ini adalah hari dimana pimpinan perusahaan yang baru datang. Makanya para karyawan di divisinya berdiri tegak menunggu atasan baru mereka memasuki ruangan divisi perencanaan dan evaluasi, Lyra berharap keterlambatannya tidak diketahui karena saat dirinya datang CEO baru itu sedang di divisi personalia yang berada di lantai yang sama."Selamat pagi!"Deg."Selamat pagi, Pak. Selamat datang di perusahaan!" Balas para karyawan bersamaan.Lyra masih tidak berani mengangkat wajahnya meskipun sudah sangat penasaran dengan wajah CEO baru di tempatnya bekerja, karena dari suarany
Matahari yang tersembunyi dibalik awan mendung menampilkan cahaya remang, sangat indah seperti kilauan berlian. Waktu setelah hujan selalu membawa suasana yang berbeda, terasa aneh tapi Lyra menyukai perasaan seperti itu. Sambil terkantuk-kantuk, Lyra berusaha untuk menyelesaikan pekerjaannya sebelum pukul 5 sore. Tapi apa boleh buat, sepertinya target itu tidak akan terpenuhi. Suasana setelah hujan di sore hari memang lebih cocok untuk tidur atau bersantai sambil memakan mie instan dan tontonan yang seru. Apa boleh buat, budak korporat seperti Lyra malah berkutat di depan komputer dengan beberapa berkas penting yang harus ia berikan pada CEO barunya, paling lambat besok."Ra, gue balik duluan ya, bye!" Kehali menepuk bahu Lyra pelan sebelum berpamitan.Lyra hanya bisa mengangguk pasrah. Kehlani sudah mengirimkan laporan yang diminta kepada dirinya, kini Lyra harus melakukan pengecekan ulang sebelum menyatukan semua data dari para karyawan divisi perencanaan yang sudah ketua tim merek
Tidak biasanya Lyra lebih banyak diam saat duduk diboncengan, Adnan melirik temannya itu dari spion motornya dan mendapati Lyra sedang melamun. Gadis itu kadang mengerutkan keningnya lalu menghela nafas berat. Sepertinya bukan sedang memikirkan hal kecil, temannya itu sudah melewati banyak kesulitan, masalah kecil tidak pernah benar-benar menjadi masalah bagi dia. Seharusnya sih seperti itu.Adnan mengarahkan spionnya pada Lyra agar bisa melihat temannya itu dengan lebih jelas.Lyra menyadari itu langsung memukul bahu Adnan. "Apaan sih, jangan liatin gue!""Ada apa? Kenapa ngelamun?" Tanya Adnan ingin tahu. "Kita ini temen deket, gue udah denger banyak cerita dari lo, sekarang harusnya bisa juga." Tambahnya.Benar. Lyra pun tahu itu, tapi kali ini berbeda. Hal yang memenuhi pikirannya kali ini adalah tugas rahasia yang diminta oleh Aldrich, Boss baru mereka di kantor. Rasanya terlalu berat, tapi Lyra takut dipecat. Dan kalau memang pak Manajer Darmawan melakukan penggelapan dana maka
Aldrich berdiri diambang pintu apartemen, berhadapan dengan Lyra yang terlihat berantakan, air matanya tak mau berhenti mengalir walau sudah ia tahan sebisa mungkin. Lyra bahkan tak mampu memalingkan wajahnya dari Aldrich, dia kesal tapi juga rindu dalam waktu yang bersamaan."Kamu... Kamu bakalan berdiri terus disitu?" Lyra bertanya dengan suara bergetar."Will you be my girlfriend?" Aldrich mengungkapkan niat utamanya."Hah?"Lyra tampak kebingungan. Aldrich tersenyum samar seraya melangkah masuk apartemen, membuat Lyra refleks mundur."Maksudnya ap--apa?""Kamu udah mutusin aku dan ebelumnya kamu yang confess lebih dulu, you always bring that up tiap kali berantem. So now, giliranku. Will you be my girlfriend?" Aldrich menarik pinggang ramping Lyra hingga tubuh mereka saling bersentuhan.Hati Lyra berdebar jauh lebih cepat, mulutnya pun tak mampu untuk mengeluarkan kata-kata. Jadilah ia hanya memberi anggukan kecil sebagai jawaban.Tapi Aldrich tidak menerima jawaban seperti itu."
Aldrich berdiri di hadapan sang Ayah, Tuan besar Herdiano Wicaksana. Hubungan anak dan Ayah itu memang kurang baik, Aldrich yang ikut tinggal bersama sang Ibu setelah perceraian membuat mereka jadi jarang berhubungan. Meskipun begitu, Herdiano kerap kali pergi ke London untuk perjalanan bisnis dan mampir menemui Aldrich selagi ada di sana. Ya, jika dilihat dari jadwal kunjungannya yang sangat jarang dan selalu bertepatan dengan adanya pekerjaan, Aldrich yakin bahwa Ayahnya tidak sengaja pergi untuk bertemu dengannya.Kerajaan bisnis milik Wicaksana sangatlah besar dan butuh dedikasi tinggi agar bisa demikian. Herdiano seperti hidup hanya untuk bekerja, dia tidak peduli istrinya merasa kesepian atau tidak. Itulah yang membuat Adisti, sang istri memilih bercerai lalu menikahi pria asing dari negeri seberang. Aldrich tidak bisa menyalahkan Ibunya, dia berhak mendapatkan kebahagiaan, sama seperti Lyra."Dad, aku gak mau. Stella gadis yang baik, tapi aku gak bisa menghabiskan sisa umurku d
Hari bahkan minggu telah berlalu, selama itu pula kehidupan Lyra mengalami banyak perubahan. Kehadiran Aldrich sebagai kekasih terkesan banyak mengatur, dan Lyra yang memang bucin sering kali tidak bisa menolak. Tapi sejauh ini, hubungan mereka lancar-lancar saja. Keduanya tampak menikmati waktu bersama dengan sangat baik.Meskipun begitu, sampai saat ini setelah 4 bulan menjalin hubungan, Lyra masih belum diperkenalkan pada keluarga ataupun kerabat dekat Aldrich. Tidak masalah, Lyra mengerti. Toh, hubungan mereka juga belum seberapa lama.Hari ini, pekerjaan Lyra di kantor tidak terlalu banyak, berbeda dengan Aldrich yang sibuk rapat kesana-kemari. Hal itu menyebabkan keduanya belum sempat berbicara dari pagi. Lyra merindukannya. Tidak melihat wajah Aldrich sehari saja rasanya sungguh menyiksa."I miss you." Lyra membaca ulang pesannya sebelum benar-benar dikirim pada Aldrich.Kepada: Aldrich💜|I miss you...|/Read/"Ha? Kok cuma dibaca?!" Lyra mendengus kesal, "Ngeselin banget, ck.
Lyra mulai membuka mata dengan perlahan. Cahaya matahari yang menerobos jendela begitu terang-terangan mengekspos dirinya dengan kondisi masih acak-acakan, rambut panjangnya terlihat seperti singa sehabis melakukan perburuan.Tunggu, Lyra tidak merasakan kehadiran Aldrich di sampingnya. Ia pun membuka mata secara penuh dan menengok ke arah jam yang ternyata sudah menunjukan pukul 7 pagi.Darn."Dia kemana?" Gumamnya setengah sadar.Lyra duduk bersila sembari mengumpulkan kesadaran sebelum beranjak dan mulai beraktifitas. Toh hari ini dia tidak akan pergi bekerja, begitupun dengan Aldrich yang sudah berjanji akan membantu dirinya berbenah di apartemen baru.Ya, tebakan kalian benar, Aldrich yang menyewakan apartemen itu. Dengan sedikit paksaan dan berbagai macam alasan yang sangat masuk di akal, yaitu tentang keamanan, Aldrich takut jika pihak Darmawan tidak terima jika keponakan jauhnya sendirilah yang telah melaporkan pria jahat itu. Dan, akhirnya Lyra mau menerima sarannya untuk pin
Rasanya aneh, seperti baru kemarin Lyra diselamatkan Aldrich dari serangan sang mantan kekasih. Tapi sekarang, pria penyelamat itu sedang berbaring berbantalkan pangkuan Lyra yang juga asik mengelus rambut lembutnya.Entah sudah berapa lama Aldrich menceritakan hal yang menurutnya harus Lyra ketahui, dan gadis itu tampak sabar mendengarkan tanpa memotong apalagi menghakimi."Jujur saja, aku takut untuk mencintai seseorang lagi sejak sepeninggalnya Marissa. Dia seorang kasir minimarket dan semua orang menganggap kami tidak cocok bersama dengan alasan status sosial yang berbeda." Ucap Aldrich. "Rissa mendapatkan banyak tekanan, hingga akhirnya dia menyerah, menyerahkan kehidupannya." Lanjut Al.Lyra menunduk pelan, lalu dikecupnya kening Aldrich yang mulai menunjukan kesedihan. Bagaimanapun Aldrich merasa bersalah atas apa yang menimpa sang mantan kekasih, gadis malang itu tidak akan tersiksa dan menderita jika saja Aldrich tak pernah menyukainya."Aku takut, aku takut gagal menjagamu..
Sejak kejadian di mall hari itu, Lyra menjadi semakin yakin jika sebenarnya Aldrich pun memiliki perasaan yang sama terhadap dirinya, hanya tinggal menunggu pria itu sadar saja. Karena, kalau tidak ada perasaan apa-apa mana mungkin Aldrich rela pasang badan dan memperkenalkan diri sebagai kekasihnya, pikir Lyra. Diluar itu semua Lyra benar-benar bersyukur karena untuk kesekian kalinya Aldrich hadir sebagai penyelamat.Sudah satu minggu berlalu semenjak kejadian penyerangan Darmawan terhadap Lyra, maka sudah selama itu pula dia tinggal bersama Aldrich. Tidak terlalu banyak kemajuan diantara keduanya karena Aldrich terlalu sibuk bekerja hingga Lyra pun tidak tahu kapan pria itu pulang. Hanya sarapan yang selalu mereka lakukan bersama."Al..." Panggil Lyra yang saat ini baru melangkah keluar dari ruang pengadilan untuk putusan hukum untuk Darmawan.Aldrich pun menghentikan langkahnya dan berbalik, "Hm?"Lyra memasang senyum terbaiknya, "Terima kasih karena udah menambahkan laporan tenta
Rasanya seperti mimpi bagi Lyra saat terbangun dalam dekapan hangat seorang pria, bahkan bukan pria biasa, melainkan CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Nikmat mana lagi yang gadis itu dustakan. Ia bahkan masih tidak percaya kalau Aldrich benar-benar menemani tidur dan memeluknya sepanjang malam, Lyra kira pria itu akan pergi setelah dirinya terlelap, ternyata dugaannya salah.Lyra kembali memejamkan mata, enggan untuk menyudahi kenyamanan yang sedang dirasakan."Lihatlah, gimana bisa aku tidak menyukai pria ini," gumam hatinya.Lalu, tiba-tiba saja sebuah usapan lembut mendarat di kepalanya. Lyra yang pura-pura masih tidur hanya bisa menahan lonjakan detak jantungnya dan berusaha tenang di tengah gempuran yang menggoyahkan iman."Ra... Wake up," bisik Aldrich tepat di telinga Lyra.Sontak saja Lyra membuka mata dan menengadahkan wajahnya untuk melihat wajah tampan Aldrich yang tidak manusiawi. Keduanya terdiam dan hanyut dalam tatapan satu sama lain."Gimana tidurnya?" Tanya Aldrich
Gemuruh hujan angin dengan kilatan petir seakan menambah kecemasan Lyra di dalam tidurnya. Mata gadis itu terpejam erat, nafasnya memburu sambil bergerak gelisah. Entah mimpi buruk apa yang sedang dialami sampai-sampai membuat tidurnya tidak tenang sampai keringat bercucuran."Ah... Ti-- tidak! Lepaskan aku... Jangan, aku mohon..." Gumamnya dengan masih terpejam.Tok...Tok...Tok..."Lyra? Ada apa?"Di luar kamarnya terlihat Aldrich sedang berusaha memastikan keadaan tamunya yang terdengar berteriak beberapa saat lalu.Ya, Aldrich yang sedang membaca berkas pekerjaan tiba-tiba saja merasa haus dan saat pergi menuju dapur, ia pun mendengar Lyra memekik tertahan dari dalam kamarnya. Tentu saja itu membuat Aldrich khawatir dan mengurungkan niatnya pergi minum ke dapur, ia memilih untuk memastikan keadaan Lyra di dalam kamar sana."Lyra? Answer me!" Ujarnya.Shit. Karena tak kunjung mendapatkan jawaban, Aldrich pun memutuskan untuk mengabaikan etika dan memilih masuk tanpa izin orangnya.
Lyra meyakini bahwa perasaan yang dimilikinya untuk Aldrich bukan hanya rasa kagum semata seperti perkataan Adnan kala itu. Lyra merasakan sesuatu yang lebih dalam dari kekaguman, tapi ia juga tidak berani untuk menamai rasa itu cinta. Lyra tidak ingin salah menyimpulkan rasa dan membuat semua halnya menjadi kacau. Untuk saat ini, ia cukup puas hanya dengan bisa menatap pria bertubuh tegap yang saat ini sedang sibuk membaca buku, dia, Aldrich.Malam ini adalah malam pertama ia tinggal satu atap bersama Aldrich, Lyra juga tidak lupa bahwa tujuan CEO perusahaannya mengajak tinggal bersama semata-mata hanya untuk memberikan perlindungan, tidak lebih. Aldrich pun sudah menegaskan itu.Tok... Tok...Aldrich yang sedang membaca di sofa sudut kamarnya langsung mengalihkan pandangan. Dilihatnya ke arah pintu dan mendapati Lyra sedang berdiri sambil tersenyum gugup."Ada apa?" Tanya Aldrich.Lyra sendiri pun sebenarnya tidak tahu kenapa dia sampai mendatangi kamar CEO Aldrich dan mengganggu wak