Bab 28
[“Iya, sepertinya aku akan pulang lebih lama dari perkiraan. Ada banyak hal yang harus aku selesaikan di sini.”]
“Nggak apa-apa, hati-hati ya. Oh ya, soal seragam keluarga kamu, aku udah minta saran sama Tante Suci.”
[“Kamu urus aja semuanya, Van. Aku yakin pilihan kamu bagus dan pas buat keluarga aku. Nggak perlu tanya sama Mama.”]
Vanilla terdiam. Ini bukan mengenai pintar memilih atau tidak. Namun, Vanilla ingin ibu Gavin juga ikut serta menyumbangkan pendapat mengenai seragam yang akan dikenakan pada hari spesial itu. Sikap ibu Gavin bukan seperti mempercayakan semua hal kepada Vanilla, tetapi lebih ke tidak peduli.
“Aku akan bawa beberapa contoh ke rumah kamu.”
[“Vanilla, kamu langsung pilih aja.”]
“Nggak bisa gitu dong, Vin. Bukan aku yang mau pakai, setidaknya aku minta saran sama Mama kamu.”
[“Mama udah percaya sama kam
Kaki Vanilla menghentak di tempat seraya meremas handle paper bag di tangan. Padahal ia hanya menemui Mama Gavin, tetapi rasa gugup langsung menyerang. Well, sejak dulu memang hubungan Vanilla dan Suci tidak begitu baik.Sesekali Vanilla melirik waktu pada arloji dengan strap tali makrame di pergelangan tangan. Sudah hampir 45 menit Suci membiarkan Vanilla menunggu di ruang tamu. Suara gelak tawa terdengar dari dalam rumah. Sepertinya Suci sedang aku bercengkrama dengan seseorang. Entah siapa, Vanilla tidak bisa menerka.“Eh, Vanilla. Udah lama nunggu?” Suci berjalan mendekat sambil melepaskan apron yang dipenuhi serpihan tepung di beberapa bagian. Lalu duduk di sofa berhadapan dengan Vanilla.“Baru aja, Tante,” jawab Vanilla berdusta. Bokongnya sudah cukup panas untuk menunggu Suci. Pun segelas minuman tidak dihidangkan untuk membasahi kerongkongan Vanilla yang mengering.“Ada apa?” Suci bertanya tanpa basa-ba
Kaki Aryan mengayun terburu-buru sambil menjepit ponsel antara pipi dan pundak. Sementara tangan yang lain sedang melepaskan kancing lengan dan melipatnya hingga ke bagian siku. Ia baru saja selesai test food chef baru di The Heights hotel. Sebelum hotel itu menjadi milik Aditama grup, kerap sekali mendapatkan nilai rendah terkait kualitas makanannya. Sehingga Aryan harus ikut memastikan demi reputasi hotel dari Aditama grup.“Makan siang? Sekarang?” tanya Aryan pada Narendra yang berada di seberang telepon. “Ah, aku tidak bisa, sudah ada acara.”[“Kita sudah membicarakannya di grup kemarin. Kamu nggak baca?”]“Nggak. Aku tidak bisa sekarang, sampaikan pada yang lainnya. Oke.” Panggilan mereka terputus, Aryan yang melakukan.Segera ia melajukan mercedes jeep-nya untuk menjemput Zayn. Sesekali Aryan melirik waktu pada arloji yang melilit pergelangan tangan, sebab tidak ingin terlambat menjemput sang putra.
BAB 31Arah pandang Aryan ikut menggeser ke arah Zayn, lantas mengusap puncak kepalanya pelan. Dipandang keseluruhan rupa Zayn dan Vanilla secara bergantian. Ia masih tidak menyangka sudah memiliki buah hati sebesar Zayn. Sungguh Tuhan memang berkuasa penuh akan takdir seseorang.“Jagoan Daddy, cepet sembuh ya? Jangan buat Mommy sedih lama-lama,” ujar Aryan dengan suaranya yang parau.Niat awal ia juga ingin mengusap puncak kepala Vanilla, tetapi urung. Gerakan tangan Aryan tertahan di atas kepala Vanilla lalu kembali ditarik untuk menjauh.Melangkah pelan untuk keluar dari ruang perawatan sang putra lalu Aryan mengembuskan napas lega. Sesak yang mengikat rongga dada, seolah melonggar. Ia merasa lega sudah mengutarakan sebagian isi hatinya pada Vanilla. Well, meskipun Vanilla tidak mungkin mendengarkan hal itu.“Hah!” Aryan tersenyum miring. “Ternyata kamu benar seorang pengecut, Aryan.”
BAB 32Aryan merendahkan kecepatan mobilnya saat sudah hampir sampai di toko makrame Vanilla. Tampak ada beberapa motor serta dua mobil terparkir manis di sana. Semakin hari memang pelanggan kerajinan tali milik Vanilla itu bertambah. Hingga tawaran dari Aryan masih tidak digubris oleh Vanilla.Melirik dari ekor mata pada pribadi Vanilla yang masih sibuk membalas pesan di ponsel. Zayn ada di pangkuannya sambil menyandarkan kepala. Meskipun sudah diperbolehkan untuk pulang, Zayn masih terlihat sedikit lemah. Belum bisa terlalu aktif seperti biasa.Senyum tipis yang terukir di bibir Vanilla, membuat Aryan penasaran dengan siapa wanita itu berbalas pesan. Mungkin saja dengan Gavin, Aryan mencoba menebak. Well, tidak ada yang salah mengingat mereka akan segera menikah.“Are you Okay, Sayang?” tanya Vanilla kepada Zayn sambil mengelus kepalanya.Zayn mengangguk sambil tersenyum dan menengadah pada sang ibu.
Waktu Vanilla tertahan kala Aryan mengucapkan kalimat itu. Iris kecokelatan Vanilla masih menatap sepasang mata Aryan yang selalu berhasil melemahkannya. Sepersekian detik mereka saling beradu pandang, seolah sedang menyelami isi hati yang paling jujur melalui mata.Jemari Aryan terus mengusap jejak air mata yang terus mengalir dari mata indah Vanilla. Ia memang pria brengsek yang tidak pernah memikirkan efek dari perbuatannya. Sejak kecil selalu bertindak suka-suka dengan mengandalkan kekuatan dari Aditama. Aryan selalu bisa lolos dari apapun jika bersembunyi di balik nama besar Aditama. Bahkan ia tidak pernah takut untuk merusak kejayaan sang ayah. Well, pria yang selalu menorehkan luka di hati sang ibu itu pantas menderita.Bagi Aryan, bermain wanita adalah hal yang wajar. Hingga ia tidak menyadari jika cinta yang tulus itu memang ada. Seperti kasih yang selalu diberikan oleh sang ibu. Pun Vanilla pernah memberikan cintanya pada Aryan, dulu.Kejadian yang baru saja terlewat seolah
Bab 34Saraf Gavin berhenti sesaat setelah mendengarkan kalimat itu terlontar dari bibir Vanilla. Ia tidak bisa mengedipkan kedua matanya, hanya bisa terperangah dan berharap ini adalah mimpi.“Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini,” lanjut Vanilla yang berhasil menyadarkan Gavin jika ini nyata dan bukan mimpi.“Van … Vanilla, aku minta maaf.” Gavin berusaha meraih tangan Vanilla ke dalam genggaman, tetapi Vanilla menghindar. “Aku bisa jelasin.”Bola mata Vanilla memutar pada Gavin. “Penjelasan? Aku berusaha mencari penjelasan dari segi apapun masih nggak ketemu, Vin. Kok bisa kamu melakukan itu untuk mendapatkan restu Mama kamu.”“Aku nggak punya cara lain, Van. Aku sayang sama kamu, sama Zayn. Aku ingin jadi bagian dari kehidupan kalian. Maaf, aku terpaksa melakukan kebohongan kecil itu.”Lutut Vanilla lemas lalu terjatuh di kursi teras rumah. Ia menyug
BAB 35Lampu kamar Zayn masih menyala terang, menemani suara Tante Lusi yang terdengar membacakan dongeng sebelum tidur kepada Zayn. Jika belum mengantuk, Zayn membutuhkan bantuan Vanila agar terlelap dengan bantuan membacakan buku cerita. Karena Vanilla belum pulang, sekarang tugas itu digantikan oleh Tante Lusi sementara.“Kambing itu tidak membukakan pintu saat mendengar lagu yang diputar di depan rumahnya,” cerita Tante Lusi. Zayn terdiam dan memasang rungu dengan seksama. “Setelah melihat dari jendela, ternyata ada serigala yang siap menyantap kambing itu jika saja pintunya dibukakan.”“Harusnya kambing minta tolong,” ucap Zayn menginterupsi.“Tolong! Tolong!” Tante Lusi memainkan peran seolah menjadi anak kambing yang membutuhkan pertolongan. “Kambing itu lalu meminta pertolongan hewan-hewan di sekitarnya.”“Hah, syukurlah. Akhirnya kambingnya
Bab 36Reaksi yang didapati oleh Vanilla sangat berbeda dengan celetukan Zayn semalam. Sekarang bocah itu mengerutkan bibirnya diikuti kedua mata yang berkaca-kaca.Melihat Zayn seperti itu membuat Vanilla lemah. Ia bahkan tidak bisa menggerakkan tubuh untuk sekedar memeluk Zayn, apalagi menjelaskan kepada bocah itu. Zayn terlalu kecil untuk bisa mencerna semua masalah yang terjadi antara kedua orang tuanya.Rasa marah, sedih, kecewa pada diri sendiri bercokol hebat di dalam dada. Vanilla merutuki diri sendiri berulang kali. Karena dosa yang ia lakukan, sang putra harus ikut menanggungnya. Zayn yang tidak tahu apa-apa harus menjadi cemoohan orang lain. Mendapatkan predikat anak haram yang tidak dimengerti oleh bocah itu.Tangis Zayn pecah. Aryan yang terlihat lebih bisa menguasai emosi, langsung menghampiri Zayn, berniat untuk memeluknya. Namun, Zayn memundurkan langkah dan memilih untuk bersembunyi di balik tubuh Mbok Dar. Mata Zay
Aryan kamu bilang kita mau ke tempat bermain, kenapa tiba-tiba ke Singapura sih?” Vanilla masih saja mengomel saat pesawat pribadi Aryan terbang di atas awan.“Di Singapura juga ada taman bermain, Universal Studio. Lagipula Zayn happy loh, ya kan Sayang?” Aryan meminta persetujuan dari sang putra dan mendapatkannya dengan anggukan kepala.Aryan terkekeh lalu mencium Zayn dengan gemas. “Ah, anak Daddy. Zayn bisa pergi kemana aja yang Zayn mau.”“Bener Daddy?” Kedua mata Zayn membola. Ia tampak takjub saat sang ayah akan mengabulkan semua keinginannya.“Tentu saja,” jawab Aryan seraya memeluk erat sang putra.“Tapi, butuh banyak uang Daddy,” cicit Zayn.Aryan kembali terkekeh. “Daddy punya banyak sekali uang. Zayn boleh habiskan semuanya.”Melihat kedua laki-laki beda usia itu, Vanilla hanya bisa menggeleng. Zayn sangat menempel kepada Aryan, seperti
Ah, pelan-pelan, Dok.” Aryan merintih kala Dokter Surya mengusap luka pada sudut bibirnya. Ia melirik pada pribadi Dokter Surya yang justru sengaja mengusap luka Aryan dengan penuh tekanan.“Ini kenapa lagi?” tanya Dokter Surya yang sudah hafal dengan kelakukan Aryan. Ia selalu membantah ucapan Aditama dan berakhir dengaan pertikaian. Iris hitamnya melirik pada Vanilla yang sedang menyiapkan kompres air dingin untuk luka lebam Aryan. “Apa karena wanita itu?”“Bukan,” jawab Aryan singkat.“Kamu dan Daddy kamu itu sama saja,” ujar Dokter Surya mengoleskan obat untuk mengurangi lebam Aryan dengan hati-hati.“Ah. Shhhh.” Dahi Aryan berkerut karena rasa perih yang ditimbulkan. “Kami sangat berbeda. Jangan pernah samakan aku dengan dia, kami sangatlah berbeda.”“Sama saja, suka menyimpan kesedihan seorang diri,” tambah Dokter Surya.Alih-alih menanggapi denga
Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama Sudah satu hari Aryan tidak memberikan kabar. Pria bertato itu bahkan tidak memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. Berulang kali Vanilla menghubungi Aryan sebab tidak bisa menahan diri. Namun, hanya suara operator yang didengarnya.Tangan Vanilla memasukkan aneka sayuran ke dalam panci dengan pikiran melayang. Mengambil pisau untuk mengiris sosis sebagai campuran. Netra Vanilla melihat ke arah benda tajam itu, tetapi fokusnya terpecah. Ia terus memotong hingga tanpa sadar ujung jari menjadi sasaran.“Aw!” seru Vanilla saat permukaan kulitnya tergores. Sontak ia menghisap darah yang keluar untuk membekukannya. Ia tidak bisa membohongi diri sendiri jika keadaan Aryan kini tenang meracau benak. “Kamu dimana Aryan?”Entah mengapa hati Vanilla merasa tidak enak setiap memikirkan pria itu. Ia tidak benar-benar yakin jika Aryan akan pergi begitu saja. Vanilla merasa jika pr
BAB 48Netra Aryan terus memperhatikan sang putra yang sedang menyantap ayam goreng dengan lahap. Sesekali senyum tipis terulas di bibir Zayn yang belepotan saus tomat. Mengonsumsi makanan cepat saji adalah hal yang paling membahagiakan bagi Zayn. Sebab Vanilla hanya memberikan jatah satu kali dalam satu bulan.“Belepotan ya, Daddy?” Zayn meringis saat Aryan membersihkan bibirnya dengan tisu.Aryan menanggapi celetukan Zayn dengan kekehan. “It’s Okay. Enak?”“Enak banget, Daddy. Boleh nggak sih kalau aku makan kayak gini setiap hari?” cicit Zayn sambil terus mengunyah kulit ayam dengan bumbu yang merasuk hingga ke dalam dagingnya.“Nggak boleh, nanti Mommy marah,” jawab Aryan. “Bukannya Mommy sering buatin ayam goreng kayak gini buat Zayn?”“Iya.” Zayn menganggukkan kepala dengan antusias sebagai jawaban.“Enak mana sama ini?&
BAB 47Mobil Aryan sudah tiba di alamat tersebut. Ia sengaja memarkirkannya cukup jauh dari lokasi. Melihat rumah itu, Aryan tampak tidak asing dengan Villa dua lantai yang mengambil konsep tropis dengan atap mirip dan open space. Aryan seperti pernah berkunjung ke villa itu. Tetapi kapan?“Aryan, dia meneleponku!” Tangan Vanilla bergetar saat nomor tersebut menghubunginya.“Terima saja dan bilang kamu akan pergi seorang diri. Aku akan berada di belakang kamu. Okay?” terang Aryan.Vanilla mengangguk paham. Lalu ia menelan saliva dan menerima panggilan tersebut.[“Halo Vanilla, kamu tidak membawa Aryan bukan?”]“Tentu saja tidak,” jawab Vanilla mengontrol suaranya agar tidak bergetar.[“Kamu sebaiknya bergegas. Zayn sedang bermain di sini, dan kita bisa membuat negosiasi yang akan menguntungkan kita berdua. Cepatlah.”]Panggilan keduanya terput
Pakai mobil Tante aja, Van. Kamu lagi panik, bahaya.” Tangan Hestia langsung menarik pergelangan Vanilla untuk masuk ke dalam mobilnya. Vanilla hanya bisa menurut, otaknya seolah beku dan sulit digunakan untuk berpikir.Hestia yang dikenal jago mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi langsung melaju. Mercedes warna silver itu membelah jalanan Badung menuju ke kios Vanilla yang terletak tidak jauh dari kafe tempat pertemuan mereka.Earphone terpasang di salah satu telinga Hestia. Sesekali matanya melirik pada layar dashboard untuk memastikan sambungan telepon kepada sang putra. Hestia berdecak kesal sebab Aryan tidak kunjung menjawab panggilan tersebut.“Kemana sih Aryan,” gerutu Hestia seraya mengendalikan kemudi serta kecepatan.Dengan gesit, Hestia menyalip mobil serta motor yang menghalangi jalannya. Sementara itu Vanilla masih menggerakkan kedua kaki sebab gusar. Dalam hati ia merapalkan doa supaya hal buruk tidak mendeka
BAB 45Cahaya mentari yang menerobos celah tirai membuat Aryan menggeliat pelan. Ia meregangkan otot punggung sambil menguap. Berulang kali mengerjapkan mata untuk menjernihkan pandangan. Aryan melihat waktu pada ponsel. Seingatnya ia masih melakukan panggilan video dengan Vanilla. Tidak banyak yang mereka bicarakan, hanya saling menatap hingga Vanilla tertidur, tetapi Aryan enggan untuk mematikan panggilan mereka. Aryan ikut tertidur lalu panggilan mereka terputus karena daya baterai ponsel Vanilla habis.Kaki Aryan mengayun turun dari ranjang. Dengan langkah yang terseret ia menuruni tangga lantai satu dan mendapatkan sambutan dari sang putra yang tampak akrab bersama Narendra, Vian dan Jival.“Apa yang kalian lakukan pagi-pagi begini?” Pertanyaan Aryan ditujukan pada Jival dan Vian. “Harusnya kalian kerja supaya Daddy nggak narik saham kalian.’“Bad news, Aryan. Harusnya kamu yang khawatir soal it
BAB 44 (21+)“Can i eat your ….” Iris gelap Aryan melihat ke arah bibir Sarah yang menggigit sensual. Jemari Aryan bergerak atraktif untuk mengusap bibir wanita itu.“Yes, you can,” jawab Sarah diikuti anggukan kepala.Tanpa membuang waktu, Aryan lantas melahap habis bibir Sarah sembari memasukkan tangannya ke dalam blouse wanita itu. Kecupan yang tercipta semakin bergairah hingga suhu tubuh mereka naik drastis.Jemari Aryan bergerak dengan ahli, melepaskan kaitan bra milik Sarah dan membuangnya sembarangan pada lantai. Pagutan mereka masih menyatu satu sama lain, seperti magnet yang saling tarik menarik.Dengan memanfaatkan ruang yang cukup sempit, Aryan mengangkat tubuh Sarah untuk duduk di atas buffet empat laci yang memiliki tinggi pas. Mereka bersembunyi di balik pintu studio kios Vanilla. Hanya ada lampu remang-remang sumber pencahayaan mereka.Ikut bergerak aktif, Sarah
Setelah malam mendebarkan itu, Vanilla melakukan aktivitas seperti biasanya. Bangun lebih awal untuk mempersiapkan sarapan dan bekal snack untuk Zayn. Rasanya rutinitas pagi itu tidak akan dilewatkan oleh Vanilla, meskipun sang putra sudah beranjak dewasa.Mengenai semalam, Vanilla tidak akan pernah lupa. Momen yang sangat berharga saat pertama kali Zayn menyebut Aryan dengan sebutan ‘Daddy’. Melihat sang putra memeluk ayahnya dengan sangat erat. Vanilla sangat bahagia bisa tiba di tahap yang semula sangat menakutkan itu.“Bu, ini saya cuci sekalian ya?” tanya Mbok Dar yang baru tiba 30 menit yang lalu. Ia memperlihatkan waslap yang teronggok di atas meja.Vanilla menoleh setelah meniriskan kudapan ringan untuk Zayn. Hari ini Zayn minta dibuatkan sosis dan nugget bentuk bintang.“Iya, Mbok cuci sekalian semua ya,” terang Vanilla. “Nanti saya ada kegiatan di Denpasar selama 2 hari. Mbok Dar cukup sapu pel aja ya.”Tangan Vanilla bergerak aktif untuk meletakkan piring kotor di wastafel