The Plaza hotel New York menjadi tempat resepsi paling mewah tahun ini. Pasalnya tidak mempelai pengantin wanita dan lima pengantin pria berasal dari keluarga terpandang di New York. Sehingga tidak heran pesta pernikahan ini menjadi pesta pernikahan terbesar dan termewah. Dengan desain interior hotel yang klasik ditambah dengan hiasan bunga-bunga membuat pesta pernikahan itu tampak sangat indah.
Quen yang mengenakan gaun pengantin pas badan dengan tali berenda di bahunya membuat wanita itu terlihat sangat cantik. Gaun dengan bahan sutra lembut di bagian dalam dan kain lace bordir motif bunga di luar membuat gaun itu terlihat begitu mewah. Gaun itu dibuat khusus untuk Quen selama satu bulan. Sehingga tidak heran gaun itu menjadi sorotan media karena menjadi gaun pengantin termahal.
“Quen.”
Panggilan itu membuat wanita yang saat memegang gelas sampanye menoleh. Dia bisa melihat suami pertamanya, Ace, berjalan menghampirinya. Meskipun kesan pertama Quen terhadap Ace sangat buruk, tapi wanita itu tidak bisa menyangkal jika pria itu memang tampan. Tatapan Quen tertuju pada enam pria yang berjalan mengikuti Ace. Dengan rambut berwarna-warni membuat mereka terlihat seperti permen bagi Quen.
“Quen, aku ingin memperkenalkanmu pada member Blade Storm lainnya. John, Jimmy, Vin, Justin, Stuart, dan Harry. Semuanya, perkenalkan ini adalah istriku yang paling cantik, Aquene Chevalier.” Ace memeluk bahu Quen sembari memperkenalkan mereka.
Awalnya Quen ingin sekali memberikan pukulan di kepala pria itu karena bertindak seenaknya sendiri. Tapi dia juga tidak bisa menyalahkan Ace karena dia sekarang sudah menjadi istrinya. Akhirnya Quen hanya bisa memberikan senyuman pada enam pria yang merupakan teman Ace.
“Terimakasih kalian sudah datang kemari. Kuharap tidak menyita waktu kalian.” Quen berusaha ramah.
“Mana mungkin menyita waktu kami. Kami bahkan sangat penasaran dengan kakak ipar.” Ucap John.
Justin menganggukkan kepalanya.” Benar sekali. Pantas saja Ace bersikap aneh beberapa hari ini ternyata karena dia sudah memiliki wanita cantik.”
Quen memicingkan matanya. “Bersikap aneh bagaimana?”
“Dia tidak berhenti memandang fotomu. Bahkan dia membawa fotomu sampai kamar mandi.” Ucap Vin membuat Ace melotot kaget. Sedangkan teman-teman yang lain hanya tertawa mendengarnya.
Ace menggeleng-gelengkan kepalanya. “Itu tidak benar, Quen. Tidak sepenuhnya benar sih.”
“Jadi memang kamu membawa fotoku ke kamar mandi?” Quen melotot tajam ke arah suaminya itu.
Ace menganggukkan kepalanya. “Benar. Tapi aku…Hmph…”
Ucapan Ace terputus saat Quen menginjak kakinya dengan sangat keras membuat wajah pria itu berubah pucat. Bukannya membantu, keenam teman Ace hanya menahan tawa.
“Dasar mesum!” Gerutu Quen yang memilih pergi meninggalkan mereka.
Setelah tinggal bersama, Quen harus berhati-hati dengan pria mesum bernama Ace itu. Saat sedang memikirkan si mesum Ace, langkah Quen dihalangi oleh oleh tiga pria dari keluarga Godfrey. Mereka adalah kakak-kakak tiri Levin bernama Garry, Howard, Wallace. Arthur pernah memberitahu Quen jika mereka selalu bersikap jahat pada Levin karena itu Arthur meminta Quen untuk waspada.
“Jadi ini istri bocah itu.” Garry mendengus kesal saat membicarakan adik tirinya.
“Hanya bermodalkan kekayaan, langsung menikahi lima pria.” Howard mendengus sinis.
Tatapan Wallace membuat Quen sangat risih. Meskipun Ace mesum, tapi dia tidak pernah menatap Quen seperti yang dilakukan oleh Wallace. “Pantas saja diperebutkan lima pria. Kalau hanya kemampuan di tempat tidur sih, mengapa kamu tidak memilihku, Nona cantik? Aku jauh lebih hebat. Kamu mau mencobanya?”
Ingin sekali Quen menonjok wajah pria itu. Tapi sebuah tangan memeluk leher wanita itu. Saat menoleh, Quen bisa melihat Levin berdiri di belakangnya. Ekspresi cengengesan yang selalu ditampilkannya lenyap digantikan tatapan tajam.
“Hentikan, Kak. Kalian bisa menghinaku sepuas kalian. Tapi aku tidak akan membiarkan kalian menghina istriku. Ayo, Quen. Jangan ladeni mereka.” Levin meraih tangan Quen dan menariknya pergi.
Setelah menjauhi tiga pria menyebalkan itu, Quen menghentikan langkah Levin. “Kamu salah, Levin.”
Levin memicingkan matanya. “Apa yang salah?”
“Jangan pernah orang lain bahkan tiga pria brengsek itu menghinamu lagi. Kamu adalah suamiku, aku tidak akan membiarkan mereka menginjak-injakmu. Kamu mengerti?”
“Quen memang hebat. Aku benar-benar sangat mengagumimu.” Mata Levin berbinar layaknya anak kecil yang mengagumi superhero.
Baru saja Quen terkejut dengan sikap Levin yang lebih keren, tapi sekarang hancur sudah bayangan itu. Pria itu kembali aneh seperti biasanya.
“Permisi, apakah kamu adalah Aquene Chevalier istri Vinson?”
Pertanyaan itu membuat Quen menoleh. Dia bisa melihat seorang pria tua mengenakan setelan coklat tua berdiri di hadapannya.
“Benar. Saya istri Vinson. Kalau boleh tahu anda siapa?” tanya Quen dengan sopan.
Pria itu mengulurkan tangannya yang sudah gemetar karena efek usia. “Aku adalah senior Vinson di Nasa, namaku Nicolas Cortes. Bisa dikatakan aku adalah gurunya. Aku tidak menyangka pria sedingin Nebula itu bisa menikah juga.”
“Nebula? Apa itu Nebula?” bingung Quen.
“Nebula merupakan kumpulan gas dan awan raksasa yang ada di luar angkasa dan tempat paling dingin melebihi kutub di bumi. Tapi kamu berhasil mencairkan hatinya yang dingin.” Pria itu terkekeh geli.
“Kamu berlebihan, Profesor.” Kali ini pria sedingin Nebula yang dibicarakan pun ikut bergabung.
Nicolas menggelengkan kepalanya. “Jangan menipu mata tuaku, Vinson. Kamu bahkan lebih sering tersenyum menjelang pernikahanmu.”
Quen melongo mendengar ucapan profesor itu. Pria dingin seperti Vinson yang sangat irit bicara bisa tersenyum? Dia bahkan belum pernah melihat senyuman pria itu. Bahkan sekarang pipi pria itu merona merah karena malu. Quen hanya bisa menahan tawanya dalam hati. Dia tidak menyangka bisa melihat pemandangan langka itu.
“Sudah, Profesor. Lebih baik bergabung dengan yang lain.” Vinson pun membimbing pria tua itu pergi sebelum sang profesor membuka aibnya. Setelah Vinson dan Nicolas pergi, Quen dan Levin tertawa.
“Tidak menyangka. Vinson ternyata bisa bersikap seperti itu.” Ucap Levin disela tertawanya.
Quen juga tidak menyangka. Bahkan Levin pun juga memiliki perubahan tadi meskipun hanya sejenak.
“Quen, lindungi aku.”
Tawa Quen terhenti saat Owen berlari ke arahnya dan berlindung di balik tubuhnya. “Bukankah kamu yang mengatakan akan melindungiku? Kenapa sekarang justru aku yang harus melindungimu, Owen?”
“Aku akan melindungimu dari apapun, Quen. Tapi tidak dari kakakku. Dia lebih menakutkan dari penjahat manapun.” Ucap Owen yang masih berlindung di balik tubuh Quen.
“OWEN!”
Seruan itu membuat Quen menoleh. Dia bisa melihat wanita berambut pendek sebahu berlari menghampiri Quen. Lebih tepatnya menghampiri Owen yang bersembunyi di belakang tubuhnya.
“Kakak ipar. Tenang dulu. Apakah Owen membuat masalah?” tanya Quen.
Brianna berhenti di hadapan Quen. Wanita itu memperlihatkan senyuman lebarnya. “Adik ipar. Maaf menakutimu. Tapi aku dan Owen tidak sedang bertengkar. Aku hanya menuruti ucapannya.”
“Menuruti ucapannya? Ucapan apa?” bingung Quen.
“Dia dulu bilang jika dia yang menikah lebih dulu, maka aku harus memukul pantatnya dua puluh kali. Aku tidak sabar melakukannya. Jadi bisakah kamu membantuku?” pinta Brianna.
Lagi-lagi Quen dibuat melongo dengan kakak beradik yang sama bar-barnya. Akhirnya Quen memilih menggeser tubuhnya sehingga Brianna bisa menangkap adiknya dan mendaratkan pukulan di pantat suaminya. Quen hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dan memilih untuk pergi.
Ingin sekali Quen beristirahat. Pasalnya dia merasa seperti digilir ke sana dan kemari oleh orang-orang dalam kehidupan suaminya. Sayangnya harapannya tidak bisa terwujud. Pasalnya seorang wanita cantik menghalangi langkahnya.
“Ini tidak adil.”
Quen memicingkan matanya mendengar ucapan wanita itu. Dia berpikir mungkin saja wanita itu adalah mantan kekasih salah satu dari suaminya.
“Hidup memang tidak pernah adil, Nona. Jadi jangan pernah menyalahkan orang lain yang mendapatkannya. Tapi seharusnya kamu move on.” Ucap Quen dengan nada dingin.
“Aku tidak mengerti ucapanmu.” Bingung wanita itu.
“Bukankah kamu kesal karena aku mendapatkan pria yang kamu sukai?”
Tiba-tiba wanita itu tertawa mendengar ucapan Quen. Kemudian dia menggelengkan kepalanya. “Aku pikir kamu salah paham. Untuk apa aku menyukai pria bermulut pedas itu. Aku hanya kesal bagaimana bisa pria bermulut pedas itu menikah lebih dulu dariku.”
Mulut Quen ternganga mendengar ucapan wanita itu. Jika wanita itu membahan pria bermulut pedas maka artinya dia adalah Zane Walford. Tiba-tiba seseorang menggandeng tangan Quen. Membuat wanita itu menoleh. Disanalah dia melihat Zane berdiri di sampingnya.
“Kamu sudah melihatnya sendiri bukan, Nina? Sudah kukatakan jika aku yang akan menikah duluan. Kamu harus lebih berusaha keras agar bisa laku.” Ucap Zane pedas seperti biasanya.
Nina mendengus kesal. “Dasar mulut jahanam. Quen, jika kamu tidak betah dengan mulut pedasnya, aku bisa mengajarimu cara menghadapinya. Aku tahu kelemahan suamimu ini. Kamu bisa datang ke galeri seni Sotheby’s.”
“Aku pasti akan menendangmu jika memberitahu Quen, Nina.” Ancam Zane.
“Aku tidak peduli. Sampai jumpa lagi Quen.” Nina menjulurkan lidahnya ke arah Zane sebelum akhirnya pergi meninggalkan mereka.
Quen hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia hendak melepaskan genggaman tangan Zane. Tapi tatapan Quen tertuju pada pintu masuk di mana terlihat seseorang yang membuat tubuh Quen membeku. Bahkan tanpa sengaja dia menggenggam tangan Zane dengan sangat erat.
* * * * *
Gwen Chevalier. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu adalah sepupu Quen. Dengan mengenakan gaun berwarna perak, dia berjalan menghampiri Quen yang berdiri di samping Zane.Hubungan Quen dan Gwen tidaklah baik. Gwen selalu iri dengan Quen. Apapun yang dimiliki Quen, Gwen tidak mau kalah. Karena itulah Gwen merupakan satu-satunya orang yang ingin merebut kursi Presiden Direktur Chevalier Inc. Langkah Gwen terhenti tepat di hadapan Quen. Dengan ekspresi tenang, Quen menatap Gwen. Dia tidak menyadari jika tangannya masih menggenggam tangan Zane.“Hallo, Sepupuku.” Gwen menyunggingkan senyuman sembari melambaikan tangannya.“Aku pikir kamu tidak akan datang, Gwen.” Ucap Quen dengan sinis.
“Kalian pasti bercanda.” Ucap Quen melongo menatap pemandangan di hadapannya.Pasalnya, papanya tidak hanya menikahkan dirinya dengan lima pria pilihannya tapi dia juga berniat membuat Quen tidur dengan lima suaminya. Pasalnya setelah pesta pernikahan selesai, Arthur mengantarkan Quen dan kelima suaminya ke sebuah kamar di mana ada sebuah empat ranjang berukuran besar yang dijadikan satu.Arthur menggelengkan kepalanya. “Tidak, Nona. Eh, maksudku Nyonya. Kata Tuan besar seorang istri, terutama pengantin, baru tidak boleh pisah ranjang. Karena itu Nyonya harus tidur di sini bersama para tuan muda.”Quen mendengus kesal. “Bukankah ini keterlaluan? Aku sudah menuruti Papa untuk menikah dengan mereka. Dan sekarang dia memintaku untuk tidur bersama l
“Untuk apa kami harus memakai ini?” Zane mengangkat gaun snow white berwarna biru dan kuning.“Aku tidak mau.” Owen menggelengkan kepalanya melihat kimono wanita di hadapannya.“Gila.” Vinson melotot kaget melihat kostum Elsa dalam film Frozen.Levin meraih seragam sekolah wanita yang sudah dipersiapkan untuknya. “Kalau aku pakai ini, apakah kamu akan memaafkanku, Quen? Karena aku tidak bisa jauh darimu.” Levin memanyunkan bibirnya.“Dasar gila!” Gumam Quen yang duduk di atas sofa sembari menikmati secangkir kopi.“Quen!” Panggil Ace yang mengambil kostum Sailormoon. “Bagaimana ka
“Kenapa kamu di sini? Bukankah seharusnya kamu sedang bulan madu?” tanya Brandon saat melihat putrinya duduk di dekatnya saat berada di ruang meeting.“Bulan madu? Sepertinya Papa minta di lempar keluar jendela.” Quen menunjuk ke arah dinding kaca di ruang meeting.Brandon memasang ekspresi sedih. “Putriku benar-benar durhaka. Jika saja aku bisa menggantinya.”“Ganti saja. Aku yakin tidak akan yang lebih baik dariku.”“Kuakui itu memang benar. Putriku memang yang terbaik.” Brandon mengacungkan dua jempolnya.Setelah semua orang berkumpul, akhirnya meeting pun dimulai. Brandon berdiri menatap para p
Quen duduk di kursi dalam ruangannya. Dia meletakkan tas di atas meja dan mengambil ponselnya. Wanita itu hendak membuat grup di aplikasi chatting. Tapi sebuah pesan yang baru saja masuk menarik perhatian wanita itu. Quen membuka pesan itu. Papa [Lokasi rumah baru Quen] Putriku tersayang, ini adalah alamat rumahmu dan juga suami-suamimu. Buatkan Papa cucu sebanyak-banyaknya, ya? Jika kamu berhasil, Papa akan memberikan saham 35% milikku. Seketika Quen melotot kaget membaca pesan dari ayahnya. Bukan hanya di bagian membuat cucu sebanyak-banyaknya, tapi juga iming-iming dari ayahnya. Jika Quen bisa mendapatkan saham tiga puluh lima persen dari ayahnya, maka dia akan memiliki saham lebih banyak dari Gwen. Tapi tetap
Setelah menikmati makan malam bersama, Quen menggiring kelima suaminya menuju ruang keluarga yang sudah bersih dengan barang-barang mereka. Dengan anggun wanita itu menyesap teh yang sudah disiapkan oleh pelayan. Quen selalu menyukai teh hitam. Karena teh hitam memiliki aroma dan cita rasa yang kuat. Wanita itu meletakkan cangkir teh berwarna biru dengan hiasan bunga lupin atau wolly lavender di cangkir itu di atas piring kecil yang menjadi satu set. Kemudian tatapan Quen tertuju pada lima suaminya melihat reaksi mereka saat minum teh yang sama. Wajah Ace saat meminumnya tampak jelas tidak menyukainya. “Kenapa rasanya aneh begini? Kopi jauh lebih enak.” Levin terkekeh melihat reaksi Ace yang duduk di sampingnya. “Itu karena kamu tidak pernah meminum teh. Jika kamu sudah terbiasa, kamu akan menyukainya.” Ace melih
Quen menatap pantulan tubuhnya di cermin. Di mana saat ini wanita itu sudah mengenakan gaun tidur berwarna putih. Dengan bahannya yang lembut dan tipis tak mampu menutupi tubuh Quen yang sexy. Tali tipis menggantung di bahunya yang diselimuti kulit putih pucat. Dan belahan dadanya pun juga tertalu turun sehinga payudara Quen mengintip.Tak pernah Quen mengenakan pakaian terlalu terbuka. bahkan saat tidur pun biasanya Quen mengenakan piayama. Dia tidak pernah mengenakan gaun tidur yang nyaris tembus pandang itu. Segera Quen mengambil jubah putih yang menjadi satu set dengan gaun tidur itu. Dia mengikat jubah itu untuk menutupi tubuhnya. Setelah itu barulah wanita itu berjalan keluar. Saat baru melangkah dia melihat Ace yang berjalan ke arahnya. Beruntung pria itu berhasil menghentikan langkahnya sebelum menabraknya.“Ah, apakah kamu mau menggunakan kamar mandinya?” tanya Quen.Ace menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku justru ingin mengetuk pintu dan bertanya apakah kamu baik-baik saja.
Matahari mulai menyusup ke dalam kamar Quen dan Ace. Cahaya itu membuat Quen perlahan membuka matanya. Tepat saat dia membuka matanya, dia melihat Ace tengah berbaring di sampingnya dengan posisi miring dan satu tangan menyangga kepalanya. Tatapan pria itu tertuju lurus pada Quen.“Apakah kamu tidak tidur?” tanya Quen.“Aku sudah tidur dan baru bangun lima belas menit yang lalu.”“Jadi kamu bangun lima belas menit yang lalu dan hanya memandangiku?” tebak Quen.Ace menganggukkan kepalanya. “Ya, aku tidak bisa menikmati pemandangan seindah ini besok pagi. Jadi aku harus memanfaatkannya dengan baik.”Quen hanya bisa mendengus kesal. “Kamu tidak mencoba mengintip tubuhku saat aku tidur bukan?” curiga wanita itu menggenggam ujung selimut untuk melindungi tubuhnya. Ace menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku menepati janjiku untuk tidak melakukan apapun yang tidak kamu sukai. Aku hanya suka momen ketika aku terbangun dan melihatmu berbaring di sampingku. Dan aku juga sudah mengabadikan momen
Brandon berdecak takjub melihat berbagai wahana besar dengan lampu kelap-kelip yang memeriahkan suasana. Orang-orang berlalu lalang dengan wajah ceria, berteriak histeris saat menaiki wahana ekstrem, dan tampak senang melihat beberapa atraksi. Benar, setelah beberapa waktu tadi ia dan Levin melihat anak-anak bermain di taman bermain, kini mereka berdua pergi ke sebuah taman hiburan terbesar, Coney Island."Kenapa harus tempat ini? Apakah ada sesuatu yang khusus?" tanya Levin, melirik pada ayah mertuanya.Brandon tersenyum tipis. Matanya terlihat memancarkan sesuatu yang tak bisa diartikan saat melihat seorang anak kecil bergandengan tangan bersama dengan ayah dan ibunya, sementara tangannya memegang permen loli besar. Brandon jadi ingat cita-cita sederhana Quen dulu."Karena Quen pernah merajuk sampai menangis karena ingin pergi ke tempat ini, Levin," pungkas Brandon pelan. Wajahnya menengadah, menatap ke atas, pada wahana bianglala yang berputar dengan kecepatan konstan lalu pada rol
Taman bermain terlihat tidak begitu ramai karena ini adalah hari kerja. Hanya terlihat beberapa orang anak yang tampak main ditemani oleh orang tua atau pengasuhnya di sana. Ada yang duduk di atas ayunan, ada yang ceria menaiki perosotan, ada pula yang begitu bahagia bermain bola di dalam kolam khusus yang diisi oleh bola kecil berwarna-warni.Levin berjalan bersama Brandon di tempat tersebut usai turun dari mobil beberapa saat lalu. Keduanya beriringan dan lalu duduk di sebuah kursi panjang di depan wahana bermain tersebut, di depan sebuah jungkat-jungkit yang tidak ada seorang pun anak yang bermain di sana. Taman bermain itu memang cukup luas dan lengkap."Kenapa Papa ingin ke taman?" tanya Levin, seraya menyodorkan minuman ringan yang sebelumnya mereka beli di jalan.Benar, hari ini adalah giliran Levin yang menemani Brandon untuk menghabiskan waktu bersama. Dan Brandon secara tiba-tiba mengatakan ingin pergi ke sebuah taman bermain yang lengkap di kota. Meski terdengar agak aneh,
Quen masih tak habis pikir dengan pengakuan yang Owen berikan padanya tadi. Bagaimana bisa pria dewasa seperti Owen, yang gagah, memiliki rupa yang sama sekali tidak berada di bawah rata-rata, juga penampilan yang sebenarnya cukup menarik, tidak pernah bercinta sekali pun? Oh, ayolah! Setidaknya jika dia tidak memiliki waktu untuk berkencan, bukankah dia memiliki waktu sedikit saja untuk pergi ke tempat hiburan dan melakukan one night stand dengan wanita-wanita cantik yang haus akan belaian?"Kamu bukan biksu, kan?" tanya Quen, menatap Owen dengan nanar.Owen yang saat ini sudah berlutut di lantai, di sisi ranjang yang ditempati oleh Quen, menggeleng pelan. Dia seperti terdakwa yang hendak dihukum oleh Ratu. Apalagi dengan ekspresi wajahnya yang terasa begitu menghayati peran."Lalu bagaimana bisa ...." Quen kehabisan kata untuk Owen.Wanita itu lalu menggeleng pelan dan kembali memusatkan atensi pada Owen dengan tatapan yang begitu nyalang, seolah dia sadar bahwa ada hal lain yang le
Quen baru saja membersihkan diri usai pulang dari makan malam mereka yang diadakan di luar rumah. Dia begitu begah usai menghabiskan berbagai makanan di restoran tadi. Membuat dirinya juga ikut mengantuk.Quen melihat Owen sudah berbaring setengah duduk di atas ranjang. Pria itu menyadari kehadiran Quen dan menepuk sisi ranjang di sebelahnya, memberi isyarat agar Quen datang dan duduk di sisinya.Quen pun dengan segera menghampiri pria tersebut dan ikut berbaring di sisinya. Keduanya berbagi selimut yang sama di sana untuk menutupi kaki sampai pinggang mereka berdua."Kamu tidak mengantuk?" tanya Owen, melirik Quen. Owen tahu seharian ini pasti melelahkan bagi Quen karena dia harus bekerja dengan keras di kantor, makan malam di luar dengan kelima suaminya, kemudian melakukan perjalanan pulang yang cukup alot karena terjadi kemacetan sebab terjadi kecelakaan di jalur menuju rumah mereka tadi."Sedikit, tetapi belum cukup untuk membuatku bisa segera tertidur," jawab Quen pelan.Owen me
"Papa?" Quen masih memasang ekspresi terkejut melihat Brandon yang tiba-tiba saja berdiri di hadapan mereka semua dengan seulas senyum polos yang dia miliki."Papa datang bersamaku," kata Zane tanpa rasa bersalah sama sekali.Brandon mengangguk pelan. "Ya. Papa datang bersama dengan Zane," pungkas lelaki itu, mengamini. "Karena Papa datang terakhir dan membuat Zane jadi ikut terlambat, jadi Papa yang akan membayar."Zane dan Brandon berjalan menuju kursi yang kosong. Sayangnya, hanya ada sisa satu kursi di sana. Zane membiarkan Brandon yang duduk duluan. Sementara dirinya pergi untuk menemui pelayan dan meminta kursi tambahan.Tak berapa lama, pelayan datang membawa satu kursi untuk Zane dan juga buku menu. Mereka mulai memesan makanan satu per satu."Sebenarnya apa yang Papa lakukan sampai membuat Zane terlambat?" tanya Quen pada ayahnya.Brandon tersenyum penuh arti. "Papa mengajak Brandon menuju Danau George," dia jawab sambil melirik pada Zane."Benarkah? Danau George adalah harta
Alamat restoran yang diberikan oleh Quen adalah Restoran Indonesia Wayan yang terletak di Kota Manhattan. Ialah restoran yang menyajikan makanan khas Indonesia seperti halnya nasi goreng, gado-gado, sop buntut, pepes ikan, dan sebagainya.Quen berjalan masuk, mencari kursi yang sudah ia reservasi sebelumnya. Namun begitu tiba, dia terkejut karena Ace sudah ada di sana, tengah bermain ponsel dan tidak menyadari kedatangannya "Bagaimana kau sudah tiba di sini?" tanya Quen, membuat Ace mengangkat wajah dan menatapnya.Ace menyunggingkan senyum simpul. "Blade Storm baru saja melakukan wawancara di area dekat sini. Jadi, aku datang lebih cepat. Bahkan tidak sampai lima menit hingga aku tiba."Quen mendesah kecewa. Dia pikir, dia yang akan datang pertama, tetapi Ace justru mendahuluinya."Kamu sudah tiba berapa lama?"Ace sedikit memicing, berpikir. "Mungkin sekitar lima menit atau lebih? Entahlah," dia jawab dengan tak yakin. "Kemarilah, Quen. Ayo, kita berfoto." Ajak Ace. Menarik Quen un
Matahari sudah mulai tenggelam di luar. Namun, Quen masih berkutat dengan pekerjaannya, di balik meja kebesaran miliknya dengan berbagai data di komputer. Wanita itu terlihat begitu serius mengamati semua teks di layar tersebut. Dia bahkan mungkin tak sadar sudah berapa jam yang dihabiskan di depan layar itu.Saat tengah fokus, di luar tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruangan Quen tiga kali. Membuat fokus Quen sedikit terinterupsi."Masuk," gumam Quen tanpa mengalihkan pandangannya dari deretan tulisan di komputer. Sesekali, keningnya mengkerut saking serius membaca semua teks di layar.Sementara, langkah kaki seseorang kian mendekat ke meja. Dari ekor matanya, Quen tahu dia adalah Arthur, sekretarisnya."Pekerjaanku sudah selesai untuk hari ini, Nona Muda," ucap Arthur melapor. Quen menurunkan kacamata anti radiasinya, meletakkannya di meja, lalu mengangkat wajah untuk memusatkan atensi pada sekretarisnya itu. "Apakah Anda masih membutuhkan bantuan?" tanya Arthur sopan.Quen meliri
Queen of American Lakes, adalah panggilan untuk Danau George. Danau terbesar di Adirondacks. Perairan yang jernih dan menakjubkan, pulau-pulau kecil di tengah, serta gunung di sekitaran danau tersebut membuat pemandangan danau tersebut memanjakan mata. Siapa pun yang datang ke sana pasti akan betah dan ingin berlama-lama menikmati suasana asri itu.Siapa yang menyangka bahwa di tengah-tengah padatnya kota New York terdapat sebuah danau besar nan indah seperti Danau George? Menemukan danau tersebut sungguh seperti menemukan harta karun. Pun menurut Brandon yang baru pertama kalinya menginjakkan kaki di tempat itu. Menghabiskan waktu mudanya untuk bekerja, Brandon nyaris tidak tahu ada tempat-tempat yang menakjubkan di kota tempatnya tinggal dan sekitarnya."Wah. Kamu pandai memilih tempat untuk kita kunjungi, Nak," puji Brandon saat dia turun dari mobil dan melihat hamparan danau yang biru serta pemandangan alam sekitar yang begitu menyejukkan mata. Pria itu menarik napas dalam-dalam,
Zane menatap Brandon yang sudah berdiri di depan rumahnya ketika Zane datang untuk menemani pria paruh baya itu. Benar, hari ini adalah giliran Zane yang menemani ayah mertuanya. Quen sudah mengingatkan dirinya berkali-kali sejak kemarin malam. Bahkan tadi pagi pun, wanita tersebut terus saja mengulang informasi yang sama sampai Zane muak dibuatnya."Papa sudah menungguku sejak tadi?" tanya Zane begitu turun dari mobil untuk menjemput Brandon.Brandon tersenyum lebar. "Ya, tentu saja. Aku tidak sabar untuk menghabiskan waktu dengan menantuku hari ini, jadi aku bersiap-siap sejak satu jam lalu."Zane menyunggingkan senyum meski hanya samar saja. "Ke mana kita akan pergi?" tanya lelaki itu.Tanpa menjawab pertanyaan Zane, hanya senyum penuh arti yang dia tunjukkan, Brandon berjalan menuju mobil Zane. Mereka berdua masuk lalu duduk di posisi masing-masing."Kamu pandai melukis, bukan?" Brandon menoleh, menatap pada menantunya. Alih-alih menjawab perta