Matahari mulai menyusup ke dalam kamar Quen dan Ace. Cahaya itu membuat Quen perlahan membuka matanya. Tepat saat dia membuka matanya, dia melihat Ace tengah berbaring di sampingnya dengan posisi miring dan satu tangan menyangga kepalanya. Tatapan pria itu tertuju lurus pada Quen.“Apakah kamu tidak tidur?” tanya Quen.“Aku sudah tidur dan baru bangun lima belas menit yang lalu.”“Jadi kamu bangun lima belas menit yang lalu dan hanya memandangiku?” tebak Quen.Ace menganggukkan kepalanya. “Ya, aku tidak bisa menikmati pemandangan seindah ini besok pagi. Jadi aku harus memanfaatkannya dengan baik.”Quen hanya bisa mendengus kesal. “Kamu tidak mencoba mengintip tubuhku saat aku tidur bukan?” curiga wanita itu menggenggam ujung selimut untuk melindungi tubuhnya. Ace menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku menepati janjiku untuk tidak melakukan apapun yang tidak kamu sukai. Aku hanya suka momen ketika aku terbangun dan melihatmu berbaring di sampingku. Dan aku juga sudah mengabadikan momen
“PUTRIKU SAYANG….” Seru Brandon membuka pintu ruang kerja Quen yang baru.Quen yang sedang mempelajari dokumen di atas meja langsung mendongak. Dia bisa melihat sang ayah yang terlihat begitu gembira. Pria itu duduk di atas sofa sembari menatap putrinya yang masih duduk di ruang kerjanya. “Apa yang Papa lakukan di sini? Aku pikir Papa sedang menikmati waktu bebas Papa.” Tanya Quen kembali mempelajari dokumen investasi.“Awalnya aku merasa sangat senang saat merasakan kebebasan. Bisa bangun siang, tidak memikirkan apapun yang berkaitan dengan pekerjaan dan hanya menikmati waktu untuk diriku sendiri saja. Tapi tetap saja aku merasa bosan.” Brandon memasang ekspresi sedih.“Mungkin Papa harus mengajak teman untuk menikmati liburan.” Saran Quen.“Bagaimana jika aku mengajakmu?”Seketika Quen langsung mengalihkan pandangannya pada sang ayah. Tatapan tajam sang putri tidak memberikan pengaruh apapun untuk Brandon.“Pa, aku baru saja menerima jabatan baru sebagai Presiden Direktur. Mana mun
Suasana mendung kelabu kini telah berubah seketika. Secercah mentari juga kilau pelangi menyinari lubuk hati Brandon, pria tua yang selalu mengeluh kesepian.Di atas kapal yang tengah melaju sedang di atas perairan utara New York, Brandon dan salah satu menantunya, Vinson, tengah menikmati waktu bersantai dengan memancing ikan yang tak kunjung datang.Keduanya duduk berdampingan dengan memegang pancing masing-masing yang tengah menjulur ke dalam gelombang air laut.Sembari menunggu, kepala Brandon menoleh ke sisi kiri, "Kamu tahu, Nak? Dulu, aku pernah mendapatkan ikan Marlin yang sangat besar. Beratnya hampir mencapai empat ratus delapan puluh kilogram.""Bukankah itu sudah melebihi betapa beratnya beban hidup di pundak kita?" candanya sambil terkekeh ringan.Lelaki bermuka datar yang tengah fokus mengamati pergerakan gelombang air hanya menanggapi dengan seulas senyum kecil. Rupanya, selera humor ayah mertuanya itu sangat rendah. Berbanding terbalik dengan Quen yang bahkan hanya bi
Tepat di waktu yang sama, namun dalam lokasi yang berbeda jauh, Ace bersama anggota Blade Storm lainnya tengah tampil di sebuah acara televisi. Dengan style yang bervariasi, performa Blade Storm benar-benar berhasil menghipnotis atensi para fans yang hadir. Teriakan histeris juga kerlap-kerlip flash ponsel para penonton semakin memeriahkan suasana.Hingga akhirnya, penampilan mereka telah selesai dengan hasil yang sangat sempurna dan begitu memukau. Blade Storm pun kembali ke belakang panggung dan saling ber-high five atas keberhasilan perform mereka."Whoa! God job, Bro! Kau benar-benar center of Blade Storm!" puji Ace pada Vin—anggota yang paling banyak digandrungi kaum hawa.Pria berambut pirang itu menyambut pelukan Ace, "Kau juga luar biasa, Ace!""Apakah ini efek karena dukungan istri tercintamu itu?" gurau John sambil mencolek dagu Ace.Stuart merangkul Ace, "Bagaimana rasanya? Apa yang sudah sah jauh lebih nikmat dari wanita-wanita di club, hm?" "Atau justru kau yang tidak k
Vinson baru saja pulang setelah memancing dengan Brandon. Begitu turun dari mobil, dia juga melihat Ace yang baru saja datang."Kamu baru pulang juga, eh?" tanya Ace, menyambut Vinson yang hanya menatapnya dalam diam saat mereka berpapasan.Vinson mengangguk singkat sebagai jawab. Terlihat begitu tenang. Hal itu membuat Ace tersenyum lebar. "Bagaimana? Apa yang kamu lakukan tadi? Quen tidak membawamu ke kandang harimau, bukan?" tanya Ace.Vinson hanya menggeleng pelan. "Tidak seburuk yang kalian pikirkan," jawabnya singkat.Ace memiringkan kepala, berusaha membaca ekspresi Vinson sebab penasaran dengan apa yang Quen tugaskan pada lelaki itu, tetapi dia sama sekali tidak berhasil. Vinson masih terlihat begitu tenang dan datar. Ace sama sekali tidak bisa membaca raut mukanya.Saat keduanya masuk ke dalam rumah, orang-orang tampak sedang berada di ruangan yang sama, tetapi dengan kegiatan mereka masing-masing. Quen duduk di sofa sambil memainkan ponsel. Entah apa yang sedang dia telusuri
Quen sedang duduk di atas ranjang sambil membaca buku saat Levin masuk ke dalam kamar. Quen langsung menutup buku dan meletakkannya di atas nakas saat mengetahui kehadiran Levin. Dia ingat bahwa malam ini memang jadwalnya tidur dengan pria itu."Kamu sedang membaca buku kah? Buku apa yang kamu baca? Santai saja. Aku akan mandi terlebih dahulu," ucap Levin dengan wajah tersenyum saat mengatakan hal itu.Quen mengerutkan kening. Pria itu bertanya tetapi tidak memberi jeda untuk Quen menjawab. Bahkan setelah itu, Levin hanya menyunggingkan senyum dan berjalan ke dalam kamar mandi. Quen hanya bisa menggeleng pelan karen kelakuan suaminya yang tak bisa ditebak itu."Aku tahu dia aneh. Tapi tetap saja aku masih belum terbiasa dengan sikapnya itu," monolog Quen seiring dengan kepergian Levin yang masuk ke dalam kamar mandi sambil kedua tangannya berada du dalam saku celana yang dia pakai.Tak berapa lama kemudian, terdengar suara gemericik air. Sepertinya Levin sudah mulai mandi, pikir Quen.
"Lalu apa yang membuat kamu sampai pingsan?"Levin menelan salivanya dengan susah payah begitu mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Ace. Pria itu terlihat sedikit gugup. Namun dia sudah bertekad untuk mengatakan pada mereka. Toh, dia tidak bisa untuk terus menyembunyikan phobia yang dia miliki selamanya dari mereka semua."Sebenarnya ... aku takut darah," jawab Levin sambil melirik ngeri pada jari telunjuk Quen yang berdarah. Suara pria itu terdengar semakin kecil ke akhir.Quen, Owen, Ace, Zane, dan Vinson seketika membulatkan mata, tak percaya dengan apa yang baru saja Levin katakan. Bagaimana bisa pria yang terlihat gagah, tampan, dan berbadan tinggi atletis seperti Levin justru takut darah sampai membuatnya pingsan hanya karena melihat sedikit darah yang mengalir di tangan Quen?"Aku pikir kamu pingsan karena Quen," komentar Zane. "Bukankah Quen lebih menyeramkan daripada darah dan monster apa pun yang menyeramkan di dunia ini? Kenapa kamu justru takut akan hal kecil seperti
Menu sarapan sudah berjejer di meja. Sementara penghuni rumah satu per satu mulai turun setelah beberapa saat lalu Quen memanggil mereka semua. Rutinitas pagi yang perlahan mulai terbiasa bagi keenam orang tersebut.Kini, semua orang sudah duduk di kursi masing-masing. Menyantap sarapan dengan khidmat."Owen," panggil Quen, mengangkat garpunya di depan wajah, membuat Levin yang berada di depannya agak ngeri. Takut-takut garpu itu tiba-tiba melayang ke arahnya. "Hari ini adalah giliranmu menemani Ayah. Aku akan mengirimkan alamat rumah Ayah padamu nanti."Owen seketika melebarkan mata. "Benarkah? Aku tidak bisa melewatkan hal itu?" tanya lelaki itu, yang seketika tersenyum meringis begitu mendapati tatapan maut yang dilayangkan oleh Quen.Semua orang mengulum tawa karena Owen tidak bisa berkutik hari ini. Mau tak mau, lelaki itu harus menuruti jadwal yang telah Quen tentukan.Ponsel Quen yang berada di sisi piringnya tiba-tiba berdering. Melihat nam
Brandon berdecak takjub melihat berbagai wahana besar dengan lampu kelap-kelip yang memeriahkan suasana. Orang-orang berlalu lalang dengan wajah ceria, berteriak histeris saat menaiki wahana ekstrem, dan tampak senang melihat beberapa atraksi. Benar, setelah beberapa waktu tadi ia dan Levin melihat anak-anak bermain di taman bermain, kini mereka berdua pergi ke sebuah taman hiburan terbesar, Coney Island."Kenapa harus tempat ini? Apakah ada sesuatu yang khusus?" tanya Levin, melirik pada ayah mertuanya.Brandon tersenyum tipis. Matanya terlihat memancarkan sesuatu yang tak bisa diartikan saat melihat seorang anak kecil bergandengan tangan bersama dengan ayah dan ibunya, sementara tangannya memegang permen loli besar. Brandon jadi ingat cita-cita sederhana Quen dulu."Karena Quen pernah merajuk sampai menangis karena ingin pergi ke tempat ini, Levin," pungkas Brandon pelan. Wajahnya menengadah, menatap ke atas, pada wahana bianglala yang berputar dengan kecepatan konstan lalu pada rol
Taman bermain terlihat tidak begitu ramai karena ini adalah hari kerja. Hanya terlihat beberapa orang anak yang tampak main ditemani oleh orang tua atau pengasuhnya di sana. Ada yang duduk di atas ayunan, ada yang ceria menaiki perosotan, ada pula yang begitu bahagia bermain bola di dalam kolam khusus yang diisi oleh bola kecil berwarna-warni.Levin berjalan bersama Brandon di tempat tersebut usai turun dari mobil beberapa saat lalu. Keduanya beriringan dan lalu duduk di sebuah kursi panjang di depan wahana bermain tersebut, di depan sebuah jungkat-jungkit yang tidak ada seorang pun anak yang bermain di sana. Taman bermain itu memang cukup luas dan lengkap."Kenapa Papa ingin ke taman?" tanya Levin, seraya menyodorkan minuman ringan yang sebelumnya mereka beli di jalan.Benar, hari ini adalah giliran Levin yang menemani Brandon untuk menghabiskan waktu bersama. Dan Brandon secara tiba-tiba mengatakan ingin pergi ke sebuah taman bermain yang lengkap di kota. Meski terdengar agak aneh,
Quen masih tak habis pikir dengan pengakuan yang Owen berikan padanya tadi. Bagaimana bisa pria dewasa seperti Owen, yang gagah, memiliki rupa yang sama sekali tidak berada di bawah rata-rata, juga penampilan yang sebenarnya cukup menarik, tidak pernah bercinta sekali pun? Oh, ayolah! Setidaknya jika dia tidak memiliki waktu untuk berkencan, bukankah dia memiliki waktu sedikit saja untuk pergi ke tempat hiburan dan melakukan one night stand dengan wanita-wanita cantik yang haus akan belaian?"Kamu bukan biksu, kan?" tanya Quen, menatap Owen dengan nanar.Owen yang saat ini sudah berlutut di lantai, di sisi ranjang yang ditempati oleh Quen, menggeleng pelan. Dia seperti terdakwa yang hendak dihukum oleh Ratu. Apalagi dengan ekspresi wajahnya yang terasa begitu menghayati peran."Lalu bagaimana bisa ...." Quen kehabisan kata untuk Owen.Wanita itu lalu menggeleng pelan dan kembali memusatkan atensi pada Owen dengan tatapan yang begitu nyalang, seolah dia sadar bahwa ada hal lain yang le
Quen baru saja membersihkan diri usai pulang dari makan malam mereka yang diadakan di luar rumah. Dia begitu begah usai menghabiskan berbagai makanan di restoran tadi. Membuat dirinya juga ikut mengantuk.Quen melihat Owen sudah berbaring setengah duduk di atas ranjang. Pria itu menyadari kehadiran Quen dan menepuk sisi ranjang di sebelahnya, memberi isyarat agar Quen datang dan duduk di sisinya.Quen pun dengan segera menghampiri pria tersebut dan ikut berbaring di sisinya. Keduanya berbagi selimut yang sama di sana untuk menutupi kaki sampai pinggang mereka berdua."Kamu tidak mengantuk?" tanya Owen, melirik Quen. Owen tahu seharian ini pasti melelahkan bagi Quen karena dia harus bekerja dengan keras di kantor, makan malam di luar dengan kelima suaminya, kemudian melakukan perjalanan pulang yang cukup alot karena terjadi kemacetan sebab terjadi kecelakaan di jalur menuju rumah mereka tadi."Sedikit, tetapi belum cukup untuk membuatku bisa segera tertidur," jawab Quen pelan.Owen me
"Papa?" Quen masih memasang ekspresi terkejut melihat Brandon yang tiba-tiba saja berdiri di hadapan mereka semua dengan seulas senyum polos yang dia miliki."Papa datang bersamaku," kata Zane tanpa rasa bersalah sama sekali.Brandon mengangguk pelan. "Ya. Papa datang bersama dengan Zane," pungkas lelaki itu, mengamini. "Karena Papa datang terakhir dan membuat Zane jadi ikut terlambat, jadi Papa yang akan membayar."Zane dan Brandon berjalan menuju kursi yang kosong. Sayangnya, hanya ada sisa satu kursi di sana. Zane membiarkan Brandon yang duduk duluan. Sementara dirinya pergi untuk menemui pelayan dan meminta kursi tambahan.Tak berapa lama, pelayan datang membawa satu kursi untuk Zane dan juga buku menu. Mereka mulai memesan makanan satu per satu."Sebenarnya apa yang Papa lakukan sampai membuat Zane terlambat?" tanya Quen pada ayahnya.Brandon tersenyum penuh arti. "Papa mengajak Brandon menuju Danau George," dia jawab sambil melirik pada Zane."Benarkah? Danau George adalah harta
Alamat restoran yang diberikan oleh Quen adalah Restoran Indonesia Wayan yang terletak di Kota Manhattan. Ialah restoran yang menyajikan makanan khas Indonesia seperti halnya nasi goreng, gado-gado, sop buntut, pepes ikan, dan sebagainya.Quen berjalan masuk, mencari kursi yang sudah ia reservasi sebelumnya. Namun begitu tiba, dia terkejut karena Ace sudah ada di sana, tengah bermain ponsel dan tidak menyadari kedatangannya "Bagaimana kau sudah tiba di sini?" tanya Quen, membuat Ace mengangkat wajah dan menatapnya.Ace menyunggingkan senyum simpul. "Blade Storm baru saja melakukan wawancara di area dekat sini. Jadi, aku datang lebih cepat. Bahkan tidak sampai lima menit hingga aku tiba."Quen mendesah kecewa. Dia pikir, dia yang akan datang pertama, tetapi Ace justru mendahuluinya."Kamu sudah tiba berapa lama?"Ace sedikit memicing, berpikir. "Mungkin sekitar lima menit atau lebih? Entahlah," dia jawab dengan tak yakin. "Kemarilah, Quen. Ayo, kita berfoto." Ajak Ace. Menarik Quen un
Matahari sudah mulai tenggelam di luar. Namun, Quen masih berkutat dengan pekerjaannya, di balik meja kebesaran miliknya dengan berbagai data di komputer. Wanita itu terlihat begitu serius mengamati semua teks di layar tersebut. Dia bahkan mungkin tak sadar sudah berapa jam yang dihabiskan di depan layar itu.Saat tengah fokus, di luar tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruangan Quen tiga kali. Membuat fokus Quen sedikit terinterupsi."Masuk," gumam Quen tanpa mengalihkan pandangannya dari deretan tulisan di komputer. Sesekali, keningnya mengkerut saking serius membaca semua teks di layar.Sementara, langkah kaki seseorang kian mendekat ke meja. Dari ekor matanya, Quen tahu dia adalah Arthur, sekretarisnya."Pekerjaanku sudah selesai untuk hari ini, Nona Muda," ucap Arthur melapor. Quen menurunkan kacamata anti radiasinya, meletakkannya di meja, lalu mengangkat wajah untuk memusatkan atensi pada sekretarisnya itu. "Apakah Anda masih membutuhkan bantuan?" tanya Arthur sopan.Quen meliri
Queen of American Lakes, adalah panggilan untuk Danau George. Danau terbesar di Adirondacks. Perairan yang jernih dan menakjubkan, pulau-pulau kecil di tengah, serta gunung di sekitaran danau tersebut membuat pemandangan danau tersebut memanjakan mata. Siapa pun yang datang ke sana pasti akan betah dan ingin berlama-lama menikmati suasana asri itu.Siapa yang menyangka bahwa di tengah-tengah padatnya kota New York terdapat sebuah danau besar nan indah seperti Danau George? Menemukan danau tersebut sungguh seperti menemukan harta karun. Pun menurut Brandon yang baru pertama kalinya menginjakkan kaki di tempat itu. Menghabiskan waktu mudanya untuk bekerja, Brandon nyaris tidak tahu ada tempat-tempat yang menakjubkan di kota tempatnya tinggal dan sekitarnya."Wah. Kamu pandai memilih tempat untuk kita kunjungi, Nak," puji Brandon saat dia turun dari mobil dan melihat hamparan danau yang biru serta pemandangan alam sekitar yang begitu menyejukkan mata. Pria itu menarik napas dalam-dalam,
Zane menatap Brandon yang sudah berdiri di depan rumahnya ketika Zane datang untuk menemani pria paruh baya itu. Benar, hari ini adalah giliran Zane yang menemani ayah mertuanya. Quen sudah mengingatkan dirinya berkali-kali sejak kemarin malam. Bahkan tadi pagi pun, wanita tersebut terus saja mengulang informasi yang sama sampai Zane muak dibuatnya."Papa sudah menungguku sejak tadi?" tanya Zane begitu turun dari mobil untuk menjemput Brandon.Brandon tersenyum lebar. "Ya, tentu saja. Aku tidak sabar untuk menghabiskan waktu dengan menantuku hari ini, jadi aku bersiap-siap sejak satu jam lalu."Zane menyunggingkan senyum meski hanya samar saja. "Ke mana kita akan pergi?" tanya lelaki itu.Tanpa menjawab pertanyaan Zane, hanya senyum penuh arti yang dia tunjukkan, Brandon berjalan menuju mobil Zane. Mereka berdua masuk lalu duduk di posisi masing-masing."Kamu pandai melukis, bukan?" Brandon menoleh, menatap pada menantunya. Alih-alih menjawab perta