"Lalu apa yang membuat kamu sampai pingsan?"Levin menelan salivanya dengan susah payah begitu mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Ace. Pria itu terlihat sedikit gugup. Namun dia sudah bertekad untuk mengatakan pada mereka. Toh, dia tidak bisa untuk terus menyembunyikan phobia yang dia miliki selamanya dari mereka semua."Sebenarnya ... aku takut darah," jawab Levin sambil melirik ngeri pada jari telunjuk Quen yang berdarah. Suara pria itu terdengar semakin kecil ke akhir.Quen, Owen, Ace, Zane, dan Vinson seketika membulatkan mata, tak percaya dengan apa yang baru saja Levin katakan. Bagaimana bisa pria yang terlihat gagah, tampan, dan berbadan tinggi atletis seperti Levin justru takut darah sampai membuatnya pingsan hanya karena melihat sedikit darah yang mengalir di tangan Quen?"Aku pikir kamu pingsan karena Quen," komentar Zane. "Bukankah Quen lebih menyeramkan daripada darah dan monster apa pun yang menyeramkan di dunia ini? Kenapa kamu justru takut akan hal kecil seperti
Menu sarapan sudah berjejer di meja. Sementara penghuni rumah satu per satu mulai turun setelah beberapa saat lalu Quen memanggil mereka semua. Rutinitas pagi yang perlahan mulai terbiasa bagi keenam orang tersebut.Kini, semua orang sudah duduk di kursi masing-masing. Menyantap sarapan dengan khidmat."Owen," panggil Quen, mengangkat garpunya di depan wajah, membuat Levin yang berada di depannya agak ngeri. Takut-takut garpu itu tiba-tiba melayang ke arahnya. "Hari ini adalah giliranmu menemani Ayah. Aku akan mengirimkan alamat rumah Ayah padamu nanti."Owen seketika melebarkan mata. "Benarkah? Aku tidak bisa melewatkan hal itu?" tanya lelaki itu, yang seketika tersenyum meringis begitu mendapati tatapan maut yang dilayangkan oleh Quen.Semua orang mengulum tawa karena Owen tidak bisa berkutik hari ini. Mau tak mau, lelaki itu harus menuruti jadwal yang telah Quen tentukan.Ponsel Quen yang berada di sisi piringnya tiba-tiba berdering. Melihat nam
"Aku harus segera berangkat," pamit Ace pada penghuni rumah yang tersisa begitu dia mendengar suara mobil Chris yang berhenti di depan."Baiklah. Semoga harimu menyenangkan," balas Quen lugas.Pria itu lekas berdiri dari duduknya dan keluar dari rumah. Benar saja dugaannya, bahwa mobil yang datang tersebut adalah mobil Chris. Tanpa menunggu lama lagi, Ace masuk ke dalam mobil tersebut."Kamu tidur dengan nyenyak?" tanya Chris, menyambut kedatangan artisnya tersebut."Jika kamu berharap aku tidak bisa tidur setelah apa yang terjadi kemarin, maaf, kamu salah. Aku tidur dengan nyenyak, Bung," balas Ace jenaka.Chris menggelengkan kepalanya pelan. "Apakah kamu berpikir bahwa aku berharap demikian? Itu hanyalah basa-basi," tandas Chris, menanggapi lelucon yang dilemparkan Ace. Pria itu lantas menyodorkan sebuah kotak pada Ace. Ace langsung tahu bahwa isi di dalam kotak tersebut adalah sebuah ponsel."Aku sudah memasukkan nomorku, nomor member Blade Storm, dan juga nomor Quen. Kamu hanya ti
Napas Ace mulai berat dan tak beraturan. Dadanya naik turun dengan keras usai latihan dance-nya yang intens beberapa saat lalu. Pria itu menyerah, tidak bisa lagi melanjutkan tariannya. Dengan embusan napas panjang, pria itu duduk sambil menselonjorkan kaki di lantai.Ace menoleh pada yang lain. Semuanya sudah beristirahat sejak beberapa saat lalu sebelum dirinya. Hanya tersisa Jimmy yang kini memutar lagu ke sekian dan kembali latihan. Pria itu memang dance machine. Selain jago berbagai koreo, energinya juga melebihi yang lain."Kamu tidak lelah, Jim?" tanya Ace sambil menyibak rambutnya yang basah oleh keringat. Pendingin ruangan hampir tidak terasa karena suhu tubuhnya meningkat setelah latihan. Ace bahkan seperti mandi keringat sekarang.Jimmy masih fokus pada ritme dan ketukan lagu. Menari dengan begitu luwesnya, bahkan sesekali dia bernyanyi mengikuti lagu Namun dia tetap mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Ace. "Aku masih bisa menari untuk satu atau dua lagi," balas lel
Sesuai apa yang diperintahkan oleh ratunya, Quen, hari ini Owen akan mampir ke rumah Brandon dan menemani pria yang sudah berusia senja itu untuk menghabiskan waktu, entah dengan melakukan apa. Dia sendiri belum tahu dan hanya mengikuti perintah untuk datang.Bermodalkan alamat yang dikirim Quen lewat pesan singkat, akhirnya Owen tiba di halaman depan rumah Brandon. Pria itu bergegas turun dari mobil dan berjalan ke teras setelah mengamati rumah yang menjadi kediaman Brandon tersebut. Saat dirinya baru saja hendak menekan bel, pintu tinggi di depannya justru tiba-tiba terbuka.Seketika terlihat Brandon dengan pakaian pantai yang sudah lengkap. Bahkan, pria itu memakai topi dengan pinggiran lebar dan juga membawa tas berisi peralatan memantai. Ralat, bukan peralatan, lebih tepatnya mirip seperti mainan anak-anak yang terbuat dari plastik."Akhirnya, menantuku datang juga," tandas Brandon, tersenyum semringah menatap Owen yang menjulang tinggi di depannys. M
Bab 22Senyum lebar Brandon seolah tak pernah luruh sejak dia tiba di pantai dan mulai duduk di atas pesisir pantai sambil membangun istana pasir raksasa miliknya, yang dalam prosesnya ia dibantu juga oleh Owen. Dengan sangat telaten, seolah dia tengah mengerjakan proyek sungguhan, Brandon mengukir setiap sudut istana pasir itu."Akhirnya!" seru Brandon lega setelah semua bagian yang harus dia buat selesai.Brandon lantas menatap ke depannya. Di mana Owen mengerjakan bagian benteng belakang. "Owen, apakah sudah selesai?" tanya pria itu agak berteriak.Kepala Owen tampak menyembul di sisi istana pasir raksasa itu, untuk menatap Brandon. Pria itu mengacungkan sebelah jempol sambil tersenyum lebar. "Aman. Aku sudah menyelesaikannya, Pa!" jawab lelaki itu.Brandon seketika tersenyum lebar mendengar jawaban Owen. Pria itu berdiri dari posisi duduknya sejak tadi. Punggung tuanya terasa begitu sakit karena terlalu lama duduk. Otot-ototnya bahkan menegang."Uwaaah! Akhjrnya, istana kita telah
Setelah menyelesaikan berbagai jadwal seharian ini, Julian membawa kembali Ace untuk pulang. Pria itu menyetir dengan begitu serius, sementara di belakang, Ace tertidur. Tampaknya pria itu amat kelelahan. Wajar saja, jadwal mereka cukup padat hari ini. Belum lagi dengan sesi latihan yang berat.Begitu sampai di kediaman Ace, sesuai dengan alamat yang diberikan oleh Chris, Julian mematikan mesin mobil. Pria itu menoleh ke belakang dan mendapati bahwa Ace masih tertidur dengan pulas."Ace, kita sudah sampai," ucap Julian, memberitahu lelaki itu.Dia pikir, Ace akan segera bangun. Namun, meski dia memanggil nama pria itu berkali-kali, Ace masih terlelap. Julian akhirnya memutuskan untuk turun dari mobil dan menghampiri kursi belakang.Julian mengguncangkan tubuh Ace, sehingga akhirnya pria itu membuka matanya perlahan. Meski begitu, Ace tampak belum sadar seutuhnya."Kita sudah sampai di rumahmu," tandas Julian.Ace mengucek matanya sebentar, kemudian merenggangkan otot-ototnya yang tera
Quen turun dari mobil yang dikendarai Arthur lalu menutup pintu kendaraan tersebut dengan kasar. Wajahnya tampak tertekuk kesal. Wanita itu bahkan menghentakkan kakinya berkali-kali saat berjalan, sehingga saat heels-nya berada dengan ubin terdengar begitu nyaring. Arthur yang mengekor langkah Quen, hanya bisa menggeleng pelan sambil menghela napas panjang. Dia sudah bekerja dengan Quen selama beberapa waktu, tetapi tetap saja masih belum bisa membantu Quen untuk mengendalikan emosinya. Pria itu juga belum terbiasa dengan emosi atasannya yang selalu meledak-ledak itu. Rasanya, bekerja dengan Quen berkali-kali lipat lebih sulit daripada bekerja dengan Brandon.Sementara itu, Quen masih terlihat amat kesal saat memasuki rumah. Pikirannya terus berkecamuk, memikirkan tentang permasalahan di kantor."HEI! Ini semua tidak masuk akal!" teriak Quen, entah untuk ke berapa kalinya dalam beberapa jam terakhir. Meski tidak ada siapa pun yang ia ajak bicara, secara spontan dia terus berbicara dem
Brandon berdecak takjub melihat berbagai wahana besar dengan lampu kelap-kelip yang memeriahkan suasana. Orang-orang berlalu lalang dengan wajah ceria, berteriak histeris saat menaiki wahana ekstrem, dan tampak senang melihat beberapa atraksi. Benar, setelah beberapa waktu tadi ia dan Levin melihat anak-anak bermain di taman bermain, kini mereka berdua pergi ke sebuah taman hiburan terbesar, Coney Island."Kenapa harus tempat ini? Apakah ada sesuatu yang khusus?" tanya Levin, melirik pada ayah mertuanya.Brandon tersenyum tipis. Matanya terlihat memancarkan sesuatu yang tak bisa diartikan saat melihat seorang anak kecil bergandengan tangan bersama dengan ayah dan ibunya, sementara tangannya memegang permen loli besar. Brandon jadi ingat cita-cita sederhana Quen dulu."Karena Quen pernah merajuk sampai menangis karena ingin pergi ke tempat ini, Levin," pungkas Brandon pelan. Wajahnya menengadah, menatap ke atas, pada wahana bianglala yang berputar dengan kecepatan konstan lalu pada rol
Taman bermain terlihat tidak begitu ramai karena ini adalah hari kerja. Hanya terlihat beberapa orang anak yang tampak main ditemani oleh orang tua atau pengasuhnya di sana. Ada yang duduk di atas ayunan, ada yang ceria menaiki perosotan, ada pula yang begitu bahagia bermain bola di dalam kolam khusus yang diisi oleh bola kecil berwarna-warni.Levin berjalan bersama Brandon di tempat tersebut usai turun dari mobil beberapa saat lalu. Keduanya beriringan dan lalu duduk di sebuah kursi panjang di depan wahana bermain tersebut, di depan sebuah jungkat-jungkit yang tidak ada seorang pun anak yang bermain di sana. Taman bermain itu memang cukup luas dan lengkap."Kenapa Papa ingin ke taman?" tanya Levin, seraya menyodorkan minuman ringan yang sebelumnya mereka beli di jalan.Benar, hari ini adalah giliran Levin yang menemani Brandon untuk menghabiskan waktu bersama. Dan Brandon secara tiba-tiba mengatakan ingin pergi ke sebuah taman bermain yang lengkap di kota. Meski terdengar agak aneh,
Quen masih tak habis pikir dengan pengakuan yang Owen berikan padanya tadi. Bagaimana bisa pria dewasa seperti Owen, yang gagah, memiliki rupa yang sama sekali tidak berada di bawah rata-rata, juga penampilan yang sebenarnya cukup menarik, tidak pernah bercinta sekali pun? Oh, ayolah! Setidaknya jika dia tidak memiliki waktu untuk berkencan, bukankah dia memiliki waktu sedikit saja untuk pergi ke tempat hiburan dan melakukan one night stand dengan wanita-wanita cantik yang haus akan belaian?"Kamu bukan biksu, kan?" tanya Quen, menatap Owen dengan nanar.Owen yang saat ini sudah berlutut di lantai, di sisi ranjang yang ditempati oleh Quen, menggeleng pelan. Dia seperti terdakwa yang hendak dihukum oleh Ratu. Apalagi dengan ekspresi wajahnya yang terasa begitu menghayati peran."Lalu bagaimana bisa ...." Quen kehabisan kata untuk Owen.Wanita itu lalu menggeleng pelan dan kembali memusatkan atensi pada Owen dengan tatapan yang begitu nyalang, seolah dia sadar bahwa ada hal lain yang le
Quen baru saja membersihkan diri usai pulang dari makan malam mereka yang diadakan di luar rumah. Dia begitu begah usai menghabiskan berbagai makanan di restoran tadi. Membuat dirinya juga ikut mengantuk.Quen melihat Owen sudah berbaring setengah duduk di atas ranjang. Pria itu menyadari kehadiran Quen dan menepuk sisi ranjang di sebelahnya, memberi isyarat agar Quen datang dan duduk di sisinya.Quen pun dengan segera menghampiri pria tersebut dan ikut berbaring di sisinya. Keduanya berbagi selimut yang sama di sana untuk menutupi kaki sampai pinggang mereka berdua."Kamu tidak mengantuk?" tanya Owen, melirik Quen. Owen tahu seharian ini pasti melelahkan bagi Quen karena dia harus bekerja dengan keras di kantor, makan malam di luar dengan kelima suaminya, kemudian melakukan perjalanan pulang yang cukup alot karena terjadi kemacetan sebab terjadi kecelakaan di jalur menuju rumah mereka tadi."Sedikit, tetapi belum cukup untuk membuatku bisa segera tertidur," jawab Quen pelan.Owen me
"Papa?" Quen masih memasang ekspresi terkejut melihat Brandon yang tiba-tiba saja berdiri di hadapan mereka semua dengan seulas senyum polos yang dia miliki."Papa datang bersamaku," kata Zane tanpa rasa bersalah sama sekali.Brandon mengangguk pelan. "Ya. Papa datang bersama dengan Zane," pungkas lelaki itu, mengamini. "Karena Papa datang terakhir dan membuat Zane jadi ikut terlambat, jadi Papa yang akan membayar."Zane dan Brandon berjalan menuju kursi yang kosong. Sayangnya, hanya ada sisa satu kursi di sana. Zane membiarkan Brandon yang duduk duluan. Sementara dirinya pergi untuk menemui pelayan dan meminta kursi tambahan.Tak berapa lama, pelayan datang membawa satu kursi untuk Zane dan juga buku menu. Mereka mulai memesan makanan satu per satu."Sebenarnya apa yang Papa lakukan sampai membuat Zane terlambat?" tanya Quen pada ayahnya.Brandon tersenyum penuh arti. "Papa mengajak Brandon menuju Danau George," dia jawab sambil melirik pada Zane."Benarkah? Danau George adalah harta
Alamat restoran yang diberikan oleh Quen adalah Restoran Indonesia Wayan yang terletak di Kota Manhattan. Ialah restoran yang menyajikan makanan khas Indonesia seperti halnya nasi goreng, gado-gado, sop buntut, pepes ikan, dan sebagainya.Quen berjalan masuk, mencari kursi yang sudah ia reservasi sebelumnya. Namun begitu tiba, dia terkejut karena Ace sudah ada di sana, tengah bermain ponsel dan tidak menyadari kedatangannya "Bagaimana kau sudah tiba di sini?" tanya Quen, membuat Ace mengangkat wajah dan menatapnya.Ace menyunggingkan senyum simpul. "Blade Storm baru saja melakukan wawancara di area dekat sini. Jadi, aku datang lebih cepat. Bahkan tidak sampai lima menit hingga aku tiba."Quen mendesah kecewa. Dia pikir, dia yang akan datang pertama, tetapi Ace justru mendahuluinya."Kamu sudah tiba berapa lama?"Ace sedikit memicing, berpikir. "Mungkin sekitar lima menit atau lebih? Entahlah," dia jawab dengan tak yakin. "Kemarilah, Quen. Ayo, kita berfoto." Ajak Ace. Menarik Quen un
Matahari sudah mulai tenggelam di luar. Namun, Quen masih berkutat dengan pekerjaannya, di balik meja kebesaran miliknya dengan berbagai data di komputer. Wanita itu terlihat begitu serius mengamati semua teks di layar tersebut. Dia bahkan mungkin tak sadar sudah berapa jam yang dihabiskan di depan layar itu.Saat tengah fokus, di luar tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruangan Quen tiga kali. Membuat fokus Quen sedikit terinterupsi."Masuk," gumam Quen tanpa mengalihkan pandangannya dari deretan tulisan di komputer. Sesekali, keningnya mengkerut saking serius membaca semua teks di layar.Sementara, langkah kaki seseorang kian mendekat ke meja. Dari ekor matanya, Quen tahu dia adalah Arthur, sekretarisnya."Pekerjaanku sudah selesai untuk hari ini, Nona Muda," ucap Arthur melapor. Quen menurunkan kacamata anti radiasinya, meletakkannya di meja, lalu mengangkat wajah untuk memusatkan atensi pada sekretarisnya itu. "Apakah Anda masih membutuhkan bantuan?" tanya Arthur sopan.Quen meliri
Queen of American Lakes, adalah panggilan untuk Danau George. Danau terbesar di Adirondacks. Perairan yang jernih dan menakjubkan, pulau-pulau kecil di tengah, serta gunung di sekitaran danau tersebut membuat pemandangan danau tersebut memanjakan mata. Siapa pun yang datang ke sana pasti akan betah dan ingin berlama-lama menikmati suasana asri itu.Siapa yang menyangka bahwa di tengah-tengah padatnya kota New York terdapat sebuah danau besar nan indah seperti Danau George? Menemukan danau tersebut sungguh seperti menemukan harta karun. Pun menurut Brandon yang baru pertama kalinya menginjakkan kaki di tempat itu. Menghabiskan waktu mudanya untuk bekerja, Brandon nyaris tidak tahu ada tempat-tempat yang menakjubkan di kota tempatnya tinggal dan sekitarnya."Wah. Kamu pandai memilih tempat untuk kita kunjungi, Nak," puji Brandon saat dia turun dari mobil dan melihat hamparan danau yang biru serta pemandangan alam sekitar yang begitu menyejukkan mata. Pria itu menarik napas dalam-dalam,
Zane menatap Brandon yang sudah berdiri di depan rumahnya ketika Zane datang untuk menemani pria paruh baya itu. Benar, hari ini adalah giliran Zane yang menemani ayah mertuanya. Quen sudah mengingatkan dirinya berkali-kali sejak kemarin malam. Bahkan tadi pagi pun, wanita tersebut terus saja mengulang informasi yang sama sampai Zane muak dibuatnya."Papa sudah menungguku sejak tadi?" tanya Zane begitu turun dari mobil untuk menjemput Brandon.Brandon tersenyum lebar. "Ya, tentu saja. Aku tidak sabar untuk menghabiskan waktu dengan menantuku hari ini, jadi aku bersiap-siap sejak satu jam lalu."Zane menyunggingkan senyum meski hanya samar saja. "Ke mana kita akan pergi?" tanya lelaki itu.Tanpa menjawab pertanyaan Zane, hanya senyum penuh arti yang dia tunjukkan, Brandon berjalan menuju mobil Zane. Mereka berdua masuk lalu duduk di posisi masing-masing."Kamu pandai melukis, bukan?" Brandon menoleh, menatap pada menantunya. Alih-alih menjawab perta