“Apa Papa gila?” Seru Aquene Chevalier atau yang sering dipanggil Quen itu saat mendengar ucapan ayahnya. Mata hitamnya tertuju lurus pada pria berambut hitam dengan janggut yang sudah memutih.
Pria berusia enam puluh tiga tahun bernama Brandon Chevalier itu menatap tajam ke arah putri satu-satunya. Namun detik berikutnya ekspresi dingin itu lenyap digantikan dengan ekspresi menangis layaknya anak kecil.
“Kamu dengar itu, Arthur. Bagaimana bisa anak durhaka ini menghina Papanya seperti itu?” Brandon layaknya seorang anak yang sedang mengadu pada orang tuanya.
Pria berusia empat puluh enam tahun itu mengalihkan perhatiannya pada Quen. “Nona, Jangan kasar seperti itu pada Papa anda.”
Wanita yang saat ini mengenakan celana dan blazer coklat garis-garis itu menghela nafas berat. Seperti inilah sulitnya Quen menghadapi ayahnya yang selalu membawa penjaganya ke manapun.
“Berhentilah bersikap kekanak-kanakan, Pa. Dan kamu, Arthur. Sebaiknya jangan ikut-ikutan main drama. Kalau tidak aku akan melemparkan vas ini ke arahmu.” Quen menunjuk ke vas bunga yang ada di sampingnya.
Seketika pria berkacamata itu menggelengkan kepalanya dan mundur selangkah. “Saya tidak berani, Nona.”
Merasa tidak ada lagi tempat mengadu, akhirnya Brandon menghentikan akting menangisnya. “Ayolah, Putriku yang cantik. Bukankah kamu ingin meneruskan Chevalier Inc.?”
Kedua tangan Quen terkepal erat di atas lengan sofa. “Aku memang menginginkannya. Tapi syarat yang Papa ajukan itu terlalu gila. Bagaimana bisa Papa tega melakukan hal itu pada putrinya sendiri?”
“Kejam bagaimana? Bahkan Papa masih memikirkan kebahagiaanmu jika saja Papa meninggal sewaktu-waktu.”
“Memikirkan kebahagiaanku? Dengan menikahi lima pria sekaligus? Sepertinya Papa juga ingin dilempar vas bunga ini.” Quen mengambil vas bunga di sampingnya.
Menyadari anaknya benar-benar serius, Brandon segera berdiri dan langsung bersembunyi di balik tubuh Arthur. Pria tua itu tidak mempedulikan Arthur yang tampak ketakutan karena sasaran Quen sekarang berubah ke arahnya.
Tuan, jangan jadikan saya tameng anda. Sedih Arthur dalam hati.
“Jangan marah dulu, Putriku sayang. Dengarkan penjelasan Papa dulu kenapa Papa mengajukan syarat ini.” Ucap Brandon yang masih bersembunyi di balik tubuh pria yang mengenakan setelan abu-abu.
Quen menghela nafas berat berusaha untuk bersabar dengan ayahnya. Akhirnya dia mengembalikan vas bunga itu ke atas meja. Wanita dengan tinggi seratus enam puluh sembilan sentimeter itu melambaikan tangannya pada sang ayah.
“Baiklah, Pa. Kemarilah. Sebaiknya kamu memberikan penjelasan yang masuk akal. Kalau tidak, aku akan melemparkanmu ke jendela.” Quen menunjuk ke arah dinding kaca.
Akhirnya Brandon keluar dari persembunyiannya. Dia kembali duduk di kursinya semula. “Jangan galak seperti itu, Putriku yang cantik. Aku mengajukan syarat ini bukan untuk membuatmu menderita. Justru sebaliknya.”
“Sudah. Cepat jelaskan intinya saja.”
“Jadi Papamu yang tampan ini sudah memikirkannya selama beberapa hari. Kamu tidak mau menikah. Bahkan kamu membuat para pria yang sudah aku jodohkan lari terbirit-birit karena takut dengan sifat galakmu. Lalu aku berpikir jika nanti aku sudah mati, siapa yang akan menjagamu. Karena itu aku menyeleksi para pria yang bisa bertahan dengan wanita yang galak. Aku juga memilih pria-pria terbaik. Hingga akhirnya terpilih lima pria. Daripada memilih satu diantara mereka, aku pikir lebih baik menjadikan mereka semua suamimu. Dengan begitu jika ada satu orang yang selingkuh atau meninggal, kami masih memiliki empat pria yang bisa menjagamu. Karena kamu sangat mencintai Chevalier Inc. seperti anak kecil yang mencintai mainannya. Karena itu aku yakin kamu akan menyetujui syarat ini demi perusahaan.”
“Pa, apakah kepalamu habis terbentur? Bagaimana bisa kamu memikirkan logika aneh seperti itu?”
Brandon menghela nafas berat karena Quen masih tidak mengerti alasannya. “Kepalaku baik-baik saja, Putriku sayang. Aku hanya ingin melihatmu menikah. Kamu hanya perlu menikah dan tinggal bersama mereka. Setelah itu aku akan melepaskan perusahaan ini untukmu. Apakah kamu ingin aku menyerahkan perusahaan ini pada orang lain, Quen? Bukankah kamu tahu ada yang ingin merebut posisi ini bukan? Jadi bagaimana? Apakah kamu akan menyetujui persyaratan dariku, Putriku sayang?”
Kedua tangan Quen terkepal erat. Dia tahu benar siapa yang ingin merebut posisi ayahnya. Tentu saja Quen tidak mau membiarkan orang itu mengambil alih perusahaan ini.
“Baiklah. Aku akan menerima syarat dari Papa. Sebaiknya Papa menepati janji. Kalau tidak, aku benar-benar akan melempar Papa keluar dari jendela.”
Brandon kembali memainkan drama menangisnya. “Memang tidak ada yang menyayangiku, Arthur. Kamu dengar sendiri. Bahkan putriku sendiri ingin melemparkanku ke jendela. Benar-benar malang nasibku.”
Quen hanya bisa menghela nafas berat. “Papa atur saja kapan aku bisa bertemu dengan lima calon suamiku. Aku harus kembali bekerja. Jadi berhentilah merengek seperti anak kecil.”
Wanita yang memiliki rambut hitam panjang itu berdiri kemudian meninggalkan ruangan sang ayah. Setelah mendengar suara pintu tertutup, Brandon mulai menghentikan dramanya. Pria itu bisa bernafas lega karena akhirnya putrinya menyetujui syarat darinya. Pria itu berdiri dan berjalan menghampiri dinding kaca yang memperlihatkan kota New York yang dipenuhi dengan gedung-gedung tinggi.
Arthur berjalan menghampiri Brandon. “Tuan, apakah anda yakin tidak mau memberitahu Nona Quen?”
Brandon menggelengkan kepalanya. Kemudian pria itu mengalihkan perhatiannya pada asistennya. “Tidak perlu, arthur. Aku hanya tidak ingin membuat Quen cemas. Jadi biarkan saja.”
“Tapi, tuan…” Arthur tidak bisa menahan air mata yang menetes ke pipinya.
Brandon menghampiri asistennya. Mengusap air mata Arthur dan memeluknya. “Kenapa kamu jadi cengeng begini? Padahal tadi saat aku menangis kamu tidak menangis.”
“Karena Tuan hanya berakting tadi. Tuan tidak mau menunjukkan emosi Tuan yang sebenarnya.”
“Sudah jangan menangis. Sudah tua masih saja menangis seperti anak kecil. Kamu jangan khawatir. Quen adalah wanita yang kuat. Dia pasti bisa menghadapinya.”
Akhirnya Brandon hanya bisa menenangkan asistennya yang tidak berhenti menangis. Dia berharap dengan keputusannya ini bisa membuat putri yang sangat disayanginya bahagia.
* * * * *
Dengan mengenakan dres pas badan selutut berwarna abu-abu, Quen berdiri di lift bersama dengan Arthur. Mereka berada di gedung Time Warner Center menuju lantai empat di mana restoran Jepang bernama Masa berada.“Arthur, apakah terjadi sesuatu dengan Papa?” tanya Quen sembari menunggu pintu lift terbuka.“Tidak terjadi apapun dengan Tuan besar, Nona. Mengapa anda berpikir seperti itu?”“Aku merasa aneh saja. Mengapa dia tiba-tiba ingin memberikan perusahaan? Apakah dia sakit?”Arthur tersenyum pada putri bosnya. “Anda berpikir berlebihan, Nona. Tuan besar hanya mengkhawatirkan anda yang tidak kunjun
The Plaza hotel New York menjadi tempat resepsi paling mewah tahun ini. Pasalnya tidak mempelai pengantin wanita dan lima pengantin pria berasal dari keluarga terpandang di New York. Sehingga tidak heran pesta pernikahan ini menjadi pesta pernikahan terbesar dan termewah. Dengan desain interior hotel yang klasik ditambah dengan hiasan bunga-bunga membuat pesta pernikahan itu tampak sangat indah.Quen yang mengenakan gaun pengantin pas badan dengan tali berenda di bahunya membuat wanita itu terlihat sangat cantik. Gaun dengan bahan sutra lembut di bagian dalam dan kain lace bordir motif bunga di luar membuat gaun itu terlihat begitu mewah. Gaun itu dibuat khusus untuk Quen selama satu bulan. Sehingga tidak heran gaun itu menjadi sorotan media karena menjadi gaun pengantin termahal.“Quen.”
Gwen Chevalier. Wanita berusia dua puluh lima tahun itu adalah sepupu Quen. Dengan mengenakan gaun berwarna perak, dia berjalan menghampiri Quen yang berdiri di samping Zane.Hubungan Quen dan Gwen tidaklah baik. Gwen selalu iri dengan Quen. Apapun yang dimiliki Quen, Gwen tidak mau kalah. Karena itulah Gwen merupakan satu-satunya orang yang ingin merebut kursi Presiden Direktur Chevalier Inc. Langkah Gwen terhenti tepat di hadapan Quen. Dengan ekspresi tenang, Quen menatap Gwen. Dia tidak menyadari jika tangannya masih menggenggam tangan Zane.“Hallo, Sepupuku.” Gwen menyunggingkan senyuman sembari melambaikan tangannya.“Aku pikir kamu tidak akan datang, Gwen.” Ucap Quen dengan sinis.
“Kalian pasti bercanda.” Ucap Quen melongo menatap pemandangan di hadapannya.Pasalnya, papanya tidak hanya menikahkan dirinya dengan lima pria pilihannya tapi dia juga berniat membuat Quen tidur dengan lima suaminya. Pasalnya setelah pesta pernikahan selesai, Arthur mengantarkan Quen dan kelima suaminya ke sebuah kamar di mana ada sebuah empat ranjang berukuran besar yang dijadikan satu.Arthur menggelengkan kepalanya. “Tidak, Nona. Eh, maksudku Nyonya. Kata Tuan besar seorang istri, terutama pengantin, baru tidak boleh pisah ranjang. Karena itu Nyonya harus tidur di sini bersama para tuan muda.”Quen mendengus kesal. “Bukankah ini keterlaluan? Aku sudah menuruti Papa untuk menikah dengan mereka. Dan sekarang dia memintaku untuk tidur bersama l
“Untuk apa kami harus memakai ini?” Zane mengangkat gaun snow white berwarna biru dan kuning.“Aku tidak mau.” Owen menggelengkan kepalanya melihat kimono wanita di hadapannya.“Gila.” Vinson melotot kaget melihat kostum Elsa dalam film Frozen.Levin meraih seragam sekolah wanita yang sudah dipersiapkan untuknya. “Kalau aku pakai ini, apakah kamu akan memaafkanku, Quen? Karena aku tidak bisa jauh darimu.” Levin memanyunkan bibirnya.“Dasar gila!” Gumam Quen yang duduk di atas sofa sembari menikmati secangkir kopi.“Quen!” Panggil Ace yang mengambil kostum Sailormoon. “Bagaimana ka
“Kenapa kamu di sini? Bukankah seharusnya kamu sedang bulan madu?” tanya Brandon saat melihat putrinya duduk di dekatnya saat berada di ruang meeting.“Bulan madu? Sepertinya Papa minta di lempar keluar jendela.” Quen menunjuk ke arah dinding kaca di ruang meeting.Brandon memasang ekspresi sedih. “Putriku benar-benar durhaka. Jika saja aku bisa menggantinya.”“Ganti saja. Aku yakin tidak akan yang lebih baik dariku.”“Kuakui itu memang benar. Putriku memang yang terbaik.” Brandon mengacungkan dua jempolnya.Setelah semua orang berkumpul, akhirnya meeting pun dimulai. Brandon berdiri menatap para p
Quen duduk di kursi dalam ruangannya. Dia meletakkan tas di atas meja dan mengambil ponselnya. Wanita itu hendak membuat grup di aplikasi chatting. Tapi sebuah pesan yang baru saja masuk menarik perhatian wanita itu. Quen membuka pesan itu. Papa [Lokasi rumah baru Quen] Putriku tersayang, ini adalah alamat rumahmu dan juga suami-suamimu. Buatkan Papa cucu sebanyak-banyaknya, ya? Jika kamu berhasil, Papa akan memberikan saham 35% milikku. Seketika Quen melotot kaget membaca pesan dari ayahnya. Bukan hanya di bagian membuat cucu sebanyak-banyaknya, tapi juga iming-iming dari ayahnya. Jika Quen bisa mendapatkan saham tiga puluh lima persen dari ayahnya, maka dia akan memiliki saham lebih banyak dari Gwen. Tapi tetap
Setelah menikmati makan malam bersama, Quen menggiring kelima suaminya menuju ruang keluarga yang sudah bersih dengan barang-barang mereka. Dengan anggun wanita itu menyesap teh yang sudah disiapkan oleh pelayan. Quen selalu menyukai teh hitam. Karena teh hitam memiliki aroma dan cita rasa yang kuat. Wanita itu meletakkan cangkir teh berwarna biru dengan hiasan bunga lupin atau wolly lavender di cangkir itu di atas piring kecil yang menjadi satu set. Kemudian tatapan Quen tertuju pada lima suaminya melihat reaksi mereka saat minum teh yang sama. Wajah Ace saat meminumnya tampak jelas tidak menyukainya. “Kenapa rasanya aneh begini? Kopi jauh lebih enak.” Levin terkekeh melihat reaksi Ace yang duduk di sampingnya. “Itu karena kamu tidak pernah meminum teh. Jika kamu sudah terbiasa, kamu akan menyukainya.” Ace melih
Brandon berdecak takjub melihat berbagai wahana besar dengan lampu kelap-kelip yang memeriahkan suasana. Orang-orang berlalu lalang dengan wajah ceria, berteriak histeris saat menaiki wahana ekstrem, dan tampak senang melihat beberapa atraksi. Benar, setelah beberapa waktu tadi ia dan Levin melihat anak-anak bermain di taman bermain, kini mereka berdua pergi ke sebuah taman hiburan terbesar, Coney Island."Kenapa harus tempat ini? Apakah ada sesuatu yang khusus?" tanya Levin, melirik pada ayah mertuanya.Brandon tersenyum tipis. Matanya terlihat memancarkan sesuatu yang tak bisa diartikan saat melihat seorang anak kecil bergandengan tangan bersama dengan ayah dan ibunya, sementara tangannya memegang permen loli besar. Brandon jadi ingat cita-cita sederhana Quen dulu."Karena Quen pernah merajuk sampai menangis karena ingin pergi ke tempat ini, Levin," pungkas Brandon pelan. Wajahnya menengadah, menatap ke atas, pada wahana bianglala yang berputar dengan kecepatan konstan lalu pada rol
Taman bermain terlihat tidak begitu ramai karena ini adalah hari kerja. Hanya terlihat beberapa orang anak yang tampak main ditemani oleh orang tua atau pengasuhnya di sana. Ada yang duduk di atas ayunan, ada yang ceria menaiki perosotan, ada pula yang begitu bahagia bermain bola di dalam kolam khusus yang diisi oleh bola kecil berwarna-warni.Levin berjalan bersama Brandon di tempat tersebut usai turun dari mobil beberapa saat lalu. Keduanya beriringan dan lalu duduk di sebuah kursi panjang di depan wahana bermain tersebut, di depan sebuah jungkat-jungkit yang tidak ada seorang pun anak yang bermain di sana. Taman bermain itu memang cukup luas dan lengkap."Kenapa Papa ingin ke taman?" tanya Levin, seraya menyodorkan minuman ringan yang sebelumnya mereka beli di jalan.Benar, hari ini adalah giliran Levin yang menemani Brandon untuk menghabiskan waktu bersama. Dan Brandon secara tiba-tiba mengatakan ingin pergi ke sebuah taman bermain yang lengkap di kota. Meski terdengar agak aneh,
Quen masih tak habis pikir dengan pengakuan yang Owen berikan padanya tadi. Bagaimana bisa pria dewasa seperti Owen, yang gagah, memiliki rupa yang sama sekali tidak berada di bawah rata-rata, juga penampilan yang sebenarnya cukup menarik, tidak pernah bercinta sekali pun? Oh, ayolah! Setidaknya jika dia tidak memiliki waktu untuk berkencan, bukankah dia memiliki waktu sedikit saja untuk pergi ke tempat hiburan dan melakukan one night stand dengan wanita-wanita cantik yang haus akan belaian?"Kamu bukan biksu, kan?" tanya Quen, menatap Owen dengan nanar.Owen yang saat ini sudah berlutut di lantai, di sisi ranjang yang ditempati oleh Quen, menggeleng pelan. Dia seperti terdakwa yang hendak dihukum oleh Ratu. Apalagi dengan ekspresi wajahnya yang terasa begitu menghayati peran."Lalu bagaimana bisa ...." Quen kehabisan kata untuk Owen.Wanita itu lalu menggeleng pelan dan kembali memusatkan atensi pada Owen dengan tatapan yang begitu nyalang, seolah dia sadar bahwa ada hal lain yang le
Quen baru saja membersihkan diri usai pulang dari makan malam mereka yang diadakan di luar rumah. Dia begitu begah usai menghabiskan berbagai makanan di restoran tadi. Membuat dirinya juga ikut mengantuk.Quen melihat Owen sudah berbaring setengah duduk di atas ranjang. Pria itu menyadari kehadiran Quen dan menepuk sisi ranjang di sebelahnya, memberi isyarat agar Quen datang dan duduk di sisinya.Quen pun dengan segera menghampiri pria tersebut dan ikut berbaring di sisinya. Keduanya berbagi selimut yang sama di sana untuk menutupi kaki sampai pinggang mereka berdua."Kamu tidak mengantuk?" tanya Owen, melirik Quen. Owen tahu seharian ini pasti melelahkan bagi Quen karena dia harus bekerja dengan keras di kantor, makan malam di luar dengan kelima suaminya, kemudian melakukan perjalanan pulang yang cukup alot karena terjadi kemacetan sebab terjadi kecelakaan di jalur menuju rumah mereka tadi."Sedikit, tetapi belum cukup untuk membuatku bisa segera tertidur," jawab Quen pelan.Owen me
"Papa?" Quen masih memasang ekspresi terkejut melihat Brandon yang tiba-tiba saja berdiri di hadapan mereka semua dengan seulas senyum polos yang dia miliki."Papa datang bersamaku," kata Zane tanpa rasa bersalah sama sekali.Brandon mengangguk pelan. "Ya. Papa datang bersama dengan Zane," pungkas lelaki itu, mengamini. "Karena Papa datang terakhir dan membuat Zane jadi ikut terlambat, jadi Papa yang akan membayar."Zane dan Brandon berjalan menuju kursi yang kosong. Sayangnya, hanya ada sisa satu kursi di sana. Zane membiarkan Brandon yang duduk duluan. Sementara dirinya pergi untuk menemui pelayan dan meminta kursi tambahan.Tak berapa lama, pelayan datang membawa satu kursi untuk Zane dan juga buku menu. Mereka mulai memesan makanan satu per satu."Sebenarnya apa yang Papa lakukan sampai membuat Zane terlambat?" tanya Quen pada ayahnya.Brandon tersenyum penuh arti. "Papa mengajak Brandon menuju Danau George," dia jawab sambil melirik pada Zane."Benarkah? Danau George adalah harta
Alamat restoran yang diberikan oleh Quen adalah Restoran Indonesia Wayan yang terletak di Kota Manhattan. Ialah restoran yang menyajikan makanan khas Indonesia seperti halnya nasi goreng, gado-gado, sop buntut, pepes ikan, dan sebagainya.Quen berjalan masuk, mencari kursi yang sudah ia reservasi sebelumnya. Namun begitu tiba, dia terkejut karena Ace sudah ada di sana, tengah bermain ponsel dan tidak menyadari kedatangannya "Bagaimana kau sudah tiba di sini?" tanya Quen, membuat Ace mengangkat wajah dan menatapnya.Ace menyunggingkan senyum simpul. "Blade Storm baru saja melakukan wawancara di area dekat sini. Jadi, aku datang lebih cepat. Bahkan tidak sampai lima menit hingga aku tiba."Quen mendesah kecewa. Dia pikir, dia yang akan datang pertama, tetapi Ace justru mendahuluinya."Kamu sudah tiba berapa lama?"Ace sedikit memicing, berpikir. "Mungkin sekitar lima menit atau lebih? Entahlah," dia jawab dengan tak yakin. "Kemarilah, Quen. Ayo, kita berfoto." Ajak Ace. Menarik Quen un
Matahari sudah mulai tenggelam di luar. Namun, Quen masih berkutat dengan pekerjaannya, di balik meja kebesaran miliknya dengan berbagai data di komputer. Wanita itu terlihat begitu serius mengamati semua teks di layar tersebut. Dia bahkan mungkin tak sadar sudah berapa jam yang dihabiskan di depan layar itu.Saat tengah fokus, di luar tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruangan Quen tiga kali. Membuat fokus Quen sedikit terinterupsi."Masuk," gumam Quen tanpa mengalihkan pandangannya dari deretan tulisan di komputer. Sesekali, keningnya mengkerut saking serius membaca semua teks di layar.Sementara, langkah kaki seseorang kian mendekat ke meja. Dari ekor matanya, Quen tahu dia adalah Arthur, sekretarisnya."Pekerjaanku sudah selesai untuk hari ini, Nona Muda," ucap Arthur melapor. Quen menurunkan kacamata anti radiasinya, meletakkannya di meja, lalu mengangkat wajah untuk memusatkan atensi pada sekretarisnya itu. "Apakah Anda masih membutuhkan bantuan?" tanya Arthur sopan.Quen meliri
Queen of American Lakes, adalah panggilan untuk Danau George. Danau terbesar di Adirondacks. Perairan yang jernih dan menakjubkan, pulau-pulau kecil di tengah, serta gunung di sekitaran danau tersebut membuat pemandangan danau tersebut memanjakan mata. Siapa pun yang datang ke sana pasti akan betah dan ingin berlama-lama menikmati suasana asri itu.Siapa yang menyangka bahwa di tengah-tengah padatnya kota New York terdapat sebuah danau besar nan indah seperti Danau George? Menemukan danau tersebut sungguh seperti menemukan harta karun. Pun menurut Brandon yang baru pertama kalinya menginjakkan kaki di tempat itu. Menghabiskan waktu mudanya untuk bekerja, Brandon nyaris tidak tahu ada tempat-tempat yang menakjubkan di kota tempatnya tinggal dan sekitarnya."Wah. Kamu pandai memilih tempat untuk kita kunjungi, Nak," puji Brandon saat dia turun dari mobil dan melihat hamparan danau yang biru serta pemandangan alam sekitar yang begitu menyejukkan mata. Pria itu menarik napas dalam-dalam,
Zane menatap Brandon yang sudah berdiri di depan rumahnya ketika Zane datang untuk menemani pria paruh baya itu. Benar, hari ini adalah giliran Zane yang menemani ayah mertuanya. Quen sudah mengingatkan dirinya berkali-kali sejak kemarin malam. Bahkan tadi pagi pun, wanita tersebut terus saja mengulang informasi yang sama sampai Zane muak dibuatnya."Papa sudah menungguku sejak tadi?" tanya Zane begitu turun dari mobil untuk menjemput Brandon.Brandon tersenyum lebar. "Ya, tentu saja. Aku tidak sabar untuk menghabiskan waktu dengan menantuku hari ini, jadi aku bersiap-siap sejak satu jam lalu."Zane menyunggingkan senyum meski hanya samar saja. "Ke mana kita akan pergi?" tanya lelaki itu.Tanpa menjawab pertanyaan Zane, hanya senyum penuh arti yang dia tunjukkan, Brandon berjalan menuju mobil Zane. Mereka berdua masuk lalu duduk di posisi masing-masing."Kamu pandai melukis, bukan?" Brandon menoleh, menatap pada menantunya. Alih-alih menjawab perta